April 17, 2013

Penyerahan diri dan Pembelaan diri


Ini ilustrasi self-talk seorang pemimpin. Bukankah setiap kita adalah pemimpin, seorang imam bagi dirinya sendiri. dan juga seorang yang bertanggung jawab. Dan seorang yang bertanggung jawab tidak akan menyalahkan keadaan, pihak/orang lain juga hal yang diluar dirinya. Apa aku seperti ini? Kalo sahabat rekan sekalian merasa, ya ini buat mu. Kalo ndak merasa, juga buatmu yang belum merasa apa-apa karena ndak sensitif.

Apa sih yang membuat aku membuat keputusan begini? Begini yang bagaimana sih?

·         Saat aku ditugaskan dan semua tekanan serta spotlight menuntut aku membuat perubahan;
·         saat aku menemukan banyak pertanyaan yang tidak dapat aku jawab;
·         saat aku dianggap pihak yang juga menikmati dan mengetahui, tetapi aku ndak merasa begitu;
·         saat semua yang aku ketahui tidak cocok dan sesuai dengan kondisi yang aku pahami;
·         dan kebetulan aku merasa dipinggirkan, diabaikan, ada tapi ndak pernah diajak diskusi, diinformasi, juga dimintai pendapat; apalagi seolah tidak diminta bertanggung jawab atas hal ini.
·         juga penugasan awalku adalah sebagai pimpinan dan tanpa diajak bicara dipindahkan ke bagian lain dan sebagai anggota, dan aku tidak pernah diajak bicara tentang hal ini;
·         aku yang tidak pernah ikut campur, ditanya, dibuat malu karena yang dibicarakan adalah bagian ku dan aku tidak mengikuti perkembangannya (juga tidak diinformasikan), bahkan selama ini suaraku tidak didengar;

Selama ini aku ada, tapi sekaligus ndak ada; jadi ndak salah kan, kalo saat ini aku mau menunjukkan eksistensi ku. Ini caraku dan ini gaya kepemimpinanku.

Ingin aku ingin tunjukkan kalo aku bisa mengatur, mengubah, merombak, memindah, memecat, merekrut tim yang pro dengan ku dan hanya setia padaku; dan aku akan lakukan semau ku.

Bohir merestui aku, di tampuk posisi yang aku berada, ya tentunya aku boleh melakukan yang menurut aku perlu dan penting untuk kelompok; untuk kelangsunganku

·         Saat (akhirnya) aku memperoleh yang selama ini aku (mestinya) untuk posisiku; ya boleh dong kalo aku melakukan yang mestinya perlu dan penting ku lakukan...
·         Selama ini penugasan ku selalu kontroversial;
·         Selama ini penugasan ku sebelum di Berau selalu pada posisi yang mengawal transaksi saat pemegang saham menjual sahamnya dan aku menjadi orang dikeluarkan;
·         aku ingin tahu apa jadinya kalo aku yang melakukan itu dalam menentukan nasib orang
·         Aku tidak takut siapapun
·         Aku bawa senjata kemanapun
·         Aku punya banyak teman yang siap membela ku
·         Aku punya banyak teman orang-orang yang ditakuti masyarakat
·         Aku punya banyak teman orang angkatan
·         Aku berteman dengan orang-orang penting di negeri ini, jadi akan dengan mudah bisa aku minta tolong;
·         Aku dekat dengan orang pemerintahan, sejak dulu sampai sekarang
·         Aku tidak takut siapapun, kelompok usaha manapun; karena mereka juga punya cela dan punya kelemahan. Dan akan aku manfaatkan kelemahan itu, untuk menjerat mereka sendiri
·         Sekali lagi aku tidak takut....
·         Tuhan melindungi aku. Selama ini aku orang kuat tapi diabaikan. Aku ada pada jamannya. Aku akan lakukan apapun yang perlu dan penting aku lakukan.

Coba dibedah lebih dalam lagi, apa yang membuatku ndak mau menjaga keharmonisan ini, mengapa perlu tindakan represif ini? Mengapa perlu melempar bom waktu? Mengapa perlu menebar ketakutan? Apa ini sesuai dengan rencanaku? Apakah aku puas dibuatnya?

Juga sahabat yang menjadi korban. Akankah hanya menyalahkan kejadian? Tidak terima dengan keputusan ku? Melolong....mengaum...menyalak...menggonggong...  melemparkan sumpah serapah, menyalahkan orang yang memimpin kita. Lupakah bahwa kita juga memimpin diri sendiri. Apa iya mau menyalahkan orang lain. Apakah ndak cukup untuk berintrospeksi? Ndak cukup untuk belajar lagi? Ndak cukup untuk memperlengkapi diri dengan bekal yang lebih baik, murni dan indah untuk masa yang lebih kekal?

Nah untuk sahabat yang selama ini hanya jadi penonton. Apakah cukup hanya membuat rumours, gosip, membicarakan orang lain? memberikan cap, memberikan simbol dan melakukan judgment. Tidak cukupkan niatan kita untuk introspeksi.  Apakah cukup untuk bersyukur? Atau justru kita lupa untuk mendoakan mereka yang sedang terlibat?

