October 31, 2011

Runtuhnya Kekuatan Kepercayaan

Baru saja, terbayang oleh saya, bahwa bagaimana rasanya bila kita mengalami hal yang begitu meruntuhkan jiwa dan kepercayaan.

Misalnya, kita percaya pada seseorang, sesuatu atau apapun juga, ternyata pada suatu ketika, hal tersebut berbeda dengan yang kita yakini.

Ilustrasinya sebagai berikut: apakah pernah terbayang oleh rekan-rekan bahwa orang tua kita merupakan orang yang begitu sayang pada kita, ternyata bila kita baca di media, ada tuh orang tua yang tega menyengsarakan anaknya. Eh, usut punya usut, ternyata orang tua sambung atau orang tua tiri. Begitu lekat di pikiran kita (hati kita) bahwa kalo orang menyayangi tentunya akan memperhatikan, mendengarkan, mendidik serta mengawal kita sampai kita bisa berdiri sendiri. Eh, nyatanya bisa begitu berbeda. Maka runtuhlah kepercayaan kita.....

Ilustrasi yang lain: pernah suatu ketika, saya ikut klub sepak bola. Dalam pikiran kita, tentunya pelatih, manager serta pemilik klub ingin agar kesebelasan yang dibina dan dimiliki tersebut selalu membawa kemenangan. Sehingga membanggakan. Eh.....ternyata pada suatu ketika pertandingan yang menentukan klasemen untuk divisi kotamadya, ternyata di tengah pertandingan, sang pelatih didampingi manajer mengatakan, kita ndak perlu begitu kuat menjaga lawan, yang kalo diterjemahkan dengan bebas, kalo mereka lebih kuat ya sudah, ndak usah fight sekuat kita.....Lho? kalo kemasukan gol gimana? Ternyata jawabnya, ya sudah, kita kan lain kelas.

Usut punya usut ternyata, "ada main mata". Waduh...kok begini ya Gusti? Runtuhlah kepercayaan yang kita gantungkan pada para tetua tersebut.

Menurut kitab suci yang saya baca, dan baru coba menggali, ternyata Gusti Allah kita itu luar biasa...dalam keadaan apapun, dan bagaimanapun, tidak akan meninggalkan dan menelantarkan kita walau sedetikpun. Sebagai mahluk ciptaanNya yang seringkali lalai, bahkan mengabaikan (dan tepatnya menghinaNya pun) tetap dicintainya dengan luar biasa.

Jadi bila demikian, rekan-rekan pembaca, apa lagi yang dapat menjadi "cantolan", tonggak penggangan kita bila bukan Gusti Allah yang Maha Kasih tersebut.

Apa kita masih mau bergantung pada seseorang, peran, jabatan, barang, atau apapun selain Gusti Allah?

Monggo digali...... Matur nuwun sudah meluangkan waktu untuk membaca renungan ini. Tuhan memberkati rekan sekalian.

Jakarta 14.38 Okt31,2011



Emosi, Pengetahuan dan Dusta 1

Selamat pagi rekan pembaca yang saya cintai.

Sejak 2 hari lalu, hati saya gundah akan apa yang dapat dan mungkin terjadi pada diri maupun sekitar saya. Puji Tuhan, alhamdulilah, ternyata saya diberkati Tuhan dengan pasangan hidup yang demikian sabar mendengarkan kegundahan ini. Juga dengan anak-anak yang dengan keadaannya memberikan warna hidup ini lebih terang dan cerah.

Jadi apa yang perlu dikhawatirkan?

Setelah dijewer oleh tangan Gusti Allah, ternyata bahwa saya telah kurang sabar dan bertahan. Bahkan cenderung mencari pengetahuan untuk mengetahui dan mengerti kondisi kemanusiaan ini. Sehingga bukannya menemukan terangNya malah justru kabut hitam tebal ketidaktahuan.

Ilustrasi sederhana baru ditiupkan ke telinga saya, bahwa emosi ini ibaratnya tenaga besar mobil Amerika ber-cc besar, yang kalo kita tekan kopling terlalu lama akan berakibat selip dan tergelincir. Alih-alih mengangkat kaki agar tidak menginjak gas, kita berharap ada pengetahuan yang menjelaskan apa maksud adanya gas, kopling, rem bahkan kemudi di kendaraan tersebut.

Alih-alih belajar mengerti niatan kita menginjak gas di kendaraan kita, tetapi kita justru mencari pengetahuan kenapa kendaraan kita kok tidak berjalan maju? Jadi godaan untuk mengerti niat dimatikan oleh pengetahuan teknis untuk memuaskan emosi kita.

