April 23, 2012

Prejudice

Beruntung hari sabtu kemarin, istri tercinta mengajakku untuk kunjungan dan melakukan misa di penjara.

Satu perasaan yang langsung terungkap adalah, apakah kita lebih baik, lebih suci, atau lebih pantas dari mereka tersebut? Atau bila pertanyaannya dibalik, apakah mereka lebih berdosa dari kita yang di luar penjara?

Misa berlangsung lancar, awalnya agak kaku, tetapi saat liturgi dikombinasi dengan lagu, telah mencairkan suasana. Bahkan saat bersalaman-salam (salam damai), yang semula ragu, kaku, berakhir dengan cair dan senyum kehangatan.

Terima kasih Gusti, hamba boleh mengalami lagi kehangatan sesama.....

Sepulang dari kunjungan tersebut, pertanyaan....apakah rasa bersalah itu selalu diidentikkan dengan dosa? Apakah melanggar aturan negara akan selalu sama dengan melanggar aturan agama?

Biarlah tetap menjadi "tanya"....



Jakarta 18.57 23Apr2012


Bangga

Melihat prestasi yang dilakukan anak-anak kami, sungguh membuat bangga, senang dan bersyukur.

Tetapi apakah sedemikian kita diperkenankan? Apakah kita boleh meng-klaim bahwa itu karena kita telah mendidik mereka? Apakah kita ada andil di situ?

Bagaimana bila Tuhan mengatakan,"Tidak, kamu tidak ada di sana, itu karena mereka punya hidup nya sendiri, mereka punya pilihan hidup sendiri. Kamu hanya memfasilitasi saja."

Nah lho.....

Jadi ingat 2 minggu lalu, saya hadir di acara peluncuran buku Prof Dorodjatun, beliau mengatakan, anak-anak kita adalah generation Y. Ingat, bahkan Kahlil Gibran pernah menulis, apakah kita (berkah) memimpikan mimpi mereka? apakah kita yang mendiktekan mimpi kita pada mereka? Mereka adalah anak panah, sementara kita adalah busur-nya. Mereka, anak-anak kita, akan terlempar sejauh yang mereka ingin capai. Amin....

Jadi, bolehkah kita bersyukur atas mereka. Boleh. Berhakkah kita mengklaimnya atas keberhasilan mereka? Monggo dijawab sendiri.....

Tuhan memberkati rekan pembaca selalu


Jakarta 18.50 23Apr2012





Pindah.....

Menunggu adanya kepindahan, merupakan suatu yang luar biasa, bila kita mengalaminya.

Ada rasa bingung, senang, sedih, menyesal, bahagia, menerima, tidak rela, mau cepat-cepat dilalui, atau bahkan ada saatnya ingin menundanya saja. Wuih...seperti gado-gado atau Nano-nano. Rasanya asem, manis, asin. Campur aduk.

Awalnya rasa ini, tidak dapat menerima, sehingga pertanyaan di kepala adalah kenapa? Apa yang salah? Seberapa besar dampak kesalahan ini? Bagaimana bisa terjadi?

Sempat pembicaraan di hati kecil adalah, bagaimana bila semua pertanyaan tersebut tidak perlu ada jawabnya? Apa perlu dijawab? Apakah saya akan menyesal bila memperoleh jawabnya?
Sampai pada pertengahan minggu lalu, saya memutuskan untuk tidak (perlu) mencari jawabnya. Biarlah tetap menjadi misteri. Life goes on...

Bukankah hidup semakin menarik bila kita menerima misteri tersebut, tanpa ditelan, tanpa dikunyah, tanpa berdampak.

Enak saja!.....ternyata alam bawah sadar saya melawan, dengan semakin blunt saya berkomentar (baik dalam hati maupun berpikir). Sempat atasan saya menegur dengan mengatakan,"...kamu stress ya...?"
Awalnya dalam hati saya tidak mengakuinya, tetapi akhirnya saya akui bahwa sedikit banyak saya terpengaruh juga....

Malu...? Tidak... That's life.

Terima kasih Tuhan, saya boleh mengalaminya. Inilah berkah hidup.

Jakarta 18.40 23Apr2012

Bertemu Prof Dorodjatun...


Pelajaran penting dari pertemuan dengan Prof Dorodjatun…

Setelah memperoleh waktu untuk bertemu dengan beliau, ternyata kesan pertama bahwa beliau pernah menjadi Dekan FEUI, Menteri sewaktu zaman Orba, Dubes Indonesia untuk Amerika Serikat, Menteri zaman Reformasi, Komisaris Utama di beberapa perusahaan ternama, hampir tidak tampak. Justru beliau tampak sebagai seorang sahabat yang bersedia sharing pengalaman dan pertimbangan di masa mendatang.
Pertimbangan untuk menghadapi masa depan inilah yang membuat saya memberanikan diri untuk menghadap beliau.  Saya belajar dua hal besar, yaitu bahwa hadapilah segala sesuatu tanpa emosi (dettachment), kedua disiplin dalam memilih.
Hal pertama tampak dalam tindak tanduk, sikap dan pola pikir beliau yang setia pada prinsip dalam menghadapi hidup.  Beliau sampaikan,” apa sih yang permanen di hidup ini? Bukankah itu kematian dan perubahan. Jadi apa yang perlu kita siapkan? Legacy. Apa yang akan kita tinggalkan yang akan bermanfaat bagi sesama.”
Luar biasa. Beliau sampaikan bahwa hidup ini untuk dihadapi, terlalu singkat untuk melakukan hal-hal yang sia-sia. Berpikir dan bertindaklah strategis dan berdampak jangka panjang. Godaan sesaat adalah pola masa lalu.
Bahkan beliau sempat membagi nasehat orang tuanya,”mintalah nasihat dari orang tua atau orang yang kamu tuakan; juga mintalah nasihat dari gurumu. Bila tidak demikian, maka hiduplah yang akan memberikannya.” 
Disiplin, ini merupakan hal kedua yang beliau sampaikan. Kenapa? Sebagai contoh, banyak sekali orang lupa (atau tepatnya nglupa) saat berkuasa, saat berpunya, saat ada kesempatan, tetapi hal yang dipilihnya adalah yang berdampak jangka pendek (short-term-nisme). Sehingga temptation (godaan) yang seolah indah dan enak tersebut langsung ditubruk tanpa memperhatikan apa yang seharusnya kita lakukan, sesuai dengan tujuan kita.
Ilustrasi, banyak perusahaan setelah bertumbuh, maju, lalu kesempatan ada untuk semakin berkembang, apalagi pendanaan memadai.  Lalu yang dipikirkan adalah integrasi. Bila berdisiplin, maka yang kita pilih adalah integrasi vertical atau integrasi horizontal. Tetapi ingat, saat itu godaan begitu menggairahkan, maka yang ditubruk adalah investasi dalam bidang-bidang yang (hampir) tidak berhubungan dengan bisnis asli-nya.
Bayangkan, apa yang terjadi bila kita masuk dalam usaha yang bukan kompetensi kita? Apakah akan berjalan baik dalam jangka panjang? Apakah tidak ada “cara” lain untuk memperoleh benefit?
Pola yang kedua erat hubungannya dengan pertanyaan, apakah kita perlu memiliki atau hanya menguasai?

Beruntungnya saya sempat bertemu muka one-on-one sharing dengan beliau. 

Demikian tulisan kali ini di sampaikan. Monggo….. 
Tuhan memberkati rekan tercinta selalu.

Jakarta 17.10 23Apr2012