October 17, 2013

Kehilangan dan Berkah


Dalam situasi kondisi saat ini, suatu pengalaman yang menarik berdatangan dan pergi. Datangnya pengalaman, berkah, bakat terpendam, keinginan, kebutuhan, teman lama, hobi lama, dan seterusnya. Ternyata semakin menarik saat pikiran diam, keinginan ditahan, eh maafkan, maksud saya dilepaskan, kebutuhan diakui.

Tubuh fisik, pikiran, mental, kelihatannya hanya merupakan proyeksi dorongan dari dalam yang terus membuncah. Bila tekanannya dilepaskan, memang ada saat meletup sebentar, lalu normal, lalu keluar tanpa ditahan, stabil, halus, lembut.

Hambatan terjadi saat kita memfokuskan diri pada  keinginan yang membuncah, yang kemarinan, yang biasanya, yang wajarnya, yang sebaiknya, yang idealnya kita terima. Lho kok membandingkan? Lho kok memaksakan?

Di saat ikhlas adalah berkah, diperkenankan berada di dalamku. Betapa indah. dalam, tenang, biru, biru kehijauan, hijau pupus. Tourqouis. Dengan angin semilir, diterpa panas siang hari, seakan mengajak tidur dan bermimpi.

Indahnya.

Apakah ini bukan berkah namanya. Betul, benar, inilah berkahNya. BerkatNya.

Apalah hamba ini... prajurit yang hanya mengetahui dan menjalankan perintah Atasan. Terima kasih atas penyertaan selama ini. Tuhan mberkati.


Jakarta 14:10, 17Okt2013

October 16, 2013

Meeting dalam Diam



Terbayangkankah bila kita masing-masing diperkenankan untuk bertemu dengan pimpinan kita. Dalam kelompok kecilnya. Dalam inner-circle-nya yang hanya terdiri dari 7 orang. Hayo...pernah terbayangkan bila kita diundang oleh Yang Terhormat Gubernur kota kita.

Monggo apa yang akan disampaikan? Apa yang ingin didengarkan langsung dari beliau? Atau justru kita hanya mau mendengar "kalimat" atau "penghiburan" atau "janji" dari beliau bahwa masalah kita sudah didengarkan dan besok akan diselesaikan?

Pada hari yang telah ditentukan, misalnya dua hari dari sekarang. Diminta hadir sendiri. Pada waktu hari kerja....

Sekitar 1 jam dari waktu yang ditentukan tentunya kita telah hadir di tempatnya. Ruangan masih kosong. Ajudan belum hadir, sekretaris belum hadir. Pintu ruangan malah belum dibukakan. Tetapi sudah bersih, rapih dan siap untuk digunakan.

Kurang dari 10 menit, beliau dan tim sudah siap di ruang dan siap mengadakan pertemuan, meeting, demikian kita menyebutnya. 

Sekretaris beliau menemui kita, dengan memberikan pesan 2 hal; pertama, monggo ikuti aturan meeting; kedua, improvisasi saja.

Pada saatnya, dua menit menjelang jam-nya dipanggillah kita untuk ikut dalam meeting.

Lucu, ternyata dalam meeting, semua bersila, duduk di lantai, tanpa diperkenankan bersender.  Beliau yang memimpin langsung.  Diam....menunggu, waktu terus berjalan, lho kok ndak ada pengarahan? Lho kok ndak ada aturan? Lho ini gimana sih?

Sang waktu berjalan terus, lho kok semua diam, menekur, semua siap dalam posisi masing-masing. Semua menatap lantai yang kosong. Tadinya saya celingak-celinguk melihat sekeliling, tetapi Pak Gubernur dan semua tim diam, menatap lantai. Diam tidak bergerak, tidak mengeluarkan sepatah katapun.

Gimana sih?

Padahal saya sudah siapkan berratus dan bahkan berribu pertanyaan, atau bahkan sebaliknya ingin mendengar langsung arahan beliau.

Ternyata, ndilalah'e kok ndak ada gerak, bunyi ataupun apapun yang lazim dalam meeting.

Ya sudah, ikut saja.

Setelah berjalan setengah jam, tiga perempat jam, bahkan satu jam sudah lewat. Tidak ada gerakan, suara.  
Kupendam saja keinginanku untuk bertanya, atau mendengar. Kutahan...malah yang terjadi adalah senyum, senyum sendiri.

Menjelang waktu satu setengah jam, Bapak Gubernur beranjak, berdiri, dan pas waktunya, beliau mempersilakan hadirin untuk memulai pekerjaan hari ini. Dan keluar ruang tanpa salaman, tanpa sapa, tanpa suara....

Wow

Menarik juga sih.

Meeting dalam Diam. Mau coba?



Jakarta 14:35, 16Okt2013

Left and Right


Merujuk pada kata di atas tersebut, maka terbetiklah dalam pikiranku yang ngawur dan terbang ke sana ke mari.  Kok baru terpikir sekarang mengapa ada orang menamakan diri sebagai golongan kanan, dan satunya lagi yang merasa jadi oposan, disebut sebagai golongan kiri.

Padahal maksud dari Right adalah kanan, tetapi Right juga dapat berarti Benar, atau selalu dalam kondisi dan situasi benar, sebab dalam kondisi yang memimpin atau memerintah dan kuasa ada ditangannya.   Sehingga membuat aturan baru (yang cocok untuknya), dan menabrak aturan lama (yang sudah tentu ndak cocok dengannya). 

