December 09, 2011
Pengin berbeda...
December 07, 2011
Retro nih...
Hal ini semakin aneh saat beberapa teman di kantor makin tergila-gila menggunakan gadget terbaru, sementara saya sejak bongkar-bongkar isi lemari bawah TV di kamar ketemu gameboy, nintendo serta beberapa mainan punya istri yang beredar kira-kira tahun 1980-an.
Tak terasa, saya mampir kembali ke almari yang selama ini ndak tersentuh, berdebu dan lembab itu. Wuiiiih, ternyata kaset-kaset barat dan Indonesia masih banyak ya.... Jadi ingat salah satu sobat di SMP mengatakan bahwa kalo kaset mau diperdengarkan lagi, sebaiknya dimasukkan ke kulkas dulu... (ndak tau untuk apa).
Lagu-lagu lama disetel lagi, ndak terasa ada rasa "ser" di hati ini, rasanya mirip saat jatuh cinta pertama kali. Hi hi hi... Jadinya senyum-senyum sendiri.
Jadi ingat saat itu jadi ketua kelas di SD, beberapa teman kemana ya? Penelusuran dimulai dengan membuka daftar nama di hp deh.... Sekedar memori kecil.
Disambung lagi, mulai membuka (dan rencananya membereskan) laci di dekat tempat tidur, wow begitu banyak foto-foto lama.... Aku masih kurus, jelek, cungkring, lho kok ndak punya foto saat gondrong ya? Ha ha ha ......
Sebetulnya mengingat waktu itu sempat gondrong hampir sepinggang di SMA, membuat tersipu. Kok mau-maunya ya? Apalagi kalo sekedar naik bis "gratis"...
Udah dulu ah, kalo kelamaan jadi keterusan. Matur nuwun sudah mampir. Tuhan memberkati sahabat selalu.
Jakarta 15.45 Des07,2011
Konsumsi listrik, apa sih maunya?
Contohnya adalah bahwa sebaiknya kita secara serempak mengurangi konsumsi kita terhadap listrik. Hal ini dimaksudkan untuk penghematan energi demi kelangsungan hidup generasi yang akan datang. Wuiiih, betapa mulianya tujuan dan maksudnya.
Sementara beberapa kalangan dengan semangat tidak kenal lelah, mencari alternatif energi untuk dapat menggantikan minyak bumi yang katanya hampir habis ini.
Menurut para ahli yang berasal dari negeri-negeri seberang, salah satu kemajuan suatu bangsa didorong oleh pembangunan fasilitas infrastruktur, salah satunya adalah ketersediaan listrik untuk industri dan untuk rakyat.
Sikap mengurangi konsumsi penggunaan listrik tersebut, apakah sebaiknya diterapkan di industri atau juga oleh konsumsi rumah tangga? Terus apa sebaiknya kita masyarakat menggunakan sumber energi lain? Contoh apa?
Sewaktu anak saya, Krisna live-in di daerang Magelang, Jawa Tengah, penduduk masih menggunakan kau bakar untuk memasak. Lha kita yang di kota apa iya musti cari kayu bakar?
Alternatif lain, pake briket batubara. Seingat saya, kita menggunakannya kalo akan barbeque. Jadi kalo memasak nasi, bikin tumis, panasin air hangat dengan apa sebaiknya?
Kalo biasanya kita tidur dengan AC, maka sebaiknya kita lakukan dengan kipas tangan, kondisi rumah mulai dirancangbangunkan supaya angin dapat masuk.
Makin bingung ya....
Jadi timbul pertanyaan...berapa sih yang dapat dihemat bila masyarakat mengurangi konsumsi listrik 10% saja? Berapa kalo kita bandingkan industri juga menguranginya 10%? Jadi berapa konsumsi listrik masyarakat dibandingkan industri?
Demikian curcol ini disampaikan, monggo kalo sahabat memiliki pendapat lain dan berbeda. Matur nuwun. Tuhan memberkati.
Jakarta 15.33 Des07,2011
Cemburu
December 06, 2011
Tanggung jawab
Bahasa
November 27, 2011
Pemilikan atau Kemilik'an
Rindu untuk pulang
Unfinished business
November 26, 2011
Deja vu
November 01, 2011
Bertanya atau Rekonfirmasi ?