Sehingga tidak mengherankan, kalo kita temui dusta hanya karena kita menutupi pengertian tentang niat perbuatan vs pengertian tentang hal teknis (baca: tips-tips praktis) saja.

Demikian melelehnya emosi karena ngotot mencari pembenaran telah membuat saya menabrak tembok pengertian. Waduh....

Jakarta 11.03 Okt31,2011

October 30, 2011

Relationship 1

Tadi malam saya baca bukunya Les Parrot III Phd, yang berjudul High Maintenance Rwlationship. Waduh, rasanya kok seperti dijewer dan ditampar-tampar... Baru halaman 1 saja sudah mengatakan demikian "...sewaktu kanak2, saya tidak pernah berpikir untuk dengan sengaja menjalin suatu hubungan dengan seseorang. Semua itu terjadi begitu saja. Dan jika karena satu alasan, hubungan itu tidak bewrhasil, saya segera meninggalkannya tanpa harus merasa pusing maupun repot2."

Coba rekan pembaca, rewind lagi kejadian zaman kecil, apakah benar demikian? Rasanya sih demikian. Orang sono bilangnya "no hard feeling" lan enteng aja.

Tuan Parrot meneruskan,"Namun, suatu saat saya mulai mengenal percekcokan dalam hubungan dewasa, dan persoalan itu menjadi serba tidak pasti. Saya mengetahui bahwa beberapa orang lebih sulit, bahkan mustahil untuk diajak bergaul. Misalnya , saya mengetahui bahwa sahabat-sahabat yang dipercayapun dapat mebgkhianati saya. Orang-orang berkuasa yang saya kagumi dapat menghina saya. Kritik yang terus-menerus dilontarkan oleh seorang rekan kerja dapat melukai hati saya. Bahkan, anggota keluarga pun dapat meninggalkan saya."

Nah ini yang "bagus", digarisbawahi oleh Tuan Parrot,"Namun, saya pun tahu bahwa saya tidak dapat memutuskan hubungan begitu saja setiap kali saya menghadapi rintangan, kecuali saya ingin menjadi pertapa.". Nah lho... Ekstrim kan ....

Kalo saja tuan Parrot menjelaskan demikian, dan kita sedikit banyak mengaminkannya, apa iya kita mau lari? Mau menggali lagi kenapa ya? Atau justru kita mau memilih jadi pertapa saja?

Monggo rekan pembaca memutuskan sendiri, yang kalo ndak mau sendiri mungkin mau bareng2...
matur nuwun.

Jakarta 08.55 Okt30,2011

October 26, 2011

Ketularan

Kalau tetangga yang sebelah duduk di kendaraan umum mulai batuk-batuk, sentrap-sentrup pilek, maka mulailah kita khawatir kalau ketularan influenza.

Ada kejadian lain, misalnya saat kita mulai keranjingan olah raga, sebut aja, jogging. Dimana setiap sore, selepas pulang kantor, maka mampir ke Gelora Senayan untuk jalan kaki cepat selama 5 putaran. Karena badan enak, maka kita pengin bisa menularkan kebiasaan "baru" kita pada orang lain. Entah karena badan kita merasa enak, lalu pengin ngajak; atau niat yang lain yaitu mencari teman sehingga lain kali sudah ndak jogging sendirian.

Nah kalo kejadian berikut ini adalah lain, yaitu bahwa teman sepermainan merasa "tertanggung" dengan sikap atau tindakan teman baru. Lalu mulailah semua prasangka dan wujud ketidaksenangan dicurahkan sehingga memperkuat kita dan para pendengar "ajakan" lainnya untuk juga "menjauhi" teman baru tersebut.

Jadi bila dilihat sepintas, tular, menularkan atau ketularan, sebaiknya dianalisa lebih jauh, apakah memang penting? Apakah mempengaruhi hidup kita? Atau benar-benar mengganggu atau justru bermanfaat untuk kita? baik secara individu maupun kelompok.

Demikian rekan pembaca, sekedar "secuil" pandangan saya. Bila memiliki pandangan lain, nggih monggo kerso.

Jakarta 15.55 Okt28,2011

October 24, 2011

Merasa ada

Merasa ada vs merasa kekurangan, merupakan jenis rasa yang sering menghinggapi kita semua.