Lho kok bisa-bisanya kalo golongan yang memerintah saat ini adalah The Right? Ya jelas dong, sebab selalu benar dalam bertindak, dalam pergunjungan, dalam perjalanan. Dengan catatan, bahwa mereka ini sedang berkuasa. Ndak janji kalo sudah ndak memerintah lho... he he he

Lalu Golongan Kiri (The Lefties), kok menurut saya bukan golongan kiri, karena merupakan kebalikan, atau oposan dari Golongan Kanan, melainkan karena merasa ditinggalkan, The Lefted (eh ada ndak ya kata ini dalam bahasa ibunya di sana). Biarin deh, kan kalo marah ya monggo diprotes dan dibetulkan lah....

Golongan yang merasa ditinggalkan ini adalah golongan oposan, yang kebalikan dari yang sedang berkuasa. 
Lucunya, dan menariknya, kedua golongan ini sebenarnya memiliki energi yang sama kuatnya. Padahal belum pernah ku mengukurnya. Yang satu energi untuk mempertahankan kuasanya, yang satunya lagi energi untuk mengalahkan yang sedang berkuasa. 

Saat yang satu dianggap pahlawan, maka yang lain menganggap pemberontak.  Demikian juga saat yang The Lefted tersebut berkuasa, maka pemberontaknya dijadikan pahlawan.  Dan pahlawan sang kuasa yang telah jatuh dianggap sebagai pemberontak. Ha ha ha balas-balasan ya...

Nah kita sebagai pemerhati, mau menganggap dan menempatkan diri kita sebagai Golongan The Right atau The Left? Monggo......

Ato seperti sekarang, musim lagi menjadi Non Blok, ya seperti jaman perang dingin, di luar NATO, di luar Russian Connection adalah Non Blok. Kalo para anak muda kita memilih Golongan Putih, yang suka diselewengkan menjadi Golongan Putri. Atau pendukung Kursi Kosong.

Monggo.......



Jakarta 13:09, 16Okt2013

October 01, 2013

Menipu Diri?


Tadi pagi, begitu bangun pagi hari terasa berat. Penuh dengan luka, ku berjalan menuju kantor. Bahkan untuk mengusirnya kulakukan olah raga selama 30 menit untuk membuat diriku bersemangat. Dan benar dengan kucuran keringat, begitu pula diriku mulai terselimuti rasa hangat dan panas dari dalam yang membuncah keluar.  Masih dengan rasa ndak enak yang ndak tau berasal dari mana?

Ataukah ini muncul dari cerita mbak ku sepulang dari tasyakuran keluarga bos ku, dimana kutanya mengapa acara syukuran kok sampai tangis-tangisan. Maka disampaikanlah bahwa itu merupakan keikhlasan untuk melepas diri dari berbagai keterikatan, termasuk keluarga, anak, suami, juga berbagai kepenuhan duniawi.  Maka seperti prajurit yang berperang syahid meninggalkan semuanya untuk menghadap Tuhan.

Ini menarik, sebab bukankah kita lahir di dunia ini dengan meninggalkan semuanya yang enak di dunia baka sana untuk menuju perjuangan selama di dunia fana? Lha kok perjalanan ini dianggap bukan ibadah?
Lha kok terbalik, kita malah menikmati dunia, dan takut kembali ke Gusti Allah, malah disebutkan apapun dilakukan untuk tetap hidup di dunia. Opo ini ndak terbalik.

Malah ada yang pake dukun, jin, atau kekuatan yang ndak kliatan, malah terbalik dan bukannya menjunjung Gusti Allah yang telah mengutus kita dan memberkati kita untuk berjuang dan menuntut menimba ilmu di dunia fana ini.

Jadi sebenarnya siapa sih yang kita tipu? Jiwa kita yang kita tipu atau kita yang ditipu oleh dunia ini?

Semuanya dibalik, terbalik dan malah ndak mau balik? Kan ini yang namanya edan, ngawur, ndak inget, ndak sadar dan ndak eling...


Jakarta, 16:28, 1Okt 2013  

Melayang


Bagaikan kapan, tanpa bentuk, tanpa berat, tanpa warna, tanpa kendali. Begitu mendengar alunan yang menyentuh jiwa ini, maka penuhlah cangkirku. Terasa saat relung celuk, detil, sudut dan pojok ini begitu penuh, tapi sekaligus tanpa terasa sesak. Penuh yang sejuk. Penuh yang nyaman....

Aku ini kosong, nol...

Bentuk? ndak ?

Menempel? ndak?

Terikat? ndak?

Kalo aku kosong, ndak berwujud, ndak berwarna, ndak menempel, ndak terikat? kenapa takut? Ya ndak lah...

Lha wong takut itu terjadi karena kekakuan, ketajaman bentuk, keperbedaan bentuk. Jadi kalo ndak berbentuk, kosong, maka ndak tertusuk, ndak kena, lha wong ndak kelihatan, maka ndak mengganggu.

Seperti angin...terasa tapi ndak kelihatan, ndak berbentuk....


Jakarta, 16:05, 1Okt 2013

Kosong (Lagi)


Ada suatu cerita, konon pada suatu ketika, ada kejadian pangeran sedang mengidap penyakit yang sangat parah, sampai seluruh negeri kerajaan tersebut gundah, bingung dan resah.  Baginda Raja adalah seorang pemimpin negeri yang sangat dicintai rakyatnya dan di masa tua nya dengan mengharapkan sang pangeran akan menjadi penerusnya memimpin kerajaan dan mensejahterakan rakyatnya. Saat ini justru penerus tersebut di saat akan dilaksanakan suksesi tersebut, terkena penyakit yang luar biasa ndak gampang disembuhkan. Kalau wujud penyakit seperti luka, patah tulang, atau keracunan begitu mudah obat, penawar dan penyembuhannya. Tetapi penyakit yang diderita oleh sang pangeran tidaklah tampak, sehingga bila orang menjenguk beliau, secara fisik, tampak sehat, tidak kurang suatu apa.