Apakah masih ada dari sahabat dan rekan, juga aku merasa menjadi mental victim? Tidak cukupkah kita mengambil keputusan untuk introspeksi dan berjalan kembali dengan kepala tegak?

P.S: pemakaman esok hari sebelum jam 10 pagi.

Jakarta 17 April 2013 pk 14:47

April 16, 2013

Lose lose event

Bila sering saya ketahui bahwa kejadian yang diinginkan oleh banyak orang adalah win win solution.  Yakni kejadian yang memberikan manfaat bagi semua pihak, walau tidak selalu dikesankan bahwa masing-masing menerima sama banyaknya atau cukup memuaskan.

Win win solution, seringkali dikesankan semua pihak yang terlibat sudah memberikan kesediaan untuk menilik, menganalisa, memperhatikan serta juga mengikhlaskan ada bagiannya yang menjadi bagian dari solusi dan diserahkan pada pihak lain, dalam rangka upaya pihak lain juga memberikan kerelaan bagiannya dalam solusi dan menjadi bagian kita.

Menarik dalam kajian ini, karena adanya keikhlasan, kerelaan serta masing-masing pihak bukanlah menerima bagiannya sesuai dengan haknya. Sebab bila ada satu pihak yang menerima bagiannya secara lebih dari yang lain maka mufakat menjadi tidak terjadi.

Nah...berikutnya bagaimana terjadinya lose lose event?

Ini menarik karena lose lose event atau solution ini terjadi, jelas karena masing-masing pihak tidak tercapai solusi. Sehingga yang terjadi bukannya solution melainkan event.

Bila ego, trust, goodwill serta faktor-faktor duniawi yang mendorong dan mendukung terjadi nya pertemuan, maka yang terjadi adalah adanya saling mencakar, saling menerkam, saling menikam juga saling menembak.  Hal demikian juga semakin tumbuh subur dan membangkitkan api amarah bila sudah ditambahkan sikap greedy (keserakahan).  Dan sikap greedy ini timbul karena sudah adanya pihak yang terluka, juga luka tersebut disambar oleh mental victim yang ingin menyalahkan orang lain, pihak lain, atau hal lain dalam tindakan, kejadian serta lingkungan yang tidak menguntungkan.

Wuih....serem ya...?

Apakah lose lose event ini dapat diperbaiki? Jelas dapat. Apakah mudah? Jawabnya adalah tidak! Lalu?
Hanya kesamaan niat baik dan trust yang terbangunlah yang dapat memulihkan keadaan ini.

Pertanyaan berikutnya: apakah ada pihak2 yang terluka? Ada. Apakah bisa sembuh? dapat. Apakah bekasnya ada? Ya jelas ada. Ibarat kayu yang yang dipaku, walaupun pakunya sudah diambil, tapi luka/lobang di kayu tersebut tetap ada.

Monggo....

Jakarta 16 April 2013, pk 14:29


Tanggung Jawab

Adakah jalan lain bila kita berdiri di suatu tempat dan di suatu waktu? Tapi semua kejadian buruk menimpa kita.....

Apakah kita menyalahkan ibu kita karena melahirkan kita? Apakah kita masih mau melempar kesalahan karena salah kolega kita? Apakah kita akan menuntut bos kita karena kejadian ini? Apakah kita melemparkan tanggung jawab kita karena pernah sekolah dan kuliah di tempat itu? 

Ataukah kita mau mengambil keputusan untuk bertanggung jawab atas kejadian ini, saat ini, di sini? 

Monggo

Jakart 16 April 2013, pk 13:32

Katak melihat cahaya

Ibarat seekor katak yang mengharapkan hidup dan dapat bertemu dengan sang Khalik, Sang Pemberi Hidup...

Ingat pada cerita bahwa seorang kawan memberikan permainan tebak2an. Berapa lama seekor katak dapat hidup bila dimasukkan dalam ember dengan air kira2 seperempat ember dan kemudian ditutup rapat?

Ndak tau......

Kawan tersebut menjawab: kalo tertutup rapat maka sang katak tersebut hanya dapat bertahan paling lama beberapa jam ndak lebih dari 12 jam. Sementara kalo di tutupan tersebut di lubangi walau hanya sebesar ujung pensil, maka akan bertahan lebih dari 3 hari atau lebih dari 72 jam....

Menarik kan?

Kawan tersebut adalah seorang sahabat lama yang sudah makan asam garam kehidupan dan hanya ingin berbagi. Coba teman sekalian hitung, berapa banyak kawan kita sekarang, bahkan sahabat yang bersedia bersama, berbagi, mendukung dan bahkan mendoakan bersama dengan kita untuk hidup yang sedemikian berharga? tiga? lima? atau adakah yang lebih dari 10 orang ? Monggo dihitung....

