January 24, 2016

Takut dan Khawatir


Sampai dengan tahun 2013 kemarin, hal-hal yang menakutkanku adalah apa yang telah kuperbuat, dan dan apa yang akibat dari perbuatanku, pemikiranku, juga perasaanku. Sementara ini boleh kusebut sebagai Ketakutan dari masa lalu.

Tetapi sejak memasuki bulan Oktober tahun lalu, ku mengalami hal lain yakni bahwa ketakutan dan kekhawatiran justru akan hal-hal, apa yang dapat terjadi di masa depan

Carpe diem, seize for today…..jalanilah hidup saat ini. Demikian bunyi pesan yang sering kutemui, tetapi semakin sering justru semakin marahku dibuatnya.

Hal yang terjadi kemarin sudah berlalu, demikian hal yang terjadi besok belum terjadi, hadapilah, nikmatilah apa yang ada di hadapanmu saat ini. Emang enak….

Ternyata pesan yang indah tadi sedemikian buruk, bau dan tidak menghiburku

Gampang banget orang mengatakannya, pasti orang yang mengatakan belum menjalaninya ya….
Aku takut banyak hal, aku khawatir banyak hal yang dapat terjadi.

Pikiranku berisik, main sandiwara. Seolah ndak ada apapun yang dapat dilakukan. Dan dunia akan runtuh. Dan aku sendirian. Sendiri.

Mau apa?

Ya Gusti, dimanakah Engkau? Apakah Engkau ada di sini bersamaku?




Jakarta, 18:37; 24Jan2016

Esensi dari Penghasilan


Sejak dua puluh tahun lalu ku mengabdikan pada suatu pekerjaan, hal yang ku pahami, ku mengerti serta kupercaya adalah bahwa seseorang berkarya, menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan di ujung hari yang sangat ditunggu akan memperoleh hasil yang begitu diidamkan. Entah itu adalah reguler ataupun itu sesuai dengan prestasi.

Dan yang menarik adalah bahwa bila hal tersebut bermanfaat bagi orang lain akan semakin merupakan anugerah, sebab juga merupakan hasil, karya serta kemanfaatan yang dapat dinikmati, dilihat, dirasakan serta dialami oleh orang (orang lain maupun kita sendiri).

Sampai pada suatu saat, dimana penghasilan tersebut adalah suatu yang kita anggap otomatis diperoleh pada saat kita telah (merasa) menghasilkan karya………dan ternyata hasil pada saat yang kita tunggu tersebut tidak ada (baca: semoga “hanya” tertunda, dan belum terjadi).

Merasa sia-siakah aku ini?

Nah……

Seperti saat ini, apakah rasa yang kumiliki ini adalah pamrih? Apakah rasa yang kudamba ini adalah itung-itungan?

Ya jelas dong, lha wong ini adalah komunitas yang didasari kontrak komersial.

Terus, aku mau nunggu? Ya jelas… Sampai kapan?

Apa iya nunggu sampai jelas? Mosok ndak ada waktunya? Seorang sahabatku telah mengalami hal seperti ini hampir 40 bulan, waduh, lebih dari 3 tahun…. Kok kuat? Kok bisa? Kok masih mau?

Lalu kebutuhan keluarga gimana? Apakah dia ngomong jujur ke pasangannya?  

Ya Gusti, semoga Engkau memberiku kekuatan untuk menunggu (bila hal itu memang ada) dan mengambil keputusan (bila memang harus diputuskan). Ku yakin semua yang dihadapi ini memang sesuai kehendakMu dan demi mulianya NamaMu. Amin.

Di detik-detikku merasa sia-sia ini, semakin ku merasa miskin dan membutuhkahMu. Dan betapa kutengadahkan tanganku memohon petunjuk.

Dan Kau jawab:”anggaplah ini merupakan ujian akan masa tanam, akankah kamu akan meninggalkan ladangKu? bukankah Ku minta kau untuk menyiapkan lahan, menanam dan menyiangi. Waktumu untuk menuai akan datang”




Jakarta, 18:17; 24Jan2016

Tunggu apa lagi sih?


Dalam duapuluh lima bulan ku bergabung kembali pada komunitasku, dimana lingkungan ini merupakan kelompok yang sangat kubanggakan, kusayangi serta kupelihara, juga memelihara dan mengembangkanku serta dengan keras mendidikku; betapaku terasa asing, dan makin hari makin asing dan jauh dari apa yang kuperkirakan, kuharapkan…..

Ku tunggu, bahwa suatu saat akan kembali akrab, suatu saat akan kembali gembira, suatu saat akan kembali bersemanggat dan bersatu (kembali) untuk menuju “level” baru yang luar biasa….
Tetapi yang ada sampai saat ini adalah makin hambar, getir, asing, jauh, terpisah, kering, berkerak dan bahkan berbau…….

