December 09, 2011

Pengin berbeda...

Pengalaman ini ternyata bukan hanya dialami oleh kaum dewasa saja, monggo kita mulai dari masa kanak-kanak.

Dulu sewaktu masih tinggal di Jawa Timur, sudah sejak kecil senang sekali dengan mainan mobil-mobilan matchbox atau merek tomica. Karena menurut ibu, saya penyakitan, dan gampang sekali sakit, maka setiap kali pergi berobat, ibu selalu mampir di Pasar Pacar Keling untuk beli mainan. Toko kelontong apa aja ada, mulai dari mainan, alat tulis, alat masak dan bahkan alat rumah tangga lainnya, jadi kalo mampir ke situ bukan hanya keperluanku aja yang dibeli ibu.

Hampir setiap bulan, mainanku tambah satu. Sehingga kalo mampir ke pasar, aku selalu sempatkan mampir, apa yang baru di toko, sehingga kalo sakit dan dibelikan ibu, sudah ada inceran.

Menarik sebab, tetanggal di rumah, ada teman bernama Kempong, Sari, Medhek, dan beberapa lainnya juga senang dengan mainanku. Dan akupun juga melirik apa yang baru mereka punya. Biasanya kami berbeda selera, sehingga jarang ada yang sama.

Sejak sekolah, ternyata "mainan"ku berubah, mulai mengumpulkan tempat pensil yang ditutup dengan magnet, dan biasanya bentuk macam-macam, kalo ndak salah bentuknya ada mirip radio, mesin, robot, mobil, juga ada yang dari kayu mirip laci lemari. Saya ndak suka yang berbentuk kain dan lembek. Harus bentuk kaku, mirip "mesin". Kalo ada teman yang punya tempat pensil baru, biasanya aku memperhatikannya, pinjam untuk liat2, tapi seringkali tidak boleh. Katanya takut rusak. Atau takut saya beli yang sama. Hal ini saya ketahui, sejak saya tanya beli di mana? Dia jawab,"ndak tau." Artinya kan takut disaingi.

Penting terlihat bahwa, kalau kita punya yang tidak dipunyai orang lain, itu baru keren. Kalaupun hanya sedikit yang punya, itu eksklusif. Gejala apa ini?

Sekarang, saya mulai mengumpulkan beberapa hal, syukur-syukur berbeda dengan yang lain. Gimana ndak, wong selera saja sudah beda. Pengin berbeda. Kembali, pertanyaannya adalah kenapa musti berbeda? Kenapa kok ingin dikomentari oleh yang lain?

Bukankah, yang kita gunakan (terlepas kita miliki atau kita nikmati) adalah penting untuk "mengolah roso" di dalam hati? Spiritual healing.... Apa lagi ini?

Kok healing, apa yang kita obati dan kita terapi? Hati kita? Kenapa diobati? Apa ini bukannya gejala kompensasi adanya "rasa kekurangan" tadi?

Kok rasanya kita akan haus terus dengan "pandangan orang lain"? Gejala apa ini?

Rasa "kepenuhan" kok dipenuhinya dengan "air dari tetangga"? Apa ini salah satu ciri manusia yang diciptakan oleh Gusti Allah?

Apa ndak puas kita hanya dipenuhi dariNya?

Waduh, semakin banyak pertanyaan yang ndak terjawab. Monggo, pembaca sekalian bila memiliki pendapat. Matur nuwun.

Jakarta 12:36 Des09, 2011


December 07, 2011

Retro nih...

Belakangan ini saya keracunan dengan hal-hal yang serba retro, itu tuh semua hal, termasuk pemikiran yang serba jadul. Kuno, dan nyeleneh.

Hal ini semakin aneh saat beberapa teman di kantor makin tergila-gila menggunakan gadget terbaru, sementara saya sejak bongkar-bongkar isi lemari bawah TV di kamar ketemu gameboy, nintendo serta beberapa mainan punya istri yang beredar kira-kira tahun 1980-an.

Tak terasa, saya mampir kembali ke almari yang selama ini ndak tersentuh, berdebu dan lembab itu. Wuiiiih, ternyata kaset-kaset barat dan Indonesia masih banyak ya.... Jadi ingat salah satu sobat di SMP mengatakan bahwa kalo kaset mau diperdengarkan lagi, sebaiknya dimasukkan ke kulkas dulu... (ndak tau untuk apa).

Lagu-lagu lama disetel lagi, ndak terasa ada rasa "ser" di hati ini, rasanya mirip saat jatuh cinta pertama kali. Hi hi hi... Jadinya senyum-senyum sendiri.

Jadi ingat saat itu jadi ketua kelas di SD, beberapa teman kemana ya? Penelusuran dimulai dengan membuka daftar nama di hp deh.... Sekedar memori kecil.

Disambung lagi, mulai membuka (dan rencananya membereskan) laci di dekat tempat tidur, wow begitu banyak foto-foto lama.... Aku masih kurus, jelek, cungkring, lho kok ndak punya foto saat gondrong ya? Ha ha ha ......

Sebetulnya mengingat waktu itu sempat gondrong hampir sepinggang di SMA, membuat tersipu. Kok mau-maunya ya? Apalagi kalo sekedar naik bis "gratis"...

Udah dulu ah, kalo kelamaan jadi keterusan. Matur nuwun sudah mampir. Tuhan memberkati sahabat selalu.

Jakarta 15.45 Des07,2011

Konsumsi listrik, apa sih maunya?

Setelah baca koran harian tadi pagi, dimana beberapa topik memberitakan bahwa sekelompok orang di kalangan atas sana, menginginkan kita "seragam" dalam maksud memahami apa yang diinstruksikannya.

Contohnya adalah bahwa sebaiknya kita secara serempak mengurangi konsumsi kita terhadap listrik. Hal ini dimaksudkan untuk penghematan energi demi kelangsungan hidup generasi yang akan datang. Wuiiih, betapa mulianya tujuan dan maksudnya.

Sementara beberapa kalangan dengan semangat tidak kenal lelah, mencari alternatif energi untuk dapat menggantikan minyak bumi yang katanya hampir habis ini.

Menurut para ahli yang berasal dari negeri-negeri seberang, salah satu kemajuan suatu bangsa didorong oleh pembangunan fasilitas infrastruktur, salah satunya adalah ketersediaan listrik untuk industri dan untuk rakyat.

Sikap mengurangi konsumsi penggunaan listrik tersebut, apakah sebaiknya diterapkan di industri atau juga oleh konsumsi rumah tangga? Terus apa sebaiknya kita masyarakat menggunakan sumber energi lain? Contoh apa?

Sewaktu anak saya, Krisna live-in di daerang Magelang, Jawa Tengah, penduduk masih menggunakan kau bakar untuk memasak. Lha kita yang di kota apa iya musti cari kayu bakar?
Alternatif lain, pake briket batubara. Seingat saya, kita menggunakannya kalo akan barbeque. Jadi kalo memasak nasi, bikin tumis, panasin air hangat dengan apa sebaiknya?

Kalo biasanya kita tidur dengan AC, maka sebaiknya kita lakukan dengan kipas tangan, kondisi rumah mulai dirancangbangunkan supaya angin dapat masuk.

Makin bingung ya....

Jadi timbul pertanyaan...berapa sih yang dapat dihemat bila masyarakat mengurangi konsumsi listrik 10% saja? Berapa kalo kita bandingkan industri juga menguranginya 10%? Jadi berapa konsumsi listrik masyarakat dibandingkan industri?

Demikian curcol ini disampaikan, monggo kalo sahabat memiliki pendapat lain dan berbeda. Matur nuwun. Tuhan memberkati.

Jakarta 15.33 Des07,2011

Cemburu

Baru saja saya baca buku berjudul Para Guru Kehidupan, pada halaman 140 yang menyebutkan tentang cemburu disebutkan sebagai berikut cuplikannya...

"...Allah itu Maha Cemburu? padahal, buat apa Allah camburu kepada mahluknya... dan apa kecemburuan manusia itu terhadap sesamanya?

Nah ini bagian menariknya,"Allah cemburu itu, karena Allah hanya ingin supaya kita beribadah padaNya, dan tidak berpaling selain dariNya, dan itu sebagai tanda cinta kepada makhlukNya... Sementara, kalau manusia yang cemburu, lebih sering kecemburuan itu muncul karena iri, ketidakmampuan dirinya terhadap suatu hal atau keadaan..."

Sungguh sangat menarik untuk dibongkar...

Allah, Gusti Maha Pencipta kita ini begitu luar biasa, bahkan menurut kitab suci, saat menciptakan manusia, sebagai perwujudan dari kasih sayangnya, yang diberi percikan Dzat Tuhan. Menarik lagi, bahwa Tuhan tidak menciptakan kita sebagai robot yang "fungsinya" menyembahnya tetapi dengan "free-will" yang dapat dengan kemauan kita dapat melakukan apa saja, termasuk berpaling dariNya. Dan Allah tahu akan hal itu.

Dari beberapa buku yang saya baca, dinyatakan bahwa Tuhan Allah memperkenankan kita mengalami banyak hal dan memutuskan sendiri. Beliau sebenarnya tidak membutuhkan kita "membela"nya, wong Beliau adalah Maha SegalaNya.

Nah, manusia yang hanya ciptaanNya ini sering tergoda untuk menuntuk wujud kesempurnaanNya. Lha apa bisa? Monggo direnungkan.

Pagi tadi sewaktu saya bangun dan melihat langit biru Jakarta, terbetik hati ini memujiNya, Puji Tuhan atas ciptaan yang luar biasa ini. Biarpun setiap waktu kota tercinta ini dipenuhi (dengan sukarela, sadar dan tidak sadar) oleh polusi yang membuat langit berwarna abu-abu, tetapi dengan perkenanNya, pagi tadi masih dapat biru kembali.

Wong langit saja bisa bisa diubahNya, apa upaya kita (yang ciptaanNya) ini begitu hebatnya sehingga "membela Tuhan" terhadap ancaman sesama dianggap begitu berjasa. Hayoooo, monggo diendapkan dulu.

Ya sudah sepantasnya kan kalo kita ini bersyukur, dan berbuat baik. Wong kasih sayangNya selalu melingkupi kita, keluarga kita dan tempat dimana kita singgah.

Jadi? Opo ya pantes kita bermegah diri?

Sahabatku, matur nuwun sudah mampir, Tuhan memberkati selalu.


Jakarta 15.17 Des07,2011




December 06, 2011

Tanggung jawab

Tanggung jawab atau responsibility, seringkali disalahartikan bila ditambahi dengan persepsi negatif.

Menjadi positif kadang kala bila masuk dalam konteks pengorbanan dan kerelaan melakukannya untuk kepentingan kelompok yang lebih besar.

Selasa minggu lalu, dalam kunjungan ke tempat kerja di Kalimantan, kami menggunakan pesawat sewa karena waktu kunjungnya yang sangat pendek dan padat. Dalam perjalanan pulang, saat pesawat akan tinggal landas, dan sudah berada di jalur landasan pacu, tiba-tiba di tengah landasan, pesawat sempat kehilangan tenaga (walau saya bukan insinyur dan tidak mengerti teknis), tapi terasa bahwa akselerasi tiba-tiba drop. Sehingga pesawat kembali ke bandara.

Sang pilot langsung turun, dan memeriksa ke belakang pesawat, utak-utik selama lebih kurang 25 menit, lalu mencoba mesin. Dan jalan....

Di perjalanan, saat masih mengudara, pilot mendatangi kami, dan meminta maaf atas kejadian yang tidak mengenakkan, serta berharap kami penumpangnya tidak perlu khawatir.

Saat ditanya, jadi apakah aman pesawat kita?

Sang pilot menjawab,"if there is still trouble, I wouldn't be here with you. Also, I wouldn't allow you fly in this aeroplane." (terjemahan bebasnya adalah, kalo masih masalah (di pesawatnya) saya ndak akan bareng di sini dong...)

