July 31, 2011

LUCUNYA HIDUP: Hobi Motret (1)

Hobi Motret _1

Tahun 2007 akhir, aku beli kamera serius Canon 40D. Hal ini terjadi setelah pengin punya kamera serius untuk mengabadikan perkembangan anak. Jiaaaaah, kayak orang bener aja. Beli di bulan Desember awal, semua dipotretin, dimasukkin ke komputer, tapi ndak pernah dicetak. Pokoknya pernah potret, dilihat sekali, lalu lupa.

Yang ada tuh kamera malah banyak istri yang pake. Lumayan, yang penting kan dipake. Hasilnya? ndak usah tanya deh.

Tahun 2011 awal, saat temen-teman kantor mulai ngobrolin hunting foto, pake model lagi... gimana tuh rasanya? Sampe dua kali kejadian, aku belum tergugah. Baru saat kedua pada pamer hasil, nah lho..... Kok jadi pengin motret lagi. Gimana nih? Apa tuh diaphragma? Bukaan? ISO? Speed? yang mana lagi tuh?

Jadi inget, aku kan punya 40D. Maka diambillah kamera yang udah mulai bulukan dari lemari. Ternyata udah ada beberapa lensa. Mulailah lihat-lihat, ceprat-cepret, apa aja dipotretin. Awalnya malu-malu, sampai akhirnya sok tau malah malu-maluin.

Awal April, aku ikut les motret di MK, orangnya ok banget. Awalnya kaku, sampai akhirnya hajar aja. Dari yang tadinya penginnya beli-beli, sampai dikasih tau, mending ngumpulin lensa aja dulu. Sekali lagi ok banget tuh Mas Madia. Aku berani rekomendasi kalo pengin bisa motret, mending kontak mas Madia deh. Beres....

Nah, masalah kedua muncul. Tiap kali ketemuan dan ngobrolin hasil foto, temen2 mulai ngeledekin, eh loe pake apa? Nikon or Canon? mending ini, ntar nyang ntu ndak bisa tukeran, ndak ada nyang ngajarin, dst dst

Lho ini mau motret ato mau pamer barang? Wong seni potret kok dibandingin. Eh sah-sah aja juga sih. Siap Kumendan, yang penting hepi kan.

Tahap spiritual ketiga mulai. Pencarian hasil foto dan lensa dan kamera, sampe ke tahap "judeg". Bokeh, pencarian bokeh ini menarik, yang satu penginnya tajem, 3 dimensi, HDR katanya. Sementara yang satu pengin ke tajem di tengah, blur sekitarnya. Manteb Oom (ini istilah sesama tukang potret)

Hasil pencarian (tanya-tanya, check di internet, tanya toko sampe dimarahin yang jual karena kebanyakan mampir ndak beli-beli, ha ha ha), maka mulai beli lensa L series 17-40mm f/4. Emang beda Oom, lebih smooth, warna lebih tebal. Kalo ndak percaya coba aja sendiri.

Selanjutnya mulai beli lensa fix (mbah-nya lensa, kata Oom-Oom ahli potret), mulai dari 50mm f/1.8 (lensa sejuta umat), lalu 35 f/1.8, lalu 50 f/1.4, nah setelahnya .... (ndak usah disebutin ya). Setelah itu mulai ngejar kamera yang pulprem. Emang beda Oom. Lebih kejam.

Lalu kenal sama Oom Ipul yang ngeracunin lensa manual untuk ditanam di kamera digital. wuih, pake CZ mounting M42 di Canon. Bokeh-nya bro. Coba aja sendiri.

Lalu mulailah petualangan berikutnya.....

00.00 1Aug2011


Resensi buku: REVOLUSI BATIN ADALAH REVOLUSI SOSIAL

Buku : Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial, karangan Romo Sudrijanta, SJ.

Latar Belakang-penulis

Penerbit Kanisius tahun 2009. Yang menarik dari buku ini adalah dikarang oleh Romo yang menjadi pastor kepala paroki kami Santa Perawan Maria Ratu, pindahan dari romo kepala Paroki Duren Sawit.

Beliau sering menyitir beberapa kalimat yang diterjemahkan demikian canggih (baca: sophisticated) sehingga sulit saya terima dan kunyah. Atau memang demikian karena saya masih berporos pada dunia?

Sudah ada hampir 2 bulan saya lihat di BS (Berita Sepekan, red) untuk niat membeli buku yang ditulis oleh romo, tetapi ternyata hanya niat tanpa tindakan. Baru pada Rabu tanggal 27 Juli kemarin, saya lihat di almari buku ternyata sudah ada yang membeli. Istriku bilang, itu Oom yang membeli dan membagikannya untuk dibaca. Puji Tuhan, Alhamdulilah, ternyata sudah ada yang beli untuk saya baca.

Sekilas komentar buku ini.

"Jejak Langkah Menuju Allah" halaman 26 sampai 30.
Sebelum berkomentar dan membongkar "jejak ini" izinkan saya berterima kasih pada Romo Sudri yang telah njewer dan nyentil kuping saya karena tulisannya yang begitu mengena.