Maka dibuatlah sayembara oleh Sang Baginda agar Pangeran kesayangannya dapat sembuh seperti sedia kala. Bermacam obat didatangkan, banyak tabib dihadirkan, tetapi Sang Pangeran bukan sembuh malah semakin parah. Dan setiap calon dokter didatangkan dan bertemu dengan sang Pangeran, pertama yang ditanya adalah," kamu siapa?" Mau apa ke sini?

Gejala yang diidap oleh Pangeran adalah, bahwa beliau merasa dirinya Ayam Jantan. Jadi setiap melihat matahari mulai bersinar di ufuk timur menyongsong hari baru, maka berkokoklah dia. Dan setiap melihat ayam betina, dikejarnyalah. Bahkan kalo melihat ayahnya, Sang Baginda memimpin rakyatnya, yang dilihatnya hanya ayam-ayam saja. Dia tidak tertarik untuk hidup dalam istana, malah dicarinyalah kandang ayam untuk hidup dan cari makan.

Setelah bertahun lewat, tanpa ada berita tentang kemajuan kesembuhan Pangeran, dan mulai frustasi serta putus asa, dan mulai menyerah. Datanglah seorang yang mengaku tabib tapi tidak terlihat seperti tabib pada umumnya.  Dia memohon pada Sang Baginda untuk diberi kesempatan untuk merawat dan menyembuhkan Sang Pangeran. Melihat potongan, wujud, pakaian, gaya bicara, serta caranya bertindak tidak seperti tabib, Sang Baginda ragu. Tetapi setelah beberapa lama berselang, dan keberanian serta persisten sang tabib berkehendak untuk merawat dan menyembuhkan Pangeran, maka setujulah Baginda untuk mengizinkannya menemui anaknya.

Begitu bertemu dengan Sang Pangeran, seperti biasanya, bahkan kali ini lebih galak saat bertanya niat dan siapa serta apa mau sang tabib.

Dijawabnya,"sayalah raja Ayam Jantan. Saya ayam jantan yang lebih berpengalaman dari mu. Kamu kan ayam jantan baru. Baru pemula. Jadi dengarkanlah aku yang lebih berpengalaman ini."

Sampai pada akhirnya mereka berdua menjadi akrab dan saling percaya. 

Pada suatu hari si tabib, mengenakan baju dan celana. Sang Pangeran, bertanya,"ngapain kamu? kenapa kamu jadi gila? Mosok ayam jantan pake baju seperti manusia?"

Dengan tenang sang tabib menjawab,"udah tenang aja, saya coba mengelabui manusia. Walaupun pake baju dan celana seperti manusia, tapi ndak ada yang berubah kok. Di "dalam"ku tetap ayam jantan.  Jadi dengan berpakaian seperti manusia, ndak akan berubah kok."

Sang Pangeran akhirnya percaya dan mengikuti.

Ndak lama, datanglah musim salju yang sangat dingin, maka tabib mulai memesan makanan dari istana. Bertanyalah sang pangeran,"kok kamu makan makanan manusia dan pake cara makan manusia? Ayam jantan kan ndak begitu."

Tabib menjawab,"tenang aja, makan dan minum cara manusia kan kliatannya, tapi di dalam ndak berubah kok. Kalo kita tetap merasa ayam jantan, ya tetap ayam jantan. Biar dunia aja yang menganggap begitu. Tapi di dalam kita tetap sama."

Begitulah kebiasaan-kebiasaan ini mulai berubah kembali dan Sang Pangeran kembali normal penuh seperti sedia kala. Tetapi di dalamnya siapa tau kan?

Demikianlah cerita ini, ternyata seperti halnya kita, kamu dan aku. Ingat bahwa kita hanya peniru dan pemula. Ndak lebih. Titik. Kamu juga mungkin menganggap dirimu adalah ayam jantan atau pahlawan, tapi sebenarnya adalah pemula, anak kemarin sore yang baru belajar mengeja huruf dan kata-kata.  Ada tabib yang siap mengajarkan, dan ahli di bidangnya datang pada ku dan kamu. (ok biar lebih gampang, contohnya aku saja).

Telah ku ketok banyak pintu, telah berbagai generasi dan jiwa ku jalani, tapi tidak ada yang datang menolong. Sampai suatu ketika sang Tabib datang.

Dia menjelaskan, saya bukan ahli, saya bukan orang luar. Saya juga telah menempuh perjalanan panjang seperti mu, dengan jalan ketidakwarasan yang sama, melewati jalan kegilaan yang sama. Saya juga telah melalui lorong kesusahan, kesulitan, juga kepedihan yang sama, bahkan juga lewat jalur mimpi buruk yang sama.  Bagaimanapun, apa yang telah saya lakukan tidak ada apa-apanya. Kosong. Tapi berikutnya mengajak mu untuk keluar dari kegilaanmu. Bagaimana?

Sebagaimana merasa diri adalah ayam jantan, atau memiliki badan fisik yang fana ini adalah kegilaan. Bahkan kalo kita ikut merasa sakit dan sedih karena badan dan pikiran serta hati kita disakiti itu justru lebih gila dan lebih ndak waras dibandingkan hanya merasa sebagai ayam jantan.

Saya mengajakmu untuk menjadi TANPA BENTUK. Mau?

Sebab apapun yang kamu rasakan, dalam bentuk apapun, itu adalah gila, ndak waras, edan dan  sebagainya.
Coba rasakan, sudah berapa kali kamu hidup, sudah berapa kali kamu di dunia. Bahwa sebenarnya kamu TANPA BENTUK, dan kamu tidaklah berbentuk apapun, juga bukan milik apapun siapapun, juga bukan masuk dalam kategori kasta, ras, suku, agama, nama, warga negara dari mana bahkan kegilaan seperti ketamakan jenis apa.  Maka sebenarnya kamu tidaklah berbentuk, tidak bernama, sehingga kamu tetap waras

 Mau?


