January 30, 2013

Takut...

Siapa yang takut? Mengapa takut? Apa yang terjadi? Berapa besar kerugiannya? Siapa yang bakal kena? Apa yang diambil? 

Wah jadi ndak punya apa2 dong?
Wah nanti tindakan saya diusut dong? 

Lho, kalo begitu mengapa kita takut? Apa kita ndak punya pilihan? Apa kita tidak mau bertanggung jawab?  Apa yang kita pertahankan itu sedemikian bernilai? Apakah kita akan kehilangan segalanya? Kehilangan nama baik? Kehilangan harga diri? Atau justru kehilangan nyawa kita? 

Kembali ditanyakan: apakah kita punya pilihan? Apakah tidak ada yang dapat kita pertahankan? 

Kalaupun kita rasakan, endapkan, dan jalankan, apakah sebegitunya kita ndak punya apa? Kapan? Sekarang? Nanti? 

Lho kalo sudah ndak punya apa2, kok kita masih takut? Jadi kita mempertahankan apa? 

Jadi kita takut apa sih? 

Bukankah yang berharga dalam diri kita adalah diri, iman, kasih Tuhan? 

Apa hal inipun mau diambil juga? Monggo......

Tanjung Redep 13:39, 30Jan2013

January 03, 2013

Ukuran yang tidak linear....


Karena saya yang beli kopi luwak merek B, maka ndak jadi perhatian kenapa saya beli 10 gram Rp 60 ribu, dan ada yang saya beli 100 gram Rp 350 ribu. Waduh.... Kenapa begitu?

Tadinya istri waktu hanya melihat kantung yang kecil, 10 gram, dia bilang, kalo 10 gram seharga Rp 60 ribu, kok ya mahal banget ya kalo jadi 1 kilo... Mosok 6 juta?

Begitu linat kantong yang 100gr seharga Rp 350 ribu, lho kok jauh? Klo dihitung dengan kantong ini, 1 kilonya bakal seharga Rp 3,5 juta.  Teteup mahal tuh. Emang beli kopi apa sih? Apanya yang enak sih? Aa yang mahal kantongnya? Ato karena sudah dimakan luwaknya? Atau bagaimana?

Seingat saya waktu dalam perjalanan mau cari dan beli kopi ini, sang waiter sempat cerita bagaimana kopi luwak terjadi. Sebab perkebunan kopi membutuhkan luwak untuk "memilih dan memakannya? Dan luwak hanya memakan kulitnya saja. Dan ndak kalah penting, sebenarnya luwak itu ndak makan kopi, tapi "hebatnya" manusia yang betwenak luwak dan berkebun kopi, serta memaksa luwak untuk mengubah makanannya menjadi hanya makan kopi. Lalu saya tanya, lha kalo ndak makan kopi kok luwak mau? Ternyata (nentah bener atu salah) itulah R&D atau research and development. Ada ongkos penelitian dan pengembangan. (Ndak banyak pengusaha yang mau mengongkosi kerjaan ini, kan maunya jiplak yang ok buang yang ndak ok).

Prosesnya mirip kita diet, atau sewaktu saya terpaksa diet karena rahang dan gigi sakit kemarin. Terpaksa atau dipaksa, mana yang berjalan saja.

Luwak hanya diberi makanan kopi, makanan aslinya ndak diberikan. Jadi hanya luwak yang survive (atau selamat dan hidup, jangan tanya berapa bisa tahan ya....itu di luar pertanyaan).

Nah, jadi..... Yak betul ada pengorbanan, ada usaha, itu yang bikin harganya ya ndak linear, mau ditelusur... Silakan....

Jakarta, 9:37, 3Jn2013

Ndak Sempurna, ya sudaaaaaahlah....

Indahnya Hidup adalah karena Ketidaksempurnaan

Pengalaman tanggal 27 Des lalu kami ke Magelang dan menyempatkan diri bersama keluarga numpak sepur item, jelek, berisik, kliatan kotor, tapi seru, mnggetarkan jiwa dan membuat deja vu..... 10 km dari Ambarawa ke Stasiun Bedono ditempuh dalam 1 jam. Lalu kembali ke Ambarawa ya 1 jam....