Pernah suatu ketika penulis mengalami keadaan kekurangan, dana terbatas, untuk hidup sehari-hari, baru mulai kerja. Saat itu, yang dilihat hanya "ke atas" saja. Mulailah berandai-andai, kalo nanti gajian, mau makan di restoran A, atau mau punya mobil yang AC-nya dingin atau pengin nabung, sehingga saat libur minta cuti bisa ke Singapura....

Nah saat karir beranjak, dan makan di restoran bisa dilaksanakan, kendaraan punya walau tidak perlu yang wah, atau libur bisa memilih dalam negeri atau luar negeri dekat. Mulailah keinginan yang lain, yang juga masih melihat "ke atas".

Sehingga pada suatu saat, sambil jalan-jalan sore, sepulang dari kantor. Waduh hidup itu sebenarnya uenaaaak banget. Bangun pagi; disambut anak pamit mau ke sekolah, mau mandi;ada air, mau makan; ada supermi, mau ke kantor; ada yang bisa ditebeng'in, kerja; ada mitra kerja, pulang kantor; masih ada yang nunggu di rumah. What a wonderful world. Matur nuwun Gusti Allah.

Apa iya perlu dan penting bila kita pergi ke kantor, makan, bekerja, berlibur, menempel dengan "merek -- brand" yang hebat-hebat?

Betul bahwa penulis sendiri masih jauh dari sempurna. Dan kalo dalam keadaan "sadar" begini, maka timbullah pertanyaan tersebut menyeruak.

Silakan, bila rekan pembaca memiliki pendapat yang lain, berbeda atau menyanggah.

Jakarta 13.17 Okt24,2011

Que sera sera

Mana yang lebih mudah, menahan diri atau menyerang pihak lain walau dalam bentuk defensif?

Suatu ketika, saya dihadapkan pada pilihan untuk mengundur kan diri. Walau hal ini telah dilakukan dengan baik, sopan, hati-hati dan perlahan-lahan oleh atasan saya, tetapi tetap saja ada rasa yang mengganjal dalam dada.

Why? Mengapa hal ini terjadi? Kenapa terjadi pada saya? Apa tujuannya?

Ternyata semakin lama saya rasakan, renungkan dan endapkan, ternyata jawaban atas pertanyaan saya tersebut di atas tidaklah kunjung datang. Mengadu pada atasan untuk bertanya? Sudah beberapa kali ternyata tidaklah memberikan jawaban yang memenuhi pertanyaan tersebut di atas. Sebab jawabnya adalah bahwa sabar, sedang terjadi perubahan.

Makin menarik sebab ternyata hal ini ditambahi oleh sikap sahabat yang selama ini dekat menjadi berubah, seolah-oleh saya mengidap penyakit kusta yang sangat menular. Pandangan sinis dan anggapan tatapan mata seolah "itulah...karena kamu telah berbuat........"

Wow. Ada apa ini Gusti?

Dengan berjalannya waktu, ternyata maksud Gusti Allah menjadi jelas, bahwa banyak pertanyaan tidaklah (perlu) ada jawabannya. Kedua, semakin kita ingin tahu, ternyata semakin kita dibutakan dan ditulikan serta ditumpulkan. Ketiga, doa merupakan sarana satu-satunya untuk menyerahkan jalan hidup ini pada Nya.

Sehingga pada saat terjadinya peralihan lain, perubahan besar, ternyata kita sudah di"terangi" oleh cahayaNya. Hidup lebih enteng dan lepas dari kelekatannya.

Jadi kembali pada pertanyaan di atas, apakah kita layak menahan diri atau kita bersikap defensif?

Monggo, rekan pembaca menyimpulkannya sendiri.


Jakarta 12.45 Okt24,2011

October 16, 2011

Sabar (1)

Sabar, atau patient. Sering kita dengar bahwa kata ini sederhana, tetapi sulit sekali mempraktekkannya.

Sebagai ilustrasi dan contoh, seberapa sering kita temui dalam perjalanan, sepeda motor, kendaraan umum serta mobil pribadi menjadi tidak sabar, apalagi bila sesama pengguna menjalankan kendaraannya dengan cara zig-zag. Bahkan kita lihat pada perempatan jalan, pengemudi sepeda motor begitu lihat jalan sedikit ada kesempatan, maka tidak perlu menunggu lampu hijau, tancap gaaaaasssss.

Kalau belok, tidak perlu lihat kendaraan dari arah lainnya, sehingga bila pengemudi lainnya melakukan hal yang sama, maka dapat terjadi kecelakaan. Dan bila hal ini terjadi, maka hampir bisa dipastikan, sesama pengendara motor (walau tidak tau masalahnya) ikut membela "sesamanya" apalagi bila "musuhnya" mobil. Wow....