Jakarta, 15:27; 1Okt2013

Yak Ampun


Betapa pipi dan muka ini mau ditaruh di mana? Ternyata apa yang ku katakan dan ku sampaikan serta berulang kali ku tekankan pada perkataan yang kusampaikan, adalah bertentangan dengan apa yang hatiku rasakan. Bahkan dengan ternyata apa yang kukatakan dan kusampaikan pada kenyataan dalam hati ini adalah hanya sekedar idealnya, atau normatif saja.  Atau kata lain dari sebaiknya yang aku harapkan. 

Contoh misalnya:

Saat sobat ku tadi pagi menyapa:"apa kabar Dik"

Langsung ku katakan,"great Chief"

Coba dianalisa ulang, apa bener yang kukatakan adalah benar dan nyata dan jujur bahwa aku baik dan in a great shape? Padahal hati ini sedang sakit, diiris-iris, nyeri, bahkan sedang menekan adanya amarah yang meletup, membuncah, hampir nyebur keluar. Mosok begini dikatakan baik? Ya ndak bener kan?

Tapi apa kalo ndak baik kita sampaikan ke orang lain? Ato pengin orang lain mengetahui keadaan kita? Ato malah kita pengin dikasihani oleh orang lain? Menjadi mental victim atau mentalitas korban; yang hatinya menyatakan,"apa elu ndak kasihan gue nih? tolong dong... syukur-syukur elu bisa mbantuin gue."

Udah ah...mosok begini rasa "udah" ketampar mau disharing lebih banyak.


Jakarta 14:05; 1Okt2013

Ruang Kerja


Memasuki ruang kerja saat ini di gedung baru, membuat rasa hati ini ser-ser'an. Memasuki gedung kantor yang megah, keluar dari mobil, langsung ketemu security untuk periksa tas. Berjalan memasuki lobi yang luas, kosong, sapaan pak satpam,"selamat pagi" memecahkan keheningan dan keterburu-buruanku. Sambil membalas dan senyum, maka kuayunkan kaki menuju lift, yang tentu saja melewati pagar pembatas yang hanya bisa dilewati bila kartu magnetik ditempelkan ke permukaannya.

Kutekan tombol lift, menunggu, sambil mencari lift sebelah mana yang akan terbuka dan mengantarku ke atas. 

Ternyata lift ujung kanan yang terbuka. Masuklah aku ke dalamnya dan menekan tombol lantai menuju kantorku. Sambil menunggu, terdengar 2 orang pegawai, yang kemungkinan besar dari kantor yang sama, melempar salam,"wah saya ikut upacara nih." Teman satunya menyahut," ndak seru ya, upacara kok ndak di bawah, kan ndak terasa." Temannya menjawab,"iya sih, ndak terasa panasnya. Ha ha ha "

Lalu sampailah ku di lantai tujuan. Keluar lift, sepi. Disapa oleh mbak cleaning service. Senyumku membalasnya. Absen di pintu, kulakukan dengan menempelkan jari telunjuk kanan, sambil melihat jam. Tertulis pukul 7.40. Waduh kepagian, kecepetan nih...  Kutarik pintu terbuka, ternyata sudah ada 3 teman dari bagian keuangan sudah hadir. Sapaan selamat pagi bersahutan, sebagai salam pembuka hari yang indah tentunya.  Melangkah aku menuju ruang kerja di pojok. Mulailah terbayang aku membandingkan rekaman beberapa ruanganku selama pengalaman bekerja sejak lulus kuliah dulu......

Di awal kerja dulu, aku juga bekerja di gedung, megah, hitam, keren dan kliatan angker... Sekitar dukuh atas. Zaman itu, merupakan salah satu gedung impian banyak orang untuk bisa bekerja di sana.  Lantai dua puluh enam.  Sebagai anak baru, aku duduk di cubicle dengan meja tanpa pembatas. Tidak ada laci khusus dan lemari pribadi yang menyertai. Tetapi kebanggaan boleh bekerja, berkontribusi dan mencari sendiri apa yang bisa dikerjakan, dengan pengawasan Managerku saat itu. Luar biasa rasanya. Tersenyum aku dibuatnya, bila menilik kejadian saat itu. Kok iya mau-maunya ya....he he he.

Bos langsungku, ndak banyak bicara, malah menurut rekan sekerjaku, dia pendiam, orang pinter banget, lajang, ndak suka bergaul, tapi kesayangan bos ku yang orang Jepang. Ndak ramah, memang. Tapi ndak juga arogan. Dan senyum padaku sebagai bukti aku telah mengikuti sarannya dan berkontribusi padanya dapat kulihat pada bulan kedua ku bekerja untuknya.

Ternyata saat itu ruang kerja tersebut, cubicle juga bukan, ruangan juga privacy juga bukan. Tetapi kami merasa senang sebab kebersamaan begitu terasa. Di ruangan besar, khas perusahaan jepang, masing-masing di meja kayu yang ndak seragam. Tetapi di ruang tersebut, pernah kulihat ekspresi, pengalaman, keluh kesah, juga seru kemenangan, juga tangis sedu sedan, bahkan teriakan marah maupun teriakan penuh kemenangan ku dengar dengan jelas. Suatu pengalaman luar biasa.

Dua tahun lebih kulalui di ruangan besar tersebut. Dan sempat pindah untuk rotasi ke divisi lain, karena satu hal nyata. Aku dinilai bisa berkembang, dan mengikuti pertumbuhan divisi tetapi karena BUKAN lulusan luar negeri, apalagi lulusan Amrik, maka aku disalurkan ke divisi lain yang bisa "menampung" aspirasi lokal people. He he he. Biasaaaaaaaaa..............

Menarik, meja kerjaku, sekarang. aku duduk berhadapan dan saling menempelkan meja berlima, dengan meja ujung menghadap kami adalah bos kepala divisi kami. 

