December 21, 2012

Kerja buat mendapat Uang?

Tiga hari lalu, setelah bertemu dengan sahabatku, dimana dia menjanjikan akan memberikan sebagian hasil yang diperoleh untuk menjadi bagianku. Awalnya sedang sekali hati ini, lumayan, mantabs, ok. Puji Tuhan, Alhamdulilah.

Ternyata dua hari lalu, kita bertemu lagi, dimana ada saat perbincangan, disinggung bahwa, semoga hasil yang akan (saya) peroleh, "membuat "kamu" lebih semangat kerja, jangan sampai seperti kemarin kok kelihatan apatis, ndak semangat, bahkan terkesan membiarkan, terjadinya kesemrawutan."

Pada saat mendengar nasihat tersebut, saya bingung. Kok saya diberi pancingan, iming-iming, tetapi diberi nasihat, berharap semoga berjalan sesuai harapannya. Sementara menurut saya, apa yang disampaikan tersebut tidak benar total, dan kalaupun ada yang luput dari pengamatan saya hanya 10% bahkan kurang.

Dan yang betul-betul menyakitkan hati, terjadi kemarin, yakni saat saya mampir selintas di tempat sahabat tersebut. Dia melihat saya dengan pandangan, " oh... sekarang kamu sering ke sini karena mau cepat-cepat memperoleh hasil tersebut ya...."

Ditambahkan, sore harinya, ada pekerjaan yang saya tindak lanjuti, ternyata rekan tersebut tidak memantau, bahkan menurutnya saya yang selayaknya meng-handle semuanya, (mungkin menurutnya--- waduh dosa nih saya telah melakukan prejudice), kan nantinya kamu juga memperoleh hasil tersebut.

Wah, kok jadinya itung-itungan? pamrih, trading, dagang, .....

Tadi pagi rasa "marah" menggelegak dalam kerongkongan saya, seolah ingin berteriak. Bahwa ini tidak benar. Saya bekerja karena saya senang dengan pekerjaannya. Saya menyukai pekerjaan, senang dengan tantangannya. Masuk dalam dan berniat menyelesaikan bersama untuk kemanfaatan bersama.

Saat berdoa pagi tadi,  bahkan sampai tercetus,"dan kalaupun tidak ada hasil yang dibagi, karena saya bekerja di sini, tetap akan saya kerjakan. no matter what." Puji Tuhan, Kuasanya selalu melindungi saya dan keluarga saya.

Terima kasih Gusti, telah memperkenan saya melewati jalan ini. Berkah, kesempatan, keikhlasan serta upaya semua adalah milikMu. Engkau yang memberikan, Engkau juga yang mengambilNya.

Hamba tidak berhak atasnya sedikitpun. Semua saya/kami lakukan untuk KemuliaanMu. Amien.

Jakarta, 14:26, 21Des2012



December 11, 2012

Ready for Nothing

Pagi kemarin saya membaca buku karangan Pak Parlin terbaru, ada bagian yang begitu menarik perhatian. Yaitu saat disinggung bahwa saat ini, di mana hidup begitu dinamis, sehingga sayang bila kita menghadapinya dengan sikap "yang sama dan sudah mempersepsikan terlebih dahulu."

Beliau dalam bukunya menyarankan,"Ready for Nothing, and Open Mind to Anything". Wow, luar biasa banget...

Hal ini menyambung saran latihan yang dianjurkan oleh buku Pak Krishnamurti/Istoto, dengan ilustrasi "backpaker".

Yaitu kita bawa (hal-hal) yang perlu, penting, sehingga dalam mengambil keputusan kita lebih loose dan tanpa beban. Mengapa hal ini menjadi perbedaan yang signifikan? Coba bandingkan dengan bahwa setiap kita hadapi sesuatu, kita sudah mempersiapkan nanti akan menjawab apa, alasannya begini, dst dst. Iya kalo cocok, kalo ternyata ada fakta lain yang muncul, apa ndak gamang? apa ndak galau?

Juga akan berbeda, bila kita "alert" tetapi tidak reaktif, melainkan kita proaktif. Sebab dengan reaktif, kadang menjadikan kita menyesal bila fakta lain adalah bertentangan dengan kata hati kita; grusa grusu.


















Bersyukurkah kita?

Menarik untuk dijajaki.

Setiap pagi bangun, mendengar suara putri kami terkecil, suara kakaknya mas yang besar dan mas yang kedua. Betapa hidup ini demikian indah.  Puji Tuhan semua dalam keadaan sehat.  Di sebelah saya sudah bangun, istri tercinta sedang menyiapkan sarapan.

Tak terasa menetes air mata, ya ampun Tuhan, selama ini kok demikian terasa flat, tidak bersyukurnya hambamu ini.

Melihat jarum jam menunjukkan pukul 5 pagi. Masih remang2 di luar.

Segera saya ambil handuk kecil untuk olah raga di lantai atas. Tak terasa 20 menit peluh memenuhi badan. Segar.....

Suara putri kami terdengar nyaring mencari saya...."bapak di mana bu?".  Merinding, mendengarmya.

Terima kasih Gusti, betapa anugerahMu yang tak terhingga dan tidak patut diperbandingkan.

Tuhan mberkati rekan sahabat2 pembaca.

Jakarta 10:05, 11Des2012

Persepsi


Tanjung Redep 5 Des 2012 jam 13.19

Saya benar-benar tidak paham, bagaimana kita sebagai manusia bertindak, apakah berdasarkan rasio atau berdasarkan tingkat kedewasaan/ kebijaksanaan.

Demikian ilustrasinya: saat kita membicarakan kepentingan diri sendiri, ternyata "garisan" atau ukurannya berbeda dengan bila kita membicarakan kepentingan orang lain, pihak lain. Apalagi bila kepentingan lain tersebut tidak berdampak langsung dengan urusan kita.

Tetapi.........bila ternyata ada dampaknya kepada urusan dan kepentingan kita, waduh...begitunya....kita mempertahankan, melakukan defensif serta menyerang kembali dengan meminta berbagai hal, berbagai timbal balik, malah lebih besar "nilai"nya dibandingkan dengan dampak yang ke kita.  Kalau perlu kita yang surplus, untung, profit atau berlebih. Dan membuat orang lain defisit, rugi dan babak belur.

Kejadian lain adalah bahwa saat kita melihat orang lain yang memperoleh manfaat/benefit atau keuntungan atau penghasilan atau apapun yang menjadi pendapatan yang sama dengan kita, kita justru terganggu dan membandingkan.  Apakah memang orang lain tersebut sama effort, kompetensinya atau pengalamannya dan sama atribut nya dengan kita. Nah akan menjadi masalah (buat hati kita) bila ternyata berbeda dengan kita. Bukan masalah besar atau kecil, ternyata beda saja, sudah membuat persepsi bahwa kita "defisit" dibanding orang tersebut. Waduh......kejam yak....

Kalau sudah begini, apa iya begitu.... Bahwa kita ini manusia yang tega, suka itung2an, mementingkan diri sendiri, serta kalo bisa membuat orang kain lebih menderita?

Demikian disampaikan. Monggo.....  Semoga Tuhan mengampuni kita dan mberikan berkatNya selalu.

Senyum


Apakah benar-benar kita tersenyum?

Lho kok bertanya seperti ini? Apa yang salah? Apakah saat tersenyum dalam hati kita juga tersenyum? Apakah memang kita menebarkan senyum kita untuk sesama kita?

Atau...justru kita kita tersenyum hanya agar keliatan (baca: pura-pura) dan tercipta image ramah? Lalu untuk apa biar kelihatan ramah?

Nanti kalo kita kelihatan ramah, makin banyak orang mendekat, sebab ramah identik dengan baik hati....
Lalu tiba-tiba kita didatangi banyak orang minta tolong....
Urutan berikutnya kita merasa terganggu....
Dan kemudian merasa lho kok orang lain ndak mbantu kita?
Kok kita yang musti ngerti'in orang lain.....?
Lha kalo kita yang lagi down...siapa yang dapat kita temui atau telpon atau mau mendengar keluh kesah dan bahkan membantu kita?

