August 29, 2014

Menilai


Kusebut diriku sudah bebas, kusebut diriku humble, kusebut diriku detachment, kusebut diriku pembangun yang mengembangkan, lho kok masih saja aku bersungut-sungut melihat penolakan dan kritikan?

Baru saja terjadi di restroom bersama Har temanku, saat ku sampaikan bahwa pembandingan 5 tahun terakhir ini, dimana tidak terjadi perkembangan, kok pada 8 bulan terakhir ini aku menyebut diri dituntut untuk mengadakan perubahan…  ge’er bener nih aku.

Sampai akhirnya kusampaikan pada sobatku, lha kalo nanti setelah dibuka semua, dan secara jujur, integrity dan kesatria, apa iya akan terjadi perubahan? Dan kalo memang upaya untuk perubahan dirasakan dan diinginkan tidak (akan) dilakukan, maka (dengan mutung) ku hapus semua dari pikiran dan mejaku….

Ha ha ha… ekstrim banget

Itu sih namanya minta dihargai, minta diperhatikan, minta diindahkan, minta dituruti, padahal apa yang terjadi jangan-jangan memang dirancang untuk demikian?

Bener juga sih.

Jangan-jangan perubahan itu hanya obsesiku semata, dan bukan demikian yang diinginkan bersama.
 
Jadi? Ya udah laaaah…..



Jakarta, 14:25; 29Aug2014

Bebas dari Keterkondisian

Dari tulisan Romo Sudrijanta tentang Libertas Cordis tertanggal 20 Agustus 2014. http://meditativestate.wordpress.com/2014/08/20/libertas-cordis/
…..Kearifan dalam memahami sifat batin yang terkondisi hanya mungkin muncul apabila terdapat kebebasan sepenuhnya. Kebebasan haruslah menjadi langkah pertama dalam melihat, mengamati, menyadari, memahami, atau mengeksplorasi. Mengamati dalam kebebasan, itulah langkah pertama, sekaligus langkah terakhir.
Kebebasan bukan berarti “bebas dari”, bukan “bebas dari emosi yang tidak stabil”, bukan “bebas dari pikiran dan nalar yang kacau”, bukan “bebas dari rasa salah dan kecewa”, bukan “bebas dari rasa jenuh, bosan, rasa lumpuh.” “Bebas dari” adalah sebentuk kebebasan yang terkondisi, kebebasan yang terbatas, sebagai reaksi dari kondisi-kondisi.
Melihat tulisan dari Romo Sudrijanta, tentang “bebas dari”, langsung terngiang dalam benak saya bahwa setiap mahluk akan pertama kali menemui hal ini, dan ingin mencapai jenis bebas ini. Yakni, “bebas dari”.  Hal ini terjadi karena pada tahapan ini, sang mahluk merasa dirinya pemula, bagi kondisi tersebut, sehingga hidupnya sangat tergantung hal lain, orang lain, pihak lain, kondisi eksternal dengan sangat dahsyat.  Ibarat kita pertama kali masuk sekolah, dan bingung karena semua serba baru, atau kita baru pindah tempat kerja, atau baru pindah rumah ke lokasi baru. 
Serba baru tersebut membuat kita perlu dan penting untuk “bebas dari” karena kita merasa sangat dependent.
Dengan berjalannya pendidikan yang kita sambut, terima dan pelajari, lalu kita menjadi terbebas dari tahap awal dengan melepaskan diri dari dependent menjadi independent.  Maka kita lanjutkan cuplikan dari tulisan Romo di atas…..

