Showing posts with label sabar. Show all posts
Showing posts with label sabar. Show all posts

August 16, 2013

Kaku? Seberapa kaku sih aturan perlu ada?


Pernah baca di suatu blog situs, yang menyebutkan bahwa pada suatu perempatan jalan yang cukup ramai, keempat jalur arahnya dibuatkan lampu bangjo (abang-ijo, ini kalo di Jawa Tengah menyebutnya) atau lampu traffic light kalo kerennya, atau lampu merah ijo (merah-kuning-ijo). 

Sudah dibuatkan lampu yang menyala saja masih banyak terjadi kecelakaan. Banyak pengemudi yang hanya melihat lampu merah, tapi langkah berikutnya, apa di sisi jalan lainnya lebih sepi? Kalo sepi atau ada kesempatan sedikit, akan jalan, tanpa (penting, bukan perlu) untuk melihat kedua kalinya. Ini cocok dengan buku-nya Malcolm Gladwell, just do, no need think twice. Sebab halo efeklah yang paling benar menurut instink. He he he... Bener ndaknya, monggo dicocokkan dengan pengalaman mas2 dan mbakyu2 sekalian...

Bukan hanya motor saja yang melakukan "curi start" ini. Wong curi start di arena lomba lari saja didiskualifikasi. Jadi ingat Usain Bolt yang didiskualifikasi karena dianggap curi start, setelah dia menjadi juarapun tetap dipantau, sebab punya "dosa besar yang ndak bisa dilupakan orang".

Kembali pada pengemudi, juga dilakukan oleh kendaraan umum, kendaraan pribadi. jangan-jangan pejalan kakipun demikian ya? Wah kok jadi banyak ya? Jadi apa mesti tes psikologi lagi ya?

Tidak jarang, sepeda motor dengan sepeda motor bertabrakan dari arah tanda plus (satu dari kiri satu dari depan (karena salah satu tidak mengindahkan lampu bang-jo tadi). Kalo sepeda motor, traffic tidak terhenti lama, karena "sesama".

Nah menarik kalo kecelakaan antar sepeda motor dengan kendaraan roda 4, nah ini masih tergantung kalo kendaraan umum, yang maklum lebih banyak. Ya jelaslah sebab sudah pasti ujungnya "maaf", ndak kuat bayar. Lha iya kalo "cuma" ringsek; lha kalo nyawanya sudah ndak nempel lagi? paling-paling kendaraan umumnya dibakar kan? Kalo ikan bakar sih enak, kalo Me**o M**i opo ya enak? Sangit lah bau nya... 

Sangat menarik kalo kendaraan pribadi, akan terjadi hukum rimba, sebab semua yang berkendaan roda 2 berubah jadi singa lapar yang siap melawan raksasa Goliath. Merasa semut yang mau melawan Mammoth Gajah Purba. Semua "sesama" tadi berubah bermata merah, bawa helm dan kunci pas sebagai senjata. Kata maaf saja ndak cukup, kata damai dan diselesaikan dengan kekeluargaan saja ndak mempan. Musti ada yang dilukai fisik juga mentalnya. Kalo perlu dikeroyok rame-rame. Mirip acara "ngalap berkah"....

Kembali pada "percobaan" yang dilakukan suatu pemda dinas perhubungan darat tersebut (lupa saya di negara atau daerah mana), suatu kali lampu bang-jo dan segala sign board di sekitar perempatan tersebut ditiadakan. Dan dilakukan pemantauan selama 3 bulan, dicatat dan dievaluasi. Nah ini yang mau saya ceritakan:

1. Pola perilaku pengemudinya menjadi lebih sabar, atau setidaknya berubah lebih waspada, sebab menjelang masuk ramainya perempatan, sudah mempersiapkan diri untuk berjalan lebih pelan, lalu mencari kesempatan untuk masuk dan keluar dari perempatan, melihat dulu gejala jalan kendaraan di sisi lain serta baru keputusan untuk jalan.

2. karena hampir semua bertindak demikian, maka dengan sendirinya. Saling waspada, dan tidak menggantungkan lagi pada sign board juga lampu bang-jo. Juga sudah ndak akan menggunakan tanda lalu lintas sebagai "ego" untuk merasa paling "benar". Wong ada tanda lalu lintas saja dianggap sebagai "patokan" untuk dilanggar kan?

