November 27, 2011

Pemilikan atau Kemilik'an

Sesuatu baik yang berwujud dan tidak berwujud yang ingin kita "miliki" kadang dapat, walau bahkan seringkali dapat mencelakakan kita. Menurut hemat saya, rasa terbebani saat rasa tersebut benar-benar mendera kita untuk "segera" memiliki hal tersebut. Sekali lagi hal ini dapat berwujud dan tidak berwujud.

Sahabat sekalian yang pernah jatuh cinta, apalagi saat sekolah dulu, dalam masa pubertas merasa naksir lawan jenis dan ingin memilikinya. Sebagai reminder, saat orang yang kita taksir tersebut ngobrol dengan teman lain saja, kita begitu merasa terbuang.... Hayo mengaku, apakah pernah mengalami rasa itu?

Atau saat sekolah menengah atas SMU (dulu SMA) saat rekan atau tetangga yang seumur sudah mengendarai sepeda motor, maka demikian kita menginginkannya untuk memiliki untuk mengendarainya. Freedom ...... katanya. Apakah memang demikian rasa yang akan diperoleh setelah barang yang demikian kita inginkan untuk dimiliki telah kita peroleh?

Sebentar coba kita bongkar sedikit saja....

Rasa atau roso saat menguber hal yang ingin kita miliki tersebut demikian membuat adrenalin kita membumbung tinggi, passion, semangat, rasa "ser" bila berdekatan dengan "incaran" membuat rasa yang tidak dapat dilukiskan.

Nah saat akan "nembak" calon untuk dipacari tersebut, seperti kita mengambil keputusan hidup dan mati. Bagaimana kalau tidak berhasil, bagaimana bila ditolak? Apakah rasa malu, apakah rasa marah? Kecewa? Sepertinya kita mau mati saja, atau mau ganti kulit, ganti identitas, ganti KTP dan apapun untuk tidak usah ketemu lagi deh.....

Saat "menyatakan cinta atau melamar pacar tersebut" menjadi klimaks kita. Nah itu puncaknya.

Pertanyaan penting adalah bagaimana kalau ditolak? bagaimana kalau diterima? Apa perasaan kita? Senangkah? bahagiakah? untuk berapa lama? selamanya kah?

Yang pasti adalah babak baru akan kita alami. Apakah kita sudah siap untuk mengalami perubahan tersebut?

Banyak dari kita menjadi kecewa setelah "memiliki"nya. Kok cuma segitu ya? Nah rekan sahabat, mungkin ini bagian dari kita "surfing" di grafik rasa tersebut, setelah klimaks kita turun lagi...

Demikian pembuka/appitizer tentang pemilikan ini. Monggo bila ada hal yang tidak sesuai dengan apa yang sahabat pembaca alami atau pikirkan. Matur nuwun. Tuhan memberkati.


Jakarta 14.34 Nop27,2011

Rindu untuk pulang

Saya yakin sahabat-sahabat pembaca pernah mengalami rasa rindu yang amat sangat untuk pulang. Kata pulang di sini dapat berarti sangat luas dan dalam. Ada arti kata pertemuan yang amat sangat maha dahsyat.

Pertanyaan berikutnya adalah bertemu dengan siapa? untuk apa? bagaimana perlu diadakan pertemuannya? di mana? kapan bertemunya?

Beberapa rekan akan dengan mudah menjawab pertanyaan terakhir yaitu kapan bertemunya? yakni secepatnya, atau kalau boleh diminta untuk dikabulkan Gusti Allah adalah sekarang waktunya. Atau beberapa jokes mengatakannya," seharusnya sudah dari kemarin dong..." Tentu ungkapan jokes ini menjadi sangat kurang ajar.

Apakah dengan diadakannya "bertemu" dengan yang ditunggu dan dirindukan tersebut rasa kangen kita sudah terselesaikan? Settled down, kata orang Barat. Coba rekan renungkan lebih dalam.

Bila rasa tersebut demikian mudah, dan murah tentu saja siapa/apa dan bagaimana cara "pulang" tersebut menjadi tidak demikian berharga. Kalau rasa rindu tersebut cukup dipenuhi dengan kita pulang ke rumah, bertemu dengan pasangan hidup dan anak-anak terkasih, tentunya tidak demikian saja sudah dikatakan "lunas".

Nah sahabatku, ternyata pulang, menjadi sangat sakral saat kita benar-benar mempersiapkannya dengan baik (lahir, batin, pikiran, tentu saja mental). Bila kita over expextation, maka saat orang yang kita temui ternyata "biasa" saja, maka kita akan kecewa, dan nilai dari rindu tersebut dapat segera menjadi kecewa dan kalau keterusan menjadi benci. Waduh....kok menjadi semacam kutuk ya?

Apa sebaiknya kita mengubahnya menjadi persiapan dengan modal under expectation? Sehingga setiap apa respon serta apapun keadaannya menjadi berkah untuk kita. Dan menjadikan nilai dari pulang karena rindu lan kangen tersebut membumbung tinggi?