Banyak pengalaman kami tertuang bersama, di dalam kota maupun di luar kota. Menarik sebab kombinasi kami adalah dua orang lulusan dalam negeri, dua lainnya lulusan Amrik.  Sedang bos kami adalah figur yang berpengalaman di industri ini.

Masuk tahun ketiga di perusahaan tersebut, kuputuskan untuk pindah ke perusahaan sejenis. Dimana saat itu ku dengar sebuah perbankan besar akan mendirikan perusahaan sejenis. Dan aku dihubungi oleh rekanku yang telah masuk terlebih dulu.  Alhamdulilah, kantor tersebut hanya menyeberang dari gedungku saat itu.
Memandang gedungnya saja sudah membuat merinding. Itu kan salah satu gedung baru perusahaan BUMN yang saat itupun sedang membangun gedung tertinggi di Jakarta.

Memasuki gedung tersebut, memilih gedung sebelah kiri, lalu pencet lantai delapan belas. Di ruang tersebut aku bertemu dengan pejabat senior bank tersebut yang bertugas sebagai PIC perusahaan barunya.  Terlihat ruang kantor tersebut baru jadi. Singkat cerita aku diterima bekerja di sana.  Maka aku menempati cublicle, ada meja, komputer desktop, dan laci untuk menyimpan dokumen pribadi dan kantor. Hore....akhirnya aku memiliki sejumput ruang kerja dengan pembatas di depan dan kiri kanan. Ternyata privacy walau tidak sepenuhnya perlu, tapi penting untuk dimiliki. Wuih.....pengalaman baru nih. 

Dalam pengalaman bekerja di perusahaan tersebut sempat pula aku pindah lantai ke lantai dua puluh tujuh karena adanya pengembangan usaha.  Dan di sanapun aku memperoleh cubicle dengan punggung menhadap tembok. Lumayan.... sehingga aku bisa memperoleh tambahan privacy, dengan tidak mudah orang membaca dan melihat langsung apa yang aku kerjakan dan tulis, dari cara mengintip dan menyelinap tanpa sepengetahuanku. 

Setelah bekerja selama tiga setengah tahun lebih. Dan situasi kerja kurang optimal, tiba-tiba ada teman yang menawarkan bekerja di tempatnya. Pertama saat kudatangi, di sekitar slipi, eh ternyata yang kutemui adalah dulu seniorku di salemba empat. Ya udah, jadinya ngobrol-ngobrol aja. Dua kali aku bertemu dan dia sangat mengharapkan aku dapat bergabung. Di saat lain, yang hampir bersamaan, aku ditelpon sobatku yang juga seniorku yang lain di salemba, untuk menggantikannya karena dia mau keluar dari perusahaan tersebut, yang menurutnya saat ini sedang berkembang pesat.  Menarik tapi juga sekaligus mencurigakan, sebab kalo perusahaan berkembang kok justru malah ditinggalkan? Pasti tawaran yang diterimanya sangat menarik dan sulit ditolak. Dia jawab ya bro, sebab aku ditawarin jadi direktur perusahaan.

Lucunya saat aku bertemu dengan pemilik perusahaan yang akan ditinggalkan sobatku itu, merupakan pertemuan yang ndak terlupakan karena ku bertemu dengan sobatku di SMU, adik kelas, yang ternyata punya usaha bareng dan saat itu sedang berkembang. Dan diceritakan, dengan pengalamanku, dia ingin membentuk usaha seperti perusahaan dengan sektor usaha seperti yang aku bekerja saat itu. 

Tanpa panjang lebar, dia langsung menanyakan kapan bisa gabung?

Ku jawab, biasa, kan one month notice. Ok, lebih cepat lebih baik ya.

Dan sejak itu, aku bergabung bekerja dengan meja, menghadap tembok, karena jumlah pekerjanya saat itupun ndak lebih dari tujuh belas orang termasuk tim support driver dan office boy.

Di kantor itu, ndak terasa aku bekerja selama sepuluh tahun lebih, mengalami berbagai kejadian baik yang membahagiakan, menyenangkan, mengejutkan, menyedihkan, membuat kecut, membuat bangga, bahkan sempat membuat hati dan pikiranku bertanya apa sih yang membuatku tetap bekerja di sana?

Pindah dari cubicle di kantor lama ke kantor ini yang berbentuk meja kayu, awalnya aku merasa ini kemunduran, tetapi suasana, pengalaman, kebersamaan dan satu tujuan membuatku tetap di sana. Bahkan saat kantor pertaman kali berkembang, dan ekspansi, aku sempat (ge er nih) ditawarin untuk posisi dan lokasi duluan, walau bukan di ruangan.  Tetapi cubicle yang lebih privacy dengan pembatas yang melampaui tinggi kepala membuat privacy sangat terasa.  I have my own space. Dan ini membuatku merasa beda, bangga dan diperhatikan. 

Sampai suatu peristiwa yang mengejutkan itu datang, yakni di tahun ketigaku bekerja di sana, atasanku yang juga sobat kentalku, juga kuanggap sebagai kakak/mas ku, keluar dari kantor. Dan bos ku menawarkan posisi itu padaku.  Luar biasa rasa ini, ndak terbayang sebelumnya, ndak pernah ge er ku dibuatnya, lha wong mimpi aja ndak pernah. Opo mau jadi kere munggah bale?

Sejak itu aku diberi kesempatan bekerja di ruangan, dengan meja dan 2 kursi untuk tamu ku. Dan lemari dengan 4 laci untuk menyimpan dokumen penting perusahaan. Oh ya perlu kusampaikan di sini, mejaku juga memiliki laci untuk menyimpan barang pribadiku. 