Jawab untuk ilustrasi katak tersebut cukup menarik karena dapat dikembalikan pada harapan hidup yang sedemikian berarti....

Saat hidup ini kelam, gelap, hitam, pekat, dimana kita merasa sendiri, dijauhi, bahkan dihindari. Adakah kita merasa tetap teguh menjalani atau justru seperti labirin menurun mengecil yang patut dikeluhkan, dikutuk, ditakuti atau bahkan disesali mengapa kita berada saat ini? di sini? dalam keadaan begini?

Seberapa banyak dari sahabat sekalian, yang dalam keadaan demikian justru menyesali yang bahkan sempat terpikir bahwa KEMATIAN adalah satu-satunya JALAN  YANG INDAH? wow.......

Menarik bukan......?

Saat kita terpojok, bahkan oleh keadaan oleh kenyataan, oleh makian, cacian, cercaan, fitnahan, tudingan, todongan. Di sudut, ditempat yang tidak mungkin lagi kita berlari ke belakang sebab tidak ada jalan. Masih kah kita mengandalkan tangan sendiri? tangan orang lain? tangan atasan kita? tangan sahabat kita? tangan keluarga kita? tangan siapapun? Yang mana sangat memungkinkan bahwa merekapun bila dalam keadaan yang sama dengan kita akan (SANGAT MUNGKIN) menolong diri mereka sendiri dan (SERINGKALI) lupa dengan kita.... Atau kitapun demikian melupakan mereka.....

Nah.............ini bagian yang paling menarik. Sudahkah kita mengambil keputusan? KEMATIAN KAH? MENYERAHKAN? SUDAH AH, QUIT AJA.......?

Atau......

kita justru berikhtiar, berjuang dan melawan dengan tetap berdoa dan mengikhlaskan apapun yang terjadi adalah dalam LINDUNGAN NYA? Sang Khalik yang MEMBERIKAN HIDUP....?

Beranikah kita? Atau saya justru tergoda (lagi) untuk masih menyalahkan orang lain?

Bukankah ikhtiar, doa, juang, ikhlas, LindunganNya tersebut juga merupakan "lobang kecil sebesar ujung pensil yang dilihat Sang Katak di dalam ember berisi air tersebut?"

Monggo.......

Jakarta 16 April 2013 pukul 8:28





April 15, 2013

Pasca Perang

Selama 2 hari dalam kurungan dan kubangan, ternyata semakin saya berpikir banyak, semakin menyeret pikiran, badan dan hati ke ruang kotor dan jauh lebih kotor dan menjijikan.

Gusti menendang kursi saya dan membuat tanda bahwa musti keluar dari tempat dan waktu ini.  Berat? Jelas... Enak, ya jelas ndak enak...  Terutama perangkat casing manusia ini malas dibuatnya. Betul bahwa banyak orang katakan, bahwa suasana sendu sedih dan menusuk ini berat dijalani tetapi sekaligus berat untuk dilepaskan. Masih selalu ada mental victim untuk pengin dikasihani, sekaligus minta untuk tidak dikasihani. Tetapi tetap ingin untuk didengarkan.

Coba sahabat sekalian perhatikan, apakah saya (menunjuk diri sendiri) memang betul2 tulus untuk mendengarkan orang lain? Apakah pernah? Coba jawab yang jujur. Kliatannya jarang dan boleh disebut tidak pernah kan......? Wong saya selama ini mendengarkan orang lain dengan kacamata saya, dengan persepsi saya, dengan pengalaman saya, dengan perasaan saya. Jadi apa benar hati kita ada dan terhubung dengan hati orang yang kita dengarkan? Mana pernah?

Nah....kemarin jam 17 sore saya putuskan untuk lepas dari belenggu itu. Nikmati, jalani, terhubung dengan dunia dengan hati. Enak? ya jelas ndak enak. Masih beberapa kali ingin kembali ke mental victim yang mengasihani diri sendiri.

Ikhlas, memang tidak mudah. Tapi worthed untuk dicoba dan dijalani....

Berkah sudah ada sejak kita belum lahir, sampai sekarang dan sampai kapanpun... Ndak terasa? lha wong yang didoakan berkah duniawi yang datang dan pergi...... Padahal, Gusti Allah menyertai kita terus....tapi kita pilih cari "berkah" yang lain.

Kembali ke masa untuk keluar Pasca Perang....apa masih mau untuk kembali lagi? Cobaan datang setiap kali, apa kita memperkenankan badan duniawi ini goyah? Monggo....

Masih mau denial? Masih mau marah? Masih mau menikmati shock? Monggo....mau berapa lama?

Jakarta 15 April 2013, pk 8:27




April 13, 2013

Bom Waktu

Dua minggu lalu, pikiran saya buntu, semangat saya meledak-ledak, hati saya berdegub kencang. Tanda apa ya?

Awal minggu lalu, tanda baru muncul. Ilustrasinya: hobi yang sedang saya banggakan, sedang dibangun, sedang dipupuk dan sedang dielus2 dan dipandang2 serta diceritakan ke banyak orang; diminta kembali oleh Si EmpuNya. Lha wong saya cuma dipinjem'i kok. Ya njih monggo saya serahken...