Sebentar.......lho kok malah itung-itungan.
Jadi kayak orang dagang.
Pamrih.

Wah hidup jadi berat, sebab kita perlu ngitung, kalo kita senyum, bekum tentu kita dibalas drngan senyum. Kalo kita mendengarkan keluhan teman, belum tentu mereka akan mendengar keluhan kita...

Ndak ah.... Saya memilih untuk senyum, baik dengan otot-otot muka, hati juga.. Mu dibalas senyum ya monggo...ndak dibalas juga ndak apa-apa.
Klo satu kesempatan kita mau mendengar keluhan teman, ya ndak musti kita menganggap nanti dia musti mendengar kita. Jadi kalo mau ya monggo, atau saat tertentu kita sedang ndak mau mendengar ya ndak apa-apa....

Nanti kita dibilang sombong, ndak ramah... Ya mbok ben, biarin aja... Kalo hati dan niat kita mau lakukan, just do...., monggo. Kalo lagi ndak ma ya sudah. Mau diomongin, mau dibenci, ya biarin....

Jadi kembali ke atas, apakah kita mau senyum dengan "ringan" tanpa beban? Atau mau dengan beban yang itung-itungan? Silakan memilih, sumonggo kerso.

Jakarta, 19:56; 6Des2012

Mandat


Mandat atau amanah, adalah suatu hal yang membuat kita merasa memiliki atribut sehingga secara moral dan atau legal dapat melegitimasi tindakan kita berdasarkan basis atau dukungan hal/pihak tertentu. Susah banget yak......

Jabatan menjadi suatu mandat sehingga kita dapat (merasa) berpikir, bertindak serta mengelola atau bahkan memimpin suatu kegiatan dan sekelompok pihak untuk tujuan tertentu. 

Mandat? Ada  yang bilang bahwa mandat adalah suatu bentuk "kepercayaan" atau tongkat estafet yang kita terima dan laksanakan serta kawal dengan baik, dan kemudian diserahkan kembali atau diserahkan ke pihak lain saat kita diminta untuk meninggalkannya. 

Amanah? Jelas suatu kepercayaan untuk kita terima, kawal, laksanakan, bahkan juga disalurkan kembali.

Status, hmmmm... Apakah ini juga amanah atau mandat? 
Misalnya status: berkeluarga, menjadi bapak rumah tangga. Saya lebih senang menyebutnya panggilan. Sebab saya memilih, berpikir dan menjalankan serta mengawal perjalanannya sebagai seorang bapak. 

Pertanyaan berikutnya: apakah seorang bapak musti memiliki keluarga? Musti memiliki istri/pasangan? Musti memiliki anak? Musti memiliki orang tua? Musti memiliki tetangga? Musti berada di lingkungan masyarakat? Musti memiliki pekerjaan? Nah......... Bukankah ini menjadi semakin menarik? 

Sebagai ilustrasi: bila seseorang bertemu kita dan saling memberi salam, lalu mengulurkan tangan. Apakah kita memperkenalkan diri dengan nama? Atau juga atribut tersebut di atas? 

Semakin menarik saat kita bongkar bahwa atribut, status, mandat atau amanah tadi, dapat merupakan pilihan atas keputusan kita. Apakah dengan demikian kita akan "membawanya" dengan sia-sia (take it for granted)? Atau kita perlakulan dengan respect dan penuh tanggung jawab? 

Monggo, ternyata semakin dalam kok semakin bingung, semakin luas dan semakin gelap tidak terjamah yak........

Tanjung Redep-Jakarta 19:44; 6Des2012

November 23, 2012

Gatal ingin menulis

Setelah lama tidak menulis ternyata gatal juga nih tangan dan hati. Padahal bukan maksud kalo menulis pasti punya harapan dibaca teman2 sekalian...  Sama sekali ndak. Bisa menulis saja berkah, apalagi ada rekan yang sudi membaca, wah itu mah bonus...

Sekian lama menahan diri menulis, mencoba mengendapkan gejolak hati, apakah menulis ini punya maksud "pamrih" biar dikomentari teman-teman, atau memang kebutuhan saluran hati karena begitu berharganya waktu sahabat untuk hanya sekedar mendengarkan celotehan, gumam, curcol, atau apapun nama sejenisnya.

Ternyata kegatalan tangan ini semakin ndak bisa tahan lagi. Sehingga saat diri ini jauh dari keluarga kecilku yang begitu dekat di hati (jiaaaaaahhhhhh), membuat lancar kata-kata terlepas dari tangan mewujud di papan notebook ini.

Apakah dengan mulai menulis ini menjadi janji untuk rajin mengisi di papan notebook? Ndak juga. Apakah ini hanya sekedar rasa kangen? Iya juga sih. Sak maunya dewe..... Terserah tangan aja deh..

Kalo janji, kok malah utang, malah stress nanti. Kepikiran. Wong sekedar celotehan kok jadi utang, kewajiban.... Malah ndak greng lagi deh....

Yo wis, mulai aja, ndak musti ada bahannya toch. Monggo

Tanjung Redep 13:36, 22Nop2012

June 12, 2012

Pencerahan

Pencerahan atau enlightment, adalah suatu tahap kita "mulai" mendalami hidup. Ilustrasi, saat orang kehausan, kita berpikir bahwa dengan minum beberapa teguk air bahkan gelas akan menawarkan dahaga kita. Saat kehausan, malah lebih jauh kita merasa, begitu air masuk dalam mulut, lalu ke tenggorokan kita, maka hilanglah haus kita. Perhatikan kata "hilang" di atas. Kebanyakan orang berpikir bahwa kita ndak akan haus lagi. Kok naif banget yak? Pernah saya alami, bahwa suatu saat saya begitu menginginkan sesuatu misalnya jam tangan Rolex. Coba lelaki mana yang ndak menginginkannya. Saat terindah ada saat mencari informasi, membandingkan jenisnya, mampir dari toko ke toko, bertanya pada orang yang sudah memilikinya. Nah, saat kita sudah punya dana, sudah manteb akan membelinya, bahkan sesaat baru memakai di pergelangan kita. Lho......rasanya kok lain? Hilang.... Apa yang hilang? Kok ada bagian dari kita yang hilang? Ya jelas selain duit yang sudah bertukar dengan arloji tadi. Tapi jelas2 ada yang hilang? Kenapa ini? Apa ini? Rasa apa ini? Terpenuhi tapi kok sekaligus ada yang hilang? Monggo....apa kita perlu cari rasa itu? Apa perlu cari jawabnya? Bisakah kita terima tanpa perlu dan penting cari jawabnya? Jakarta 16:51 12Jun2012

It just is

Siang ini begtiu ngantuk, lalu aku mulai cari2 bacaan. Tnganku berhenti saat mbah Google terketik Akasic Record, yang dipandu oleh Akemi Gaines. Bagus banget... Pada tulisan tertangaal 5 Des 2010, berjudul Ter Purpose of Life is Life Itself. Begitu luar biasa karena yang dibahas begitu sederhana. Begini... Apakah kita melakukan sesuatu karena mau mendapatkan manfaat? Jadi ingat kalo aku suka jogging, mulai milih makan karena pengin kurus.... Ngimpi.... Ha ha ha. Kita lakukan itu karena merasa kita akan mencapainya. Iya kalo tercapai, kalo ndak? Kecewaaaaa, kan? Makan hati, stress, kepikiran, hidup terganggu. Ato pernah saya pikir bila kerja baik akan memperoleh promosi, naik gaji, mperoleh fasilitas. Iya kalo begitu, kalo ndak, kecewaaaa. Ha ha ha. Asyik nih tulisan Mbak Akemi. Saya tersentil karenanya. Ndak bisakah kita lakukan sesuatu karena "ya mau melakukannya aja. Titik" ndak perlu syarat atau harap macam2. Hayo. Bukankah hidup jadi lebih enteng. Ringan. Ndak usah diberatin. Monggo... Jakarta, 16.32 12Jun2012