Setelah mengendapkannya dalam beberapa waktu, saya memperoleh pengalaman yang luar biasa saat kita benar-benar merelakan (hanya kata ini yang saya rasakan cukup pas) sebab kalau pasrah kok kadang dapat diartikan pasif. Berasal dari kata rela, yang merupakan tindak keputusan kita untuk siap menerima apapun (sekali lagi apapun) hasil yang diterima, selama apapun upaya dan ikhtiar sudah kita lalukan. Dan terpenting sudah dikawal dengan doa kepada Tuhan Gusti Allah kita.

Demikian Rindu ini ingin saya bagikan pada sahabat sekalian. Matur nuwun. Tuhan memberkati sahabat sekalian.

Jakarta 14.18 Nop27,2011

Unfinished business

Selamat pagi sahabat pembaca sekalian...

Unfinished business, demikian orang sering menamakan untuk sesuatu keinginan atau tugas yang belum terselesaikan. Ada kalanya hal ini disebabkan oleh kurangnya kita fokus pada halya atau bahkan sudah fokus tetapi karena dilakukannya dengan di-"sambi" maka seolah bukan prioritas. Juga ada kemungkinan kita sudah fokus, sudah diprioritaskan, kok belum juga selesai, bahkan makan waktu cukup lama dan panjang.

Bila yang terjadi demikian, maka yang terkena dampaknya adalah makan waktu, pikiran, serta menjadi beban tambahan, yang seolah "mencuri" sesuatu dari diri kita. Yang tentunya bila kita diamkan saja maka akan menjadi "cacat" dari diri kita, yang seolah menjadi "luka hati" yang mau-tidak-mau ya kita terima saja.

Ketidaksamaan pendapat maupun ketidaksepahaman cara yang sudah demikian mengakar dapat menjadikan kita "luka" bila bertemu atau bahkan bekerja sama. Hal ini dapat terjadi bila ada dalam hubungan rekan kerja, hubungan dengan nasabah, apalagi dalam hubungan keluarga.

Sebagai ilustrasi, ada kalanya kita bertemu dengan rekan kerja, yang kalau bertemu saja sudah "memberikan beban" yang menguras energi kita, apalagi kalau sudah bicara. Lebih jelas lagi bila saat bertemu, yang dibicarakan adalah mengenai ketidaksukaan atau kelemahan orang lain, atau pekerjaan orang lain yang tidak selesai. Lain waktu, yang dibicarakan adalah masalahnya dengan keluarganya yang memang tidak diselesaikannya. Sebab menurutnya yang salah adalah keluarganya.

Pemikiran dan pendapat yang "out-in" sering menimbulkan perasaan self-pitty, yaitu perasaan mengasihani diri sendiri yang berlebihan. Tetapi bila tidak (mau) diselesaikan akan menjadikan keadaan confort zone untuk orang tersebut.

Apakah saya pernah mengalaminya? Ya jelas pernah. Wong saya juga manusia. Human being sekaligus human doing. Penting adalah seberapa kita menghadapinya. Mau diselesaikan atau "dibuang" saja atau "ya sudahlah", seperti lagunya Bondan Prakoso itu....

Monggo sahabat, kalo memiliki pendapat lain. Matur nuwun. Tuhan memberkati selalu.


Jakarta 8.46 Nop27,2011

November 26, 2011

Deja vu

Mau sedikit berbagi, hasil dari perjalanan seminggu kemarin ke beberapa daerah yang begitu indah.

Banyak dari kita sering merasa bahwa kalau kita ketemu dengan seseorang, berada di suatu daerah atau terjadi sesuatu, penjelasan yang mudah adalah ...ah itu sih kebetulan, ndak ada lain dong....

Baru mendarat di Asia Kecil, masih pukul 04.30, sudah dijemput oleh rekanan di daerah tersebut, masih sepi, dingin mencekam, jalanan sedemikian lancar, berada di pesisiran... terlihat masih meriahnya lampu-lampu menerangi subuh pagi itu. Dengan seijin rekan tersebut, kami berhenti di pinggir jalan dan ingin hati memotret indahnya lampu jembatan, lampu hiasan mesjid besar serta lampu-lampu perahu nelayan.... wow indahnya. Semakin mencekam indahnya karena udara sedemikian dingin, 5 derajat ditambah dinginnya angin...

Tidak terasa, kok rasanya seperti pernah di tempat tersebut (ndak tau kapan dan berapa lama....) Aneh ya. Seperti kita familiar dengan suasananya, orang-orangnya, bangunan-bangunannya, bahkan bahasanya kok seperti terdengar pernah ........

Pagi harinya sewaktu makan pagi, lokasinya berada di lantai 7, wow, di kejauhan, terlihat ada selat (laut kecil) yang memisahkan daratan kita dengan daratan seberang, dengan aneka warna atap rumah terlihat menyusun bukit di seberang.... Kok seperti pernah ya...... Hi hi hi, apa ini mimpi? Tanpa terlihat rekan yang menemani breakfast tersebut, saya cubit paha saya, untuk memastikan bahwa saya tidak bermimpi.

Rasanya seperti pernah ya.....