Kata Tidak dalam Arti lain
October 31, 2011
Runtuhnya Kekuatan Kepercayaan
Emosi, Pengetahuan dan Dusta 1
October 30, 2011
Relationship 1
Coba rekan pembaca, rewind lagi kejadian zaman kecil, apakah benar demikian? Rasanya sih demikian. Orang sono bilangnya "no hard feeling" lan enteng aja.
Tuan Parrot meneruskan,"Namun, suatu saat saya mulai mengenal percekcokan dalam hubungan dewasa, dan persoalan itu menjadi serba tidak pasti. Saya mengetahui bahwa beberapa orang lebih sulit, bahkan mustahil untuk diajak bergaul. Misalnya , saya mengetahui bahwa sahabat-sahabat yang dipercayapun dapat mebgkhianati saya. Orang-orang berkuasa yang saya kagumi dapat menghina saya. Kritik yang terus-menerus dilontarkan oleh seorang rekan kerja dapat melukai hati saya. Bahkan, anggota keluarga pun dapat meninggalkan saya."
Nah ini yang "bagus", digarisbawahi oleh Tuan Parrot,"Namun, saya pun tahu bahwa saya tidak dapat memutuskan hubungan begitu saja setiap kali saya menghadapi rintangan, kecuali saya ingin menjadi pertapa.". Nah lho... Ekstrim kan ....
Kalo saja tuan Parrot menjelaskan demikian, dan kita sedikit banyak mengaminkannya, apa iya kita mau lari? Mau menggali lagi kenapa ya? Atau justru kita mau memilih jadi pertapa saja?
Monggo rekan pembaca memutuskan sendiri, yang kalo ndak mau sendiri mungkin mau bareng2...
matur nuwun.
Jakarta 08.55 Okt30,2011
October 26, 2011
Ketularan
October 24, 2011
Merasa ada
Que sera sera
October 16, 2011
Sabar (1)
Sebagai ilustrasi dan contoh, seberapa sering kita temui dalam perjalanan, sepeda motor, kendaraan umum serta mobil pribadi menjadi tidak sabar, apalagi bila sesama pengguna menjalankan kendaraannya dengan cara zig-zag. Bahkan kita lihat pada perempatan jalan, pengemudi sepeda motor begitu lihat jalan sedikit ada kesempatan, maka tidak perlu menunggu lampu hijau, tancap gaaaaasssss.
Kalau belok, tidak perlu lihat kendaraan dari arah lainnya, sehingga bila pengemudi lainnya melakukan hal yang sama, maka dapat terjadi kecelakaan. Dan bila hal ini terjadi, maka hampir bisa dipastikan, sesama pengendara motor (walau tidak tau masalahnya) ikut membela "sesamanya" apalagi bila "musuhnya" mobil. Wow....
Pernah saya praktekkan, bahwa kalau didahului oleh pengendara lainnya, maka saya anggap dia sedang buru-buru mau (maaf) buang hajat. Mohon dimaafkan, jadi ndak perlu ikutan "hati menjadi panas". Cukup mengurut dada sendiri aja.
Apa ada rekan pembaca yang punya tips untuk menjadi lebih bersabar? Matur nuwun.
Jakarta 22.15 Okt16,2011
Lemah lembut
Lemah lembut, sebenarnya lebih mudah diilustrasikan pada binatang kuda, binatang ini bertenaga besar, dan bila tidak kenal maka sikapnya liar, sulit sekali mengendalikannya. Berbeda bila binatang ini didatangi oleh pawangnya atau penunggangnya. Tiba-tiba sang kuda menjadi penurut, jinak, walau kita tau bahwa binatang ini tetap memiliki tenaga yang besar, tetapi dapat disalurkan pada "saat" yang tepat.
Lemah lembut, bila dikembangkan, maka sikap ini benar-benar firm tetapi, tidak (perlu) menuntut. Sabar, tetapi melakukannya dengan sepenuh hati. Patient sekaligus passionate, tidak perlu meledak-ledak.