Gila, impact-nya kena banget tuh. Kalo membahayakan diri sendiri mana berani... itu kan namanya bunuh diri. Kalo membahayakan orang lain (he he he), udah sering kan... Malah sering kali kita temui kondisi yang justru dilakukan karena hanya membahayakan orang lain sementara dirinya sendiri aman.

Hayo... Adakah rekan-rekan pembaca merasakan "feel" tersebut? Apa berani membahayakan diri sendiri sebagai bukti tanggung jawabnya? Monggo, silakan kalo memiliki pendapat lain. Matur nuwun. Tuhan memberkati.

Jakarta, 11.30 Des06,2011


Bahasa

Menurut definisi bebas dari wikipedia adalah kapasitas khusus yang ada pada manusia untuk berhubungan dan berkomunikasi satu dengan yang lain.

Susah ya...

Gampangnya adalah bahwa dengan bahasa, maka peng-kode-an yang dilakukan seseorang dapat dipahami maksudnya oleh orang lain. sehingga wacana berkomunikasi mudah dilakukan. Pada waktu kita berkunjung ke daerah lain yang menggunakan bahasa berbeda dengan kita, maka untuk berkomunikasi seringkali kita gunakan "bahasa tarzan", dengan alat bantu tangan (isyarat) dan ekspresi muka. Dan komunikasi seringkali hanya dibatasi dengan maksud "dangkal" saja. Basa-basi...

Monggo kita telaah yang lain lagi. Saat kita berkomunikasi dengan rekan yang berbahasa yang sama ternyata juga tidak mudah, ini juga kalau tidak disebut sulit. Mengapa?

Karena dalam berkomunikasi, seringkali sudah dipengaruhi oleh beberapa hal berikut ini:
a) persepsi dari si pendengar yang kerap berbeda dengan si pembicara;
b) suasana hati masing-masing pihak;
c) gangguan luar, seperti kebisingan, atau hal lain yang membuat tidak fokus dan tidak tercapai pesannya;
d) salah satu pihak tidak percaya (trust) dengan pihak lainnya, misalnya pendengar tidak trust pada pembicaranya. Dapat disebabkan beberapa hal misalnya, dianggap tidak kompeten, tidak mampu.
e) dan banyak hal lainnya...

Sebagai ilustrasi, suatu pagi, suatu ketika saya melaporkan kejadian di tempat kerja di Kalimantan, dan atasan saya menegur, tanpa menunggu saya bicara sampai selesai. Katanya,"Dik, lha kamu itu kan bukan insinyur, apa kamu tau detilnya?"
Lho wong, saya aja latar belakang beda ya ndak detil, ini kan laporan untuk introduction. Sementara kalo detil kan ada tim yang menjelaskannya. Jadi terlihat di sini bahwa pihak pendengar merasa bahwa pembicara tidak kompeten untuk membuat laporan tersebut.

Lain halnya bila, kita bicara dengan sesama teman yang satu hobi, misalnya menyanyi. Maka saat pembicara melontarkan ide untuk kumpul menyumbangkan suara di karaoke, akan bersambut, tanpa perlu panjang lebar. Bahkan salah satu teman sudah membuat list daftar lagu yang hit dan enak untuk dinyanyikan.

Lain lagi saat, suatu pagi saya bertemu dengan teman di lobi kantor menuju lift. Sambil menunggu saya tanya,"gimana kabarnya?" Tiba-tiba dia jawab,"parah nih, tadi macetnya minta ampun..."

Lho...? Waduh.....

Jadi ingat suatu ketika di kantor lama di bilangan Sudirman, saya mempunyai bos yang kalo ketemu selalu bertanya,"Dik, gimana? Bereskan?"
Biasanya saya jawab,"aman pak, jalan."

Setelah berjalan beberapa waktu, lewat setahun bekerja di sana, saya mulai memperhatikan, lho kok pertanyaannya sama dan ke semua orang yang beliau temui. Sempat terpikir, nanti kalau beliau tanya lagi saya akan siapkan jawaban dengan pertanyaan juga... (jahil-nya mulai muncul nih).

"Dik, gimana? Bereskan?"
Saya jawab,"apanya pak? yang perlu diberesin apa lagi pak?"
Nah, pada gilirannya, beliaulah yang bingung. Kok dijawab demikian... ha ha ha. Bahasa memang ndak mudah lho, apa lagi bila kita berpegang pada persepsi masing-masing.

Demikian sharing ini. Monggo bila rekan pembaca memiliki pandangan dan pemikiran lain. Matur nuwun. Tuhan memberkati.

Jakarta 11:12. Des6,2011







November 27, 2011

Pemilikan atau Kemilik'an

Sesuatu baik yang berwujud dan tidak berwujud yang ingin kita "miliki" kadang dapat, walau bahkan seringkali dapat mencelakakan kita. Menurut hemat saya, rasa terbebani saat rasa tersebut benar-benar mendera kita untuk "segera" memiliki hal tersebut. Sekali lagi hal ini dapat berwujud dan tidak berwujud.

Sahabat sekalian yang pernah jatuh cinta, apalagi saat sekolah dulu, dalam masa pubertas merasa naksir lawan jenis dan ingin memilikinya. Sebagai reminder, saat orang yang kita taksir tersebut ngobrol dengan teman lain saja, kita begitu merasa terbuang.... Hayo mengaku, apakah pernah mengalami rasa itu?

Atau saat sekolah menengah atas SMU (dulu SMA) saat rekan atau tetangga yang seumur sudah mengendarai sepeda motor, maka demikian kita menginginkannya untuk memiliki untuk mengendarainya. Freedom ...... katanya. Apakah memang demikian rasa yang akan diperoleh setelah barang yang demikian kita inginkan untuk dimiliki telah kita peroleh?

Sebentar coba kita bongkar sedikit saja....

Rasa atau roso saat menguber hal yang ingin kita miliki tersebut demikian membuat adrenalin kita membumbung tinggi, passion, semangat, rasa "ser" bila berdekatan dengan "incaran" membuat rasa yang tidak dapat dilukiskan.

Nah saat akan "nembak" calon untuk dipacari tersebut, seperti kita mengambil keputusan hidup dan mati. Bagaimana kalau tidak berhasil, bagaimana bila ditolak? Apakah rasa malu, apakah rasa marah? Kecewa? Sepertinya kita mau mati saja, atau mau ganti kulit, ganti identitas, ganti KTP dan apapun untuk tidak usah ketemu lagi deh.....

Saat "menyatakan cinta atau melamar pacar tersebut" menjadi klimaks kita. Nah itu puncaknya.

Pertanyaan penting adalah bagaimana kalau ditolak? bagaimana kalau diterima? Apa perasaan kita? Senangkah? bahagiakah? untuk berapa lama? selamanya kah?

Yang pasti adalah babak baru akan kita alami. Apakah kita sudah siap untuk mengalami perubahan tersebut?

Banyak dari kita menjadi kecewa setelah "memiliki"nya. Kok cuma segitu ya? Nah rekan sahabat, mungkin ini bagian dari kita "surfing" di grafik rasa tersebut, setelah klimaks kita turun lagi...

Demikian pembuka/appitizer tentang pemilikan ini. Monggo bila ada hal yang tidak sesuai dengan apa yang sahabat pembaca alami atau pikirkan. Matur nuwun. Tuhan memberkati.


Jakarta 14.34 Nop27,2011

Rindu untuk pulang

Saya yakin sahabat-sahabat pembaca pernah mengalami rasa rindu yang amat sangat untuk pulang. Kata pulang di sini dapat berarti sangat luas dan dalam. Ada arti kata pertemuan yang amat sangat maha dahsyat.

Pertanyaan berikutnya adalah bertemu dengan siapa? untuk apa? bagaimana perlu diadakan pertemuannya? di mana? kapan bertemunya?

Beberapa rekan akan dengan mudah menjawab pertanyaan terakhir yaitu kapan bertemunya? yakni secepatnya, atau kalau boleh diminta untuk dikabulkan Gusti Allah adalah sekarang waktunya. Atau beberapa jokes mengatakannya," seharusnya sudah dari kemarin dong..." Tentu ungkapan jokes ini menjadi sangat kurang ajar.

Apakah dengan diadakannya "bertemu" dengan yang ditunggu dan dirindukan tersebut rasa kangen kita sudah terselesaikan? Settled down, kata orang Barat. Coba rekan renungkan lebih dalam.

Bila rasa tersebut demikian mudah, dan murah tentu saja siapa/apa dan bagaimana cara "pulang" tersebut menjadi tidak demikian berharga. Kalau rasa rindu tersebut cukup dipenuhi dengan kita pulang ke rumah, bertemu dengan pasangan hidup dan anak-anak terkasih, tentunya tidak demikian saja sudah dikatakan "lunas".

Nah sahabatku, ternyata pulang, menjadi sangat sakral saat kita benar-benar mempersiapkannya dengan baik (lahir, batin, pikiran, tentu saja mental). Bila kita over expextation, maka saat orang yang kita temui ternyata "biasa" saja, maka kita akan kecewa, dan nilai dari rindu tersebut dapat segera menjadi kecewa dan kalau keterusan menjadi benci. Waduh....kok menjadi semacam kutuk ya?

Apa sebaiknya kita mengubahnya menjadi persiapan dengan modal under expectation? Sehingga setiap apa respon serta apapun keadaannya menjadi berkah untuk kita. Dan menjadikan nilai dari pulang karena rindu lan kangen tersebut membumbung tinggi?

Setelah mengendapkannya dalam beberapa waktu, saya memperoleh pengalaman yang luar biasa saat kita benar-benar merelakan (hanya kata ini yang saya rasakan cukup pas) sebab kalau pasrah kok kadang dapat diartikan pasif. Berasal dari kata rela, yang merupakan tindak keputusan kita untuk siap menerima apapun (sekali lagi apapun) hasil yang diterima, selama apapun upaya dan ikhtiar sudah kita lalukan. Dan terpenting sudah dikawal dengan doa kepada Tuhan Gusti Allah kita.

Demikian Rindu ini ingin saya bagikan pada sahabat sekalian. Matur nuwun. Tuhan memberkati sahabat sekalian.

Jakarta 14.18 Nop27,2011

Unfinished business

Selamat pagi sahabat pembaca sekalian...

Unfinished business, demikian orang sering menamakan untuk sesuatu keinginan atau tugas yang belum terselesaikan. Ada kalanya hal ini disebabkan oleh kurangnya kita fokus pada halya atau bahkan sudah fokus tetapi karena dilakukannya dengan di-"sambi" maka seolah bukan prioritas. Juga ada kemungkinan kita sudah fokus, sudah diprioritaskan, kok belum juga selesai, bahkan makan waktu cukup lama dan panjang.

Bila yang terjadi demikian, maka yang terkena dampaknya adalah makan waktu, pikiran, serta menjadi beban tambahan, yang seolah "mencuri" sesuatu dari diri kita. Yang tentunya bila kita diamkan saja maka akan menjadi "cacat" dari diri kita, yang seolah menjadi "luka hati" yang mau-tidak-mau ya kita terima saja.

Ketidaksamaan pendapat maupun ketidaksepahaman cara yang sudah demikian mengakar dapat menjadikan kita "luka" bila bertemu atau bahkan bekerja sama. Hal ini dapat terjadi bila ada dalam hubungan rekan kerja, hubungan dengan nasabah, apalagi dalam hubungan keluarga.

Sebagai ilustrasi, ada kalanya kita bertemu dengan rekan kerja, yang kalau bertemu saja sudah "memberikan beban" yang menguras energi kita, apalagi kalau sudah bicara. Lebih jelas lagi bila saat bertemu, yang dibicarakan adalah mengenai ketidaksukaan atau kelemahan orang lain, atau pekerjaan orang lain yang tidak selesai. Lain waktu, yang dibicarakan adalah masalahnya dengan keluarganya yang memang tidak diselesaikannya. Sebab menurutnya yang salah adalah keluarganya.

Pemikiran dan pendapat yang "out-in" sering menimbulkan perasaan self-pitty, yaitu perasaan mengasihani diri sendiri yang berlebihan. Tetapi bila tidak (mau) diselesaikan akan menjadikan keadaan confort zone untuk orang tersebut.