June 09, 2012

Takut vs Kuasa

Dalam perbincangan kemarin ada yang menarik untuk diperhatikan. Saat seorang karib menyatakan ketakutannya akan apa yang menimpanya dalam waktu dekat. Disampaikan bahwa dalam kurang dari sebulan dia akan melepaskan atribut pimpinan usaha. "lalu aku gimana ya Dik? Apa "anak-anakku bisa hidup"? Apa jalannya nanti mulus lagi ya?" dan seterusnya dst dst. Banyak yang sudah karib ini buat, bahkan hatinya pun ada di sana, yang kalo disebut, full hearted deh. Panutan. Yang bahkan saking dekatnya dengan tim dan anak2nya, bisa "beradu" dengan rekan lain yang berseberangan. Takut apa yang belum terjadi dapat membuat kaku, hilang, lost, feel nyasar bahkan, disorientasi. Sebagai kompensasi sesaat dan "kliatannya" butuh adalah "obat bius" atau analgesic yang bisa langsung menhilangkan rasa "hilang" tadi. Ato kalo perlu obat yang masih bisa membuat kita merasa "tetap berkuasa selamanya" (apa ada tuh obat nya...?) Pernah ada buku yang menyebutkan, dimana kita merasa kuat karena memiliki kuasa (untuk apa aja), tak tergoyahkan, ndak akan ada yang mencopot, bahkan di mana kita berkarya hebat, maka (tenyata) disitu pula letak kelemahan terbesar kita, tempat paling rapuh. Apakah ini karena hati kita berada di situ ya? Monggo, silakan dicermati. Semoga Gusti Allah mencerahkan rekan-rekan sekalian. Phuket, 05.05 am, 9Juni2012

June 06, 2012

Kebesaran Bajukah Saya?

Setelah mengendapkan dalam pikiran, pergumulan dan sampai terbawa mimpi. Maka dengan ini saya beranikan diri untuk mulai menulis lagi. Melihat, dan ikut hadir dalam meeting para pembesar perusahaan dalam menentukan arah kebijakan serta pelaksanaan operasi dalam tahun berjalan, seru terlihat. Apalagi beberapa rekan mulai terlihat terbawa emosi. Bergunjing, serta mulai bicara dibelakang. Trrlihat, bahwa raut mukanya menyiratkan tanya besar ketidaksesuaian dengan harapannya. "kenapa sih dia ndak ngerti? Kenapa justru pilihan yang dipilih kok ndak mempertimbangkan hal yang kita pilih? Apakah dia menerti atau berlagak bodo, mau nge-test kita? Kalau kita lakukan hal ini bukankah justru akan merusak reputasi kita?" Nah, perhatikan dua kata penting ini, 1) reputasi; 2) kita Bukankah hal ini terlihat di kehidupan sehari2? Is it a big deal? Is it a do or die choice? Ingin di sini saya sampaikan dan serukan, apakah dengan mempertahankan reputasi, artinya we will live forever? Monggo dilanjut..... Jakarta 7.50 6Juni2012

April 23, 2012

Prejudice

Beruntung hari sabtu kemarin, istri tercinta mengajakku untuk kunjungan dan melakukan misa di penjara.

Satu perasaan yang langsung terungkap adalah, apakah kita lebih baik, lebih suci, atau lebih pantas dari mereka tersebut? Atau bila pertanyaannya dibalik, apakah mereka lebih berdosa dari kita yang di luar penjara?

Misa berlangsung lancar, awalnya agak kaku, tetapi saat liturgi dikombinasi dengan lagu, telah mencairkan suasana. Bahkan saat bersalaman-salam (salam damai), yang semula ragu, kaku, berakhir dengan cair dan senyum kehangatan.

Terima kasih Gusti, hamba boleh mengalami lagi kehangatan sesama.....

Sepulang dari kunjungan tersebut, pertanyaan....apakah rasa bersalah itu selalu diidentikkan dengan dosa? Apakah melanggar aturan negara akan selalu sama dengan melanggar aturan agama?

Biarlah tetap menjadi "tanya"....



Jakarta 18.57 23Apr2012


Bangga

Melihat prestasi yang dilakukan anak-anak kami, sungguh membuat bangga, senang dan bersyukur.

Tetapi apakah sedemikian kita diperkenankan? Apakah kita boleh meng-klaim bahwa itu karena kita telah mendidik mereka? Apakah kita ada andil di situ?

Bagaimana bila Tuhan mengatakan,"Tidak, kamu tidak ada di sana, itu karena mereka punya hidup nya sendiri, mereka punya pilihan hidup sendiri. Kamu hanya memfasilitasi saja."

Nah lho.....

Jadi ingat 2 minggu lalu, saya hadir di acara peluncuran buku Prof Dorodjatun, beliau mengatakan, anak-anak kita adalah generation Y. Ingat, bahkan Kahlil Gibran pernah menulis, apakah kita (berkah) memimpikan mimpi mereka? apakah kita yang mendiktekan mimpi kita pada mereka? Mereka adalah anak panah, sementara kita adalah busur-nya. Mereka, anak-anak kita, akan terlempar sejauh yang mereka ingin capai. Amin....

Jadi, bolehkah kita bersyukur atas mereka. Boleh. Berhakkah kita mengklaimnya atas keberhasilan mereka? Monggo dijawab sendiri.....

Tuhan memberkati rekan pembaca selalu


Jakarta 18.50 23Apr2012





Pindah.....

Menunggu adanya kepindahan, merupakan suatu yang luar biasa, bila kita mengalaminya.

Ada rasa bingung, senang, sedih, menyesal, bahagia, menerima, tidak rela, mau cepat-cepat dilalui, atau bahkan ada saatnya ingin menundanya saja. Wuih...seperti gado-gado atau Nano-nano. Rasanya asem, manis, asin. Campur aduk.

Awalnya rasa ini, tidak dapat menerima, sehingga pertanyaan di kepala adalah kenapa? Apa yang salah? Seberapa besar dampak kesalahan ini? Bagaimana bisa terjadi?

Sempat pembicaraan di hati kecil adalah, bagaimana bila semua pertanyaan tersebut tidak perlu ada jawabnya? Apa perlu dijawab? Apakah saya akan menyesal bila memperoleh jawabnya?
Sampai pada pertengahan minggu lalu, saya memutuskan untuk tidak (perlu) mencari jawabnya. Biarlah tetap menjadi misteri. Life goes on...

Bukankah hidup semakin menarik bila kita menerima misteri tersebut, tanpa ditelan, tanpa dikunyah, tanpa berdampak.

Enak saja!.....ternyata alam bawah sadar saya melawan, dengan semakin blunt saya berkomentar (baik dalam hati maupun berpikir). Sempat atasan saya menegur dengan mengatakan,"...kamu stress ya...?"
Awalnya dalam hati saya tidak mengakuinya, tetapi akhirnya saya akui bahwa sedikit banyak saya terpengaruh juga....

Malu...? Tidak... That's life.

Terima kasih Tuhan, saya boleh mengalaminya. Inilah berkah hidup.

Jakarta 18.40 23Apr2012

Bertemu Prof Dorodjatun...