Jadi ingat larangan nyontek, malah membuat pelajar pengin nyontek. Coba suatu ketika di kelas, guru mengatakan, silakan menyelesaikan tugas, mau sendiri monggo, mau kerjasama monggo, mau dibawa pulang monggo. Hayo... malah penginnya kerja sendiri, ndak mau temannya nilainya sama dengan kita kan?
Jadi, aku ini, manusia ini, kita ini, apakah memang maunya diberi aturan ato ndak yak? Diatur maunya dilanggar, kalo melanggar, bangga. Kalo ndak diatur dan ndak ada yang ngatur, teriak2 minta diatur? Halaaaah, maunya apa sih?

Mer---de--kaaaaaaaaa Bung!


Jakarta 16Aug2013; 8:51

March 06, 2012

Mengeluh

Sering kita merasa bahwa semuanya ndak beres....

Pagi ini, kita bangun terburu-buru, karena sudah terlambat maka, otak kita langsung scanning apa aja nih yang ndak beres. Apakah dokumen sudah disiapkan, apakah sarapan sudah siap, bagaimana dengan sepatu? Tadi malam apa ya yang mau saya kerjakan sebelum mandi? Lho kok di handphone sudah ada miss-call? Waduh ini, waduh itu dst dst.... belum ditambah lagi kok air di kamar mandi ndak keluar? Waduh listrik nyala kok air ngadat? Langsung terpikir kok ndak ada yang peduli sih.... Tadi waktu anak-anak mandi apakah masih ada airnya? Kok ndak ada yang kasih tau...

Pernahkah anda mengalaminya? Sering? Baru saja? Ndak pernah...?

Ha ha ha....kalau sedang normal, saya biasa komentar, begitu aja kok repot? Emang ndak ada yang lebih berbobot?

Coba kalau kita sendiri yang mengalaminya... Maka apa saja yang ada di depan mata seolah menjadi musuh dan memusuhi kita... Hayo ngaku....

Mumpung sedang normal, saya berkesempatan untuk membongkar walau sedikit...
(coba perhatikan cerita di atas)

Mulai bangun pagi dan terlambat, siapa yang suruh tidur telat?
Kedua, begitu menemui dokumen dan peralatan siap tapi kita ada janji pagi hari, siapa yang perlu menyiapkannya dan kenapa ndak dilakukan? Siapa yang perlu?
(langsung aja di akhir ya...) air untuk mandi ndak keluar, lha kalo tadi pagi aja anak-anak bisa mandi dan ndak rame kok kita rame, kayak cacing kepanasan. Emang ndak ada jalan lain?

Mau repot? Monggo...

Kalo mau repot jenis 1 (satu) yakni repot membela diri; pertanyaan 1 bisa dibalas demikian. tadi malem kan masih mbantu anak mengerjakan PR dan kebetulan si kecil ngompol jadi mbantuin ganti sprei... Belum siapkan dokumen dan peralatan, kan tadi malem masih antar ibu ke UGD... Air ndak keluar di kamar mandi, lho kan yang tugas menyiapkan bukan saya, kok jadi kita?

Berbeda dengan mau repot jenis 2 (dua), yakni lebih cool dan sabar (mungkin jarang yaaaa... hayo ngaku...)
Terlambat, ya sudah, coba mulai dengan persiapan, sambil telpon minta maaf bila terlambat. Eh air ndak keluar di kamar mandi, ya udah...ambil air di ember dan gayung dari kamar mandi lain.

Coba bandingkan perasaan dan emosi serta energi yang terbuang... Monggo dirasaken...

Jakarta 17.45 6Maret2012

March 02, 2012

Pepatah: berhenti, artinya kita tiba di suatu tempat

Membaca sebagian kecil pada buku "berjalan di atas air" karangan Romo Anthony de Mello, seorang Jesuit dari India sungguh menenteramkan hati.

Pada bukunya halaman 25, disebutkan demikian, Orang Jepang punya pepatah, " Pada waktu anda berhenti mengadakan perjalanan, Anda akan tiba di suatu tempat." dan saya akan berkata,"pada saat Anda berhenti berlari, Anda akan sampai di suatu tempat."