Apakah saya pernah mengalaminya? Ya jelas pernah. Wong saya juga manusia. Human being sekaligus human doing. Penting adalah seberapa kita menghadapinya. Mau diselesaikan atau "dibuang" saja atau "ya sudahlah", seperti lagunya Bondan Prakoso itu....

Monggo sahabat, kalo memiliki pendapat lain. Matur nuwun. Tuhan memberkati selalu.


Jakarta 8.46 Nop27,2011

November 26, 2011

Deja vu

Mau sedikit berbagi, hasil dari perjalanan seminggu kemarin ke beberapa daerah yang begitu indah.

Banyak dari kita sering merasa bahwa kalau kita ketemu dengan seseorang, berada di suatu daerah atau terjadi sesuatu, penjelasan yang mudah adalah ...ah itu sih kebetulan, ndak ada lain dong....

Baru mendarat di Asia Kecil, masih pukul 04.30, sudah dijemput oleh rekanan di daerah tersebut, masih sepi, dingin mencekam, jalanan sedemikian lancar, berada di pesisiran... terlihat masih meriahnya lampu-lampu menerangi subuh pagi itu. Dengan seijin rekan tersebut, kami berhenti di pinggir jalan dan ingin hati memotret indahnya lampu jembatan, lampu hiasan mesjid besar serta lampu-lampu perahu nelayan.... wow indahnya. Semakin mencekam indahnya karena udara sedemikian dingin, 5 derajat ditambah dinginnya angin...

Tidak terasa, kok rasanya seperti pernah di tempat tersebut (ndak tau kapan dan berapa lama....) Aneh ya. Seperti kita familiar dengan suasananya, orang-orangnya, bangunan-bangunannya, bahkan bahasanya kok seperti terdengar pernah ........

Pagi harinya sewaktu makan pagi, lokasinya berada di lantai 7, wow, di kejauhan, terlihat ada selat (laut kecil) yang memisahkan daratan kita dengan daratan seberang, dengan aneka warna atap rumah terlihat menyusun bukit di seberang.... Kok seperti pernah ya...... Hi hi hi, apa ini mimpi? Tanpa terlihat rekan yang menemani breakfast tersebut, saya cubit paha saya, untuk memastikan bahwa saya tidak bermimpi.

Rasanya seperti pernah ya.....

Demikian sharing ini, jadi apa ini yang dinamakan deja vu? Kok kayaknya pernah ya.... Energinya mempengaruhi jiwa dan "roso" ini. Tapi ndak bisa dijelaskan. Ya sudah disimpan saja deh.

Matur nuwun sudah menyempatkan membaca sharing ini. Monggo bila ada yang tidak sependapat. Tuhan memberkati.

Jakarta 23.16 Nop26,2011

November 01, 2011

Bertanya atau Rekonfirmasi ?

Suatu sore, anak saya bertanya,"pak, boleh aku minum es krim?" Sementara diketahui bahwa dia sedang pilek dan sedikit batuk. Bagaimana menurut rekan pembaca?

Bila kita ingin menyenangkan anak tersebut, tentunya akan kita setujui, tetapi bila kita melarangnya, apa yang akan terjadi? Akan marahlah dia dan mutung ngambek. Kebetulan, kejadian ini hari Sabtu kemarin, saya jelaskan bahwa kamu boleh minum es krim nanti hari Selasa. Jadi dimata si anak adalah "harapan" akan bisa minum es krim, walau saya tidak melakukan larangan.

Tadi pagi-pagi sekali, dia membangunkan saya dan mengatakan," pak, ini kan hari Selasa, jadi aku boleh minum es krim kan?" Terdengar di kalimatnya bahwa dia senang sekali, juga terlihat di mata nya. Now it's the time....

Pernahkah rekan pembaca mengalami kejadian seperti di atas (tentu dalam konteks dan skala) yang berbeda.

Bila kita bertanya pada atasan atau pasangan, apakah rekan sudah "menyetel" jawaban yang ingin didengar atau betul-betul membutuhkan jawaban yang sebaiknya?

Jadi bila ternyata dijawab "tidak" apakah kita siap? Ataukah kita mengharap penjelasan? Atau rekan justru menginginkan adanya "harapan"? Jadi apakah penting bila "tidak" sekarang tetapi "iya" nanti/besok/tahun depan?

Nah bila yang memberi jawaban demikian adalah Gusti Allah kita? apakah kita akan mutung/ngambek? Lalu menganggap Tuhan tidak mendengar doa dan permintaan kita? Padahal kita bertanya tetapi sudah "mendikte" jawabannya pada Tuhan, menurut "mau" kita.

Hayooooooo........tidak mudah......

Demikian sharing ini, matur nuwun sudah meluangkan waktu.

Jakarta 14.48 Nop01,2011

Kata Tidak dalam Arti lain

Pagi ini, membaca cerita tentang Raja Daud, sungguh sangat menarik perhatian. Setelah beliau menjadi Raja atas Israel, dimana saat keadaan kerajaan dan pemerintahannya tenang dan damai, beliau mulai memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan untuk pengungkapan rasa syukur pada Tuhan Allah yang telah menjaga, mengawal serta membuat segalanya terjadi.

Terbetik olehnya, bahwa Raja Daud ingin membangun rumah Allah, sehingga "api" Tuhan tidak hanya berada di tenda melainkan di tempatkan di rumah Tuhan Allah yang megah.

Dipanggilnyalah Nabi Nathan, ditanyakannya perihal rencana yang sedemikian baik. Menurut pikiran dan akal sehat, tentunya rencana ini sudah sedemikian baik dan luhur, tentu tidak akan ditolak oleh Tuhan Allah. Tetapi, Tuhan melalui Nabi Nathan, menyampaikan, bukan soal baik dan luhur untuk menjalankan rencana tersebut. Melainkan Tuhan punya rencana lain.

Dhuaaaarrrrrr, lho kok????

Wong rencana baik dan luhur kok ditolak?

Coba rekan-rekan pembaca pikir, kurang apa lagi, apakah Tuhan punya rencana lain? Apakah salah bila Raja Daud yang membangun "rumah Tuhan" ini? Bukankah rencana baik, bagus dan luhur akan tetap baik siapapun yang melakukannya?

Ternyata Tuhan memiliki rencana lain, sebagaimana disampaikanNya pada Nabi Nathan, bahwa yang akan membangun Rumah Tuhan adalah Putra Raja Daud. Dimana dimata Tuhan, tugas dan peran Daud sudahlah sedemikian berkenan dihadapanNya. Tetapi intinya tugas membangun tersebut "bukan" tugasnya. Titik. Bukan soal salah atau penolakan.

Jadi "pengalihan" tugas, tidak sama dengan pendisiplinan atau penolakan oleh Tuhan.

Nah, rekan-rekan pembaca, apakah rekan pernah mengalami kejadian, bahwa rencana yang baik, bahkan luhur, sudah dibuat detil, terperinci, bahkan kemungkinan salahnya juga kecil, tetapi kok tidak dapat terlaksana dengan baik.... Bila menyitir kejadian di atas, perlu rasanya kita selalu "mendengarkan" Tuhan apakah ini sudah yang terbaik.

Demikian sharing ini. Monggo bila rekan pembaca memiliki pendapat lain. Matur nuwun.

Jakarta 14.37 Nop01,2011


October 31, 2011

Runtuhnya Kekuatan Kepercayaan

Baru saja, terbayang oleh saya, bahwa bagaimana rasanya bila kita mengalami hal yang begitu meruntuhkan jiwa dan kepercayaan.

Misalnya, kita percaya pada seseorang, sesuatu atau apapun juga, ternyata pada suatu ketika, hal tersebut berbeda dengan yang kita yakini.

Ilustrasinya sebagai berikut: apakah pernah terbayang oleh rekan-rekan bahwa orang tua kita merupakan orang yang begitu sayang pada kita, ternyata bila kita baca di media, ada tuh orang tua yang tega menyengsarakan anaknya. Eh, usut punya usut, ternyata orang tua sambung atau orang tua tiri. Begitu lekat di pikiran kita (hati kita) bahwa kalo orang menyayangi tentunya akan memperhatikan, mendengarkan, mendidik serta mengawal kita sampai kita bisa berdiri sendiri. Eh, nyatanya bisa begitu berbeda. Maka runtuhlah kepercayaan kita.....

Ilustrasi yang lain: pernah suatu ketika, saya ikut klub sepak bola. Dalam pikiran kita, tentunya pelatih, manager serta pemilik klub ingin agar kesebelasan yang dibina dan dimiliki tersebut selalu membawa kemenangan. Sehingga membanggakan. Eh.....ternyata pada suatu ketika pertandingan yang menentukan klasemen untuk divisi kotamadya, ternyata di tengah pertandingan, sang pelatih didampingi manajer mengatakan, kita ndak perlu begitu kuat menjaga lawan, yang kalo diterjemahkan dengan bebas, kalo mereka lebih kuat ya sudah, ndak usah fight sekuat kita.....Lho? kalo kemasukan gol gimana? Ternyata jawabnya, ya sudah, kita kan lain kelas.

Usut punya usut ternyata, "ada main mata". Waduh...kok begini ya Gusti? Runtuhlah kepercayaan yang kita gantungkan pada para tetua tersebut.

Menurut kitab suci yang saya baca, dan baru coba menggali, ternyata Gusti Allah kita itu luar biasa...dalam keadaan apapun, dan bagaimanapun, tidak akan meninggalkan dan menelantarkan kita walau sedetikpun. Sebagai mahluk ciptaanNya yang seringkali lalai, bahkan mengabaikan (dan tepatnya menghinaNya pun) tetap dicintainya dengan luar biasa.

Jadi bila demikian, rekan-rekan pembaca, apa lagi yang dapat menjadi "cantolan", tonggak penggangan kita bila bukan Gusti Allah yang Maha Kasih tersebut.

Apa kita masih mau bergantung pada seseorang, peran, jabatan, barang, atau apapun selain Gusti Allah?

Monggo digali...... Matur nuwun sudah meluangkan waktu untuk membaca renungan ini. Tuhan memberkati rekan sekalian.

Jakarta 14.38 Okt31,2011



Emosi, Pengetahuan dan Dusta 1

Selamat pagi rekan pembaca yang saya cintai.

Sejak 2 hari lalu, hati saya gundah akan apa yang dapat dan mungkin terjadi pada diri maupun sekitar saya. Puji Tuhan, alhamdulilah, ternyata saya diberkati Tuhan dengan pasangan hidup yang demikian sabar mendengarkan kegundahan ini. Juga dengan anak-anak yang dengan keadaannya memberikan warna hidup ini lebih terang dan cerah.

Jadi apa yang perlu dikhawatirkan?

Setelah dijewer oleh tangan Gusti Allah, ternyata bahwa saya telah kurang sabar dan bertahan. Bahkan cenderung mencari pengetahuan untuk mengetahui dan mengerti kondisi kemanusiaan ini. Sehingga bukannya menemukan terangNya malah justru kabut hitam tebal ketidaktahuan.

Ilustrasi sederhana baru ditiupkan ke telinga saya, bahwa emosi ini ibaratnya tenaga besar mobil Amerika ber-cc besar, yang kalo kita tekan kopling terlalu lama akan berakibat selip dan tergelincir. Alih-alih mengangkat kaki agar tidak menginjak gas, kita berharap ada pengetahuan yang menjelaskan apa maksud adanya gas, kopling, rem bahkan kemudi di kendaraan tersebut.

Alih-alih belajar mengerti niatan kita menginjak gas di kendaraan kita, tetapi kita justru mencari pengetahuan kenapa kendaraan kita kok tidak berjalan maju? Jadi godaan untuk mengerti niat dimatikan oleh pengetahuan teknis untuk memuaskan emosi kita.

Sehingga tidak mengherankan, kalo kita temui dusta hanya karena kita menutupi pengertian tentang niat perbuatan vs pengertian tentang hal teknis (baca: tips-tips praktis) saja.

