February 19, 2014

Penting vs Tidak Penting


 
Menyimak saat diberitakan informasi tentang meninggalnya ibunda tercinta dari bos pemilik usaha tempatku bekerja. Ada beberapa hal yang sejak awal aku perhatikan dan pelajari. 

Kemarin sore jam 18:15, sobatku mampir ke meja kerjaku, dan dengan separuh berbisik menyampaikan,”ibu sudah meninggal pak.” Deg! Serasa jantungku mau copot. Waduh. Kejadian juga ya.

Betul bahwa kejadian beliau almarhum meninggal adalah beberapa hal berbenturan, di satu hal, beliau memang sudah lama dan pastinya suffering mengidap penyakit ini, Gimana ndak salut, 11 tahun bertahan dengan sakit dan segala macam pengobatan. Wuih ndak berani membayangkan. Hal berikutnya, sejak empat bulan terakhir, almarhum sudah beberapa kali masuk ICU dengan tetap di rumah sakit di negeri seberang. 
Bahkan dari bos bercerita bahwa semangat almarhumah memang luar biasa untuk ingin sembuh. 
Malah sejak awal tahun di rumah sakit, informasinya adalah sudah tidak merespons. 

Nah kembali pada kejadian sore malam kemarin. Maka dengan cepatlah tangan mengirimkan pesan baik lewat messenger, short message atau langsung telponan. Nah ini yang mau saya garis bawahi; ternyata ndak semua merasa “PENTING” dalam menerima dan merespons hal ini. Padahal seingat saya sampai dengan saat per kemarin saya kirim pesan, mereka adalah karyawan, tim manajemen, teman dekat, tangan kanan (pernah), atau pernah juga tim manajemen bos. Dan tentunya kalo memberikan perhatian atas KEJADIAN PENTING untuk si bos kan bukan suatu PENGORBANAN yang berat kan? 

Nah…..

Jadi ingat pada tulisan saya beberapa waktu berselang, saat ada rekan kantor yang menelpon atau kirim short message bahwa,”bro diminta untuk hadir, cepat, dipanggil…..”
Saat kutanya,”kenapa?” Dia menjawab,”udah deh, penting, musti hadir.”
Lalu kutanya lagi,”siapa yang meninggal?”
Langsung saja dia terkejut, kliatannya tersinggung dan menjawab lagi,”lho kok elu gitu sih?”
Ya terus terang kujawab saja,”lha kan kalo ada yang meninggal atau masalah hidup dan mati pasti penting. Kalo ndak datang, atau ndak ditolong kan hilang nyawa. Apa kejadianmu ini begini atau bakal ada yang hilang nyawa?”
Sang teman tadi akhirnya menjawab,” ya ndak sih.”
Langsung kusambar,”kalo gitu ndak penting. Yo wis, liat nanti aja deh. Sebab penting buatmu belum tentu penting buatku. Kan kalo penting buatmu tentu ada alasannya.” 

Hua ha ha ha…. Sejak saat itu, aku dan sang teman mulai sadar bahwa masing-masing kita memiliki asumsi dan kepentingan yang berbeda. Yang tentunya kalo penting hanya untuk salah satu pihak, musti mengemukakan alasan. Lalu dengan sopan dan baik, minta tolong. 

Lha kalo Tuhan Gusti Allah kita ini kah menciptakan semua hal penting, baik dan indah pada waktunya. Sementara kita lebih cenderung mengkotak-kotakkan sesuai dengan minat, kesenangan dan fokus sementara kita aja. 

Jadi….masih mau begitu? Ya monggo kerso…..


Jakarta, 13:56;  19Feb2014

February 14, 2014

Keuangan = Berkah?



Sejak diberi kesempatan untuk menjadi pembicara sharing dalam acara membagi pengalaman untuk mengatur keuangan dalam keluarga untuk besok, maka sejak seminggu lalu, saya menjadi pemerhati diri sendiri, istri, anak, juga beberapa kecenderungan rekan kerja dalam hal keuangan. 