Selama seminggu pergulatan batin, pikiran dan hati. Mula-mulanya bingung. Kosong, Tapi untungnya segera dapat mengendalikan. Itu kan berkah Gusti yang ternyata selama ini ada bersama saya.... Kalo biasanya saya bingung, kosong, dan kemrungsung, saya akan segera mencari pengganti atau pengalih (mohon dibaca kembali tulisan saya --kalo berkenan tentang hal ini--pen). Tapi kali ini saya memutuskan untuk mengambil cara lain, dengan membiarkan kekosongan, kebingungan dan ke-kemmrungsungsan hati reda sendiri....  Beruntung hari ketiga sudah mulai reda. Horeeeeeeeeeee

Nah masuk minggu kedua, suasana makin seru, asyiiiik. seperti ada bom waktu yang mau meledak. Rasanya seperti semua mata, semua tudingan (baca tulisan mengenai todongan--pen), serta pelototan mata dengan bengis melihat hanya di satu sisi dan sudut. Perasaan tersudut, bertahan, diolah, diendapkan, serta direlakan, berganti-ganti. berulang dalam waktu yang semakin cepat sehingga menciptakan keseimbangan baru. Menurut beberapa buku yang saya baca, itu membiasakan selalu berada dalam tahap dibangunkan, dibenamkan, lalu muncul dan ambil napas, kemudian dibenamkan kembali dan seterusnya. Beradaptasi berkelanjutan. Rutin menjadi kedaluwarsa.

Sampai rasa khawatir dan lingkaran kedaluwarsa berlanjut dan menjadi rutin. dan akhirnya saya memilih di tengah lingkaran dan bukan di pinggir lingkaran. Jadi ingat sewaktu pelajaran ilmu bumi di SMA, saat dijelaskan mengenai keadaan ternyaman dan teraman juga tersenyap adalah di tengah pusaran angin ribut. Wow......

Saat tengah minggu keadaan beralih menjadi cooling down, radar alert saya justru bekerja. Ini adalah saat
"aman" menjelang "angin ribut". Yakni saat pasien penyakit berat menjadi seolah sadar dari koma, dan seolah recover, yang ternyata untuk pamitan. Banyak kali pikiran kita seolah tersirep, terhipnotis, dan tertipu bahwa inilah saat akhir. Ilustrasi kita melihat matahari sore yang indah bukan kepalang, oranye, bercampur kuning dengan "silver lining" di samping nya. Memaku kita seolah ingin tinggal selamanya di sana untuk "hanya" memandang dan bersyukur pada Sang Khalik.

Lupa kita dibuatnya bahwa malah akan segera menjelang, pekat dan gelap. Membutakan kita yang tadi masih terpaku memandang langit di ufuk....

DuaaaaaaaaarrrrrrrrrrrRRRRRRRrrrrrggghhhhhhhhh .... bom berikut  nya meledak. menghempas korban tidak siap... Pertanyaan bergelimpangan, tanpa arah, tanpa jawab dan tanpa konfirmasi....

Kenapa? Siapa?  Apa yang telah dibuatnya? Apakah bisa dikembalikan ke sedia kala? Apa yang akan terjadi? Akankah ada korban karena bom susulan? dst dst dst

Selanjutnya senyap...sunyi...hanya bunyi ngiiiiiiiiiiiiiiiiiing ngiiiiiiiiiiiiing ngiiing berkepanjangan. Tanpa kata tanpa makna....

Siapkah saya? Siapkan kita? Siapkah anda, sahabatku?

Shock masih melanda......gelimpangan korban..... Apa yang dirasakan? Siapa yang merasakan? Masihkah kita memikirkan orang lain? Atau kita justru memikirkan diri sendiri?

Tuhaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan, Engkau di mana?

"yaaaa," jawabNYA. "bukankah aku selalu di dekatmu. di Hatimu?"
"kenapa engkau berteriak? bukankah tanda selalu AKU perlihatkan padamu?"
"tidak percaya kah engkau?"

Bersimpuh aku dibuatNYA. "mohon ampunMU GUSTI....hamba berserah.....monggo dipun pundhut..."

Monggo

Jakarta 13 April 2013, jam 13:35




April 11, 2013

Nakal di luar (rumah)


Dulu saya punya sepupu dari keluarga ibu.  Sewaktu rumah kami masih di Slipi, suatu ketika dia datang bersama keluarga besar. Seperti biasanya tamu, ibu memperkenalkannya pada kami bertiga. Ndak berapa lama kami sudah akrab dan bermain bersama. Dari awalnya yang ngobrol, lama-lama sudah main sepeda bergantian. Sampai akhirnya dia pinjam sepeda dan berkeliling kompleks.

Kembali ke rumah, sepeda dia tuntun, dan terlihat ban depan penyok seperti habis nabrak. Dia dengan santainya bilang, tadi sepedanya nabrak tembok.