Ilustrasi: antara petani penggembala dan sapi miliknya. Dimana bagi petani tersebut, sapi merupakan segala-galanya, sebagai contoh, tenaganya untuk membajak sawah, kotoran kandangnya untuk pupuk, tahi sapi bisa dipakai untuk tembok, dan lantai rumah, juga tahi tersebut bisa dipakai untuk obat luka. Kulitnya bisa membuat pakaian, dagingnya menjadi makanan bergizi. Jadi kesimpulannya adalah petani tersebut tak dapat hidup tanpa sapi itu.

Di sinilah dibongkar oleh Romo Sudri bahwa perjalanan kerohanian memiliki 10 tahap.

Tahap Pertama; jati diri diidentikkan pada komitmen, sehingga bila petani kehilangan sapi, maka ia akan mencari, sementara yang dirasakan adalah sedih, tegang, khawatir, dan tidak berhenti mencari sampai mendapatkannya kembali. Ia akan mencari dengan sepenuh hati, penuh semangat, berani, tak kenal nyerah, penuh komitmen. Semakin dalam ia kehilangan, maka akan semakin tinggi energi pencariannya. Semakin tinggi derita karenanya, akan semakin kuat energi pencarian yang dilakukannya. Penderitaan ini bisa pribadi, dapat juga kolektif.

Tahap Kedua, saat pencarian mulai menampakkan jejak-jejaknya, maka senanglah ia. Titik terang ditemukan. Ada harapan akan menemukan apa yang dicari. Jadi semangat saja belum cukup, mesti menemukan jalannya, yang unik bagi setiap orang. Tahap ini dinamakan marga/sadhana.

Tahap Ketiga, jejak yang mewujud pada sapi (walau masih di kejauhan). Harapan menjadi pencerahan. Dalam perjalanan spiritual, pencerahan ini menjadikannya "sikap berani maju terus". Perhatikan, bahwa bila perjalanan yang tanpa pencerahan akan membuat frustasi dan berhenti di tengah jalan.

Tahap Keempat; tak puas hanya melihat di kejauhan, maka ia akan mendekat, ingin menjamah dan menyentuhnya. Akan coba menangkapnya. Ingin masuk dalam jantung hati realitas.

Tahap Kelima. Saat petani tersebut berhasil menangkap, ia pegang tali kekangnya, dan menariknya keluar semak belukar. Sapi itu diam dan mengikuti gembalanya. Hal ini disebut wiweka (discernment). Pada tahap ini, kita mulai membeda-bedakan gerak batin, memilah-milah dan membebaskan roh yang baik dari keterbelitan semak.

Tahap Keenam; Petani sekarang pulang ke rumah menunggang sapinya sambil meniup memainkan serulingnya. Ia mengalami kedamaian, kegembiraan, kegirangan. Seolah perjalanan telah berakhir.

Tahap Ketujuh. Saat sampai di rumah, dan telah ditambatkannya sapi itu, petani tinggal duduk tenang sendirian. Ia melupakan sapinya, yang ada adalah rasa aman. Everything is alright, feeling great, never better. Wow. Fuiiiih (sambil melempar keringat dari dahi...)
Rasa aman itu karena suatu hal dan sesuatu itu bisa bernama rumah, tanah, uang, keluarga, sabahat, cinta, Tuhan, agama, perayaan ritual dan seterusnya dan seterusnya. Pada titik tertentu, rasa aman itu hilang, sampai pada saat bahwa rasa aman itu adalah konstruksi dari pikiran. Pada tahap ini, konstruksi pikirannya menjadi penghalang untuk bertemu dengan jantung hati segala sesuatu. Terjadi pengalaman kekeringan, kosong, desolasi, rasa tersiksa.

Tahap Kedelapan. Tahap pengosongan diri. Kesadaran bahwa pikirannya tidak mampu menyelamatkannya, maka ia rela berserah, melepaskan segala sesuatu dan masuk dalam pengalaman kekosongan.
Misteri kekosongan ini terjadi yang membuat orang mengalami kesatuan dengan segala sesuatu. ia mengalami satu dengan jantung hati segala sesuatu.

Tahap Kesembilan; Ia menemukan jantung hatinya dan jantung hati segala sesuatu. Pusat hidup bukan lagi si aku atau pikiran, melainkan jantung hati dirinya dan jantung hati segala sesuatu. Dunia homosentris menjadi tidak bermakna.

Tahap Kesepuluh. Orang kembali pada kehidupan dengan tangan terbuka. Tiada lagi dualitas, aku atau jati diriku, surga dan bumi, ilahi dan manusiawi, sakral atau profan. Semua tampil sebagai kesatuan.

....dilanjutkan pada paragraf yang menyebutkan bahwa: Orang kembali hidup, bergerak dan meng-ada dengan hati lepas-bebas dari segala keterbelitan dan kelekatan akan segala sesuatu. Tidak ada lagi aku, tetapi Dialah yang hidup dalam diriku.

Wow, betapa indah hidup ini. Kita yang jatuh bangun mencari sesuatu, merasa kehilangan, memiliki harapan, menemukan, tercerahkan, mengalami kekosongan akibat buah pikiran, melepaskan kelekatan, lalu merelakan kelekatan, tetapi justru merasa memiliki segala sesuatu. Puji Tuhan, Puji Tuhan, Allah yang Hidup. Betapa Engkau selalu bersama denganku selama ini. Engkau mengizinkan aku mengalami semua tahapan itu, mendewasakan aku, membiarkan-ku belajar, jatuh, sakit, tertolong dan bersyukur. Terima kasih Tuhanku.

23.11 31Juli2011