Demikian melelehnya emosi karena ngotot mencari pembenaran telah membuat saya menabrak tembok pengertian. Waduh....

Jakarta 11.03 Okt31,2011

October 30, 2011

Relationship 1

Tadi malam saya baca bukunya Les Parrot III Phd, yang berjudul High Maintenance Rwlationship. Waduh, rasanya kok seperti dijewer dan ditampar-tampar... Baru halaman 1 saja sudah mengatakan demikian "...sewaktu kanak2, saya tidak pernah berpikir untuk dengan sengaja menjalin suatu hubungan dengan seseorang. Semua itu terjadi begitu saja. Dan jika karena satu alasan, hubungan itu tidak bewrhasil, saya segera meninggalkannya tanpa harus merasa pusing maupun repot2."

Coba rekan pembaca, rewind lagi kejadian zaman kecil, apakah benar demikian? Rasanya sih demikian. Orang sono bilangnya "no hard feeling" lan enteng aja.

Tuan Parrot meneruskan,"Namun, suatu saat saya mulai mengenal percekcokan dalam hubungan dewasa, dan persoalan itu menjadi serba tidak pasti. Saya mengetahui bahwa beberapa orang lebih sulit, bahkan mustahil untuk diajak bergaul. Misalnya , saya mengetahui bahwa sahabat-sahabat yang dipercayapun dapat mebgkhianati saya. Orang-orang berkuasa yang saya kagumi dapat menghina saya. Kritik yang terus-menerus dilontarkan oleh seorang rekan kerja dapat melukai hati saya. Bahkan, anggota keluarga pun dapat meninggalkan saya."

Nah ini yang "bagus", digarisbawahi oleh Tuan Parrot,"Namun, saya pun tahu bahwa saya tidak dapat memutuskan hubungan begitu saja setiap kali saya menghadapi rintangan, kecuali saya ingin menjadi pertapa.". Nah lho... Ekstrim kan ....

Kalo saja tuan Parrot menjelaskan demikian, dan kita sedikit banyak mengaminkannya, apa iya kita mau lari? Mau menggali lagi kenapa ya? Atau justru kita mau memilih jadi pertapa saja?

Monggo rekan pembaca memutuskan sendiri, yang kalo ndak mau sendiri mungkin mau bareng2...
matur nuwun.

Jakarta 08.55 Okt30,2011

October 26, 2011

Ketularan

Kalau tetangga yang sebelah duduk di kendaraan umum mulai batuk-batuk, sentrap-sentrup pilek, maka mulailah kita khawatir kalau ketularan influenza.

Ada kejadian lain, misalnya saat kita mulai keranjingan olah raga, sebut aja, jogging. Dimana setiap sore, selepas pulang kantor, maka mampir ke Gelora Senayan untuk jalan kaki cepat selama 5 putaran. Karena badan enak, maka kita pengin bisa menularkan kebiasaan "baru" kita pada orang lain. Entah karena badan kita merasa enak, lalu pengin ngajak; atau niat yang lain yaitu mencari teman sehingga lain kali sudah ndak jogging sendirian.

Nah kalo kejadian berikut ini adalah lain, yaitu bahwa teman sepermainan merasa "tertanggung" dengan sikap atau tindakan teman baru. Lalu mulailah semua prasangka dan wujud ketidaksenangan dicurahkan sehingga memperkuat kita dan para pendengar "ajakan" lainnya untuk juga "menjauhi" teman baru tersebut.

Jadi bila dilihat sepintas, tular, menularkan atau ketularan, sebaiknya dianalisa lebih jauh, apakah memang penting? Apakah mempengaruhi hidup kita? Atau benar-benar mengganggu atau justru bermanfaat untuk kita? baik secara individu maupun kelompok.

Demikian rekan pembaca, sekedar "secuil" pandangan saya. Bila memiliki pandangan lain, nggih monggo kerso.

Jakarta 15.55 Okt28,2011

October 24, 2011

Merasa ada

Merasa ada vs merasa kekurangan, merupakan jenis rasa yang sering menghinggapi kita semua.

Pernah suatu ketika penulis mengalami keadaan kekurangan, dana terbatas, untuk hidup sehari-hari, baru mulai kerja. Saat itu, yang dilihat hanya "ke atas" saja. Mulailah berandai-andai, kalo nanti gajian, mau makan di restoran A, atau mau punya mobil yang AC-nya dingin atau pengin nabung, sehingga saat libur minta cuti bisa ke Singapura....

Nah saat karir beranjak, dan makan di restoran bisa dilaksanakan, kendaraan punya walau tidak perlu yang wah, atau libur bisa memilih dalam negeri atau luar negeri dekat. Mulailah keinginan yang lain, yang juga masih melihat "ke atas".

Sehingga pada suatu saat, sambil jalan-jalan sore, sepulang dari kantor. Waduh hidup itu sebenarnya uenaaaak banget. Bangun pagi; disambut anak pamit mau ke sekolah, mau mandi;ada air, mau makan; ada supermi, mau ke kantor; ada yang bisa ditebeng'in, kerja; ada mitra kerja, pulang kantor; masih ada yang nunggu di rumah. What a wonderful world. Matur nuwun Gusti Allah.

Apa iya perlu dan penting bila kita pergi ke kantor, makan, bekerja, berlibur, menempel dengan "merek -- brand" yang hebat-hebat?

Betul bahwa penulis sendiri masih jauh dari sempurna. Dan kalo dalam keadaan "sadar" begini, maka timbullah pertanyaan tersebut menyeruak.

Silakan, bila rekan pembaca memiliki pendapat yang lain, berbeda atau menyanggah.

Jakarta 13.17 Okt24,2011

Que sera sera

Mana yang lebih mudah, menahan diri atau menyerang pihak lain walau dalam bentuk defensif?

Suatu ketika, saya dihadapkan pada pilihan untuk mengundur kan diri. Walau hal ini telah dilakukan dengan baik, sopan, hati-hati dan perlahan-lahan oleh atasan saya, tetapi tetap saja ada rasa yang mengganjal dalam dada.

Why? Mengapa hal ini terjadi? Kenapa terjadi pada saya? Apa tujuannya?

Ternyata semakin lama saya rasakan, renungkan dan endapkan, ternyata jawaban atas pertanyaan saya tersebut di atas tidaklah kunjung datang. Mengadu pada atasan untuk bertanya? Sudah beberapa kali ternyata tidaklah memberikan jawaban yang memenuhi pertanyaan tersebut di atas. Sebab jawabnya adalah bahwa sabar, sedang terjadi perubahan.

Makin menarik sebab ternyata hal ini ditambahi oleh sikap sahabat yang selama ini dekat menjadi berubah, seolah-oleh saya mengidap penyakit kusta yang sangat menular. Pandangan sinis dan anggapan tatapan mata seolah "itulah...karena kamu telah berbuat........"

Wow. Ada apa ini Gusti?

Dengan berjalannya waktu, ternyata maksud Gusti Allah menjadi jelas, bahwa banyak pertanyaan tidaklah (perlu) ada jawabannya. Kedua, semakin kita ingin tahu, ternyata semakin kita dibutakan dan ditulikan serta ditumpulkan. Ketiga, doa merupakan sarana satu-satunya untuk menyerahkan jalan hidup ini pada Nya.

Sehingga pada saat terjadinya peralihan lain, perubahan besar, ternyata kita sudah di"terangi" oleh cahayaNya. Hidup lebih enteng dan lepas dari kelekatannya.

Jadi kembali pada pertanyaan di atas, apakah kita layak menahan diri atau kita bersikap defensif?

Monggo, rekan pembaca menyimpulkannya sendiri.


Jakarta 12.45 Okt24,2011

October 16, 2011

Sabar (1)

Sabar, atau patient. Sering kita dengar bahwa kata ini sederhana, tetapi sulit sekali mempraktekkannya.

Sebagai ilustrasi dan contoh, seberapa sering kita temui dalam perjalanan, sepeda motor, kendaraan umum serta mobil pribadi menjadi tidak sabar, apalagi bila sesama pengguna menjalankan kendaraannya dengan cara zig-zag. Bahkan kita lihat pada perempatan jalan, pengemudi sepeda motor begitu lihat jalan sedikit ada kesempatan, maka tidak perlu menunggu lampu hijau, tancap gaaaaasssss.

Kalau belok, tidak perlu lihat kendaraan dari arah lainnya, sehingga bila pengemudi lainnya melakukan hal yang sama, maka dapat terjadi kecelakaan. Dan bila hal ini terjadi, maka hampir bisa dipastikan, sesama pengendara motor (walau tidak tau masalahnya) ikut membela "sesamanya" apalagi bila "musuhnya" mobil. Wow....

Pernah saya praktekkan, bahwa kalau didahului oleh pengendara lainnya, maka saya anggap dia sedang buru-buru mau (maaf) buang hajat. Mohon dimaafkan, jadi ndak perlu ikutan "hati menjadi panas". Cukup mengurut dada sendiri aja.

Apa ada rekan pembaca yang punya tips untuk menjadi lebih bersabar? Matur nuwun.



Jakarta 22.15 Okt16,2011

Lemah lembut

Seringkali kita bingung mengartikan kapan kita perlu melakukan lemah lembut dan bedanya dengan lemah.

Lemah lembut, sebenarnya lebih mudah diilustrasikan pada binatang kuda, binatang ini bertenaga besar, dan bila tidak kenal maka sikapnya liar, sulit sekali mengendalikannya. Berbeda bila binatang ini didatangi oleh pawangnya atau penunggangnya. Tiba-tiba sang kuda menjadi penurut, jinak, walau kita tau bahwa binatang ini tetap memiliki tenaga yang besar, tetapi dapat disalurkan pada "saat" yang tepat.

Lemah lembut, bila dikembangkan, maka sikap ini benar-benar firm tetapi, tidak (perlu) menuntut. Sabar, tetapi melakukannya dengan sepenuh hati. Patient sekaligus passionate, tidak perlu meledak-ledak.

Hal di atas menarik perhatian kita belakangan ini, banyak kita temui, baca serta dengar, bahwa bangsa Indonesia yang terkenal lemah lembut, tiba-tiba menjadi garang dan meledak-ledak. Menuntut hak, bila perlu melakukannya dengan demostrasi.

Luar biasa bukan? Bagaimana pendapat rekan pembaca? Monggo


Jakarta 22.02 Okt16,2011

October 14, 2011

Cinta (2)

Setelah membaca secuplik dari buku karangan Anthony de Mello, judulnya Awareness hal. 85," Cinta sejati menyingkirkan rasa takut. Bila ada cinta maka tidak ada keharusan, tidak ada tuntutan, tidak ada ketergantungan. Saya tidak menuntut Anda untuk berbuat sesuatu demi kehabagiaan saya; kebahagiaan saya tidak terletak dalam diri Anda.... Saya menikmati kebersamaan dengan Anda bukan atas dasar ketergantungan... yang benar2 saya nikmati adalah sesuatu yang jauh lebih besar daripada diri saya dan diri Anda bersama-sama." Wow. Betapa indahnya... Ndak bisa mengatakan lebih jauh, yang terucap hanyalah "Puji Tuhan", karena boleh mengalami hal ini.

Coba rekan-rekan pembaca sekali lagi perlahan-lahan... Monggo...

Nah, jadi selama ini rasa cinta kita yang mana ya? Apalagi ada yang mengatakan bahwa antara love and hate itu sangat tipis lho.... Lha cinta kok dicampuradukkan dengan benci. Opo ndak pamrih itu namanya? Jual beli, transaksi, yang terjadi kalo kamu mau melakukan yang aku mau.

Hayo, monggo dirasakan dulu, direnungkan, kalo ada waktu tentunya....


Jakarta 11.39 Okt14,2011

October 11, 2011

Quality Time

Seringkah kita ketemu dengan kata ini? Quality time.

Biasanya kita temui pada orang yang mengaku dirinya sibuk dengan pekerjaannya, sehingga ada sebagian hal yang penting terlewatkan. Pada umumnya yang terlewatkan tersebut adalah pertemuan dengan keluarga inti, yaitu pasangan hidup dan anak-anak.