Kebebasan sepenuhnya juga bukan “bebas untuk”, bukan bebas untuk melakukan apa saja yang Anda inginkan atau bebas berkeinginan. Kalau Anda suka, Anda bebas untuk menyenangi apa yang Anda suka; kalau Anda tidak suka, Anda bebas untuk menolak atau membuang apa yang Anda tidak suka. Kebebasan seperti itu gampang mengarah pada penyimpangan-penyimpangan.
Banyak sekali orang diiming-iming dan tergoda untuk masuk dalam tahapan ini, karena merasa yang dipenuhi adalah “rintangan” yang kemarin, yakni bebas dari….
Jenis bebas dari ini lebih dikonotasikan oleh rasa yakin diri berada sebagai objek, sebagai korban, atau sebagai victim, pelengkap penderita. Sehingga hidupnya tergantung hal eksternal.  Kesuksesan, kebahagiaan, kesenangan, mood, juga sedih, benci, atau bingung, disorientasi, tergantung hal eksternal. 
Mereka ini percaya bahwa menjadi dependent karena pihak lain, dan untuk membalikkan keadaan adalah dengan mencapai kesuksesan, kebahagiaan, kenyamanan, adalah dengan cara meraih materi, hadiah uang, menang loterei; menjadi direktur, menjadi pejabat, menjadi penguasa dan menjadi apapun yang membuat orang/pihak atau apapun lalu, dirinya sengsara, terpojok dan kesulitan.  Ada unsur balas dendam….
Mereka merasa mandiri untuk (membalas) pihak, orang/hal ekternal yang sebelumnya membuat dirinya menderita dan tidak bahagia. Karena percaya bahwa bahagia sumbernya juga eksternal
Jadi tahap “kemandirian” dan merasa diri “bebas untuk” justru lebih berbahaya dan lebih ganas. Karena pada tahapan ini, ibarat anak TK pegang pisau dapur (yang gunanya untuk memasak), justru untuk menakut-nakuti orang lain, seperti ibunya, orang tuanya, gurunya, atau bahkan minta priviledge untuk memperoleh kemudahan, misalnya mengancam penjual es dungdung, untuk dapat membeli dengan gratis. 
Pada tahapan ini, keyakinan diri “bebas untuk”, menimbulkan feeling independent. Nah kalo independent diartikan sebagai bebas, sebagaimana kemerdekaan dari penjajah, dan ada ilustrasi sebagai berikut:
Seorang penumpang saat tahun 1946, naik kendaraan umum, dan ditagih bayaran karcis oleh kenek, justru menjawab:”lha wong sudah merdeka, kok disuruh membayar? Kalo masih membayar kan berarti seperti jaman Belanda kemarin?”
Kesewenang-wenangan akan timbul, bila penguasa, pemimpin, pejabat, petugas pemerintah serta direktur atau para pengurus pelaksana, justru melakukan tindakan abuse. Apalagi kalo ditambahi rasa mumpung, mumpung masih menjabat, mumpung masih punya fasilitas, mumpung dianggap oleh masyarakat dst dst…waduh bakal gawat tuh…
Nah oleh karenanya, akan semakin menarik sajian tulisan Romo di atas dilanjutkan dengan jenis kebebasan yang bertanggung jawab yakni kebebasan sepenuhnya, dan saling menghargai sehingga setiap pihak, setiap mahluk berpikir, berperilaku, bersikap dan bertindak karena memang tidak tergantung dari hal eksternal, melainkan karena justru roso yang sudah penuh berkat dari Gusti Allah, dan penghargaan atas Nya.
Jadi, dalam kebebasan sepenuhnya, tidak terdapat keterkondisian dan tidak terdapat penyimpangan-penyimpangan. Dalam kebebasan sepenuhnya, tidak terdapat motif untuk melenyapkan kotoran batin, untuk menyalahkan, untuk menilai atau untuk mengubah. Batin sepenuhnya diam, waspada, peka, stabil, tidak terguncang, tidak terusik. Batin seperti ini mampu bertindak secara benar dan tepat sasaran, tanpa penyimpangan-penyimpangan. Itu adalah gambaran batin yang sepenuhnya bebas, jiwa yang sepenuhnya bebas.
Maka jiwa dan batin ini akan menimbulkan mahluk yang interdependent. Saling menghargai, respect, saling bantu, juga saling dukung. Karena memang demikian adanya.  Bukan karena butuh, karena ingin sesuatu.  Bebas sepenuhnya yang interdependent.  
Monggo….


Jakarta, 29Aug2014; 13:30