Hal di atas menarik perhatian kita belakangan ini, banyak kita temui, baca serta dengar, bahwa bangsa Indonesia yang terkenal lemah lembut, tiba-tiba menjadi garang dan meledak-ledak. Menuntut hak, bila perlu melakukannya dengan demostrasi.
Luar biasa bukan? Bagaimana pendapat rekan pembaca? Monggo
Jakarta 22.02 Okt16,2011
October 14, 2011
Cinta (2)
Coba rekan-rekan pembaca sekali lagi perlahan-lahan... Monggo...
Nah, jadi selama ini rasa cinta kita yang mana ya? Apalagi ada yang mengatakan bahwa antara love and hate itu sangat tipis lho.... Lha cinta kok dicampuradukkan dengan benci. Opo ndak pamrih itu namanya? Jual beli, transaksi, yang terjadi kalo kamu mau melakukan yang aku mau.
Hayo, monggo dirasakan dulu, direnungkan, kalo ada waktu tentunya....
Jakarta 11.39 Okt14,2011
October 11, 2011
Quality Time
Biasanya kita temui pada orang yang mengaku dirinya sibuk dengan pekerjaannya, sehingga ada sebagian hal yang penting terlewatkan. Pada umumnya yang terlewatkan tersebut adalah pertemuan dengan keluarga inti, yaitu pasangan hidup dan anak-anak.
"saya penganut quality time, sehingga walau saya jarang bertemu (baca: "bercengkerama") dengan istri/suami atau anak-anak, mereka tetap dekat kok dengan ku". Hayo, pernahkah kita menyebut kalimat ini? atau mendengar kalimat ini?
Beberapa waktu lalu saat duduk di penerbangan dari Jakarta ke Balikpapan, di hari sabtu, saya tercenung dengan kalimat ini. Bapak di sebelah saya menceritakan bahwa kalo hari sabtu biasanya saya pergi golf dengan rekan satu geng. Sementara bapak satunya menjawab, kalo saya biasanya pergi ke mall jadi "supri" istri dan anak2. Langsung sontak mereka tertawa terbahak-bahak.
Lho kalo saya biasanya ngapain?
Dengan miris, saya menyimpulkan bahwa penyebutan quality time adalah sebuah pengingkaran bahwa kita tidak dapat memenuhi waktu bercengkerama dengan keluarga yang biasanya dipenuhi bila kita memiliki waktu. Mohon digarisbawahi, bahwa waktu di sini artinya waktu yang kita alokasikan dan sediakan untuk 100% menyimak dan mengikuti dengan sadar dan rela untuk keluarga tercinta kita.
Sehingga jangan menyalahkan anak atau pasangan, kalo ketemu (atau menelpon) kita hanya dengan pesan singkat, "Pak, aku perlu uang untuk beli hardisk komputer yang tadi pagi crash". Dan saat ditelpon kita merasa bahwa kok mereka membutuhkan kita hanya kalo "ada perlu"? Apa aku ini dianggap pohon duit?
Jadi?
Monggo rekan pembaca kalo memiliki pendapat lain....
Jakarta 13.50 Okt11,2011
Melayani
Seringkali kita membayangkan bahwa melayani berarti melakukan tindakan untuk seseorang dengan tidak perlu mengindahkan apa yang kita rasakan. Apakah kita senang melakukannya? apakah rela kita melakukannya? apakah kita mengharapkan sesuatu dari tindakan kita? apakah kita justru membalas tindakan seseorang tersebut, sehingga kita melakukan pelayanan itu?
Apapun jawabannya, penulis menemukan sesuatu, bahwa dengan melakukan pelayanan, berarti kita merelakan sebagian (atau seluruh) ego kita, sekaligus tanpa kehilangan kendali.
Mungkin dari rekan pembaca akan merasa terganggu pada penggalan kedua kalimat diatas. Wong kita merelakan sesuatu kok ndak kehilangan kendali. Apa bisa? apa mungkin?
Disinilah tantangannya, sebab bila kita rela dan "cul-culan" (atau bahasa jawa-nya adalah "wis, tak cul no, sak karepmu dewe...) maka hal ini berarti kita merelakan, tapi masih ada yang kita lepaskan dengan tidak rela (baca: pamrih).
