December 09, 2011

Pengin berbeda...

Pengalaman ini ternyata bukan hanya dialami oleh kaum dewasa saja, monggo kita mulai dari masa kanak-kanak.

Dulu sewaktu masih tinggal di Jawa Timur, sudah sejak kecil senang sekali dengan mainan mobil-mobilan matchbox atau merek tomica. Karena menurut ibu, saya penyakitan, dan gampang sekali sakit, maka setiap kali pergi berobat, ibu selalu mampir di Pasar Pacar Keling untuk beli mainan. Toko kelontong apa aja ada, mulai dari mainan, alat tulis, alat masak dan bahkan alat rumah tangga lainnya, jadi kalo mampir ke situ bukan hanya keperluanku aja yang dibeli ibu.

Hampir setiap bulan, mainanku tambah satu. Sehingga kalo mampir ke pasar, aku selalu sempatkan mampir, apa yang baru di toko, sehingga kalo sakit dan dibelikan ibu, sudah ada inceran.

Menarik sebab, tetanggal di rumah, ada teman bernama Kempong, Sari, Medhek, dan beberapa lainnya juga senang dengan mainanku. Dan akupun juga melirik apa yang baru mereka punya. Biasanya kami berbeda selera, sehingga jarang ada yang sama.

Sejak sekolah, ternyata "mainan"ku berubah, mulai mengumpulkan tempat pensil yang ditutup dengan magnet, dan biasanya bentuk macam-macam, kalo ndak salah bentuknya ada mirip radio, mesin, robot, mobil, juga ada yang dari kayu mirip laci lemari. Saya ndak suka yang berbentuk kain dan lembek. Harus bentuk kaku, mirip "mesin". Kalo ada teman yang punya tempat pensil baru, biasanya aku memperhatikannya, pinjam untuk liat2, tapi seringkali tidak boleh. Katanya takut rusak. Atau takut saya beli yang sama. Hal ini saya ketahui, sejak saya tanya beli di mana? Dia jawab,"ndak tau." Artinya kan takut disaingi.

Penting terlihat bahwa, kalau kita punya yang tidak dipunyai orang lain, itu baru keren. Kalaupun hanya sedikit yang punya, itu eksklusif. Gejala apa ini?

Sekarang, saya mulai mengumpulkan beberapa hal, syukur-syukur berbeda dengan yang lain. Gimana ndak, wong selera saja sudah beda. Pengin berbeda. Kembali, pertanyaannya adalah kenapa musti berbeda? Kenapa kok ingin dikomentari oleh yang lain?

Bukankah, yang kita gunakan (terlepas kita miliki atau kita nikmati) adalah penting untuk "mengolah roso" di dalam hati? Spiritual healing.... Apa lagi ini?

Kok healing, apa yang kita obati dan kita terapi? Hati kita? Kenapa diobati? Apa ini bukannya gejala kompensasi adanya "rasa kekurangan" tadi?

Kok rasanya kita akan haus terus dengan "pandangan orang lain"? Gejala apa ini?

Rasa "kepenuhan" kok dipenuhinya dengan "air dari tetangga"? Apa ini salah satu ciri manusia yang diciptakan oleh Gusti Allah?

Apa ndak puas kita hanya dipenuhi dariNya?

Waduh, semakin banyak pertanyaan yang ndak terjawab. Monggo, pembaca sekalian bila memiliki pendapat. Matur nuwun.

Jakarta 12:36 Des09, 2011


1 comment:

  1. haus akan pandangan orang lain sehingga kadang malu terlihat bodoh, terlihat lemah, terlihat jelek yang lebih parahnya "mengorbankan" orang lain utk keselamatan diri sendiri... :)) , kapan kita ngobrol lagiiii ??- Anyta Aritonang

    ReplyDelete