Langsung diserahkan ke saya. Ndak terasa air mata langsung meleleh di pipi. Tak ada ucapan maaf. Melihat saya sedang bermain sepak bola dengan adik di garasi, segera dia ikutan. Dan langsung nendang bola sekerasnya ke arah pagar, bolanya kembali, dan diarahkannya bola tersebut ditendang ke arah adik saya. Kencang sekali. Adik nangis. Dia tertawa-tertawa saja. Ndak ada ucapan maaf. Langsung dia ke dalam tempat ibu dan bude (ibunya sepupu tersebut), dengan tangan kotor ambil kue dan menyambar segelas es sirop.

Aduuuuuh…… nakal banget ya…

Sepulang keluarga tamu tersebut, saya ceritakan hal ini ke ibu. Dan ibu hanya menyampaikan, sudah… maafkan saja sepupumu dan lupakan kejadian tadi. Aku protes, sebab sepeda rusak, mustinya dia bertanggung jawab memperbaiki dong. Juga aku ceritakan, adik masih sakit sebab kena bola yang sengaja diarahkan ke badannya. Ibu hanya diam, geleng-geleng, dan kembali menyampaikan:”sudah.. maafkan saja.”
Malam harinya, ibu cerita, bahwa anak yang nakal di luar rumah itu artinya menemukan kebebasan di luar rumah. Bisa terjadi di luar rumah, di sekolah, di manapun selama di luar rumah.

Juga ditambahkan oleh ibu, bisa jadi di rumahnya, dia takut berbuat apapun. Dia takut kena marah dan sering dimarahi serta di”kerasin” oleh orang tuanya. Jadi kemungkinan besar, dia akan behave di dalam rumah dan sak’enak’e dhewe di luar rumah. 

Mengingat kejadian tersebut, saya ingat bahwa hal yang sama sangat mungkin terjadi dengan orang dewasa.
Ilustrasi: ada rekan kerja saya dulu, terhadap karyawan dan staf atau non staf dibawahnya sangat keras, suka marah, membentak, serta mengintimidasi. Apa yang dilakukan timnya selalu salah, mudah berubah, sak’enak’e dhewe. Ndak menghargai kerja tim di bawahnya. Bahkan koleganyapun segan (atau malah malas) untuk berhubungan dengannya.

Pernah suatu ketika ada acara family gathering ulang tahun kantor, terlihat bahwa dia terlihat takut terhadap pasangannya. Apapun yang disampaikan oleh pasangannya dituruti segera mungkin. Bahkan ucapan dan kata-kata pasangannya cenderung ketus dan marah kalo ndak segera dituruti. Seperti dibawah tekanan hidupnya dalam berkeluarga. Ooooo itu tho kejadiannya. Jadi saat hidup di luar (rumah) dia merasa bebas dan sekarang giliran dia mengintimidasi orang lain.  Merasa menang juga orang yang ditakuti, maka dia seenaknya memperlakukan orang lain. Playing God, seolah menentukan hidup orang lain. Apa yang dibuat orang lain yang notabene bawahannya tidak ada yang benar (walau sudah sesuai dengan permintaannya.
Jadi setiap kejadian ada sebabnya. Mohon kiranya dapat dimengerti bahwa tidak setiap hal ada sebabnya. Juga berarti tidak setiap kejadian ada akibatnya.
Monggo….

Jakarta 11 April 2013

Ganti kulit....




Ular yang diseset kulitnya untuk ganti kulit. Sakit, itu prosesnya. Menjadi lebih segar, lebih baik, menjadi lebih …

Kenapa kulitnya musti diganti, karena sudah ndak sesuai, ndak cocok, ndak match dengan kebutuhan (dalam dan lingkungannya). Kebutuhan dalam berubah baik karena internal dalamnya internal growth juga karena lingkungannya yang berubah.

Sebagaimana saya alami, waktu berjalan, ruang yang sama dengan waktu yang berubah, artinya berubah. Apalagi ruang yang saya tempati juga berubah, ya jelas berubah semuanya.

Dengan memiliki, mengalami dan menjadi seperti yang ada saat ini dan di masa lampau dan manfaat serta suka dan duka yang terjadi dan sedang terjadi. Maka ke”manusia”an saya sulit untuk ikut berubah. Wong saat ini saja sudah enak, sudah ok, kalaupun sedang merasakan kesakitan, tidak nyaman. Tapi hal itu yang saya kenal dan saya sudah ketahui dan pahami. Kenapa harus berubah?