"saya penganut quality time, sehingga walau saya jarang bertemu (baca: "bercengkerama") dengan istri/suami atau anak-anak, mereka tetap dekat kok dengan ku". Hayo, pernahkah kita menyebut kalimat ini? atau mendengar kalimat ini?

Beberapa waktu lalu saat duduk di penerbangan dari Jakarta ke Balikpapan, di hari sabtu, saya tercenung dengan kalimat ini. Bapak di sebelah saya menceritakan bahwa kalo hari sabtu biasanya saya pergi golf dengan rekan satu geng. Sementara bapak satunya menjawab, kalo saya biasanya pergi ke mall jadi "supri" istri dan anak2. Langsung sontak mereka tertawa terbahak-bahak.

Lho kalo saya biasanya ngapain?

Dengan miris, saya menyimpulkan bahwa penyebutan quality time adalah sebuah pengingkaran bahwa kita tidak dapat memenuhi waktu bercengkerama dengan keluarga yang biasanya dipenuhi bila kita memiliki waktu. Mohon digarisbawahi, bahwa waktu di sini artinya waktu yang kita alokasikan dan sediakan untuk 100% menyimak dan mengikuti dengan sadar dan rela untuk keluarga tercinta kita.

Sehingga jangan menyalahkan anak atau pasangan, kalo ketemu (atau menelpon) kita hanya dengan pesan singkat, "Pak, aku perlu uang untuk beli hardisk komputer yang tadi pagi crash". Dan saat ditelpon kita merasa bahwa kok mereka membutuhkan kita hanya kalo "ada perlu"? Apa aku ini dianggap pohon duit?

Jadi?

Monggo rekan pembaca kalo memiliki pendapat lain....

Jakarta 13.50 Okt11,2011

Melayani

Apa yang timbul bila kita menyebut kata "melayani" ini?

Seringkali kita membayangkan bahwa melayani berarti melakukan tindakan untuk seseorang dengan tidak perlu mengindahkan apa yang kita rasakan. Apakah kita senang melakukannya? apakah rela kita melakukannya? apakah kita mengharapkan sesuatu dari tindakan kita? apakah kita justru membalas tindakan seseorang tersebut, sehingga kita melakukan pelayanan itu?

Apapun jawabannya, penulis menemukan sesuatu, bahwa dengan melakukan pelayanan, berarti kita merelakan sebagian (atau seluruh) ego kita, sekaligus tanpa kehilangan kendali.

Mungkin dari rekan pembaca akan merasa terganggu pada penggalan kedua kalimat diatas. Wong kita merelakan sesuatu kok ndak kehilangan kendali. Apa bisa? apa mungkin?

Disinilah tantangannya, sebab bila kita rela dan "cul-culan" (atau bahasa jawa-nya adalah "wis, tak cul no, sak karepmu dewe...) maka hal ini berarti kita merelakan, tapi masih ada yang kita lepaskan dengan tidak rela (baca: pamrih).

Maksud penulis pada pengartian di atas adalah: bahwa melakukan pelayanan adalah pilihan (choice) dari pelaku, sehingga dengan sadar dan bijaksana, tentunya disikapi dengan baik yaitu tetap dalam kendali pelaku yang bertanggung jawab. (bukan cul-culan).

Demikian sedikit curcol penulis, monggo bila ada rekan pembaca yang berkomentar lain....

Jakarta 13.37 Okt11,2011

Takut

Takut merupakan rasa yang kita alami bila ada ancaman yang sedemikian besar sehingga kita sendiri merasa tidak dapat mengatasinya. Ada dilema saat hal tersebut terjadi, apakah mau dihadapi? atau mau dihindari?

Takut, juga dapat dihubungkan dengan rasa kehilangan yang sangat dalam. Misalnya, takut kehilangan pacar, sehingga apa saja yang sang pacar minta sedapat mungkin akan kita penuhi atau kabulkan, bahkan kalaupun permintaan tersebut mulai tidak masuk akal sehat. Sebab hal ini ditujukan agar si-dia-nya tetap nempel dengan kita.

Takutpun bisa dihubungkan dengan marah. Sebab kalo lawan bicara melihat kita takut, maka dia dapat semena-mena bertindak pada kita. Jadi sebaiknya kita terlihat powerful, sehingga tidak kelihatan lemah dan takut.

Coba rekan sekalian menghubungkan kedua sebab diatas, bahwa takut kita disebabkan oleh rasa kehilangan yang amat sangat, sehingga membuat kita marah, dan selanjutnya tanpa panjang pikir lagi kita "melabrak" orang yang menyebabkannya. Dengan catatan bila kita berani lho. Nah kalo tidak berani, bagaimana? Biasanya kita akan melakukan tindakan "melingkar", yaitu seolah menghindari konflik langsung padahal kita memutarinya lewat tangan yang "lain".

Contoh, karena selama ini keahlian kita adalah melakukan analisa dengan tajam dan baik, maka bos kita, atasan kita, rekan sekerja kita mempercayakan hal tersebut pada kita. Karena suatu hal, ada "orang baru" yang ingin membuktikan dirinya juga bernilai dihadapan bos, atasan, dan rekan kerja kita. Kira-kira apa yang kita lakukan? membantu orang baru tersebutkah? atau justru kita mulai melakukan black campagne?

Saya akan serahkan jawabannya pada rekan pembaca sekalian. Monggo.....

Jakarta, 13.23 Okt11, 2011

September 28, 2011

Ego

Seminggu lalu, saya membaca buku "One Minute for Yourself" karangan Spencer Johnson, MD. Beberapa bab awal menggugah minat saya untuk membaca lebih jauh karena idenya yang agak nyeleneh dan kontroversial dengan apa yang publik dan masyarakat umum ajarkan. Atau setidaknya menurut yang saya belajar dan dididik berbeda.

Bila sejak kecil, ibu kerap mengatakan bahwa sebaiknya kamu berpikir dan bertindak dengan memperhatikan kepentingan orang lain terlebih dulu, sebelum untukmu sendiri. Jangan dibalik, sebab kamu akan kelihatan egois, dan mementingkan dirimu sendiri.

Semakin besar dan banyak usia kita, hal tersebut semakin melekat di benak kita. Jadi sebaiknya mendahulukan kepentingan orang banyak dulu, baru boleh kita memperoleh manfaat. Setuju? Benar begitu?

Coba renungkan......

Dalam bukunya terrsebut, pak Johnson mengatakan, bahwa bila kita mencintai, peduli, dan memperhatikan diri sendiri, maka pundi2 ego kita akan terpenuhi dan bahkan luber, sehingga pada gilirannya kita akan lebih tenang, damai (dengan diri sendiri), yang berakibat akan dengan sukarela memperhatikan dan mencintai orang lain.

Dalam buku tersebut dijelaskan pada halaman2 awal bahwa kalo kita sendiri tidak menyayangi dan memperhatikan diri, bagaimana kita dapat menyayangi otang lain. Wong, pundi2 ego saja ndak terpenuhi. Dan bagaimana orang lain dapat memperhatikan kita. Karena kita sendiri ingin disayangi, ingin diperhatikan, tetapi justru (dengan terpaksa) mendahulukan orang lain. Bahkan hal ini tentu dapat menimbulkan self pitty, yaitu perasaan mengasihani diri sendiri. Nah lho....

Jadi, mana yang lebih baik dilakukan terlebih dulu? Menyayangi diri sendiri dulu, sehingga lubernya rasa itu akan membuat kita menyayangi orang lain; atau, kita menyayangi orang lain, sebab nantinya kita juga akan disayangi ? Hayo, menarik kan?

Sumonggo, kalo punya pendapat, saya persilakan.

Jakarta, 22.50 Sep28, 2011

Cinta (1)

Kata ini seringkali disamarkan dengan sayang, nafsu, peduli (care) atau bahkan suka.

I heart you. Demikian boysband SM*SH menamakannya dalam salah satu lagunya. Sampai ada hari kasih sayang sedunia, Valentine's day, yang selalu diartikan bahwa cinta selalu (hanya) digunakan untuk ungkapan perasaan antara cewe dan cowo, atau pria-wanita. Lha, bagaimana dengan cinta seorang ibu pada anaknya. Juga bagaimana dengan orang yang sangat lekat perasaannya dengan motor Harley-nya?

Apakah "rasa" itu cukup selama satu pihak (misalnya sang cowo) benar2 sayang, suka, care dan melindungi serta selalu mendoakan pasangannya? Ataukah rasa itu perlu dua belah pihak saling berbalas?

Pernah ada sahabat sewaktu SMP, mengatakan," Dik, kan kalo cinta kan tidak selalu harus bersatu...". Lho, apa lagi ini. Bagaimana penerapannya? Bahkan, salah satu rekan kerja pernah menyampaikan,"kalo cinta sih ndak perlu saling memiliki...." Macam mana pula ini?

Bagaimana menurut anda? Monggo.....

Jakarta, 22.10 Sep28,2011

Percaya dan merelakan

Dalam berhubungan dengan orang lain, baik itu dalam hidup berkeluarga, teman sekerja atau dengan sahabat, seringkali kita dengar bahwa kalo saling percaya ya ndak usah khawatir. Tapi apa hal ini mudah diterapkan?

Saat mulai pacaran dulu, bila sang pacar bertanya, "apa kamu percaya sama aku?" tentu saja kita jawab,"ya, aku percaya sama kamu". Walau saat kita liat dia berbincang dengan teman lawan jenis, hati kita jadi was-was, khawatir, apalagi kalo sang pacar bercanda dengan mesra, dan bisa tertawa lepas. Dibandingkan bila bersama kita sangat jarang hal tersebut (tindakan yang lebih loose) kita temui. Lho, kok begitu ya?

Ada buku yang penulis baca, bahwa saat hati kita turut dalam tindak tanduk, maka sesuatu yang mudah menjadi lebih sulit. Saat kita ndak punya hidden agenda (baca: ada hati) maka kita dengan mudah bicara, bercanda dan bahkan mengejek (sambil bercanda) dengan lawan jenis. Nah, coba rekan pembaca bayangkan, apakah akan sama kejadiannya bila kita punya perasaan (naksir) dengan si lawan bicara. Biasanya, tindakan kita menjadi hati-hati, bicara diatur, bercanda tidak lepas, bahkan betul-betul menjaga perasaannya.

Nah, menarik bukan.

Dalam kejadian lain, misalnya di tempat kerja. Saat kita tidak memiliki hidden agenda (misalnya mau mengharapkan ada untung persenan dari transaksi ini), maka kita akan bertindak lebih lepas, all-out, bahkan full hearted mengawal transaksi dengan tujuan untuk kepentingan bersama. Pernahkah rekan sekalian temui bahwa kita menjadi curiga dan khawatir saat rekan kita mulai demikian "hati-hati" atau demikian "menjaga" agar transaksi tersebut harus berhasil dan seolah-olah diperlakukan sebagai barang yang mudal pecah "fragile".


Pada buku lain, penulis pernah membaca bahwa, bukankah sebaiknya kita kerjakan suatu hal seolah-olah keberhasilannya tergantung dari upaya dan effort kita, sementara di saat yang sama, kita "serahkan" pada Tuhan karena hanya perkenanNya-lah, bila saatnya tepat, maka Tuhan akan mengkaruniakannya pada kita indah pada waktuNya.

Jadi fight, full-hearted, dan all-out, sekaligus, rela apapun hasilnya sebab Tuhanlah yang memnentukan indah pada waktuNya.

Paradox? Menarik bukan? Bagaimana pendapat rekan sekalian? Silakan......

Jakarta, 21.45 Sept28, 2011

September 09, 2011

Kelekatan

Rekan pembaca budiman, tentunya pernah bertemu dengan seseorang yang menyampaikan bahwa kalo aku ndak bisa hidup tanpa handphone, atau tanpa blackberry, atau tanpa dompet (tentunya yang ada uangnya kan?), dan seterusnya dan seterusnya..