Tapi roso hati ini, ser-ser-an.  Kayak perjalanan naik motor jaman dulu sewaktu berangkat mau kencan pertama dan kedua..... H hi hi ada perasaan was-was, ada perasaan kok jalanan seru juga yak, ada perasaan enak juga kena semilir angin, ada perasaa, kita sudah yang paling kampungan, seperti orang yang ndak pernah naik motor eeeh maksud saya naik sepur uthuk item jes ejes ejes wueleeeek......tuiiiiiiii tuiiiiiiiiiit tuuuuuuuiiiiiiit.

 Ha ha ha. Jes ejes ejes ejes, jk jjk jg jk, jes ejes ejes.... Tuiiiiiit uiiiiiiit tuuuuuuuiit. Semua manta memandang, bangga kita di dalam, tapi tetap rasa kampungan banget. Wong kena asep masuk gerbong penumpang kok malah seneng, kita aja kl di jalan kena asep Kopaja dan Mikrolet aja ngamuk. Lha ini kok malah senyum, seneng, bangga. Wis, dunia ini kampungan banget.....

Ndak sempurna jalannya, pelan, berasep, berisik, item, jelek, tapi kok bangga. Ha ha ha.

Diam diam, ternyata virus "jadul" ini makin besar dan tak tertahan masuk dalam hati sanubari.....(apa sih ini....). Kalo gitu makin ndak sempurna, makin seru makin kita menikmati ya... Kok iya di hidup sehari-hari kita justru menuntuk kesempurnaan.

Ha ha ha podo gendengnya nih....

Apa iya karena kita ndak suka jeleknya? Apa ndak suka ketidaknyamanan-nya?

Klo saya usul, ya sudah pake aja prinsip:"expect nothing, accept everything, all all out, plus ikhlas". Mau? Monggo.....

Jakarta, 9:02, 3Jan2013

Belajar "Mingkem"...

Belajar "mingkem"

Selamat pagi beranjak siang rekan, sedulur dan semua sahabat tercinta...
Sedikit ingin berbagi...

Betapa berkah hidup ini luar biasa yak... Setelah melewati masa recovery hampir satu bulan "cabut 4 gigi geraham  bungsu" 9 Desember lalu, saya mengalami beberapa kejadian berkah....

Pertama, biasanya di saat menjelang tutup tahun, kami di kantor justru semakin terpacu untuk menyelesaikan "almost impossible (baca: very challenging) assignment". Sebab kebiasaan (seru) di kantor kami adalah, semakin sempit waktu, semakin tinggi tingkat keberhasilan, makin seru. Istilah kami adalah, memacu adrenalin, bagi khusus penggemar saja.

Beberapa anggota tim, memang mengerjakan dengan beberapa anggota badan. Kalo mustinya yang bekerja cukup hati, pikiran dan action saja (baca: tindakan), sering ketambahan dengan mulut..... Ha ha ha maksud saya, kalo almarhum ibu saya dulu selalu menyarankan, kalo kerja ya tangan dan kaki aja, mulut ndak perlu ikutan. Sebab kalo ketambahan mulut komentar dan mengeluh, akan mengurangi kecepatan dan fokus.... Jadi inget deh...

Kebetulan saya sejak bulan-bulan terakhir pindah tugas lagi, kok malah kebetulan, tugas mulut ini menjadi berkurang. Justru makin sering menambah tugas hati dan pikiran saja. Cocok tuh... Kembali ke Desember, dan justru ditambah dengan operasi (tingkat menengah) cabut gigi, karena secara fisik masih sakit dan engsel rahang cape kalo banyak ngunyah dan ngomong, maka justru lebih sering menahan (baca: mengurangi bicara aja). Jadi hanya yang perlu dan penting baru bicara. Daripada daripada kan.....