Pelajaran penting dari pertemuan dengan Prof Dorodjatun…

Setelah memperoleh waktu untuk bertemu dengan beliau, ternyata kesan pertama bahwa beliau pernah menjadi Dekan FEUI, Menteri sewaktu zaman Orba, Dubes Indonesia untuk Amerika Serikat, Menteri zaman Reformasi, Komisaris Utama di beberapa perusahaan ternama, hampir tidak tampak. Justru beliau tampak sebagai seorang sahabat yang bersedia sharing pengalaman dan pertimbangan di masa mendatang.
Pertimbangan untuk menghadapi masa depan inilah yang membuat saya memberanikan diri untuk menghadap beliau.  Saya belajar dua hal besar, yaitu bahwa hadapilah segala sesuatu tanpa emosi (dettachment), kedua disiplin dalam memilih.
Hal pertama tampak dalam tindak tanduk, sikap dan pola pikir beliau yang setia pada prinsip dalam menghadapi hidup.  Beliau sampaikan,” apa sih yang permanen di hidup ini? Bukankah itu kematian dan perubahan. Jadi apa yang perlu kita siapkan? Legacy. Apa yang akan kita tinggalkan yang akan bermanfaat bagi sesama.”
Luar biasa. Beliau sampaikan bahwa hidup ini untuk dihadapi, terlalu singkat untuk melakukan hal-hal yang sia-sia. Berpikir dan bertindaklah strategis dan berdampak jangka panjang. Godaan sesaat adalah pola masa lalu.
Bahkan beliau sempat membagi nasehat orang tuanya,”mintalah nasihat dari orang tua atau orang yang kamu tuakan; juga mintalah nasihat dari gurumu. Bila tidak demikian, maka hiduplah yang akan memberikannya.” 
Disiplin, ini merupakan hal kedua yang beliau sampaikan. Kenapa? Sebagai contoh, banyak sekali orang lupa (atau tepatnya nglupa) saat berkuasa, saat berpunya, saat ada kesempatan, tetapi hal yang dipilihnya adalah yang berdampak jangka pendek (short-term-nisme). Sehingga temptation (godaan) yang seolah indah dan enak tersebut langsung ditubruk tanpa memperhatikan apa yang seharusnya kita lakukan, sesuai dengan tujuan kita.
Ilustrasi, banyak perusahaan setelah bertumbuh, maju, lalu kesempatan ada untuk semakin berkembang, apalagi pendanaan memadai.  Lalu yang dipikirkan adalah integrasi. Bila berdisiplin, maka yang kita pilih adalah integrasi vertical atau integrasi horizontal. Tetapi ingat, saat itu godaan begitu menggairahkan, maka yang ditubruk adalah investasi dalam bidang-bidang yang (hampir) tidak berhubungan dengan bisnis asli-nya.
Bayangkan, apa yang terjadi bila kita masuk dalam usaha yang bukan kompetensi kita? Apakah akan berjalan baik dalam jangka panjang? Apakah tidak ada “cara” lain untuk memperoleh benefit?
Pola yang kedua erat hubungannya dengan pertanyaan, apakah kita perlu memiliki atau hanya menguasai?

Beruntungnya saya sempat bertemu muka one-on-one sharing dengan beliau. 

Demikian tulisan kali ini di sampaikan. Monggo….. 
Tuhan memberkati rekan tercinta selalu.

Jakarta 17.10 23Apr2012 

March 14, 2012

This too will pass

Ungkapan yang diterjemahkan secara bebas: hal inipun akan berlalu.....

Saran ini begitu sederhana, tetapi kalau kita sedang dalam hati bahagia, senang, dan gembira, biasanya saran ini akan menguap dengan cepat bahkan tidak ada bekasnya. Sebab bila kita dalam keadaan gembira, inginnya berada selama mungkin. Malah diharapkan janganlah segera berlalu...

Jadi ingat sebuah lagu Kemesraan, dalam baitnya: ....kemesraan ini janganlah cepat berlalu....

Nah, berbeda keadaannya bila kita dalam keadaan sedih, kecewa, bahkan tertimpa musibah atau kemalangan, justru saran ini menjadi "obat yang manjur lan mujarab". Moga-moga dengan berjalannya waktu segera berlalu deh.... syukur-syukur makin cepat makin baik.

Nah rekan tercinta, ternyata selama kita hidup di dunia yang serba fana ini, saran tersebut sebaiknya diterima dan diterapkan agar kita tidak berlama-lama di suatu tempat, suatu waktu, untuk menikmati atau menyesali.

Kalau senang/bahagia, ya segera akan kembali normal; demikian juga bila bila hati sedih/merana, ya sbentar akan kembali normal juga.

Ibarat bandul, akan bergerak kiri kanan, tetapi akan mengarah ke tengah jua. semakin ringan swing-nya maka akan semakin mudah tertiup berlanjut terombang-ambing. Tetapi bila makin berat "bandul"nya. maka akan segera untuk kembali ke titik seimbang di tengah.

Jadi.....mana yang akan dipilih? memiliki bandul ringan atau berat?

Ingat Eyang di Ngawi dulu, sering mengatakan, ....nyebut, eling...lan waspodo. Bukankah itu berarti memilih untuk menggunakan bandul yang berat dan segera seimbang....

Monggo........

Jakarta 14:44 14Mar2012

Cinta

"Cinta harus lebih diwujudkan dalam perbuatan daripada diungkapkan dalam kata-kata" (St Ignatius Loyola)

Demikian kalimat ini begitu menggugah hati dan pikiran saya. Adakah hal tersebut juga menggetarkan anda?

Cinta merupakan hal yang indah, sakral, bahkan cenderung satu arah. Kita menyayangi seseorang apakah juga sekaligus mencintainya? Bila secara bodo2an dianggap bahwa mencintai sama dengan menyayangi, maka saya ingin membongkar pernyataan tersebut dengan ilustrasi di bawah ini.

Saat saya naksir seseorang pada zaman SMP dulu, apa iya rasa itu disebut cinta? Milhatnya saja sudah "ser" berjuta rasanya. Bertemu, berbincang, apalagi. Wuih, ndak terperkirakan rasanya. Nah tetapi saat dia mengenakan pakaian atau dandanan lain dari biasanya dan tidak tampak cute, langsung saja ilang feeling nih....
Lho kok jadinya kita suka (yang diterjemahkan oleh kita sebagai naksir = cinta) tapi musti sesuai dengan "mau" kita.... Nah apa iya, cinta itu jenis ini...

Kedua, saat mulai naksir dan rasa "ser" sewaktu di kuliah, ternyata hampir mirip dengan rasa sewaktu SMP, tetapi ada perubahan sedikit. sewaktu si dia bertindak, berdandan, berpikiran dan bahkan mendiamkan kita, tetapi rasa yang di dada ini tetap sama. Bahkan, dengan sok tau, malah saya tetap "mengejar"nya dan ingin berpacaran bahkan sampai melamarnya ke pelaminan sampai dengan sekarang. Mulai terjadi dua arah, saling respect, saling belajar, saling mensupport....

Nah belakangan, sesudah kami menikah dan memiliki berkah putra dan putri, berjumlah 3 anak, ternyata, rasa itu juga berkembang. Bahkan rasa saling support untuk "melepaskannya" berkembang lebih jauh menjadi semakin besar. Karena kami semakin percaya bahwa hati kami satu, tapi tetap ada privacy masing-masing yang perlu dikembangkan, walau "ladangnya" berbeda.

Terima kasih Gusti, telah memberikan berkah karunia yang maha Agung ini. Sehingga rasa cinta kami tetap berkembang, dan dapat dirasakan tidak hanya pada pasangan, anak-anak buah hati kami, tetapi juga pada orang yang kami temui. Tuhan memberkati selalu. Amin.

Jakarta 14:30 14Mar2012





March 13, 2012

Menghargai

Hal menghargai..... Orang sana suka menyebutnya respect.

Menarik untuk ditelusuri, tadi pagi sewaktu selesai mencium putri kecilku untuk pamit mau berangkat sekolah. Tak terasa, trenyuh di hati ini... Sudah besar dia mau menyambut ilmu di sekolah TK B.

Ingat sewaktu masih di Surabaya lalu, dimana saya masih ditunggui Ibu selama jam sekolah. Beliau menunggu di luar pagar. Memastikan janjinya pada ku sewaktu mengantar di pintu untuk berbaris masuk kelas, dan memastikan Ibu ada sewaktu saya keluar kelas.

Bahkan saat aku di dalam kelas, dan terasa panjang waktu belajar, aku sudah melirik dan melihat-lihat jendela, siapa tau ibu sudah terlihat di sana. Kalo pandangan sudah melihatnya lalu senyumku melebar.....wuih.....

Saatku besar, bagaimana bisa menghargai ibu adalah hal yang sedemikian menantang... Ibu, sebagaimana orang tua pada umumnya sudah ndak mengikuti jaman, bahkan handphone, komputer, atau sejenisnya teknologi....