Maksud penulis pada pengartian di atas adalah: bahwa melakukan pelayanan adalah pilihan (choice) dari pelaku, sehingga dengan sadar dan bijaksana, tentunya disikapi dengan baik yaitu tetap dalam kendali pelaku yang bertanggung jawab. (bukan cul-culan).
Demikian sedikit curcol penulis, monggo bila ada rekan pembaca yang berkomentar lain....
Jakarta 13.37 Okt11,2011
Takut
Takut, juga dapat dihubungkan dengan rasa kehilangan yang sangat dalam. Misalnya, takut kehilangan pacar, sehingga apa saja yang sang pacar minta sedapat mungkin akan kita penuhi atau kabulkan, bahkan kalaupun permintaan tersebut mulai tidak masuk akal sehat. Sebab hal ini ditujukan agar si-dia-nya tetap nempel dengan kita.
Takutpun bisa dihubungkan dengan marah. Sebab kalo lawan bicara melihat kita takut, maka dia dapat semena-mena bertindak pada kita. Jadi sebaiknya kita terlihat powerful, sehingga tidak kelihatan lemah dan takut.
Coba rekan sekalian menghubungkan kedua sebab diatas, bahwa takut kita disebabkan oleh rasa kehilangan yang amat sangat, sehingga membuat kita marah, dan selanjutnya tanpa panjang pikir lagi kita "melabrak" orang yang menyebabkannya. Dengan catatan bila kita berani lho. Nah kalo tidak berani, bagaimana? Biasanya kita akan melakukan tindakan "melingkar", yaitu seolah menghindari konflik langsung padahal kita memutarinya lewat tangan yang "lain".
Contoh, karena selama ini keahlian kita adalah melakukan analisa dengan tajam dan baik, maka bos kita, atasan kita, rekan sekerja kita mempercayakan hal tersebut pada kita. Karena suatu hal, ada "orang baru" yang ingin membuktikan dirinya juga bernilai dihadapan bos, atasan, dan rekan kerja kita. Kira-kira apa yang kita lakukan? membantu orang baru tersebutkah? atau justru kita mulai melakukan black campagne?
Saya akan serahkan jawabannya pada rekan pembaca sekalian. Monggo.....
Jakarta, 13.23 Okt11, 2011
September 28, 2011
Ego
Bila sejak kecil, ibu kerap mengatakan bahwa sebaiknya kamu berpikir dan bertindak dengan memperhatikan kepentingan orang lain terlebih dulu, sebelum untukmu sendiri. Jangan dibalik, sebab kamu akan kelihatan egois, dan mementingkan dirimu sendiri.
Semakin besar dan banyak usia kita, hal tersebut semakin melekat di benak kita. Jadi sebaiknya mendahulukan kepentingan orang banyak dulu, baru boleh kita memperoleh manfaat. Setuju? Benar begitu?
Coba renungkan......
Dalam bukunya terrsebut, pak Johnson mengatakan, bahwa bila kita mencintai, peduli, dan memperhatikan diri sendiri, maka pundi2 ego kita akan terpenuhi dan bahkan luber, sehingga pada gilirannya kita akan lebih tenang, damai (dengan diri sendiri), yang berakibat akan dengan sukarela memperhatikan dan mencintai orang lain.
Dalam buku tersebut dijelaskan pada halaman2 awal bahwa kalo kita sendiri tidak menyayangi dan memperhatikan diri, bagaimana kita dapat menyayangi otang lain. Wong, pundi2 ego saja ndak terpenuhi. Dan bagaimana orang lain dapat memperhatikan kita. Karena kita sendiri ingin disayangi, ingin diperhatikan, tetapi justru (dengan terpaksa) mendahulukan orang lain. Bahkan hal ini tentu dapat menimbulkan self pitty, yaitu perasaan mengasihani diri sendiri. Nah lho....
Jadi, mana yang lebih baik dilakukan terlebih dulu? Menyayangi diri sendiri dulu, sehingga lubernya rasa itu akan membuat kita menyayangi orang lain; atau, kita menyayangi orang lain, sebab nantinya kita juga akan disayangi ? Hayo, menarik kan?
Sumonggo, kalo punya pendapat, saya persilakan.