Hal ini mengingatkan saya bila kita mengadakan suatu perjalanan, misalnya dari Jakarta menuju Bandung naik kendaraan pribadi lewat Cipularang. Berangkat siang ini setelah sholat Jumat. Tentunya berpikir, akan lewat mana rutenya, bawa apa aja, dengan siapa dan terutama ke Bandung mau melakukan apa saja, berapa hari diperlukan?

Baiklah, kita hanya menyitir perjalanan berangkat saja, sekitar jam 14, maka ditengah jalan kita ingin mampir di rest area untuk, tugas biologis serta mengisi perut. Ini yang menarik, biasanya saat berhenti, terpikir bahwa,"ayo cepat-cepat, karena waktu kita menikmati kopi, atau mulai bersendau gurau, kita tidak akan memperoleh apa2 bahkan akan ketinggalan sehingga sampai nantinya justru kemalaman." hal ini terpikir sebab bisa "kehilangan satu "waktu menikmati Bandung", waduh...."

Terpikir akan merasa rugi, merasa kehilangan, merasa kesal, dst dst dll.

Kita selalu berusaha menghemat waktu, dan justru kehilangan hidup kita yang berharga. Seperti Gusti Yesus pernah bersabda,"Kalian telah memperoleh dunia, tetapi akan kehilangan nyawa!"

Jadi ingat sampai dengan tahun 2010, saya senang menyetir mobil sendiri, tapi (ini yang menarik) suka mengeerutu kalo disalib orang lain di jalan. Lalu berusaha menghalangi jalan mobil atau kendaraan yang grusa-grusu tersebut. Alhasil istri saya suka menyindir,"sudah, biarin aja, emang kamu ngebut-ngebut mau kemana sih? Paling nanti jadi stress, mood kamu jadi rusak dst dst..."

Setelah latihan yg luar biasa membiasakan diri sabar (walau ndak gampang karena sering tergoda lagi...) saya coba tanamkan, kalo ada yang grusa-grusu lalu berpikir, waduh kasihan ya, orang itu pasti lagi buru-buru sebab sudah a) ketinggalan pesawat, b) sedang adaanggilan biologis (kebelet maaf-pjpis), c) kehilangan pekerjaan......

Dengan demikian latihan sabar, dengan memandang dari sisi orang lain. Hi hi hi, emang enak.....

Alhasil, di situasi apapun, di manapun, kapanpun, bila ada yang grusa-grusu ndak sabaran, saya jadi ingat mirip saya dahulu....

Demikian sharing pagi ini. Monggo mentertawakan diri sendiri dalam situasi saat ini...
Tuhan memberkati.

Jakarta, 7.21 2mar2012

October 16, 2011

Sabar (1)

Sabar, atau patient. Sering kita dengar bahwa kata ini sederhana, tetapi sulit sekali mempraktekkannya.

Sebagai ilustrasi dan contoh, seberapa sering kita temui dalam perjalanan, sepeda motor, kendaraan umum serta mobil pribadi menjadi tidak sabar, apalagi bila sesama pengguna menjalankan kendaraannya dengan cara zig-zag. Bahkan kita lihat pada perempatan jalan, pengemudi sepeda motor begitu lihat jalan sedikit ada kesempatan, maka tidak perlu menunggu lampu hijau, tancap gaaaaasssss.

Kalau belok, tidak perlu lihat kendaraan dari arah lainnya, sehingga bila pengemudi lainnya melakukan hal yang sama, maka dapat terjadi kecelakaan. Dan bila hal ini terjadi, maka hampir bisa dipastikan, sesama pengendara motor (walau tidak tau masalahnya) ikut membela "sesamanya" apalagi bila "musuhnya" mobil. Wow....

Pernah saya praktekkan, bahwa kalau didahului oleh pengendara lainnya, maka saya anggap dia sedang buru-buru mau (maaf) buang hajat. Mohon dimaafkan, jadi ndak perlu ikutan "hati menjadi panas". Cukup mengurut dada sendiri aja.

Apa ada rekan pembaca yang punya tips untuk menjadi lebih bersabar? Matur nuwun.



Jakarta 22.15 Okt16,2011