Awal bekerjaku, sampai beberapa tahun awal, luar biasa sulitnya. Tetapi dengan berjalannya waktu, dan mulaiku berumahtangga, ternyata menghargai atau respect atas tindakan, pemikiran, kebijakan ibu dan bapak tentunya semakin saya pahami. Matur nuwun Gusti atas berkah yang ada ini.

Ternyata mendidik anak membutuhkan iman, kepercayaan serta doa di dalam tindakan kita. Dan benar adanya bahwa orang tua mencurahkan seluruh jiwa dan raga untuk hidupnya keluarga muda dan kecil ini.

Sehingga diberjalannya waktu, menghargai menjadi menyatu dalam diri dan jiwa ini. Terima kasih ibu, terima kasih bapak dan terima kasihku pada semua orang tua yang mendampingi ku dan kami selama ini.

Jalan masih panjang, penting dan perlu untuk melihatnya secara hidup (dengan fighting spirit). Ora et labora....

Amin

Jakarta 10:11 13Mar2012

Iman

iman [n] adalah (1) kepercayaan (yg berkenaan dng agama); keyakinan dan kepercayaan kpd Allah, nabi, kitab, dsb: -- tidak akan bertentangan dng ilmu; (2) ketetapan hati; keteguhan batin; keseimbangan batin
Referensi: http://kamusbahasaindonesia.org/iman#ixzz1oxXuKnB2

Kata ini sedemikian mengiang di telinga saya sejak pagi ini. Sejak peristiwa besar minggu lalu dengan meninggalnya ibu tercinta, saya agak goyah dalam hati dan jiwa ini. Adakah memang Tuhan menghendaki atau memang sudah selayaknya terjadi?

Ada beda terasa, kepergian ibu bila dibandingkan dengan kepergian bapak di tahun 2007. Bukannya untuk membandingkan mana yang lebih saya sayangi dan cintai sepenuh hati. Ternyata "sakit" di dada, rahang, serta kepala sebelah atas agak berbeda.

Kepergian ibu, serta merta membuat semuanya terlihat hitam, kelam, beranjak mulai abu-abu dan saat ini agak blur...

Terasa terbang lebih tinggi (dengan rasa ndak mau mendarat--mungkin belum sekarang...). Pijakan terasa rentan dan gamang.

Saat menerima ucapan bela sungkawa, apalagi dengan sambungan kalimat,"dikuatkan hatimu dan direlakan kepergiannya ya..." Lho kok seakan mudah untuk diucapkan tapi sulit untuk dilakukan (untuk saat ini). Bukannya menggerutu berkepanjangan, memang rasanya bukan basa-basi. Ibarat kena pukul, tetapi tangan si-pemukul masih menempel di pipi. (sewaktu kecil sempat saya rasakan kena pukul Jimmy teman bermain saya...)

Kembali pada rasa dan roso tadi pagi... Apa iya saya sudah ndak punya iman sehingga saat mengalaminya terasa goyah? Apa iya saya sudah tidak percaya Tuhan bahwa Beliau mendampingi bahkan membopong saya dipanggulNya? Apa iya kalo goyah berarti saya sudah tidak percaya pada sabdaNya?

Dalam hati kecil memang terdengar suara lembut namun tegas,"Saya percaya, dan pasti hal ini memberikan hikmah"

Gusti Allah yang memberikan, Gusti Allah juga yang mengambilNya. Apa iya kita ndak percaya bahwa pasti yang diperkenankanNya itu yang terbaik untuk kita? (dalam hal ini saya?)

Matur nuwun Gusti... Kulo badhe nderek mawon.

Jakarta 9:31 12Mar2012

March 10, 2012

Bekal

Bekal atau sangu atau apapun yang dapat dibawa saat perjalanan. Dapat dikategorikan penting atau tidak penting. Tergantung bagaimana kita menyikapinya.

Antara lain pertimbangannya, kemana kita akan menuju? berapa lama? Dengan siapa? Untuk tujuan apa?

Bila kita anggap perlu atau penting maka akan kita persiapkan sedetil terperinci mungkin. Tapi bila mendadak, apapun dan bagaimanapun jadilah.

Nah kalo kepergian ini sehubungan dengan mengantar keluarga untuk ke pesarean terakhir? Ya apa aja dan bagaimana aja, jadilah.... Dibuat ringan, enteng dan mantap saja.

Ada atasan saya yang selalu travel light. Dia selalu katakan, yang penting hati mantap, badan siap jadilah. Bahkan kalo persediaan pakaian dalam dan pakaian luar kurang, beli saja. Wuih... Can't imagine kan?

Hal tersebut di atas bila dikaitkan dengan persiapan "luar", nah kalo persiapan "dalam"?
Itu dia masalahnya...

Sekarang timbul pertanyaan, kalo Gusti Allah memanggil atau menugaskan kita,"yuk sudah waktunya...monggo kembali..."

Apa iya kita sudah siap badan dan mantap hati...

Just sharing....monggo...

Losarang 03.45 10Mar2012

Ibu

Ibu, demikian biasa dipanggil, tapi panggilan saya padanya adalah Idul, kepanjangan Idul Lendut (bahasa manja ibuku yg gendut).

Beliau ndak marah, malah risih, sebab dengan memanggil demikian biasanya saya cubit2 lengannya yang gendut. Menggemaskan.

Ibu senang, tapi beliau selalu bilang, hush...risih...mosok kowe ndak isin sudah gede nggelendot ibumu ini...(Terjemahan bebasnya: hush...malu, masakan kamu ndak malu sudah besar masih peluk2 ibu...)

Jawabku, "biar wong ini ibuku sendiri"

Dan ibu selalu senyum dan ketawa.

Sekarang kejadian2 ini hanya kenangan yang indah...

Jadi ingat suatu kali semasa kecil ibu bercerita,

Konon ada kejadian seorang anak menangis terus terisak2 di lapangan kota. Dia berteriak minta ketemu ibunya,
Setiap orang bertanya,"seperti apa ciri2 ibumu?"
Si anak menjawab,"ibuku adalah orang tercantik di dunia."
Lalu secara bergantian datang orang membawa perempuan cantik sampai ratu di kerajaan tersebut.
Jawab si anak,"ndak ndak mirip, ibuku lebih cantik dan paling baik se dunia."
Lha sang Ratu saja sudah paling cantik, lalu seperti apa kira2 ibu si anak tersebut...
Ndak berapa lama, ada seorang perempuan tergopoh2 menemui si anak, katanya,"Nak, kamu dari mana saja...ibu cari2."
Tertegunlah orang2 yg berkumpul.
Dengan bangganya si anak menceritakan,"ini ibuku yang paling cantik dan paling baik sedunia...."
Sebagai informasi, ibu si anak tersebut, pendek, agak gemuk dan berkulit agak gelap. Tapi sangat sayang pada anaknya itu. Demikian si anak sangat sayang pada ibu tersebut.

Jadi....

Solobalapan 14.30 9Mar2012

Kosong

Pada saat anakku Laras di rumah sakit untuk diopname karena dehidrasi, saya pikir ini karena Gusti Allah sedang bercanda.

Sebagai pemula pelajar yang baru mempelajari apa arti kelekatan pada duniawi, saya pikir mungkin ini kesempatan saya berikhtiar, berupaya sekaligus berdoa dengan beriman padaNya.
Saat baru dekat2nya dengan cantik kecilku, tiba2 diperkenankan oleh Gusti untuk diminta dirawat... Mana ada orangtua yang tega melihat anaknya sakit... Kalaupun ada, yang demikian tega, setidaknya kami ndak begitu.

Eh ternyata "bercandaan" Gusti belum selesai, saat Laras baru sampai rumah, belum 1 jam kami di rumah, mendengar kabar ibu masuk UGD yang diteruskan opname di ICU dan makin "dalam" saat ibu akhirnya meninggal kemarin sore.

Wuih...kosong rasa jiwa ini.. Kelekatan ternyata juga berupa kedekatan dalam hubungan...

Coba rekan sekalian, bayangkan, mana mungkin (baca: bisa) kita melepaskan ibu atau orang tua yang selama ini begitu dekat.

Banyak sms dan BBM menyarankan mohon diiklaskan... Saran yang luar biasa tapi begitu sulit untuk saat ini.