Pernah saya praktekkan, bahwa kalau didahului oleh pengendara lainnya, maka saya anggap dia sedang buru-buru mau (maaf) buang hajat. Mohon dimaafkan, jadi ndak perlu ikutan "hati menjadi panas". Cukup mengurut dada sendiri aja.

Apa ada rekan pembaca yang punya tips untuk menjadi lebih bersabar? Matur nuwun.



Jakarta 22.15 Okt16,2011

Lemah lembut

Seringkali kita bingung mengartikan kapan kita perlu melakukan lemah lembut dan bedanya dengan lemah.

Lemah lembut, sebenarnya lebih mudah diilustrasikan pada binatang kuda, binatang ini bertenaga besar, dan bila tidak kenal maka sikapnya liar, sulit sekali mengendalikannya. Berbeda bila binatang ini didatangi oleh pawangnya atau penunggangnya. Tiba-tiba sang kuda menjadi penurut, jinak, walau kita tau bahwa binatang ini tetap memiliki tenaga yang besar, tetapi dapat disalurkan pada "saat" yang tepat.

Lemah lembut, bila dikembangkan, maka sikap ini benar-benar firm tetapi, tidak (perlu) menuntut. Sabar, tetapi melakukannya dengan sepenuh hati. Patient sekaligus passionate, tidak perlu meledak-ledak.

Hal di atas menarik perhatian kita belakangan ini, banyak kita temui, baca serta dengar, bahwa bangsa Indonesia yang terkenal lemah lembut, tiba-tiba menjadi garang dan meledak-ledak. Menuntut hak, bila perlu melakukannya dengan demostrasi.

Luar biasa bukan? Bagaimana pendapat rekan pembaca? Monggo


Jakarta 22.02 Okt16,2011

October 14, 2011

Cinta (2)

Setelah membaca secuplik dari buku karangan Anthony de Mello, judulnya Awareness hal. 85," Cinta sejati menyingkirkan rasa takut. Bila ada cinta maka tidak ada keharusan, tidak ada tuntutan, tidak ada ketergantungan. Saya tidak menuntut Anda untuk berbuat sesuatu demi kehabagiaan saya; kebahagiaan saya tidak terletak dalam diri Anda.... Saya menikmati kebersamaan dengan Anda bukan atas dasar ketergantungan... yang benar2 saya nikmati adalah sesuatu yang jauh lebih besar daripada diri saya dan diri Anda bersama-sama." Wow. Betapa indahnya... Ndak bisa mengatakan lebih jauh, yang terucap hanyalah "Puji Tuhan", karena boleh mengalami hal ini.

Coba rekan-rekan pembaca sekali lagi perlahan-lahan... Monggo...

Nah, jadi selama ini rasa cinta kita yang mana ya? Apalagi ada yang mengatakan bahwa antara love and hate itu sangat tipis lho.... Lha cinta kok dicampuradukkan dengan benci. Opo ndak pamrih itu namanya? Jual beli, transaksi, yang terjadi kalo kamu mau melakukan yang aku mau.

Hayo, monggo dirasakan dulu, direnungkan, kalo ada waktu tentunya....


Jakarta 11.39 Okt14,2011

October 11, 2011

Quality Time

Seringkah kita ketemu dengan kata ini? Quality time.

Biasanya kita temui pada orang yang mengaku dirinya sibuk dengan pekerjaannya, sehingga ada sebagian hal yang penting terlewatkan. Pada umumnya yang terlewatkan tersebut adalah pertemuan dengan keluarga inti, yaitu pasangan hidup dan anak-anak.

"saya penganut quality time, sehingga walau saya jarang bertemu (baca: "bercengkerama") dengan istri/suami atau anak-anak, mereka tetap dekat kok dengan ku". Hayo, pernahkah kita menyebut kalimat ini? atau mendengar kalimat ini?

Beberapa waktu lalu saat duduk di penerbangan dari Jakarta ke Balikpapan, di hari sabtu, saya tercenung dengan kalimat ini. Bapak di sebelah saya menceritakan bahwa kalo hari sabtu biasanya saya pergi golf dengan rekan satu geng. Sementara bapak satunya menjawab, kalo saya biasanya pergi ke mall jadi "supri" istri dan anak2. Langsung sontak mereka tertawa terbahak-bahak.

Lho kalo saya biasanya ngapain?