Monggo dilanjut sendiri-sendiri…

Jakarta 11 April 2013

April 10, 2013

Aku memilih


Saat belajar di SD, aku dipilihkan oleh almarhum ibu. Masuk SMP, aku yang memillih. SMA, adalah pilihanku. Perguruan tinggi yang aku jalani sebenarnya bukan aku yang memilih pertama kali, karena ikut-ikutan dengan sahabatku, yang ternyata tidak mendaftar di tempat tersebut. Saat ada panggilan kedua, almarhum bapak memintaku untuk masuk dalam perguruan tinggi tempat aku mendaftar tersebut. Katanya, ndak mungkin kamu dipanggil kalo bukan kamu sendiri yang memutuskan untuk menuliskannya. Walau sampai dengan lulusnya aku  tetap merasa bukan aku yang memilih. (masih dengan mental victim: menyalahkan orang lain untuk kejadian yang aku jalani…..)

Mulai dengan melamar pekerjaan, aku yang memilih, juga saat pindah kantor kedua dan ketiga. Apakah ada beda antara aku yang melamar atau ditawari oleh orang lain? Sebab kedua pilihan tersebut tetap membutuhkan aku untuk memutuskan dan bertanggung jawab dengan pilihanku kan? Hayooooo…..

Pilihan adalah apapun yang diputuskan dan ada tanggung jawab serta konsekuensi yang menyertainya. Sewaktu di perguruan tinggi, aku merasa bahwa kalo aku dipilihkan atau ikut pilihan bapak, kan kalo ada apa-apa yang membuat tidak sukses kan boleh (baca sekali lagi: boleh menyalahkan orang lain, juga bapak…)

Belakangan sejak bekerja, ternyata dunia ini begitu kejam. Aku memilih, atau ndak memilih (jadi akibat orang lain yang memilihkan) kenyataanya apapun yang aku putuskan untuk menjalani (walau bukan pilihanku…--masih ngotot bukan pilihanku lho, walau aku jalani--…) langsung dan tidak langsung tetap kena di aku. Itu adalah paketnya. Suka ato ndak suka. Apa masih mau menyalahkan orang lain (kalo apes), dan menerima manfaatkannya kalo enak…..   Lho kok enak banget kalo gitu….

Hidup ini indah, apapun bagaimanapun di manapun siapaun kapanpun, penting untuk sadar dan waspada. Setiap sepersekian detik itu berharga. Diam juga merupakan pilihan. Apalagi bergerak…..

Hayoooo masih mau mengatakan kalo semua hal itu adalah akibat hal lain ato orang lain? Dasar mental victim….yang ndak mau sadar…..

Hayuuuuk aaaaah

Jakarta 10 April 2013

Addicted



Keren ya bahasanya, addicted. Ketergantungan. Seolah saya ndak bisa melepaskan diri dari hal tersebut, dari orang tersebut, dari jabatan tersebut, dari hubungan tersebut.

Kalo dirunut dan dibongkar sak’enak’e dhewe…. Ternyata sumber dari addicted ada ketergantungan dari “perut” atau boleh disebut, keinginan manusia saya. Sengaja ndak pake kita, sebab belum tentu saya mewakili sahabat, keluarga, teman, bahkan kamu kan…??? Jadi valid kalo saya mencontohkan diri sendiri…

 Belajar dari Bapak Tukul Arwana, yang berani menjelek-jelekkan diri, sehingga orang lain sudah ndak perlu menjelek-jelekkan dirinya. Lha wong sudah “rock bottom” sudah dasar, sehingga kalo menerima di atas dari dasar tersebut ya sudah berkah….

Kembali ke pokok celotehan di atas, misalnya saya sekarang gendut, BMI (berat masa index) tubuh saya (kalo mau ilmiah) jauh di atas 24 (yang menurut ilmu gizi) adalah seimbang. Jadi saya tergolong obesitas. Lha wong 31 dibandingkan dengan 24. Jadi ndak perlu orang lain untuk bilang saya obesitas. Kenapa obesitas? Ya karena suka makan. Apa berarti saya makan terus bahkan lebih dari 3 kali sehari. Ya….  Makan besar 3 kali, tapi makan ngemil ya diantaranya. Kalo ada makanan saya ambil. Ada rempeyek, makan, ada kerupuk makan, ada kopi diminum, ada aqua diminum, ketemu OB di kantor pesan combro lalu dimakan sendiri. 

Kebiasaan gitu kok mau kurus, lalu kalo nimbang stress sendiri. 

Olah raga, saya lakukan, 20 menit cross trainer. Keringetan… kurang, ya ndak tau…

Belum bisa kurus… pasti ada sebabnya. Saat ini saya mau bicarakan yang urusan obesitas saja… food addicted. Ndak bisa mengendalikan diri kalo liat makanan dan minuman. Penginnya dimakan/diminum. Kalo bisa dibongkar juga ada addicted lain sih, monggo…….bingung waktu kosong sedikit, pengin ngerokok, liat computer sebentar pengin buka situs pornografi, ato kalo sebentar ngaso (tangannya…) gatel cari BB, cari Iphone, cari HP untuk sekedar liat SMS, BBM, ato siapa tau ada pesan nyasar ato siapa tau ada yang miss call.