Merasa kosong kok musti dibilang merasa sudah penuh... Apa iya bisa....? Sementara ini, saya bilang bisa pada saatnya nanti...

Demikian dulu ya... Ndak terasa ada air mata mulai membasahi mata..

Keluar Kertosono 14.12 9Mar2012

Kembali atau Pulang?

Dalam perjalanan pulang dari pemakaman almarhum ibunda terasa berat di dada. Kepala mulai dipenuhi kenangan yang ndak hendak segera hilang jua.

Ndak tau mau disebut apa? Untuk ibunda menyebutnya pulang kepangkuan ibu pertiwi dan menghadap Gusti Allah Sang Pencipta. Tapi untuk saya menyebutnya pulang ya ke Jakarta, tempat tinggal. Atau lebih sering disebut kembali ke Jakarta.

Jadi ingat sepenggal lagu Koes Plus,....ke Jakarta aku kan kembali....

Kalau main yoyo, setiap dilempar dengan tali akan mental kembali ke tangan si pelempar.

Ada saat pulang itu menggembiraan, ada saat kembali pulang ini sedih. Saya ndak tau saat ini apa yang dirasakan. Semuanya ada kumplit. Sedih, tertinggal, senang, bahagia...

Bahkan ada tambahan janji untuk menjadi pribadi dan jiwa yang lebih baik (matang, dewasa?)

Lho?

Kenapa? Buat apa? Siapa? Kepada siapa? Begitu banyak pertanyaan sulit muncul dan ndak ada jawabnya.

Demikian dulu saya akhiri dengan perasaan ada bagian jiwa yang bolong (hollow) sejak kemarin sore...

Kertosono 13.58 9Mar2012

Perjalanan 2

Mengingat perjalanan ke Lampung saat masih menjadi anggota paduan suara mahasiswa.

Saat itu kami jalan darat 2 bis besar menuju Metro Lampung sekitar bulan Januari tahun 89(?)

Ingat kenangan saya naksir salah seorang peserta paduan suara. Wuih...rasanya selangit. Beruntung dia mau duduk sebelah saya dalam satu perjalanan. Rasanya (ndak bisa diceritakan....)

Mengingat semilir angin di kapal ferry menuju Bakahuni Lampung.
Terima kasih Tuhan saat ini rasa itu hinggap lagi.

Kok saya jadi merasa sedang jatuh cinta lagi dengan "pacar itu" lagi ya....

Saat ini dianya sedang duduk, tidur dan memeluk saya di sebelah, dalam bis mengantar kepergian ibunda ke pesarean di Ngawi.

Sekali lagi terima kasih Gusti Allah.

Brebes 22:40 8Mar2012

Perjalanan 1

Memulai suatu perjalanan kadang sulit kadang mudah dan ndak perlu direncanakan matang.
Kok?

Seperti saat ini dimana di tengah jalan sekitar Brebes - Tegal mau mengarah ke Ngawi ke pesarean ibunda yg baru meninggal kemarin.

Begitu sulit bila ditinjau dari tujuannya mengantar ibu almarhum. Tapi sekaligus begitu mudah enteng dan menggairahkan karena mengaingat berjuta kenangan yang telah lama ndak kami lakukan untuk jalan darat ke timur....

Mengingat saat saya kecil dimana hampir pasti dua kali dalam setahun bapak mengajak kami berlima tour de jawa menggunakan mercedes tahun 1962 kesayangan bapak.

Mengingat bersama dengan paduan suara mahasiswa UI tahun 1991(?) menuju lomba di Surabaya, yang saat itu secara aklamasi kalau menang kita akan menuju Bali, tapi kalau kalah akan langsung packing ke Jakarta. Wow...ndak terasa air mata ini meleleh di pipi...

Mengingat saat kami masih berempat (belum ada si cantik kecil) menuju Surabaya, Batu Malang dan pulang lewat selatan Jawa. Wow....

Perjalanan sudah begitu padat kenangan...

Mungkin ini yang ingin almarhum ibu dan almarhum bapak kami kenang sekaligus laksanakan (lagi dan lagi)...

Terima kasih pak, terima kasih bu. Selamat jalan... Kami mendoakan selalu.. Tuhan menyambutmu di Firdaus... Sampai ketemu lagi....

Brebes 22.30 8Mar2012

Luar Biasa Tuhan....

Luar Biasa Tuhan

Malam ini saya menemani istri tercinta di kamar 509, menemani putri kecil saya yang sedang sakit.

Hari yang panjang terasa...

Seakan melihat film yang mencekam, dihadapkan pada pilihan yang sumir, dengan warna dan content yang hanya hampir sama. Apakah ini rasa di tingkat ini? Terasa sangat luar biasa... Tidak tertahankan, menempel di hati dan jiwa ini.

Sekali lagi, luar biasa Gusti...

Matur nuwun sanget atas kehadiranMu yang selalu ada di setiap saat.

Roller coaster hidup ini bukan lagi merah hijau, hitam putih, pahit manis, enak enek, up and down, right or wrong, dan berbagai jenis lainnya...

Seakan Gusti mengajak bersama (dan ini luar biasanya) menikmati hidup ini sehingga nantinya menjadi "tenang", kalem, cool bahkan hampir kebas/numb...

Kemarin pagi seakan menerima informasi bahwa putri kecil kami ingin ditemani, maka aku ikut bersama istriku menemani konsul ke dokter anak;

Mundur paginya, ada "pelajaran" di rumah saat bangun, tidak ada air untuk mandi. Puji Tuhan, putra yang besar, dan yang keduapun tanpa berkomentar dan mengeluh, bertindak (dan berlaku dewasa) seadanya, lalu pergi ke sekolah dengan "feel great". Terima kasih Tuhan...

Kembali saat dokter menyarankan diopname. Waduh rasanya........ Ini saran Gusti untuk recovery putriku. Sedih, bila kuingat melihat jarum infus menembus kulit tipis putriku... Dimana saat dia ndak bertenaga bahkan untuk menggerakkan badannya. Yang dilakukan hanya menangis menahan sakit dan kagetnya... Kasian putri kecilku.

Saat mulai kuatur dengan mantap batu bata bangunan, sore hari saya mampir kantor dan masih "membereskan" beberapa aktivitas. Juga ada aktivitas yg cukup menguras "hati"...

Tiba2 Yuti, telpon, cerita bahwa ibu masih ndak bangun dari tidurnya. Dan mulai ada luka di pinggangnya. Waduh....

Di meeting bareng bos ku ini, beliau kliatan bingung, marah, fight tapi tanpa intospeksi(?). Jadi kliatan masih blame on others...

Selama itu masih terjadi.....

Beberapa yang di temui (baca"dipanggil" nya) semua didengar info terakhirnya tapi sebenarnya ndak ada yang paling update, cuma ingin dengar yang sebenarnya menaikkan adrenalin saja... Menyimpan kekesalan, kekecewaan, yang sebenarnya sangat sederhana bila mau sedikit membuka hati... Oops...

Jakarta 28Feb2012

Begini aja deh

Senin 5 Maret 2012,

Memulai hari dengan berat. Terasa demikian karena lelah begitu banyak yang (menurut anggapan dan perasaan saya) menuntut untuk diperhatikan dan dihibur...

Lucu ya... Hidup ini ternyata "sekedar" berkorban untuk "kebahagiaan" orang lain walau mereka hanya memperoleh pembuktian apa yang mereka "harapkan, persepsikan, paksakan dan sugestikan" terjadi untuk dipenuhi.

Sekarang sedang menikmati waktu untuk sendiri saat ini, di tempat ini dan begini aja...

Wow...menarik, enteng, lucu, full throttle... Ayuk aaaaah...

Rela (Januari 2012)

Luar biasa kata rela ini dimaknakan. Apalagi dilakukan.
Rela...
Mengandung makna yang sangat luas dan dalam. Ada penglepasan energi yg sangat besar dan tadinya tidak terukur menjadi terukur begitu kita melakukannya. Bahwa sebelumnya yaitu saat kita memikirkannya dan saat mau melepaskannya.