Pengalaman demi pengalaman, kulalui, bahkan kali ini kuhadapi pertama kali pengalaman berhadapan dengan penegak hukum. Wow....luar biasa. Ndak terasa (setelah melaluinya) bahwa tiga setengah tahun serasa dalam neraka. Eh apa aku pernah ke sana ya? Lha wong mati saja belum. Dalam suasana tersebut mejaku dan beberapa sobat sahabat yang tetap percaya dan berkenan mendampingi melalui pengalaman tersebutlah betul-betul sahabat.

Setelah itu, sempat mengalami zaman nyamannya duduk dan memimpin kelompok bekerja dari meja ruang kerja ku. Sampai pada suatu ketika, bos di kantor katakan, bahwa akan membangun gedung sendiri. Dan seperti biasa aku diperkenankan memilih tempat juga. Maka kupilihlah tempat di pojok gedung, menghadap dua sisi, pinggir jendela, sehingga bisa melihat dari dua sisi gedung. 

Ruanganku lumayan besar, ada meja cukup mewah, minimalis, dengan tempat duduk nyaman, dengan dua kursi tamu menghadap, dan ada sofa untuk tamu. Cukup mewah, luas dan bersofa. Satu setengah tahun ku duduk di meja ruang kerja tersebut. Sampai pada peristiwa aku mengalami terusir dari ruang meja dan lingkungan kerjaku. Fitnah membuatku dipindah, tapi ndak ada tempat duduk, cubicle atau bahkan sejumput meja apalagi kursi yang boleh aku duduki. Lha wong saat itu benar-benar aku terusir karena fitnah, yang dilakukan sahabatku sendiri. Dan sampai sekarang ku tidak pernah memperoleh jawaban nya kenapa?

Menarik kuperhatikan, ternyata meja kerja, cubicle kerja, ruang kerja dengan meja, kursi tamu, kursi makan, bahkan sofa dan lemari adalah merupakan fasilitas karena kita merupakan bagian dari perusahaan atau kantor. Tetapi saat ku terusir, ndak dikehendaki berada di antaranya, maka sulitlah memperoleh meja kerja atau ruang kerja tempat untuk berkarya, walau hanya untuk numpang duduk sebentaran. Mata, gesture, gerak tubuh, serta sas sus di sekitar membuat kita ditolak keberadaannya.

Akhirnya bos sempat memberikan ruang kosong walau sempat kukatakan bahwa aku ikhlas bekerja dari rumah, dan akan ke kantor kalo nanti ada meeting atau dipanggil. 

Sekali lagi, yang membuatku bertahan adalah dukungan keluarga, istriku tercinta dan anak-anakku yang luar biasa. Juga sahabat-sahabatku yang ternyata ada dan selalu ada di suasana apapun. Walau ku tahu pada awalnya merekapun jengah dengan kondisiku, sebab kupaham, merekapun takut nanti kena tulah, karena dekat dengan ku. Buatku, inilah bukti Gusti Allah memang selalu mendampingi ku dan keluarga juga kantor tempatku bekerja sehingga tetap memberikan berkahNya.

Sampai suatu ketika aku ditugaskan untuk duduk di anak perusahaan. Dengan medan yang belum ketahuan.
 Tetapi ku boleh peroleh ruangan luas dengan meja kerja, lemari, dan meja pertemuan di dalam. Wow mewah betul.... Dan inipun kulalui tujuh bulan. Dan berikutnya ku terusir pindah lagi dan ditampung oleh rekan sobatku di ruang kerja, bersatu dengannya dalam satu ruangan.  Kursi, menghadap meja, kembali tanpa kursi untuk tamu. Lumayanlah, meja dengan laci, dan credensa di samping. Dan kesempatan bekerja dan berkelakar dalam satu ruang.

Sampai pada kesempatan, di tahun tersebut, kita pindah gedung, bergabung dengan kelompok usaha, dan kita menempati lantai lain yang sudah di fitting.  Sobatku satu ruangan, memperoleh ruang pojok sepertiku dua tahun lalu, sementara aku juga di pojok akhirnya memperoleh ruang, lemari dan meja dengan dua kursi tamu. Kembali memiliki privacy. Dan di tahun kedua setelah pindah gedung, aku menempati ruang juga di pojok tetapi nyempil, karena pindah tugas kembali. Tersingkir, tetapi tetap boleh berkontribusi.  Dan di penghujung tahun ketiga, aku kembali diperkenankan memperoleh tanggung jawab dan kewenangan divisi baru. Ruang tetap, di pojok nyempil.  Masuk tahun keempat di kantor ini, masuklah pengalaman luar biasa lain, bahwa aku merupakan salah satu yang diisolasi karena perusahaan kami dibeli oleh investor lain, sementara kami dari pemegang saham lalu yang masih tertinggal.  Maka di bulan ketiga masa isolasi, kami pindah ke ruang dengan meja kerja dan lemari, tetapi rekan-rekan kami sudah pindah ke lain gedung kembali, masuk kawasan impian para pekerja yakni di kawasan segitiga emas. Dan pada bulan ke enam masa isolasi kami, akhirnya kami diberitau akan memperoleh ruangan dengan meja kerja dan kursi untuk tamu dan almari.

Menarik di sini, babak baru kami akan pindah gedung, bersatu dengan rekan yang lain.  Pada suatu akhir minggu menjelang kepindahan, dimana barang dokumen dan hal penting sudah masuk packing, dan siap dikirim mover, rekan terhormat dari HR division mendatangi ku dan menyampaikan bahwa kami nantinya akan dikumpulkan di satu tempat dalam satu ruangan, tanpa pembatas, tetapi tetap memiliki meja, kursi, tanpa almari. Tentu saja ada laci untuk menyimpan dokumen atau barang baik kantor maupun pribadi.

