October 19, 2014

Its not over until the fat lady sings




Dari buku John Maxwellsometimes you win sometimes you lose learn”, halaman 98, beliau mengambil juga dari buku Bob Wosczyk yang berjudul tersebut di atas; disampaikan bahwa ekspresi tersebut mengacu pada opera yang sebentar lagi akan berakhir bila penyanyi soprano yang biasanya bertubuh sintal gempal mulai menyanyi. 

Maksudnya adalah bahwa kita, eh aku sering menunggu atau bahkan mengharapkan “pertarungan” segera berakhir. Lho kok si aku malah mengharapkan segera berakhir? Segera berlalu? Segera berganti permainan? 

Betul, bahwa kenyataan, aku sering memilih untuk berjuang setengah hati aja. Ndak ingin berjuang all out, ndak ingin berjalan dan bergerak sendiri di depan, di antara rekan-rekan. Mulai dari takut diteriakin sok semangat, sok memimpin, sok leader, sok macam-macam…..

Malah aku memilih untuk stay low, ndak udah kelihatan, lha hidup kan perjuangan, dan selama ini sudah cukup babak belur, cukup compang-camping. Nanti kalo berjuang dengan lebih semangat dari biasanya, malah mengundang curiga, mengundang gunjingan, dibilang terima suap, dibilang “pasti ada maunya tuh….” dst dst dst….

Aku milih untuk diam aja deh… titik 

Pikiran ini malah mengundang “sandiwara”, what if… gimana kalo ini, gimana kalo itu, apa pasti ada jalan dan pintu yang terbuka? Jangan-jangan nanti malah keblusuk ke jurang tak bertepi, ato justru saat kejungkal terperosok bener-bener ndak ada yang menolong. Lalu kalo ndak ada yang menolong, gimana dong? 

Terus aja, main sandiwara, ndak ada ujungnya, ndak ada juntrungannya. Malah ndak ngapa-ngapain dan ndak kemana-mana, malah ndak maju, ndak bergerak, ndak mundur atau malah diam aja…. Takut apa sih? 

Bertanya penting, tetapi kebanyakan pertanyaan, justru mbikin aku ndak bergerak.

Kembali pada buku John Maxwell tersebut, disampaikan bahwa “aku” ini (seringkali) ndak paham, kalo melakukan quit justru saat “sbentar lagi” mendekati tujuan, goal, dan impian kita. Nah lho….. Jadi ingat sebuah buku Greg S. Reid yang menulis: "Three feet from Gold".  Dan aku justru quit. Bukankah saat seperti ini yang diuji adalah kesabaran, ketangguhan ku? Patience and resilience.

Masa lalu sebagai patokan, betul sebagai pelajaran, tetapi bukannya satu-satunya hal yang menentukan keberhasilan ku.  Latar belakang adalah pengalaman, tetapi yang jauh lebih penting adalah latar depan.  

Maukahku menyongsong nya, menjemputnya, menyambutnya.  

Sekitar 3 minggu lalu, ku bertemu dengan pak Waluya, seorang tentara aktif. Saat hendak pamit pulang, kusampaikan,”terima kasih pak atas pertemuan ini, siapa tau kita jodoh ya pak.” Dan dijawab beliau sebagai berikut,”mas, ada istilah, jodoh itu ditangan Tuhan. Dan kita memang harus ikhtiar untuk menyambut dan menjemputnya, agar bisa sang jodoh tersebut di tangan kita dan bersama kita. Kalo ndak ya, si jodoh tersebut tetap di tangan Tuhan kan?”

Wow bener-bener marem, mantep tuh wejangan. Luar biasa….

Menurutmu?

Sawangan, 19:03, 18Okt2014