Yang saya diajarkan oleh ibu dan bapak, sejak kecil, "Ndul, kamu jangan tergantung pada apapun. Sebab kamu lahir ndak bawa apa-apa, nanti juga kalo dipanggil Gusti Allah juga ndak bawa apa-apa? Wong tanah untuk menerima kamu aja hanya 2 x 1 meter." Semua pemberian Tuhan, itu semua hanya "dipinjamkan", jangan pernah merasa "nge-milik-i" apalagi menjadi seolah ndak bisa hidup kalo ndak ada.

Jadi bagaimana kita perlu bersikap?

Hidup ini mudah bila kita menyikapinya dengan "enteng". dan tentunya sebaliknya.

Pernah suatu ketika, bapak komisaris kami menyampaikan bahwa beliau tidak (akan) membawa handphone, sehingga apa yang beliau jadwalkan pada hari itu, sudah terjadwal sebelumnya. Apabila ada hal yang mendadak, ya ndak bisa berubah.

Luar biasa!! hare gene ndak pake handphone... wuih di luar kebiasaan tuh, ndak normal tuh, ndak wajar tuh. Wong saya aja kalo ketinggalan handphone, merasa ada yang hilang, biarpun ndak ada yang "nyari" (biasa sok penting kan...)

Lha kalo ada orang yang bilang, saya ndak bisa hidup tanpamu (hayo ingat kalo kita pacaran dan lagi kasmaran berat, pernah kan bilang begini?) Hayo ngaku...
Ini juga jenis kelekatan lain.

Demikian saya sampaikan. Tuhan memberkati rekan pembaca sekalian. Amin.

Jakarta 11.20 9Sep2011







Sebaiknya mana lebih dulu, ide atau uangnya?

Menyimak koran tadi pagi, dimana kepala proyek arena olah raga internasional menyampaikan pada surat kabar bahwa untuk menyelesaikan proyeknya dalam 2 bulan ke depan tidak dapat ditepati.

Apa pasal?

Menurutnya, dana dari pemerintah belum turun, sedangkan sampai saat ini kontraktor sudah "habis-habisan". Salah satu juru bicara pemerintah menyampaikan bahwa, progress perkembangan proyeknya belum diterima sehingga pencairan tidak dapat dilaksanakan. Sementara uangnya sudah siap. Dijelaskan lagi, bahwa untuk yang dianggarkan sudah siap, tapi untuk tambahan (kalo ada) belum disiapkan.

Rekan pembaca yang budiman, apa yang menarik untuk diambil hikmahnya? Kembali pada pertanyaan awal, mana yang sebaiknya ada duluan, ide (penyelesaian), progress (yang sudah dilakukan) atau dana yang disediakan?

Pada saat masih sekolah dulu, ada rekan saya, sebut saja Bun, yang selalu punya ide (bila kepepet). Suatu ketika dia ingin pergi ke Bandung.
Untuk biayanya karena belum ada, maka dia menghadap kepala Tata Usaha Sekolah, katanya, "pak, apakah bapak punya uang Rp 150.000,-?"
Dijawab, "untuk apa, untuk siapa?"
rekan saya menjawab"untuk saya pak." dilanjutkan,"bapak ada hal yang bisa saya bantu? Biar saya yang mengerjakan saja."

Pada ilustrasi di atas, terlihat "dana" duluan, ide sebagai tukar (exchange) belakangan. Tapi bila kita telusur ke dalam lagi, ide supaya memperoleh dana adalah "pergi ke Bandung", walau sebagai bentuk tukarnya adalah "kebutuhan" dari bapak kepada tata usaha tadi.

Seringkali dalam hidup kita, pemunculan pertama adalah ide sebagai bentuk tukar (transaksi) saja. Sehingga setiap pihak mencoba untuk mencari tahu apa yang menjadi "pendorong" tersebut. Menjadi masalah bila kita sudah berprasangka bahwa pihak lain (pasti) memiliki niat (pendorong) yang ndak baik sebelum bertemu dengan kita.

Sehingga muncullah "What is in IT for ME?" (terjemahan bebasnya, apa untungnya (melakukan) ITU untuk SAYA?).

Apakah ini bisa digolongkan sebagai budaya pamrih? Kalo ndak ada untungnya buat saya, ngapain kita bantu? ngapain kita tolong? ngapain kita bertransaksi dengannya? Waduh....

Apakah masyarakat sudah sedemikian jauhnyakah? Apakah kita juga demikian?

Demikian pembaca, semoga tidak membebani langkah "kecil" kita untuk menjalani hidup yang indah ini. Tuhan memberkati pembaca selalu. Amin.

Jakarta 10.55 9Sep2011

September 07, 2011

Apakah berbeda sama dengan penolakan?

Baru saja saya mengalami kejadian kecil yang begitu “kena” di hati, begitu membuat kaget, shock, dan membuat kecut.

Saat mengucapkan salam untuk menyampaikan Selamat Hari Raya (agama tertentu), dan sudah disampaikan secara sopan dan tulus, tiba-tiba teman tersebut menyampaikan, bahwa dia tidak merayakannya, juga tidak ingin mengucapkan apapun sebagai balasan.

Wow.

Luar biasa nih, selama ini saya sudah mendengar beberapa kali kalo ada beberapa rekan, teman rekan atau pihak lain bertemu dengan lawan bicara yang sudah dikenal maupun belum dikenal, sebagai salam, mengucapkan salam ini. Pada saatnya akan lawan bicara tersebut menolak dan disampaikan dengan sopan tentunya.

Kejadian ini begitu mengejutkan, shock, dan membuat kecut. Seolah kita terlempar beberapa meter ke belakang seperti terkena tenaga dalam. Duuuuaaaaaarrrrrr…….

Apakah hal ini benar? Tidak ada yang membantahnya. Apakah hal ini salah? Tidak ada yang akan mengkonfirmasi tentunya. Apakah hal ini wajar dan boleh disampaikan? Kalau ditinjau dari sisi rekan sebagai lawan bicara tersebut tentunya jujur pada diri sendiri dan setia pada hal yang dipercayainya bahwa perlu menyampaikan kepercayaannya tersebut. Agar……(bisa macam-macam alasannya)

Nah, kalo dari sisi pemberi salam? Ini tentu sangat mengagetkan. Bila kita memang menganut kepercayaan tersebut, mungkin dapat berakibat kita merasa ditolak salamnya; atau kita yang merasa ditolak. Waduh berat nih akibatnya. Kalo pada posisi bahwa pemberi salam bukan penganut kepercayaan tersebut, dan memberikan salam tersebut, bisa dua konsekuensinya, apakah dengan mengucapkan salam tersebut kita dengan serta merta “menganut kepercayaan itu kah?” atau justru kita tidak merasa apa-apa?

Bagaimana dengan rekan pembaca sekalian? Sumonggo kami persilakan bila ada komentar atas kejadian kecil ini.

Jakarta 14.46 7Sep2011

Apakah berbeda sama dengan penolakan?

Apakah berbeda sama dengan penolakan?

Baru saja saya mengalami kejadian kecil yang begitu “kena” di hati, begitu membuat kaget, shock, dan membuat kecut.

Saat mengucapkan salam untuk menyampaikan Selamat Hari Raya (agama tertentu), dan sudah disampaikan secara sopan dan tulus, tiba-tiba teman tersebut menyampaikan, bahwa dia tidak merayakannya, juga tidak ingin mengucapkan apapun sebagai balasan.

Wow.

Luar biasa nih, selama ini saya sudah mendengar beberapa kali kalo ada beberapa rekan, teman rekan atau pihak lain bertemu dengan lawan bicara yang sudah dikenal maupun belum dikenal, sebagai salam, mengucapkan salam ini. Pada saatnya akan lawan bicara tersebut menolak dan disampaikan dengan sopan tentunya.

Kejadian ini begitu mengejutkan, shock, dan membuat kecut. Seolah kita terlempar beberapa meter ke belakang seperti terkena tenaga dalam. Duuuuaaaaaarrrrrr…….

Apakah hal ini benar? Tidak ada yang membantahnya. Apakah hal ini salah? Tidak ada yang akan mengkonfirmasi tentunya. Apakah hal ini wajar dan boleh disampaikan? Kalau ditinjau dari sisi rekan sebagai lawan bicara tersebut tentunya jujur pada diri sendiri dan setia pada hal yang dipercayainya bahwa perlu menyampaikan kepercayaannya tersebut. Agar……(bisa macam-macam alasannya)

Nah, kalo dari sisi pemberi salam? Ini tentu sangat mengagetkan. Bila kita memang menganut kepercayaan tersebut, mungkin dapat berakibat kita merasa ditolak salamnya; atau kita yang merasa ditolak. Waduh berat nih akibatnya. Kalo pada posisi bahwa pemberi salam bukan penganut kepercayaan tersebut, dan memberikan salam tersebut, bisa dua konsekuensinya, apakah dengan mengucapkan salam tersebut kita dengan serta merta “menganut kepercayaan itu kah?” atau justru kita tidak merasa apa-apa?

Bagaimana dengan rekan pembaca sekalian? Sumonggo kami persilakan bila ada komentar atas kejadian kecil ini.

September 05, 2011

Hidup yang membingungkan?!

Melihat di TV tayangan meninggalnya istri penyanyi Saiful Jamil pada beberapa hari lalu menggugah ingatan saya tentang "bagaimana hidup ini perlu disikapi dan ditanggapi".

Ibu dan bapak saya sejak kecil sering menyampaikan ungkapan "urip mung mampir ngombe". Jadi apa yang terjadi di hidup kita ini hanya sebentar, yang artinya sementara. Ya, kalo namanya sementara artinya ndak ada yang abadi.

Hal inilah yang "mengganggu" pikiran saya tadi malam sebelum tidur. Sempat saya sampaikan ke istri saya, bahwa bagaimana sikap kita menghadapi hidup ini. Dibuat susah ya menjadi susah, dibuat mudah ya menjadi mudah. Lalu?

Muncul pertama, kita hadapi saja dengan mantap, bekerja, bermasyarakat, dan berkarya dengan menjalani rencana kita, seolah-olah kita hidup selamanya. Forever, ndak mati-mati, menurut kata kerennya immortal.

Kedua, membedah kata sementara di atas, ya sebaiknya kita hidup, menghadapi, bekerja dan mengambil keputusan berdasarkan apa yang ada dan dihidangkan di "depan kita saja". Ndak usah cari yang lain. Apalagi mikir yang kemarin dan yang besok, wong kemarin sudah lewat, dan besok sudah ada masalahnya sendiri. Perusahaan Nike pernah berslogan "just do it".

Menarik untuk dikaji bahwa, kedua pandangan di atas berbeda, berseberangan, tapi berdampingan. Kita ambil keputusan berdasarkan kedua pandangan tersebut. Bila kita banyak mengambil yang jenis pertama, kita memilih "berjangka waktu panjang dan luas/dalam (depth)", sementara bila kita lebih banyak mengambil yang kedua "berjangka waktu pendek dan sempit (narrow)".

Persamaan dalam kedua pandangan tersebut adalah kita melakukannya "all the way" dengan sepenuh hati. Sedikit saja kita melakukan dengan keraguan dan kebimbangan maka boleh disebut kita kurang bersyukur.

Istilah ibu saya, kalo bekerja kan namanya "nyambut gawe" bukan "nggolek gawe". Jadi ingat AA Gym beberapa tahun lalu pernah menyampaikan, kita bekerja itu menjemput rizki, dan bukan mencari rizki. Sebab kalo menjemput itu sudah "ada" untuk kita, sedangkan bila mencari itu belum tentu ada. Lagi-lagi nanti bisa mengambil rizki orang lain. Waduh....

Demikian dulu kegundahan saya pagi yang sudah beranjak siang ini. Apabila ada dari pembaca yang tidak setuju atau malah mau menambahi, sumonggo, akan saya terima dengan tangan terbuka. Tuhan memberkati selalu. Amin.

Jakarta 11.26 5Sep2011

August 18, 2011

Duh Gusti, kok jalannya makin berat....?