Pas banget. Ternyata Gusti Allah kok ya bener-bener, bener-bener Luar Biasa..... Berkah itu membuat (baca:memaksa) saya lebih mengolah hati, pikiran. Ya, kalo ndak perlu dan kurang penting, yo wis di-ndem saja, ditelan saja. Ndak perlu di-ke-ataskan ke pikiran, apalagi dikeluarkan ke mulut menjadi saran ato ungkapan (apa saja....)

Lha ternyata telah mengubah pola pengolahan input, proses, output. Lebih enteng jo.......

Terbawa sampe sekarang.....

Hayo siapa yang mau jalan hidupnya lebih uenteeeeeng....ngacir.....

Jakarta 8:50, 3jan2013

Kok Terganggu dengan Hal-hal Kecil?

Terganggu hal-hal kecil.

Saat mau tidur, tiba-tiba ada bau tidak sedap dari bantal.... Eh itu kan keringat sendiri. Saat mau mandi, handuk yang mau dibuat lap ke muka, tercium bau kurang enak, demeg, eh ....itu kan bau badan sendiri?

Saat di meja makan, belum terlihat makanan pagi. Lho yang mau makan kan saya sendiri. Ya monggo ambil protein, milo dan segera campur dengan air dingin, kocok botolnya sebentar. Jadi deh....

Masuk ke mobil, lho kok masih ada bekas permen semalam? Lha kan yang pake mobil, aku sendiri. Yang makan permen ya aku sendiri. Ya monggo dibuang dulu ke tempat sampah.

Dan seterusnya dst dst.

Wah kalo terganggu terus dengan hal kecil. Seolah dunia ini kok tidak tersedia untuk kita? Kok masih harus mpersiapkannya untuk aku nikmati dan jalani yak?

Lalu apa nunggu orang lain yang menyedikannya untuk kita? Atau kita mau mpersiapkan untuk kita sendiri. Monggo.......

Ingat kata Jalaludin Rumi, filsuf dari Timur Tengah, yang menyebut bahwa,"dunia ini Indah dengan segala Ketidaksempurnaan."

Mau menggerutu? Silakan......

Magelang, 9:24; 31 Des2012

Pulang atau Mampirkah Kita?

Tadi pagi saat merasakan segarnya mandi, di luar ruang, menunggu matahari yang akan muncul menyambut, selintas terpikir sesuatu....

Selama 6 hari telah menikmati jauhnya kita dari kebisingan, rutinitas dan sibuknya kegiatannya; membayangkan bahwa siang ini akan menuju airport kembali ke Jakarta. Pulang ke rumah, kembali ke rutinitas dan meneruskan hidup. Nyambut gawe. Siap menerima berkat Gusti dari keringat dan pekerjaan yang menantang 

Tercenung aku dibuatnya. Apakah kita menyebutnya kita kembali ke Jakartakah? Atau kita meneruskan hidup lagi di Jakarta? 

Jadi kita retreat di kejauhan Jawa Tengah untuk sekedar mampir, sebelum kita meneruskan hidup ini atau kita menyebutnya meneruskan hidup melalui kegiatan retreat ini? 

Sebagaimana setiap hari kita hadapi, apakah berputar dari pagi, siang, sore, malam, lalu kembali pagi? Atau kita secara linear berjalan dari pagi siang, sore, malam lalu meneruskan hari berikutnya. 

Kok jadi sama dengan kita menerima penghujung tahun, seolah kita sudah mengalami kejadian luar biasa di tahun ini sejak Januari, Februari dst sampai Nopember dan akhirnya 31 Desember. Lalu seolah kita menyambut lingkaran baru tahun baru esok 1 Januari.  Ataukah sebenarnya kita meneruskan hidup linear dari awal tahun sampai penghujung tahun, diteruskan ke awal tahun. Nothing special, just another day, another year. 

Pertanyaannya, apakah kita terganggu, terpengaruh atau ada perasaan awal-akhir setiap kali (seperti lingkaran)? Ataukah kita selalu berpikir lanjut..... 

Monggo rasa ini rekan2 ang menentukan. Psikologis? Magis? 

Losari, Grabag, 9:15; 31Des2012