Demikian sharing ini, jadi apa ini yang dinamakan deja vu? Kok kayaknya pernah ya.... Energinya mempengaruhi jiwa dan "roso" ini. Tapi ndak bisa dijelaskan. Ya sudah disimpan saja deh.

Matur nuwun sudah menyempatkan membaca sharing ini. Monggo bila ada yang tidak sependapat. Tuhan memberkati.

Jakarta 23.16 Nop26,2011

November 01, 2011

Bertanya atau Rekonfirmasi ?

Suatu sore, anak saya bertanya,"pak, boleh aku minum es krim?" Sementara diketahui bahwa dia sedang pilek dan sedikit batuk. Bagaimana menurut rekan pembaca?

Bila kita ingin menyenangkan anak tersebut, tentunya akan kita setujui, tetapi bila kita melarangnya, apa yang akan terjadi? Akan marahlah dia dan mutung ngambek. Kebetulan, kejadian ini hari Sabtu kemarin, saya jelaskan bahwa kamu boleh minum es krim nanti hari Selasa. Jadi dimata si anak adalah "harapan" akan bisa minum es krim, walau saya tidak melakukan larangan.

Tadi pagi-pagi sekali, dia membangunkan saya dan mengatakan," pak, ini kan hari Selasa, jadi aku boleh minum es krim kan?" Terdengar di kalimatnya bahwa dia senang sekali, juga terlihat di mata nya. Now it's the time....

Pernahkah rekan pembaca mengalami kejadian seperti di atas (tentu dalam konteks dan skala) yang berbeda.

Bila kita bertanya pada atasan atau pasangan, apakah rekan sudah "menyetel" jawaban yang ingin didengar atau betul-betul membutuhkan jawaban yang sebaiknya?

Jadi bila ternyata dijawab "tidak" apakah kita siap? Ataukah kita mengharap penjelasan? Atau rekan justru menginginkan adanya "harapan"? Jadi apakah penting bila "tidak" sekarang tetapi "iya" nanti/besok/tahun depan?

Nah bila yang memberi jawaban demikian adalah Gusti Allah kita? apakah kita akan mutung/ngambek? Lalu menganggap Tuhan tidak mendengar doa dan permintaan kita? Padahal kita bertanya tetapi sudah "mendikte" jawabannya pada Tuhan, menurut "mau" kita.

Hayooooooo........tidak mudah......

Demikian sharing ini, matur nuwun sudah meluangkan waktu.

Jakarta 14.48 Nop01,2011

Kata Tidak dalam Arti lain

Pagi ini, membaca cerita tentang Raja Daud, sungguh sangat menarik perhatian. Setelah beliau menjadi Raja atas Israel, dimana saat keadaan kerajaan dan pemerintahannya tenang dan damai, beliau mulai memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan untuk pengungkapan rasa syukur pada Tuhan Allah yang telah menjaga, mengawal serta membuat segalanya terjadi.

Terbetik olehnya, bahwa Raja Daud ingin membangun rumah Allah, sehingga "api" Tuhan tidak hanya berada di tenda melainkan di tempatkan di rumah Tuhan Allah yang megah.

Dipanggilnyalah Nabi Nathan, ditanyakannya perihal rencana yang sedemikian baik. Menurut pikiran dan akal sehat, tentunya rencana ini sudah sedemikian baik dan luhur, tentu tidak akan ditolak oleh Tuhan Allah. Tetapi, Tuhan melalui Nabi Nathan, menyampaikan, bukan soal baik dan luhur untuk menjalankan rencana tersebut. Melainkan Tuhan punya rencana lain.

Dhuaaaarrrrrr, lho kok????

Wong rencana baik dan luhur kok ditolak?

Coba rekan-rekan pembaca pikir, kurang apa lagi, apakah Tuhan punya rencana lain? Apakah salah bila Raja Daud yang membangun "rumah Tuhan" ini? Bukankah rencana baik, bagus dan luhur akan tetap baik siapapun yang melakukannya?

Ternyata Tuhan memiliki rencana lain, sebagaimana disampaikanNya pada Nabi Nathan, bahwa yang akan membangun Rumah Tuhan adalah Putra Raja Daud. Dimana dimata Tuhan, tugas dan peran Daud sudahlah sedemikian berkenan dihadapanNya. Tetapi intinya tugas membangun tersebut "bukan" tugasnya. Titik. Bukan soal salah atau penolakan.

Jadi "pengalihan" tugas, tidak sama dengan pendisiplinan atau penolakan oleh Tuhan.

Nah, rekan-rekan pembaca, apakah rekan pernah mengalami kejadian, bahwa rencana yang baik, bahkan luhur, sudah dibuat detil, terperinci, bahkan kemungkinan salahnya juga kecil, tetapi kok tidak dapat terlaksana dengan baik.... Bila menyitir kejadian di atas, perlu rasanya kita selalu "mendengarkan" Tuhan apakah ini sudah yang terbaik.

Demikian sharing ini. Monggo bila rekan pembaca memiliki pendapat lain. Matur nuwun.

Jakarta 14.37 Nop01,2011