Nah sampailah ku di sini. Sejak minggu lalu. Dan ini hari ke tujuh hari kerja boleh berkantor bersamai dengan rekan-rekan, tetapi tugasnya yang tidak ada.  Kami berkantor, hadir di kantor, tetapi tidak diperkenankan berkontribusi. Atau malah kontribusi kami adalah hadir dan ndak ada tugasnya.  Betul sekali, teman kami adalah rekan satu ruangan, tanpa pembatas privacy, juga sobat kantor kami yang berkenan mampir dan bercengkerama walau sebentar di ruang ini. 

Suatu pengalaman luar biasa, ternyata, kerelaan, keikhlasan, menghadapi dan berkantor dengan apapun bentuk bukanlah apa-apa. Ndak menunjukkan apa-apa, juga bukan merupakan fasilitas yang wajib dipenuhi perusahaan.

Sebentar memperoleh kemewahan fasilitas, sebentar menikmati meja dan kursi untuk meletakkan badan dan menulis apapun yang hati dan pikiran rasakan.

Akankah ku merasa bangga, merasa senang, merasa sedih, merasa "I am the man", atau justru merasa tersisih?

Apa sih arti meja kerja atau ruang kerja buatmu? Mau menunjukkan privacy? Lalu buat apa?


Jakarta 1 Okt 2013, 10:39

Nol Besar


Angka nol atau kosong merupakan angka aneh, keramat, juga angka yang membingungkan. Di suatu ruang disebut kosong bila ndak ada apa-apa, seperti isi kursi, meja atau lemari dan sebagainya. Tetapi katanya kosong adalah tidak ada. Tidak berisi apa-apa?

Kalo tidak ada, itu sama dengan kosong, maka apa bukan sebenarnya kosong itu tidak ada alias tidak exist atau ndak perlu kelihatan keberadaannya?

Nol besar atau nol kecil bukannya sama-sama tidak ada, alias sama-sama tidak exist. Mau itu besar atau kecil yang sama dengan nol. Nothing.

Teringat keberadaanku saat ini tidak ada dalam struktur, tetapi tetap diminta hadir, dianggap ndak ada, ndak perlu berkontribusi, tetapi tetap diminta pindah dan berada di tempat yang sempit, berkumpul dengan rekan sejenis dengan harapan ndak betah dan betul-betul hilang, not exist dan nothing tadi...

Saat kita menggantungkan hidup pada orang lain, menginginkan belas kasihan orang lain, sementara orang lain ndak melihat kita, juga bahkan ndak penting menganggap kita ada atau ndak. Bukankah itu berarti kita di sisi invisible, kosong, dan nothing.

Anehnya kita hadir, ada, walau nothing. Sehingga, seberapapun kita ditemui, didengar, diberi senyum, disapa, ditegur, diajak komunikasi, bukankah itu berkah, berkat dari Gusti Allah.

Kalo kosong aja diajak bicara, apakah ini ndak dimaksudkan bahwa si nothing pun sebenarnya ada artinya? Walau ya kosong tadi. Nol, karena ndak ada artinya, ndak penting.

Lucu ya, nothing, nol, kosong, tapi masih berarti. Walau ndak penting, dan ndak akan memiliki pengaruh pada yang lain. Malah si kosong tadi kalo ikutan berkokntribusi malah merepotkan, lha wong nothing, kosong dan nol serta ndak penting.

Baru saja, kuperiksa nama di telpon kantor, ternyata di ruanganku namaku pun ndak ada, ndak terdaftar, ndak penting, ndak exist, juga kosong dan nol. Angin, ndak kelihatan, invisible

Puji Tuhan Allah Pencipta alam semesta.............hanya padaMu lah ku berdiri dan hidup. Bangun, sadar dan bernafas. Terima kasih atas semua kurniaMu. Dengan perkenanMu, Dimuliakanlah NamaMu atas segala apa yang ada dalam ciptaanMu. Aku rela menjadi kosong nol dan ndak exist selama NamaMu yang diMuliakan alam semesta ini


Jakarta 11:48; 1 Okt 2013

Sepi ku


Ndak terasa dua minggu ku lalui hidup, tanpa kehadiran Ibu ku yang saat ini memasuki tahun keduapuluh aku diperkenankan bertempat tinggal bersama. Beliau adalah sahabat, ibu, juga kakakku untuk memperbincangkan hal-hal keluarga dan spiritual bersama. Yang belakangan ini segala apa yang kurasakan, sambil sport pagi dengan crosstraining, beliau pagi-pagi bangun, berjemur, sambil sembahyang dan bercerita tentang keluarga, berkomentar dari berita yang dibaca di koran atau bertukar pendapat mengenai banyak hal spiritual, tentang Tuhan, tentang Yesus, tentang kematian, tentang sahabat, tentang komunikasi dan banyak hal lainnya.

Sejak tahun terakhir dan memasuki usianya yang tujuh puluh tahun lewat tersebut, beliau sudah ndak tertarik untuk perjalanan jauh. Bahkan lebih memilih di rumah. 

Ndak terbayang buatku, apakah ini, rasa sepi yang juga Ibu rasakan sampai pada kesempatan ada mbak yang membantunya setiap hari menjadi nanny buat Ibu, menjadi teman, menjadi pembantu, menjadi asisten dan seterusnya. 

Menjadi terbuka buatku, mengapa Ibu sejak tahun ini menjadi berkahku untuk bersama memperbincangkan hal-hal spiritual.  Yang selama ini kuucapkan bahwa ini merupakan berkah, tetapi masih ada dalam hati kecilku kesombongan bahwa ini merupakan buah karyaku mencari, membongkar, membeli, mengalami dan mengejar apapun sehingga rahasia alam dari Tuhan terbuka untukku, walau selalu kuucapkan aku dibukakan oleh Tuhan.