Jakarta, 22.50 Sep28, 2011
Cinta (1)
I heart you. Demikian boysband SM*SH menamakannya dalam salah satu lagunya. Sampai ada hari kasih sayang sedunia, Valentine's day, yang selalu diartikan bahwa cinta selalu (hanya) digunakan untuk ungkapan perasaan antara cewe dan cowo, atau pria-wanita. Lha, bagaimana dengan cinta seorang ibu pada anaknya. Juga bagaimana dengan orang yang sangat lekat perasaannya dengan motor Harley-nya?
Apakah "rasa" itu cukup selama satu pihak (misalnya sang cowo) benar2 sayang, suka, care dan melindungi serta selalu mendoakan pasangannya? Ataukah rasa itu perlu dua belah pihak saling berbalas?
Pernah ada sahabat sewaktu SMP, mengatakan," Dik, kan kalo cinta kan tidak selalu harus bersatu...". Lho, apa lagi ini. Bagaimana penerapannya? Bahkan, salah satu rekan kerja pernah menyampaikan,"kalo cinta sih ndak perlu saling memiliki...." Macam mana pula ini?
Bagaimana menurut anda? Monggo.....
Jakarta, 22.10 Sep28,2011
Percaya dan merelakan
Saat mulai pacaran dulu, bila sang pacar bertanya, "apa kamu percaya sama aku?" tentu saja kita jawab,"ya, aku percaya sama kamu". Walau saat kita liat dia berbincang dengan teman lawan jenis, hati kita jadi was-was, khawatir, apalagi kalo sang pacar bercanda dengan mesra, dan bisa tertawa lepas. Dibandingkan bila bersama kita sangat jarang hal tersebut (tindakan yang lebih loose) kita temui. Lho, kok begitu ya?
Ada buku yang penulis baca, bahwa saat hati kita turut dalam tindak tanduk, maka sesuatu yang mudah menjadi lebih sulit. Saat kita ndak punya hidden agenda (baca: ada hati) maka kita dengan mudah bicara, bercanda dan bahkan mengejek (sambil bercanda) dengan lawan jenis. Nah, coba rekan pembaca bayangkan, apakah akan sama kejadiannya bila kita punya perasaan (naksir) dengan si lawan bicara. Biasanya, tindakan kita menjadi hati-hati, bicara diatur, bercanda tidak lepas, bahkan betul-betul menjaga perasaannya.
Nah, menarik bukan.
Dalam kejadian lain, misalnya di tempat kerja. Saat kita tidak memiliki hidden agenda (misalnya mau mengharapkan ada untung persenan dari transaksi ini), maka kita akan bertindak lebih lepas, all-out, bahkan full hearted mengawal transaksi dengan tujuan untuk kepentingan bersama. Pernahkah rekan sekalian temui bahwa kita menjadi curiga dan khawatir saat rekan kita mulai demikian "hati-hati" atau demikian "menjaga" agar transaksi tersebut harus berhasil dan seolah-olah diperlakukan sebagai barang yang mudal pecah "fragile".
Pada buku lain, penulis pernah membaca bahwa, bukankah sebaiknya kita kerjakan suatu hal seolah-olah keberhasilannya tergantung dari upaya dan effort kita, sementara di saat yang sama, kita "serahkan" pada Tuhan karena hanya perkenanNya-lah, bila saatnya tepat, maka Tuhan akan mengkaruniakannya pada kita indah pada waktuNya.
Jadi fight, full-hearted, dan all-out, sekaligus, rela apapun hasilnya sebab Tuhanlah yang memnentukan indah pada waktuNya.
Paradox? Menarik bukan? Bagaimana pendapat rekan sekalian? Silakan......
Jakarta, 21.45 Sept28, 2011
September 09, 2011
Kelekatan
Sebaiknya mana lebih dulu, ide atau uangnya?
September 07, 2011
Apakah berbeda sama dengan penolakan?
Saat mengucapkan salam untuk menyampaikan Selamat Hari Raya (agama tertentu), dan sudah disampaikan secara sopan dan tulus, tiba-tiba teman tersebut menyampaikan, bahwa dia tidak merayakannya, juga tidak ingin mengucapkan apapun sebagai balasan.