Kok kliatannya “manusia” saya ndak bisa diam ya? Ndak bisa “tahan” untuk tenang, sebentar aja…….masak sih segitu susahnya. Apa iya sih ndak bisa “diatur”; ndak bisa “dikendalikan”. Mosok saya dikendalikan oleh perut saya, mata saya, tangan saya, pikiran saya, kuping saya, dst dst dst….

Ternyata ada yang selama ini ndak saya gunakan, yakni hati. Jadi benar ilustrasi di sebuah buku yang pernah saya baca, kalo Tuhan akan menempati ruang yang sangat jarang manusia singgah, bahkan bisa terjadi seumur hidupnya ndak akan mampir ke tempat itu. Yakni di hati. Di relung hati….

Di laut, manusia akan menyelam sedalam yang bisa dicapainya. Di angkasa, manusia mencari bahkan sampai ke planet terjauh. Di hutan, manusia jelajahi bahkan buka hutannya. Di keramaian kota, di sepi nya pantai, di tingginya gunung. Tapi saya (mungkin juga manusia lainnya) ndak (mau) mampir ke hati sendiri….  Kata Prabu Joyoboyo, …..maka terjadilah Kerajaanku bernama Kediri… yang artinya “penjelajahan ke “dalam” diri; yakni hati terdalam tempat bertemu dan bercengkerama dengan Gusti Sang Maha SegalaNya. The All that Is…..

Sumonggo……..

Jakarta 10 April 2013

Menerima Paketnya


Seringkali saya melihat, mendengar dan membuat komentar atas suatu hal hanya melihat sesuai dengan persepsi dan kacamata (baca: mau saya saja). Kalo pas penginnya dilihat positifnya ya hanya melihat positifnya aja. Ato saat mau melihat (dan men-judgement) yang negatifnya saja ya hanya dilihat serta difilter yang negatif saja.

Contoh, saat saya kelas 2 SMP, dimana saya masih tinggal dengan orang tua, jelas dong kalo saya musti nurut apa yang dinasihati beliau. Lha wong tinggal dengan orang tua. Nunut ya musti manut. Sekolah dibayarin, makan diberi, tidur disediakan, apalagi yang diminta dan ndak diberi? Bukankah ini merupakan berkah Gusti Allah melalui beliau sebagai orang tua. Betapa nikmat dan enak kan. Tetapi apa yang saya minta saat itu? Kebutuhan sudah diberi dan disediakan, saya mulai minta “seperti” orang lain; teman-teman yang lain. Yang mana? Ya yang diperbolehkan main sepeda kemana suka, ya yang boleh naik sepeda motor (padahal untuk mperoleh SIM belum umur dan waktunya), ya yang boleh main band setelah pulang sekolah. Juga ikut tanding tenis kapan saya mau…

Coba para sahabat perhatikan. Ternyata saat kebutuhan (dalam bahasa Inggeris disebut needs) sudah dipenuhi, masih kurang terus…. Dan ini kalo boleh disebut adalah “kemewahan” atau “wants”. Contohnya adalah kalo biasanya makan sepiring, ya apa aja selama 1 piring kan membuat kenyang. Ternyata panca indera kita menuntut yang enak (di lidah), yang manis, yang gurih, yang kliatan menarik untuk dipandang, wuih….

Lho kok sekarang panca indera yang disalahkan?

Ternyata tingkatan pemenuhan terus, dan bila saya ndak bisa mengendalikannya (manage) akan terus membumbung.

Tadi malam saya baca buku karangan OSHO (monggo dicari dan dibaca sendiri, kapan waktu akan saya bantu untuk mengulas ya…). Bahwa saya hidup di dunia dengan segala keterbatasan, (dalam ruang dan waktu) ternyata dibekali ego untuk belajar. Sebab kalo saya hanya dibekali spirit (baca: ruh dan jiwa; sengaja saya pisahkan), maka segala yang ada di dunia menjadi ndak menarik wong segalanya sudah baik adanya dan wong di dunia ini “cuma” sandiwara kok….. jadi ya hanya titipan, sadar terus, tapi jadi ndak belajar……

Jadi saya hidup dengan bekal ego (yang maunya enaaaaakkkkk terus itu) musti diseimbangkan dengan “spirit” untuk “tali kekang”nya….. Paketnya ya musti diterima dua-duanya. Ada malam ada siang, ada terang ada gelap, ada manis ada pahit ada asam, ada sakit ada sehat, semuanya indah sekali. Dan saya dapat belajar dari semuanya, swing bandul bisa ke mana saja, tapi akan melewati titik tengah seimbangnya.

Monggo…..

Jakarta 10 April 2013

April 09, 2013

Melihat atau Mendengar?


Bila boleh bertanya (ada-ada aja nih…) mana sih yang lebih dapat diterima oleh badan kita untuk bisa dipercaya dan nantinya akan mengubah pandangan atau persepsi kita? Apakah hal apa yang kita lihat ataukah apa yang kita dengar?

Menurut buku yang saya baca, tentang hipnotis, tentang brain-wash, tentang memberi nasihat; seringkali bertentangan mana yang lebih dapat dipercaya dan dapat memberikan pengertian (understanding) serta mengubah dan kemudian memantapkan persepsi kita…..