Rekan-rekan pembaca yang saya cintai, kapan terakhir kita mengeluh bahwa hidup yang kita hadapi makin berat.

Sekedar sharing, sejak kecil bapak dan ibu sering menceritakan bahwa pak tani bangun pagi-pagi sebelum matahari terbit berangkat ke sawah dengan semangat. Itu namanya "nyambut gawe". Pekerjaan tani dilakukan setiap hari dari pagi sampai sore. Pulang ke rumah pun dilakukan dengan semangat karena "nyambut anak dan istri". Sementara yang di rumahpun akan dengan senang "nyambut bapak" pulang dari ladang.

Dalam perjalanan pulang sore hari, selepas dari berladang dan bertani seharian, bila di jalan melewati bukit, jalan dengan membawa pacul dan alat makan terasa berat saat naik dan terasa ringan saat turun. Sedang terasa "agak" membosankan saat jalan datar.

Ibu sering menanyakan demikian di akhir ceritanya, Ndul (panggilan saya sejak kecil), pak tani tadi terasa berat waktu jalan di mana? Saya jawab, ya waktu naik bu.

Lha, orang kok sering mengeluh saat perjalanan mulai menanjak? Bukankah hal ini memang sesuai dengan harapannya? Doanya? impiannya? serta rencananya? Bahwa setiap pagi kita ingin didampingi oleh Gusti Allah, dan semoga setiap harinya memperoleh penghidupan yang lebih baik (baca: meningkat).

Coba direnungkan, apakah kita lupa dengan doa dan harapan kita, bahwa seringkali dengan beban hidup yang sama, terasa berat itu berarti jalan hidup makin meningkat, bukan?

Sebaliknya, kita juga kadang terlalu excited bahwa hidup menjadi lebih "ringan", merasa dimudahkan, bahayanya, apakah itu juga dapat berarti kita menapaki jalan yang menurun?

Demikian sharing siang ini. Apabila ada rekan pembaca yang tidak setuju atau menyanggah atau setuju, monggo dikomentari. Matur nuwun. Tuhan memberkati rekan-rekan selalu. Amin

Didik
11.50 18Ag2011

August 04, 2011

Needs vs Wants

Kebutuhan atau keinginan.... Sering kita membandingkan keinginan kita dengan kebutuhan orang lain. Bahkan ada rekan kantor yang menyebut bahwa keinginan adalah kebutuhan yang dilabel merek tertentu.

Pernah suatu ketika, seorang anak dijemput dari sekolah di sekitar Tendean Jakarta Selatan. Notabene masih SD lho, kelas 1. Mbak sudah menunggu di depan sekolah, ndak lama, terlihat sebuah mobil mendekat, lalu keluarlah sopir untuk membukakan pintu. Si anak begitu melihat mobil tersebut, lalu menangislah berguling-guling, sambil berteriak-teriak. "ndak mau! ndak mau! ndak mau pake Kijang. Njemputnya pake Alphard aja... pake Alphard aja...." Lho......

Bukankah dijemput dengan kendaraan sudah merupakan fasilitas, itu kalo ndak boleh dikatakan sebagai suatu fasilitas plus.

Nah, kalo dijemput dengan kendaraan, disopir-in, dijemput depan lobi, masih kita memilih dengan harus menggunakan merek tertentu. Itu namanya apa ya?

Ampun Gusti, kok saya jadi nyinyir begini?

Bagaimana rekan pembaca? silakan....

11.02 4Aug2011

Memberi Dulu baru Menerima

Ibu sering mengatakan bahwa kalo kamu merelakan sesuatu yang paling berharga dan paling kamu takuti atau sayangi maka Gusti Allah akan memberimu yang lebih dari kamu harapkan. Wuiiiih.... menarik kan?

Pernah suatu kali, ibu mengisahkan suatu cerita (fabel, tentang binatang, pen.), suatu saat seekor monyet masuk dalam ruang tamu nenek, saat melihat toples isi permen dan kacang goreng, bingung dia memilihnya, mana yang akan diambil dulu. Karena ia seekor monyet cerdik, maka dengan mudah dibukanya tutup tolpes permen itu dengan cara memutarnya. Agak keras mulanya, tapi segera terbuka. Dengan antusias, dimasukkannya tangannya ke dalam toples, digenggamnya permen sebanyak mungkin, sehingga tanggannya membentuk genggaman penuh dengan permen. Lalu dengan segera ditariknya tangannya itu. Makin keras dia genggam, karena takut ada yang tertinggal dan akan mengakibatkan berkurangnya permen, maka makin sulit si tangan itu keluar. Sedikit mengendur, dimajukan tanggannya itu, lalu dicobanya sekali lagi, ditariknya tangan itu, tidak dapat keluar. Setelah dicoba berulang kali dan tidak dapat keluar, maka mulailah monyet itu berisik, teriak-teriak. Ngik ngik ngik ngik......

Akhirnya nenek yang sedang tidur sore, terbangun dan dilihatnya seekor monyet sedang kesakitan, dengan satu tangan masih di dalam toples. Karena kasihan, maka coba dibantunya untuk mengeluarkan tangan itu. Saat mendekati, si monyet itu marah, khawatir akan diambil toples berisi permen itu.

Melihat kondisi tersebut, nenek tersenyum, yak ampuun....... Mungkin inilah contoh kalo kita ingin mengambil sebanyak yang kita mau tanpa berpikir bahwa upaya/cara bertindak/cara berpikir atau sikap kita hanya melihat dari satu sisi, yaitu bagaimana mengambil sebanyak mungkin secara bijak.

Bagaimana bila kita merelakan sedikit bahwa yang dapat diambil lebih sedikit, tetapi dapat bermanfaat. Apalagi tidak ada hambatan bila kita ingin mengambilnya berulang kali?

Seringkah rekan pembaca menghadapi kondisi seperti ini? Seolah waktu hanya saat ini, seolah pihak yang dapat memperoleh manfaat hanya kita sendiri, seolah ndak perlu orang lain mengetahui dan memperoleh manfaat dari hal ini. Sehingga kita sajalah yang perlu memperoleh kredit. Jangan orang lain, apalagi kita perlu berbagi.

Gejala apa ini?

Monggo pembaca yang budiman, bila ada yang tidak setuju atau mempunyai pendapat lain.

10.28 4AUG2011

August 03, 2011

Mau jadi yang no. 1.....

Kisah ini campuran dari pengalaman sendiri, penglihatanku pada orang lain juga hasil kajian dari bahan bacaan.

Sejak kecil, menjadi no.1 sebenarnya bukan tujuanku. Tetapi melihat teman-teman yang ranking satu dan dua kok dipanggil maju dan peroleh hadiah. Nah itu baru menarik...

Sampai dengan kelas 4 SD aku bukan masuk dalam jajaran itu, puji Tuhan, aku diberkahi Gusti Allah setelahnya aku masuk jajaran yang "dipanggil di muka kelas saat tutup tahun ajaran". Hadiahnya ndak seberapa, tetapi dipanggil oleh suster di muka kelas, itu namanya langsung dikenal. wuiiiiih

Sejak itulah aku dipaksa dan ditunjuk menjadi ketua kelas. Hal ini terjadi sampai aku di SMP.

Kejadian istimewa terjadi saat aku mulai menginjak SMA (sekarang SMU), semua rekan jauuuuuh lebih pandai dan cerdas dari aku. Maka jadilah aku berjuang lagi untuk (siapa tahu) masuk jajaran. Bahkan sampai lulus kuliahpun aku puas dan terberkati menjadi mediocre. Luar biasa berkah itu. Wong lulus di SMA aja berkah, luluh di universitas juga berkah, apa lagi yang dibanggakan lebih dari itu.

Ikut salah satu kegiatan mahasiswa aja, tujuan dan motivasinya aja ndak jelas, wong ikut-ikutan dan yang penting punya kegiatan serta menambah teman. Eh, suatu saat didorong-dorong oleh rekan (yang sampai saat ini saya sangat respect - 3 kakak kelas yang luar biasa) menjadi ketua kegiatan tersebut. Maka jadilah ketua "jadi-jadian" itu. Masih bagus ada yang ikut dan aktivitasnya jalan. Puji Tuhan.

Setelah lulus, aku sudah beberapa kali pindah tempat bekerja dan sampai saat ini memperoleh penugasan yang luar biasa, dengan harapan bisa memberikan manfaat bagi keluarga, rekan, organisasi, serta masyarakat (waduh kejauhan ya???).

Melihat kejadian demi kejadian tersebut di atas, apa masih penting menjadi nomor satu, atau masuk jajaran (yang dikenal rekan dan guru), atau dianggap sebagai pemimpin suatu kelompok, organisasi, atau perusahaan? Wong semua itu adalah berkah Gusti Allah, amanahNya serta bukan "punya dan mau" kita sendiri?

Jadi apa lagi yang boleh dibangga-banggakan, dipamerkan, disombongkan? Urip ikut mung mampir ngombe (demikian idiom yang dibawa oleh orang-orang tua dari Jawa kita).

Jadi.......

16.08 3Aug2011

Mau mu ndak sama dengan Mau ku? Kenapa sih kok mau repot?

Begitu aja kok repot?

Ini merupakan ungkapan dari mantan Presiden Gus Dur yang terkenal itu. Betul sekali, kok kita repot-repot ngurusi dan ngitung Mau orang lain yang sudah jelas maupun ndak jelas berbeda dari Mau kita.

Sering kali niat baik kita untuk mengembangkan organisasi, meningkatkan hubungan, memajukan perusahaan, kita dengan sukarela melemparkan ide. Sebagai pencetus ide, sudah barang tentu kita akan bertanggung jawab untuk ikut minimal rembug dalam pelaksanaan atau sebagai peserta. Nah, masalah akan timbul (ini kalo kita mau menyebut hal itu adalah masalah), adalah bahwa tidak semua anggota organisasi, tim kerja atau rekan kita mau menerima ide tersebut sebagai ide yang baik untuk diterima apalagi dilaksanakan.

Kedua, ada pandangan bahwa, si rekan tersebut dapat berpikir, kalo cuma "hal itu aja", saya sih sudah terpikir, tapi keduluan kamu aja (itu pikir yang diungkapkan, dan seringkali tidak di depan kita tentunya).

Ketiga, pandangan yang langsung dan "melotot" pada kita adalah, kenapa sih kamu repot-repot lempar ide? Kan sekarang ini, kita sedang dalam kondisi bagus-bagusnya, enak-enaknya, kalo tiba-tiba pemimpin kita menerima ide kamu, maka akan ada perubahan dong. Nah lo.... Kita tahu bahwa ini merupakan kejadian yang mengusik comfort zone.

Keempat, kalo kamu yang lempar ide, artinya ada sesuatu yang ada di "agenda kamu" dong... Apa sih untungnya buat kamu? Kamu mau cari muka atau kamu akan memperoleh sesuatu dari ide itu?

Kelima dan seterusnya, akan terjadi upaya untuk membuat ide tersebut menjadi terlihat konyol dan tidak dapat diterapkan. Ataupun setidaknya kalo diterapkan akan terlalu banyak effort yang terbuang. Wah....

Seberapa sering kita mengalami hal ini? Ndak pernah?

Hayo coba diingat-ingat lagi. Saya doakan dan alhamdulilah bila rekan pembaca tidak pernah mengalaminya. Tetapi kalo pernah mengalaminya, apa yang rekan lakukan?

Monggo lain waktu kita sambung lagi.....

15.44 3Aug2011

August 01, 2011

Lupa

Lupa, lali, nglali, kesupen, forget, not remember, ketinggalan.

Ini kejadian yang kesekian kalinya. Memalukan? Buat orang lain, ya. Buat ku sendiri? Kenapa malu? Kan yang penting barang yang dicari masih ketemu. Kan masih ada orang lain yang membantu. Kan, kan, kan dan seterusnya dan seterusnya.