Wow.
Luar biasa nih, selama ini saya sudah mendengar beberapa kali kalo ada beberapa rekan, teman rekan atau pihak lain bertemu dengan lawan bicara yang sudah dikenal maupun belum dikenal, sebagai salam, mengucapkan salam ini. Pada saatnya akan lawan bicara tersebut menolak dan disampaikan dengan sopan tentunya.
Kejadian ini begitu mengejutkan, shock, dan membuat kecut. Seolah kita terlempar beberapa meter ke belakang seperti terkena tenaga dalam. Duuuuaaaaaarrrrrr…….
Apakah hal ini benar? Tidak ada yang membantahnya. Apakah hal ini salah? Tidak ada yang akan mengkonfirmasi tentunya. Apakah hal ini wajar dan boleh disampaikan? Kalau ditinjau dari sisi rekan sebagai lawan bicara tersebut tentunya jujur pada diri sendiri dan setia pada hal yang dipercayainya bahwa perlu menyampaikan kepercayaannya tersebut. Agar……(bisa macam-macam alasannya)
Nah, kalo dari sisi pemberi salam? Ini tentu sangat mengagetkan. Bila kita memang menganut kepercayaan tersebut, mungkin dapat berakibat kita merasa ditolak salamnya; atau kita yang merasa ditolak. Waduh berat nih akibatnya. Kalo pada posisi bahwa pemberi salam bukan penganut kepercayaan tersebut, dan memberikan salam tersebut, bisa dua konsekuensinya, apakah dengan mengucapkan salam tersebut kita dengan serta merta “menganut kepercayaan itu kah?” atau justru kita tidak merasa apa-apa?
Bagaimana dengan rekan pembaca sekalian? Sumonggo kami persilakan bila ada komentar atas kejadian kecil ini.
Jakarta 14.46 7Sep2011
Apakah berbeda sama dengan penolakan?
Apakah berbeda sama dengan penolakan?
Baru saja saya mengalami kejadian kecil yang begitu “kena” di hati, begitu membuat kaget, shock, dan membuat kecut.
Saat mengucapkan salam untuk menyampaikan Selamat Hari Raya (agama tertentu), dan sudah disampaikan secara sopan dan tulus, tiba-tiba teman tersebut menyampaikan, bahwa dia tidak merayakannya, juga tidak ingin mengucapkan apapun sebagai balasan.
Wow.
Luar biasa nih, selama ini saya sudah mendengar beberapa kali kalo ada beberapa rekan, teman rekan atau pihak lain bertemu dengan lawan bicara yang sudah dikenal maupun belum dikenal, sebagai salam, mengucapkan salam ini. Pada saatnya akan lawan bicara tersebut menolak dan disampaikan dengan sopan tentunya.
Kejadian ini begitu mengejutkan, shock, dan membuat kecut. Seolah kita terlempar beberapa meter ke belakang seperti terkena tenaga dalam. Duuuuaaaaaarrrrrr…….
Apakah hal ini benar? Tidak ada yang membantahnya. Apakah hal ini salah? Tidak ada yang akan mengkonfirmasi tentunya. Apakah hal ini wajar dan boleh disampaikan? Kalau ditinjau dari sisi rekan sebagai lawan bicara tersebut tentunya jujur pada diri sendiri dan setia pada hal yang dipercayainya bahwa perlu menyampaikan kepercayaannya tersebut. Agar……(bisa macam-macam alasannya)
Nah, kalo dari sisi pemberi salam? Ini tentu sangat mengagetkan. Bila kita memang menganut kepercayaan tersebut, mungkin dapat berakibat kita merasa ditolak salamnya; atau kita yang merasa ditolak. Waduh berat nih akibatnya. Kalo pada posisi bahwa pemberi salam bukan penganut kepercayaan tersebut, dan memberikan salam tersebut, bisa dua konsekuensinya, apakah dengan mengucapkan salam tersebut kita dengan serta merta “menganut kepercayaan itu kah?” atau justru kita tidak merasa apa-apa?
Bagaimana dengan rekan pembaca sekalian? Sumonggo kami persilakan bila ada komentar atas kejadian kecil ini.