Merinding kau dibuatnya, saat menuliskannya, ternyata aku disentuh olehNya, dan diingatkan bahwa saat ini dimana Ibu sudah menghadap Sang Khalik, dan saat pasanganku sedang mengantar anakku yang  sekolah menengah atas selama dua minggu di tempat jauh yang sinyal telponpun sulit diperoleh. 

Ternyata rasa sepi ini menarik, sebab pertama kali pikiranlah yang mulai mengantar bersandiwara, dan mereka-reka apa yang sedang ku alami, lalu membayangkan hal-hal yang ekstrim bahkan sudah memancing amarah karena self pity yang ditimbulkannya. Bahkan amarah ini semakin memuncak dan bahkan kebanyakan energi yang selama ini bisa punah dan lenyap dengan berolah raga selama 30 menit dengan kucuran keringat, tapi saat-saat ini justru menimbulkan energi untuk bertanya, untuk mempertanyakan, juga untuk amarah yang sedemikian meletup.

Kenapa aku dibiarkan dalam sepi, sendiri, ditinggalkan...... Benar kalo aku sementara ini tetap perlu menjalani hidup dan segala tanggung jawab keluarga. Tetapi kok sejumput informasipun aku ndak dihubungi? Apakah memang sudah sedemikian ndak pentingkah aku? Menanyakan keberadaanku pun sudah ndak ada atau bahkan sudah ndak perlu? Ndak penting?

Bukan karena aku memang harus mengurus rumah, mengurus diri, mengurus putri cantik kecilku, mobil yang perlu servis, tamu Om ku yang akan mampir rumah. Dan seterusnya-dan seterusnya. Dan kau jawab ndak ada sinyal. Wow benar-benar luar biasa meletup mau meledak rasanya.

Benar dan betul bila saat ini aku sedang dalam kondisi terendahku. Kondisi ndak bisa basa-basi. Melihat orang lainpun saat ini rasanya aku ingin menyemburkan apapun yang ada di kerongkonganku tanpa peduli apa yang dirasakan mereka.

Jadi ingat sahabatku, saat ditinggal oleh pasangannya merantau di negeri seberang, selama dua setengah tahun. Berita hanya melalui pesan singkat sms, tanpa mendengar suara untuk komunikasi selama dua setengah tahun. Betapa luar biasa rasanya. Pantas yang diterima pasangannya adalah nah, sekarang gantian, semua kamu yang musti kerja dan melakukannya untuk aku dan anak-anakmu yang selama ini aku yang lakukan sendirian. Tanpa perlu malu, tanpa perlu gengsi dan ego, semua untuk menyambung hidup.

Boro-boro untuk berpikir mengisi hidup, saat itu mungkin yang terasa adalah menyambung hidup.

Kepalaku sakit, sebelah kiri, sebelah kanan dan mataku kunang-kunang. Menahan.

Hening, berhenti aku menulis- - - - - - - - - - . . . . . ................................

Mengingat sms dari pasanganku barusan, kok bisa-bisanya dia yang kusembur karena rasa kangenku yang membuncah? Ternyata rasa kangen bila ndak dipenuhi akan menimbulkan amarah yang demikiat hebat. Ya Tuhan, aku telah melukainya. Kok tega ya?

Oh ya tega dong, wong aku sampaikan tadi (semburanku ini) dengan maksud agar dia sadar dan tau kalo aku kangen. Kok egois ya? Apa iya kalo dia juga ndak kangen? Penginnya disambut mesra tapi malah disembur disemprot dengan kalimat keras dan kasar.

Biarin deh... sebentar aku menenangkan diri. Kalo sudah tenang nanti juga bisa mikir normal.

Sebentar, sebentar, lho kok aku yang kangen lalu jadi marah? Wah ternyata rasa kangen ini cuma bisa dipenuhi kalo dia hadir, datang, hanya untukku. Ternyata pelajarannya adalah untuk memenuhi (kangen)ku hanya dengan dia. Aku ndak peduli dia. Menurut Sujiwo Tejo, ini dagang, ini trading, ini pamrih.

Ini jelas bukan cinta. Ini hukum timbal balik. Aku ndak menerapkan unconditional love. Menerima paketnya. Dengan menerima berarti siap ditinggal.

Sebentar, sebentar, lho kok sampai-sampainya cinta itu musti siap terima ya siap ditinggal. Bukannya cinta itu merupakan timbal balik dua pihak atau lebih? Kalo bukan dua pihak yang secara aktif bercinta apa ya namanya cinta? Bukannya nanti jadi bertepuk sebelah tangan? Lho kok repot ya?

Hening, sepi, kok jadi speechless ya?

Kalo gitu apa aku masih mencintainya? kalo aku menerima tapi rela melepasnya? Wah kok susah amat ya, untuk mengunyahnya? Lho kok? wong cinta itu diperjuangkan, tapi kok rela kalo dia mau lepas? Wag ndak masuk akal nih.

Jadi ingat saat mulai punya anak, sejak bayi, ditimang, disayang, dijagain, dibimbing. Lalu begitu besar, seperti anakku yang masuk kuliah memilih sendiri jurusan, fakultas dan universitasnya. Dia kos karena yang dipilih adalah di kota lain. Tetap disayang di hati di pikiran, tapi juga ikhlas karena dia ingin maju dan mandiri.
Lha mosok pasangan juga direlakan kalo ingin mandiri? Opo mau pasangan ini lepas, secara fisik, pikiran dan hati? Ah.....makin bingung nih Gusti.

Unconditional love

Melepaskan kelekatan

Meniadakan aku di diri

Wah malah makin bingung, makin ndak berbentuk nih......

Apa memang ada, menghadapi hidup tetap waras, tetap positif, tetap optimis tapi dengan keikhlasan pada Gusti Allah bahwa yang dihadapi adalah berkatNya.

Luar biasa


Jakarta 11:32; 1 Okt 2013