Apakah keuangan dianggap sama dengan pengeluaran? Apakah keuangan malah sama dengan dengan penghasilan? Atau justru pengeluaran kita tetap aja karena pemenuhan “ego” diri dan keinginan (wants) untuk dilihat, dikomentarin juga dipuji atau justru dicela oleh orang lain (pihak diluar diri) yang menjadi dorongan kita? Sebab hal yang belakangan ini justru dapat membuat jebol keuangan, yang disadari maupun tidak disadari pada “saat”nya akan membuat sengsara diri ini. 

Padahal semua ini bermula dari konsep diri tentang berkah. Tentang diri, juga tentang diri yang bahagia. Yang pada gilirannya akan menggelontorkan gengsi dalam perilaku kita karena mengejar nafsu diri untuk dipuji disenangi atau justru untuk memenuhi harapan orang lain. Yang sebenarnya adalah wujud diri karena ingin dihargai lebih dari orang lain. Egois banget kan? 

Sebab pada tingkatan tertentu, terlihat baik, elegan, anggun, terlihat menjadi panutan karena ok sekali dalam tindakan dan pikirannya. Tetapi bila digali lebih jauh, apakah pemikiran, intensi, juga tindakannya ini karena dorongan diri untuk baik atau justru ingin dilihat baik? Nah lho…… Apa bedanya sih? 

Pertama, baik karena memang semata-mata mau berpikir baik karena kita sudah memperoleh berkah cinta Tuhan. Sehingga “mau aja” bertindak baik. Tanpa alasan lain apapun. Dan tanpa ingin dikomentari apapun. Just as is. Do it. 

Yang kedua, nah ini yang menarik. Dimana dalam beberapa hal pun penulis, gue nih…masih sering juga terserang hal ini. Misalnya, mau melakukan tindakan baik karena sudah pernah dibantu oleh si anu, atau inginnya melakukannya supaya mbesok (kapan-kapan, lain waktu) dia atau keluarga, atau siapapun dapat membalas membantu kita.  Nah kan, jelas bedanya. Ini yang disebut dagang, trading, pamrih.

Ingat kan, kalo kita merasa Tuhan, Gusti Allah kita mustinya (baca sekali lagi, mustinya) memberikan berkahnya ke kita karena kita sudah berbuat baik, sudah berdoa minta mohon ampun, sudah berdoa bersyukur dst dst dst. Lha wong Gusti Allah Maha Pencipta kita kok malah diatur-atur. Lha kan ndak cocok. BerkahNya pun kan gift, ndak bisa diatur-atur, terserah yang ngasih. 

Lalu apa hubungannya dengan kita, karena sudah bekerja, maka kita menuntur gaji kita sesuai UMR, menuntut atasan bos kita memberikan bonus, karena sudah bekerja lebih dari yang diminta. Dst dst dst.
Bukankah semua pikiran, tindakan, dan semua kejadian ini sudah ada jalannya. Kalo sudah mengerti ya berarti sudah meninggal. Justru indahnya kan karena belum tau. 

Ndak perlu juga ndak penting menyesali tindakan kemarin,  barusan, yang baru lewat. Juga ndak penting memiliki kekhawatiran nanti, sebentar lagi juga besok atau tahun depan tentang kita. Kalo mau menyisihkan, lakukan. Ndak cukup, ya upayakan. Masih kurang, ya stretching. Masih kurang juga? Mosok mau korupsi, mengambil yang bukan “bagiannya”? 

Pantes kan kalo korupsi, atau mengambil yang bukan bagiannya dicela orang banyak. Tetapi bagian yang mencela tersebut apa iya itu pantes juga buat dia? Hayo…. Apa iya pantes? Apa juga ndak bersyukur sudah dikasih berkatNya. 

Lha kalo masih ngurusin rezeki orang lain atau menghalangi orang lain memperoleh rezekinya itu namanya “jahat”. Saya ingat diberi nasihat oleh Pak Sofjan Jalil mantan Menteri BUMN, saat beliau menjadi Komisaris kami, mengatakan,”…kalo ndak bisa membantu orang lain, kan setidaknya tidak menghalangi jalannya orang tersebut.” 

Monggo…… 


Jakarta, 10:31; 14Feb2014