Memang enak ternyata masih ada sahabat, teman, rekan, istri, anak, asisten yang mau membantu, baik mencarikan barang yang tertinggal atau setidaknya ikut rembug ribet memikirkan tadi ketinggalan di mana.

Bagus kalo ternyata segera sadar bahwa barang tersebut ketinggalan, bagaimana kalo ternyata barang yang dicari adalah sudah setidaknya lebih dari 6 bulan ndak dipakai. Apa iya masih di tempatnya? Tempatnya? Di mana? Wong tempatnya aja lupa?

Jadi ingat Bapak Mertua di rumah selalu menyarankan bahwa barang yang sudah tidak dipakai (baca: ndak terpakai, walau masih bagus, namanya adalah "tidak dipakai") sebaiknya tiap bulan disingkirkan untuk dimanfaatkan orang lain (baca: dibagikan pada pihak yang membutuhkan).

Salah satu sarannya adalah: ajak anggota keluarga untuk bekerja sama, bila misalnya buku/majalah/baju atau apa saja, yang sudah tidak pernah disentuh lebih dari 2 bulan dan berada tetap pada tempatnya (tentu saja ndak usah izin pada pihak yang punya) pelan-pelan disingkirkan. Jadi bila pada bulan ke-tiga tidak disinggung juga, maka sebaiknya diserahkan pada acara "garage sale".

Kalo ternyata pada bulan ke-enam dicari lagi (ato ingat lagi), maka tinggal bilang:"lho kan selama ini sudah ndak pernah dipake, kok masih ingat?"

Hayo, ada yang punya pengalaman lain? Monggo di-sharing di sini.

14:38 1Aug2011

July 31, 2011

LUCUNYA HIDUP: Hobi Motret (1)

Hobi Motret _1

Tahun 2007 akhir, aku beli kamera serius Canon 40D. Hal ini terjadi setelah pengin punya kamera serius untuk mengabadikan perkembangan anak. Jiaaaaah, kayak orang bener aja. Beli di bulan Desember awal, semua dipotretin, dimasukkin ke komputer, tapi ndak pernah dicetak. Pokoknya pernah potret, dilihat sekali, lalu lupa.

Yang ada tuh kamera malah banyak istri yang pake. Lumayan, yang penting kan dipake. Hasilnya? ndak usah tanya deh.

Tahun 2011 awal, saat temen-teman kantor mulai ngobrolin hunting foto, pake model lagi... gimana tuh rasanya? Sampe dua kali kejadian, aku belum tergugah. Baru saat kedua pada pamer hasil, nah lho..... Kok jadi pengin motret lagi. Gimana nih? Apa tuh diaphragma? Bukaan? ISO? Speed? yang mana lagi tuh?

Jadi inget, aku kan punya 40D. Maka diambillah kamera yang udah mulai bulukan dari lemari. Ternyata udah ada beberapa lensa. Mulailah lihat-lihat, ceprat-cepret, apa aja dipotretin. Awalnya malu-malu, sampai akhirnya sok tau malah malu-maluin.

Awal April, aku ikut les motret di MK, orangnya ok banget. Awalnya kaku, sampai akhirnya hajar aja. Dari yang tadinya penginnya beli-beli, sampai dikasih tau, mending ngumpulin lensa aja dulu. Sekali lagi ok banget tuh Mas Madia. Aku berani rekomendasi kalo pengin bisa motret, mending kontak mas Madia deh. Beres....

Nah, masalah kedua muncul. Tiap kali ketemuan dan ngobrolin hasil foto, temen2 mulai ngeledekin, eh loe pake apa? Nikon or Canon? mending ini, ntar nyang ntu ndak bisa tukeran, ndak ada nyang ngajarin, dst dst

Lho ini mau motret ato mau pamer barang? Wong seni potret kok dibandingin. Eh sah-sah aja juga sih. Siap Kumendan, yang penting hepi kan.

Tahap spiritual ketiga mulai. Pencarian hasil foto dan lensa dan kamera, sampe ke tahap "judeg". Bokeh, pencarian bokeh ini menarik, yang satu penginnya tajem, 3 dimensi, HDR katanya. Sementara yang satu pengin ke tajem di tengah, blur sekitarnya. Manteb Oom (ini istilah sesama tukang potret)

Hasil pencarian (tanya-tanya, check di internet, tanya toko sampe dimarahin yang jual karena kebanyakan mampir ndak beli-beli, ha ha ha), maka mulai beli lensa L series 17-40mm f/4. Emang beda Oom, lebih smooth, warna lebih tebal. Kalo ndak percaya coba aja sendiri.

Selanjutnya mulai beli lensa fix (mbah-nya lensa, kata Oom-Oom ahli potret), mulai dari 50mm f/1.8 (lensa sejuta umat), lalu 35 f/1.8, lalu 50 f/1.4, nah setelahnya .... (ndak usah disebutin ya). Setelah itu mulai ngejar kamera yang pulprem. Emang beda Oom. Lebih kejam.

Lalu kenal sama Oom Ipul yang ngeracunin lensa manual untuk ditanam di kamera digital. wuih, pake CZ mounting M42 di Canon. Bokeh-nya bro. Coba aja sendiri.

Lalu mulailah petualangan berikutnya.....

00.00 1Aug2011


Resensi buku: REVOLUSI BATIN ADALAH REVOLUSI SOSIAL

Buku : Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial, karangan Romo Sudrijanta, SJ.

Latar Belakang-penulis

Penerbit Kanisius tahun 2009. Yang menarik dari buku ini adalah dikarang oleh Romo yang menjadi pastor kepala paroki kami Santa Perawan Maria Ratu, pindahan dari romo kepala Paroki Duren Sawit.

Beliau sering menyitir beberapa kalimat yang diterjemahkan demikian canggih (baca: sophisticated) sehingga sulit saya terima dan kunyah. Atau memang demikian karena saya masih berporos pada dunia?

Sudah ada hampir 2 bulan saya lihat di BS (Berita Sepekan, red) untuk niat membeli buku yang ditulis oleh romo, tetapi ternyata hanya niat tanpa tindakan. Baru pada Rabu tanggal 27 Juli kemarin, saya lihat di almari buku ternyata sudah ada yang membeli. Istriku bilang, itu Oom yang membeli dan membagikannya untuk dibaca. Puji Tuhan, Alhamdulilah, ternyata sudah ada yang beli untuk saya baca.

Sekilas komentar buku ini.

"Jejak Langkah Menuju Allah" halaman 26 sampai 30.
Sebelum berkomentar dan membongkar "jejak ini" izinkan saya berterima kasih pada Romo Sudri yang telah njewer dan nyentil kuping saya karena tulisannya yang begitu mengena.

Ilustrasi: antara petani penggembala dan sapi miliknya. Dimana bagi petani tersebut, sapi merupakan segala-galanya, sebagai contoh, tenaganya untuk membajak sawah, kotoran kandangnya untuk pupuk, tahi sapi bisa dipakai untuk tembok, dan lantai rumah, juga tahi tersebut bisa dipakai untuk obat luka. Kulitnya bisa membuat pakaian, dagingnya menjadi makanan bergizi. Jadi kesimpulannya adalah petani tersebut tak dapat hidup tanpa sapi itu.

Di sinilah dibongkar oleh Romo Sudri bahwa perjalanan kerohanian memiliki 10 tahap.

Tahap Pertama; jati diri diidentikkan pada komitmen, sehingga bila petani kehilangan sapi, maka ia akan mencari, sementara yang dirasakan adalah sedih, tegang, khawatir, dan tidak berhenti mencari sampai mendapatkannya kembali. Ia akan mencari dengan sepenuh hati, penuh semangat, berani, tak kenal nyerah, penuh komitmen. Semakin dalam ia kehilangan, maka akan semakin tinggi energi pencariannya. Semakin tinggi derita karenanya, akan semakin kuat energi pencarian yang dilakukannya. Penderitaan ini bisa pribadi, dapat juga kolektif.

Tahap Kedua, saat pencarian mulai menampakkan jejak-jejaknya, maka senanglah ia. Titik terang ditemukan. Ada harapan akan menemukan apa yang dicari. Jadi semangat saja belum cukup, mesti menemukan jalannya, yang unik bagi setiap orang. Tahap ini dinamakan marga/sadhana.

Tahap Ketiga, jejak yang mewujud pada sapi (walau masih di kejauhan). Harapan menjadi pencerahan. Dalam perjalanan spiritual, pencerahan ini menjadikannya "sikap berani maju terus". Perhatikan, bahwa bila perjalanan yang tanpa pencerahan akan membuat frustasi dan berhenti di tengah jalan.

Tahap Keempat; tak puas hanya melihat di kejauhan, maka ia akan mendekat, ingin menjamah dan menyentuhnya. Akan coba menangkapnya. Ingin masuk dalam jantung hati realitas.

Tahap Kelima. Saat petani tersebut berhasil menangkap, ia pegang tali kekangnya, dan menariknya keluar semak belukar. Sapi itu diam dan mengikuti gembalanya. Hal ini disebut wiweka (discernment). Pada tahap ini, kita mulai membeda-bedakan gerak batin, memilah-milah dan membebaskan roh yang baik dari keterbelitan semak.

Tahap Keenam; Petani sekarang pulang ke rumah menunggang sapinya sambil meniup memainkan serulingnya. Ia mengalami kedamaian, kegembiraan, kegirangan. Seolah perjalanan telah berakhir.

Tahap Ketujuh. Saat sampai di rumah, dan telah ditambatkannya sapi itu, petani tinggal duduk tenang sendirian. Ia melupakan sapinya, yang ada adalah rasa aman. Everything is alright, feeling great, never better. Wow. Fuiiiih (sambil melempar keringat dari dahi...)
Rasa aman itu karena suatu hal dan sesuatu itu bisa bernama rumah, tanah, uang, keluarga, sabahat, cinta, Tuhan, agama, perayaan ritual dan seterusnya dan seterusnya. Pada titik tertentu, rasa aman itu hilang, sampai pada saat bahwa rasa aman itu adalah konstruksi dari pikiran. Pada tahap ini, konstruksi pikirannya menjadi penghalang untuk bertemu dengan jantung hati segala sesuatu. Terjadi pengalaman kekeringan, kosong, desolasi, rasa tersiksa.

Tahap Kedelapan. Tahap pengosongan diri. Kesadaran bahwa pikirannya tidak mampu menyelamatkannya, maka ia rela berserah, melepaskan segala sesuatu dan masuk dalam pengalaman kekosongan.
Misteri kekosongan ini terjadi yang membuat orang mengalami kesatuan dengan segala sesuatu. ia mengalami satu dengan jantung hati segala sesuatu.

Tahap Kesembilan; Ia menemukan jantung hatinya dan jantung hati segala sesuatu. Pusat hidup bukan lagi si aku atau pikiran, melainkan jantung hati dirinya dan jantung hati segala sesuatu. Dunia homosentris menjadi tidak bermakna.

Tahap Kesepuluh. Orang kembali pada kehidupan dengan tangan terbuka. Tiada lagi dualitas, aku atau jati diriku, surga dan bumi, ilahi dan manusiawi, sakral atau profan. Semua tampil sebagai kesatuan.

....dilanjutkan pada paragraf yang menyebutkan bahwa: Orang kembali hidup, bergerak dan meng-ada dengan hati lepas-bebas dari segala keterbelitan dan kelekatan akan segala sesuatu. Tidak ada lagi aku, tetapi Dialah yang hidup dalam diriku.

Wow, betapa indah hidup ini. Kita yang jatuh bangun mencari sesuatu, merasa kehilangan, memiliki harapan, menemukan, tercerahkan, mengalami kekosongan akibat buah pikiran, melepaskan kelekatan, lalu merelakan kelekatan, tetapi justru merasa memiliki segala sesuatu. Puji Tuhan, Puji Tuhan, Allah yang Hidup. Betapa Engkau selalu bersama denganku selama ini. Engkau mengizinkan aku mengalami semua tahapan itu, mendewasakan aku, membiarkan-ku belajar, jatuh, sakit, tertolong dan bersyukur. Terima kasih Tuhanku.

23.11 31Juli2011