Kerelaan, erat kaitannya dengan kelekatan. Dimana kelekatan biasanya dihubungkan dengan penguasaan, ada unsur ego, serta penjinakan atau bahkan lebih vulgar bila dimaknai sebagai satu2nya pemilikan dan penguasaan tunggal.

Bahkan seperti pada ilustrasi seorang yang baru pacaran, saat sang pasangan memikirkan bahwa seolah hanya dia seoranglah yg hidup di dunia ini, lainnya ngontrak; hanya dialah seorang yang berhak memiliki kekasihnya itu.

Nah bila ada orang bijak bertanya, apakah memang kamu yang membuat pasanganmu hidup? Atau kamu telah bersedia bertanggung jawab luas dan dalam atas hidup kekasihmu? Tidakkah Gusti Allahmu lahyang mengkaruniakan semuanya, termasuk orang tuanya yang selama ini menghidupinya? ataukah ada pemikiran lan?

Jadi? Sudah berani? Mau? Rela?

Tlepok... Baru bangun deh kita...

Ternyata rela mengandung maksud yang luas dan dalam. Mengeluarkan energi untuk pihak atau hal lain untuk "lebih membuatnya hidup". Laksana anak panah yang dilontarkan ksatria untuk menuju suatu target. Bagaimana bila rela tidak ada? Apa dia terlontar? Ya! Apakah akan memenuhi target? Belum tentu! Apakah akan "terbang" jauh"? Belum tentu. Bila ditanya lebih jauh? Apakah sang ksatria sepenuh hati dan melibatkan emosi (bukan amarah) untuk melampauinya? Wajib.

Jadi rela perlu: sepenuh hati, melepaskan, energi yang terlontar, tujuan ke dalam dan ke luar, lebih diserahkan pada "panah" nya, dilengkapi oleh doa oleh sang ksatria.

Tuhan memberkati.

Mataram Lombok, 8.58 23Jan2012

Ungkapan tersisa akhir 2011

Feel Free

Merasa akrab itu bagus, tetapi melampuainya dengan kesembronoan "sembarangan" maksudnya menganggap orang lain sudah tau, sudah kenal, dan seharusnya menganggap maklum, itu menjadi "berlebihan".

Feel free at home doesn't mean to act and do freely, to others be abandoned.

Tokyo 30Des2011

Impian akhir 2011 yang terabaikan

Abandoned Dream

Last night I dreamed, that our company become that big and huge that almost all shareholders and management won't do share its "stakes" to others to break the limitations.
Sharing that we can still have the benefits and grow, nobody won't listened.
They still think that if shares to others, it will makes hole and less benefit to them. But I ensure that it won't happen untill almost all community get the benefits of the existence of the organizations.
Up until the day that nobody can do anything else. Means no grow at all.
What a great experience and lesson to have

Tokyo, 31Des2011

March 06, 2012

Indahnya team work

Sudah lama saya ndak merasakan indahnya dan nyamannya team-work. Kira-kira sejak pertengahan tahun lalu terakhir merasakannya. Dimana rasa ini diliputi trust, kepercayaan, saling memegang peran dengan bertanggung jawab dan penting untuk tujuan yang sama sesuai kesepakatan. Jadi apabila berubah, ya disepakati untuk berubah bersama serta tanggung bersama.

Pada lebih kurang dua tahun lalu, sejak bergabung dengan penugasan baru, saya merasakan team work yang luar biasa. Semua pihak dan individu serta lini dan tingkatan bertujuan mensukseskan tujuan yang sama.

Jadi ingat semboyan Three Musketeer; One for all and all for one.

Nah menarik sejak penugasan berjalan lebih kurang 9 bulan, terjadilah hal-hal baru. Tiba-tiba kesepakatan super-team, kok ada peserta penugasan yang ingin menjadi super-man. Ingin menonjolkan diri. Biasa, mirip group band yang baru terkenal dengan 1 lagunya, tiba-tiba ribut merasa menjadi jubir atas band-nya tersebut, merasa dia sebagai penyanyinya, merasa dia yang paling berjasa dan berkontribusi untuk band tersebut.

Wong kalo dipandang dengan kacamata normal aja (bukan kacamata minus apalagi kacamata plus...ha ha ha ) sukses kan hasil bersama, kemauan bersama, tujuan bersama dan kontribusi bersama karena masing-masing punya peran, bertanggung jawab atas perannya dan percaya bahwa rekan lainnya akan menjalankan perannya. Tanpa itung-itungan. Titik.

Eh, kok tiba-tiba begitu "rasanya" enak, ada untungnya, ada sorotan media dan group, ada sorotan atasan, ada ini dan ada itu, eh..... tiba-tiba menjadi rebutan. Nah ini apa yang direbut? Wong masing-masing perannya beda dan tujuannya sama. Apa ya pantes, apa ya ndak inget?

Mumpung lagi normal (lagi), saya dijewer oleh Gusti diingatkan bahwa, jari tangan terdiri dari 5 jari yang berbeda, ada ibu jari, jari telunjuk, jari tengah, jari manis, dan jari kelingking. Kalau menggenggam perlu semuanya kan? Coba kalo semuanya ibu jari.... (karena merasa semuanya jempolan...) apa iya kita bisa menggenggam bola dan melemparkannya? Coba dirasaken......

Sudah ah, kok malah curcol... Monggo.....

Jakarta 17.59 6Maret2012

Mengeluh

Sering kita merasa bahwa semuanya ndak beres....

Pagi ini, kita bangun terburu-buru, karena sudah terlambat maka, otak kita langsung scanning apa aja nih yang ndak beres. Apakah dokumen sudah disiapkan, apakah sarapan sudah siap, bagaimana dengan sepatu? Tadi malam apa ya yang mau saya kerjakan sebelum mandi? Lho kok di handphone sudah ada miss-call? Waduh ini, waduh itu dst dst.... belum ditambah lagi kok air di kamar mandi ndak keluar? Waduh listrik nyala kok air ngadat? Langsung terpikir kok ndak ada yang peduli sih.... Tadi waktu anak-anak mandi apakah masih ada airnya? Kok ndak ada yang kasih tau...

Pernahkah anda mengalaminya? Sering? Baru saja? Ndak pernah...?

Ha ha ha....kalau sedang normal, saya biasa komentar, begitu aja kok repot? Emang ndak ada yang lebih berbobot?

Coba kalau kita sendiri yang mengalaminya... Maka apa saja yang ada di depan mata seolah menjadi musuh dan memusuhi kita... Hayo ngaku....

Mumpung sedang normal, saya berkesempatan untuk membongkar walau sedikit...
(coba perhatikan cerita di atas)

Mulai bangun pagi dan terlambat, siapa yang suruh tidur telat?
Kedua, begitu menemui dokumen dan peralatan siap tapi kita ada janji pagi hari, siapa yang perlu menyiapkannya dan kenapa ndak dilakukan? Siapa yang perlu?
(langsung aja di akhir ya...) air untuk mandi ndak keluar, lha kalo tadi pagi aja anak-anak bisa mandi dan ndak rame kok kita rame, kayak cacing kepanasan. Emang ndak ada jalan lain?

Mau repot? Monggo...

Kalo mau repot jenis 1 (satu) yakni repot membela diri; pertanyaan 1 bisa dibalas demikian. tadi malem kan masih mbantu anak mengerjakan PR dan kebetulan si kecil ngompol jadi mbantuin ganti sprei... Belum siapkan dokumen dan peralatan, kan tadi malem masih antar ibu ke UGD... Air ndak keluar di kamar mandi, lho kan yang tugas menyiapkan bukan saya, kok jadi kita?

Berbeda dengan mau repot jenis 2 (dua), yakni lebih cool dan sabar (mungkin jarang yaaaa... hayo ngaku...)
Terlambat, ya sudah, coba mulai dengan persiapan, sambil telpon minta maaf bila terlambat. Eh air ndak keluar di kamar mandi, ya udah...ambil air di ember dan gayung dari kamar mandi lain.

Coba bandingkan perasaan dan emosi serta energi yang terbuang... Monggo dirasaken...