Ilustrasi: saat anak yang kecil dinasihati untuk cepat tidur karena besok masuk sekolah. Dia menjawab, lho Oma aja tidur telaat, dan tidur malam, malah sebelum tidur nonton film dulu. Kenapa aku harus tidur cepat?

Perhatikan:

Nasihat—didengar oleh telinga si anak; tetapi mata si anak melihat, bahwa ada yang bertentangan dengan nasihat (yang didengar).

Hipnotis: kalau kamu mendengar jari saya dijentikkan sekali, maka kamu akan tertidur. Tetapi kalau mendengar jari saya dijentikkan 2 kali, kamu akan melihat orang di sekitarmu adalah “setan”, dan kamu ketakutan…..

Brain-wash: sebagai pengantin yang membawa bom bunuh diri, maka kamu ikut membasmi kejahatan dunia, yang nantinya akan mati syahid. Karena tujuanmu mulia, maka Allah akan menerimamu di Surga….

Hipnotis dengan message HP: dari nomor +6282xxxxxxxx708: pesannya, Mngnai rmh/Lokasi bpk/ibu yang mau di jual Sys dh cocok & sngt brminat masalh harga HUB. Suami sy 082xxxxxx368. Dr.H.irawan.

Monggo, teman sahabat, mana yang menurutmu cocok sebagai hal yang dapat mengubah understanding atau persepsi? Apakah yang kita dengar atau yang kita lihat?

Hayuk aaaaahhhh

Jakarta 9 April 2013

Minta maaf = bersalah?


“Say, aku minta maaf ya…”

“mas, bapak minta maaf ya…”

“Pak Ketua, nuwun sewu mohon maaf kalo saya lancang…”

Nah ini semakin menarik karena dalam hidup yang saya hadapi, bila kita meminta maaf, coro Londo-nya adalah “apologize”, artinya kita telah berbuat salah.

Lha kalo budaya Jowo yang diajarkan oleh almarhum ibu saya, nuwun sewun, nyuwun sewu, nyuwun pangapunten, dan seterusnya, itu adalah minta maaf karena suatu hal yang sudah terjadi, atau sedang terjadi, atau akan terjadi yang mungkin dapat mengganggu lawan bicara. Tapi bisa jadi belum tentu mengganggu juga apalagi membuat orang lain terluka, atau tersiksa. Justru sering, malah dibilang berlebihan karena, kok selalu minta maaf…..

Saya dipesan oleh pimpinan. Apapun yang kamu lakukan. Jangan sekali-kali kamu minta maaf apalagi mengaku salah. Jadi ada 2 kejadian sekaligus, tetapi dihubungkan dengan kata dan, “and”. Minta maaf pasti bikin salah. Dan sering dikonotasikan kesalahan itu biasa, dan bisa terjadi kapan saja. Tetapi ndak perlu minta maaf. Buat saja alasannya, “reasons”…. Apapun itu orang akan menerima (baik suka atau tidak suka).

Karena ndak perlu meminta maaf, juga sekaligus ndak perlu ngaku salah, juga penting untuk disampaikan (dalam hati tentunya) bahwa tidak perlu menyesal. Kalau dalam ajaran Yesus, ya ndak perlu bertobat….

Wuih top banget yak….?

Jadi sebaiknya? Mosok sekarang tanya baiknya? Bagaimana kalo buruknya….?

Sumonggo…..

Jakarta 9 April 2013

PRIVACY



PRIVACY (Sulitnya Bertemu)

Ternyata ada selubung antara saya dan kamu, antara saya dengan sahabat saya, antara saya dengan anak2 saya, juga antara saya dengan istri?

Kok bisa?

Selubung ini apa sih namanya? Sebab lembar tipis, transparan, tapi ternyata membuat kita ndak enak untuk menyampaikan hal yang jujur, yang sebenarnya, bahkan lebih baik disimpan, didiamkan saya, berharap orang lain, yang kadang anak saya, istri saya juga sahabat saya lebih baik ndak tau.

Sering, kalo kepergok, bilangnya,”lho, aku pikir kamu sudah tau…? Ternyata belum tho?”

Tapi kalo boleh jujur, dan boleh memilih, ternyata saya pilih untuk tidak mau memberitau atau menyampaikannya. Bahkan sering muncul dalam pikiran saya kalo lebih baik dia tau yang begini aja deh.

Lebih damai, lebih tenang, ndak pake gejolak. Lebih baik tau dari (orang) yang lain aja deh.

Dan sekali lagi kalo kepergok, ya udah ngaku deh….  Atau lebih baik bilang, ndak! Ngotot bilang,”tidak.”

Kalau boleh dibongkar, sebenarnya selubung tadi itu apa sih namanya? PRIVACY?

Mosok sih PRIVACY?

Hi hi hi kok defensive begitu jadinya? Ya ndak usah gitu kaleeee…..

Jakarta 9 April 2013