Dengan miris, saya menyimpulkan bahwa penyebutan quality time adalah sebuah pengingkaran bahwa kita tidak dapat memenuhi waktu bercengkerama dengan keluarga yang biasanya dipenuhi bila kita memiliki waktu. Mohon digarisbawahi, bahwa waktu di sini artinya waktu yang kita alokasikan dan sediakan untuk 100% menyimak dan mengikuti dengan sadar dan rela untuk keluarga tercinta kita.

Sehingga jangan menyalahkan anak atau pasangan, kalo ketemu (atau menelpon) kita hanya dengan pesan singkat, "Pak, aku perlu uang untuk beli hardisk komputer yang tadi pagi crash". Dan saat ditelpon kita merasa bahwa kok mereka membutuhkan kita hanya kalo "ada perlu"? Apa aku ini dianggap pohon duit?

Jadi?

Monggo rekan pembaca kalo memiliki pendapat lain....

Jakarta 13.50 Okt11,2011

Melayani

Apa yang timbul bila kita menyebut kata "melayani" ini?

Seringkali kita membayangkan bahwa melayani berarti melakukan tindakan untuk seseorang dengan tidak perlu mengindahkan apa yang kita rasakan. Apakah kita senang melakukannya? apakah rela kita melakukannya? apakah kita mengharapkan sesuatu dari tindakan kita? apakah kita justru membalas tindakan seseorang tersebut, sehingga kita melakukan pelayanan itu?

Apapun jawabannya, penulis menemukan sesuatu, bahwa dengan melakukan pelayanan, berarti kita merelakan sebagian (atau seluruh) ego kita, sekaligus tanpa kehilangan kendali.

Mungkin dari rekan pembaca akan merasa terganggu pada penggalan kedua kalimat diatas. Wong kita merelakan sesuatu kok ndak kehilangan kendali. Apa bisa? apa mungkin?

Disinilah tantangannya, sebab bila kita rela dan "cul-culan" (atau bahasa jawa-nya adalah "wis, tak cul no, sak karepmu dewe...) maka hal ini berarti kita merelakan, tapi masih ada yang kita lepaskan dengan tidak rela (baca: pamrih).

Maksud penulis pada pengartian di atas adalah: bahwa melakukan pelayanan adalah pilihan (choice) dari pelaku, sehingga dengan sadar dan bijaksana, tentunya disikapi dengan baik yaitu tetap dalam kendali pelaku yang bertanggung jawab. (bukan cul-culan).

Demikian sedikit curcol penulis, monggo bila ada rekan pembaca yang berkomentar lain....

Jakarta 13.37 Okt11,2011

Takut

Takut merupakan rasa yang kita alami bila ada ancaman yang sedemikian besar sehingga kita sendiri merasa tidak dapat mengatasinya. Ada dilema saat hal tersebut terjadi, apakah mau dihadapi? atau mau dihindari?

Takut, juga dapat dihubungkan dengan rasa kehilangan yang sangat dalam. Misalnya, takut kehilangan pacar, sehingga apa saja yang sang pacar minta sedapat mungkin akan kita penuhi atau kabulkan, bahkan kalaupun permintaan tersebut mulai tidak masuk akal sehat. Sebab hal ini ditujukan agar si-dia-nya tetap nempel dengan kita.

Takutpun bisa dihubungkan dengan marah. Sebab kalo lawan bicara melihat kita takut, maka dia dapat semena-mena bertindak pada kita. Jadi sebaiknya kita terlihat powerful, sehingga tidak kelihatan lemah dan takut.

Coba rekan sekalian menghubungkan kedua sebab diatas, bahwa takut kita disebabkan oleh rasa kehilangan yang amat sangat, sehingga membuat kita marah, dan selanjutnya tanpa panjang pikir lagi kita "melabrak" orang yang menyebabkannya. Dengan catatan bila kita berani lho. Nah kalo tidak berani, bagaimana? Biasanya kita akan melakukan tindakan "melingkar", yaitu seolah menghindari konflik langsung padahal kita memutarinya lewat tangan yang "lain".

Contoh, karena selama ini keahlian kita adalah melakukan analisa dengan tajam dan baik, maka bos kita, atasan kita, rekan sekerja kita mempercayakan hal tersebut pada kita. Karena suatu hal, ada "orang baru" yang ingin membuktikan dirinya juga bernilai dihadapan bos, atasan, dan rekan kerja kita. Kira-kira apa yang kita lakukan? membantu orang baru tersebutkah? atau justru kita mulai melakukan black campagne?

Saya akan serahkan jawabannya pada rekan pembaca sekalian. Monggo.....

Jakarta, 13.23 Okt11, 2011