Jakarta 17.45 6Maret2012

March 02, 2012

Hidup dalam hidup atau mati dalam hidup-kah kita ini?

Kemarin saya bicang-bincang sore dengan sahabat. Menarik dan banyak belajar dalam pertemuan itu. Saya menceritakan bahwa ibu saya sdang dirawat di rumah sakit, sementara dia menceritakan tentang putra nya tercinta yang saat ini begitu berkembang.

Singkat cerita, sampailah kami diperbincangan pada topik, lalu bagaimana kita menghadapi atau tepatnya menyikapi setiap kejadian yangdemikian mengguncangkan ini?

Waduh...ndak gampang nih...

Ngelantur pada pagi harinya saja sudah membuat "story".... Ketika mau sikat gigi, saya mencari2 dimana ya saya letakkan sikat gigi saya? Cukup lama saya cari, di wastafel ndak ada, di dekat cermin ndak ada, dekat gayung ndak ada, di atas bupet samping ndak ada, wah....makan waktu hampir 20menit. Mulai ndak sabar, mulai kesal, lalu saya cari di kamar mandi bawah...ndak ada juga. Nah lho....
Lalu saya buka sikat gigi baru (walau perasaan kesal sudah melanda).

Selesai mandi, saya melirik ke cermin di dalam gelas, eh......kok ada di situ? Siap yang taruh....

Sambil makan pagi saya mikir, saya urut, saya "lepaskan"..... Eh ternyata kebiasaan saya (ndak tau ya kalo orang lain...) kalo kita mencari sesuatu, bertemu orang lain, mendengar sesuatu, SAYA SUDAH MENANNAMKAN APA MAU SAYA, sehingga bila ketemu hal yang berbeda baik keadaan, perbincangan, topik, kejadian bahkan jawaban lain, maka segera terpikir, KENAPA, SIAPA YANG MELAKUKAN, PASTI ADA YANG PUNYA NIAT LAIN, KOK SAYA KENA LAGI.....

Mumpung sedang sadar dan merasa hidup, jadi saya tuangkan hal ini jadi tulisan. Ternyata selama ini saya hidup dengan PERSEPSI yang sudah dan selalu terpasang terlebih dahulu. Otomatis... Auto-pilot, ha ha ha, mirip negeri tercinta kita ya...... Look familiar....

Sering berpikir, saya hanya mau mendengar "apa yang saya mau", lainnya ndak...tolak aja... Kalo berbeda, merasa ditolak, merasa dijerumuskan, merasa disingkirkan, merasa jadi korban...... Self pitty. Meng-kasihani diri sendiri.

Jangan-jangan ini yang disebut "mati di saat hidup"

Wong di dunia ini seperti roller coaster, naik turun nya demikian tajam. Sebentar naik, sebentar turun, bisa curam, bisa landai, bisa ada belokan, bisa lurus. Mau menikmati? Monggo.... Rekan saya yang sok kebarat2an bilangnya, "That's Life! What do you expect more...?"

Menikmati? Monggo..... Mau menghindar, ya monggo kerso.... Wong kita diciptakan dengan kemerdekaan (free will).....

Tuhan memberkati

Jakarta 7.50 2mar2012

Pepatah: berhenti, artinya kita tiba di suatu tempat

Membaca sebagian kecil pada buku "berjalan di atas air" karangan Romo Anthony de Mello, seorang Jesuit dari India sungguh menenteramkan hati.

Pada bukunya halaman 25, disebutkan demikian, Orang Jepang punya pepatah, " Pada waktu anda berhenti mengadakan perjalanan, Anda akan tiba di suatu tempat." dan saya akan berkata,"pada saat Anda berhenti berlari, Anda akan sampai di suatu tempat."

Hal ini mengingatkan saya bila kita mengadakan suatu perjalanan, misalnya dari Jakarta menuju Bandung naik kendaraan pribadi lewat Cipularang. Berangkat siang ini setelah sholat Jumat. Tentunya berpikir, akan lewat mana rutenya, bawa apa aja, dengan siapa dan terutama ke Bandung mau melakukan apa saja, berapa hari diperlukan?

Baiklah, kita hanya menyitir perjalanan berangkat saja, sekitar jam 14, maka ditengah jalan kita ingin mampir di rest area untuk, tugas biologis serta mengisi perut. Ini yang menarik, biasanya saat berhenti, terpikir bahwa,"ayo cepat-cepat, karena waktu kita menikmati kopi, atau mulai bersendau gurau, kita tidak akan memperoleh apa2 bahkan akan ketinggalan sehingga sampai nantinya justru kemalaman." hal ini terpikir sebab bisa "kehilangan satu "waktu menikmati Bandung", waduh...."

Terpikir akan merasa rugi, merasa kehilangan, merasa kesal, dst dst dll.

Kita selalu berusaha menghemat waktu, dan justru kehilangan hidup kita yang berharga. Seperti Gusti Yesus pernah bersabda,"Kalian telah memperoleh dunia, tetapi akan kehilangan nyawa!"

Jadi ingat sampai dengan tahun 2010, saya senang menyetir mobil sendiri, tapi (ini yang menarik) suka mengeerutu kalo disalib orang lain di jalan. Lalu berusaha menghalangi jalan mobil atau kendaraan yang grusa-grusu tersebut. Alhasil istri saya suka menyindir,"sudah, biarin aja, emang kamu ngebut-ngebut mau kemana sih? Paling nanti jadi stress, mood kamu jadi rusak dst dst..."

Setelah latihan yg luar biasa membiasakan diri sabar (walau ndak gampang karena sering tergoda lagi...) saya coba tanamkan, kalo ada yang grusa-grusu lalu berpikir, waduh kasihan ya, orang itu pasti lagi buru-buru sebab sudah a) ketinggalan pesawat, b) sedang adaanggilan biologis (kebelet maaf-pjpis), c) kehilangan pekerjaan......

Dengan demikian latihan sabar, dengan memandang dari sisi orang lain. Hi hi hi, emang enak.....

Alhasil, di situasi apapun, di manapun, kapanpun, bila ada yang grusa-grusu ndak sabaran, saya jadi ingat mirip saya dahulu....

Demikian sharing pagi ini. Monggo mentertawakan diri sendiri dalam situasi saat ini...
Tuhan memberkati.

Jakarta, 7.21 2mar2012

February 15, 2012

Komunikasi aja kok sulit amat yak?

Siang sahabat,

Hari ini saya melihat dengan mata kepala sendiri hal yang sangat menarik (minimal untuk saya sendiri).

Timbul kekisruhan antar rekan yang begitu dekat dalam pertemanan, tapi menjadi jauh bila dalam alur pekerjaan profesional.

Ceritanya begini, minggu lalu terjadi debat besar hasil meeting (reaktif) karena informasi yang hanya didengar sumir sore hari sebelum meeting tersebut.

Alhasil, pada saat meeting, salah satu rekan meledak katanya belum diinfo secara jelas. Sementara yang lain tidak merasa ada hal yang menjadi masalah. Sedangkan pemimpin rapat melihat dan memberi arahan. Sehingga ujung dari pertemuan adalah permintaan dibuatnya "procedure"nya. Nah lho....

Begini nih kalo anak-anak diberi gambar gajah 1 minggu sebelum ke kabun binatang. Lalu masing2 saat diajak ke kebun binatang dengan ditutup matanya. Dan lupa wujud gajah, bahkan walau sesudah diberitau wujud gambarnya. Lupa atau ngelupa ya?

Jadi...

Monggo kesimpulannya diambil sendiri-sendiri. Tuhan memberkati pembaca tercinta.

Jakarta, 13:20 15Feb2012

Lucunya hidup ini


Kalo dianjurkan malah berhenti, tapi kalo dilarang malah dilakukan dan ditabrak.

Jadi maunya gimana sih?

Monggo kerso aja...

Jakarta 14.05 14Feb2012

Lucunya hidup ini

Kalo dianjurkan malah berhenti, tapi kalo dilarang malah dilakukan dan ditabrak.

Jadi maunya gimana sih?

Monggo kerso aja...

Jakarta 14.05 14Feb2012