Yang tinggal di dalamnya (apa aku juga seperti itu ya?) tidak memiliki kebanggaan, tidak memiliki rasa ownership, jauh dari tanggung jawab, saling menyalahkan, menunggu sang juru selamat, menanti masa indah kembali dst dst dst….

Kalau yang ditunggu itu, kita justru semakin menyatu, itu membahagiakan, yakni bersatu dalam kesesakan, tetapi yang dirasakan adalah justru saling curiga…..

Jadi mau bangun dari tidurkah aku ini? Jadi mau sembuh dari sakitkah aku ini? Tunggu apa lagi?

Monggo…..



Jakarta, 16:34; 24Jan2016

Perasaan


Seberapa penting sih perasaan. Senang, sedih, bahagia, murung, fine, bĂȘte, tau ah….

Tiga minggu lalu, dengan dibantu sepupuku dari timur nun di sana, sedang mampir ke kotaku untuk membantuku beberapa tugas.

Sejak ku undang, dua hari sebelumnya, mood dan perasaan ku sudah seperti orang pacaran mau ketemuan. Senyam-senyumku di buatnya. Ser-seran, kata orang yang lagi kasmaran.  In the mood, kata seniman yang sedang dalam “high” menuangkan maha karya seni yang luar biasa.

Lha aku ini apa, wong karya aja ndak keliatan, nulis ndak aturan, bisa mbongkar ndak bisa pasang lagi, kalo ngomong isinya nyinyir, banyak yang kesinggung, ndengerin lagu aja seleranya ndak jelas, menganalisa, justru tertarik hanya pada fokus tiap orang pasti ada titik jahatnya (dark side)… wah parah deh.

Terserah…

Pada hari yang ditunggu, dengan ditemani kedua putra kebanggaanku, kita jemput sepupuku itu di stasiun. Wah makin gondrong, makin edan, makin meledak-ledak…. Cocok deh

Berjalan lewat dua minggu dia di kotaku, tugas yang dibantunya bukan saja selesai dengan sukses, luar biasa, tetapi justru buanyaaak sekali pelajaran hidup yang kelihatan dan yang ndak keliatan yang keluar dari cerita, sikap dan tindakannya.

Sebagian besar waktunya kalo cerita, selalu diisi dengan lelucon, mentertawakan hidup ini. Katanya Gusti senang becanda dengan kita. Justru dengan kegetiran dan kebahagiaan yang berdampingan dan seringkali kita justru tidak dapat memberi label apakah itu getir atau happiness, sebab batasnya sangat tipis, bahkan kadang paketnya justru ada keduanya.

Nah lho…..

Seringkali perkataan selalu diiringi celetukan,”mosok kowe ndak bersyukur Dik, dengan semua yang kowe terima, alami dan yang akan datang.”

Waduh….


Jakarta, 17:18; 24Jan2016


Just ask….tanya aja….


Seringkali ku mulai tindakan dengan berpikir, wah nanti ada apa-apa. Wah nanti ditolak, wah nanti begini, wah nanti begitu dan seterusnya. Belum-belum sudah banyak skenario sandiwara dalam pikiran ini.

Lucunya kemarin aku ndak berpikir, langsung tanya pada anakku yang besar;” mas, siang ini kamu mau kemana? Apa mau jalan sama bapak?
Tampaknyapun aku ndak perlu menunggu jawabannya, dalam arti apapun jawabnya aku siap menerima, ditolak, diterima atau diterima dengan syarat tertentu misalnya dia maunya jam setelah ini, atau nanti kalau sudah melakukan ini atau itu.

Dan ternyata jawab anakku adalah,” aku ndak kemana-mana tapi ndak mau jalan pak.”

Nah…..

 Biasanya kalau aku ngajak, berarti aku maunya (dalam pikiran dan perasaanku) ya musti harus dan wajib jalan. Kalau ditolak berarti menolak bapak. Menolak ajakan bapak. Sang bapak dalam diriku ini merasa ditolak, merasa tidak dianggap. Bahkan biasanya, aku langsung emosi, walaupun tidak mesti meluap-luap. Tapi minimal hatiku dan perasaan serta emosi ku hari itu langsung bad mood, ndak enak ngapa-ngapain.

Lucu, sekali lagi lucu sekali apa yang kualami pagi kemarin, justru aku ndak merasa apa-apa. Ndak merasa ada yang hilang, ndak merasa ditolak. Biasa aja. Cool aja. Woles kata anak sekarang.

Apa yang terjadi ya?

Setelah kejadian itu justru aku merasa, kok bisa ya. Betapa anugerah Gusti….

Bagaimana dengan mu sahabat? Pernahkah merasakan hal kecil yang ternyata “cukup besar”?

Monggo…..


Jakarta, 16:59; 24Jan2016