August 04, 2011

Memberi Dulu baru Menerima

Ibu sering mengatakan bahwa kalo kamu merelakan sesuatu yang paling berharga dan paling kamu takuti atau sayangi maka Gusti Allah akan memberimu yang lebih dari kamu harapkan. Wuiiiih.... menarik kan?

Pernah suatu kali, ibu mengisahkan suatu cerita (fabel, tentang binatang, pen.), suatu saat seekor monyet masuk dalam ruang tamu nenek, saat melihat toples isi permen dan kacang goreng, bingung dia memilihnya, mana yang akan diambil dulu. Karena ia seekor monyet cerdik, maka dengan mudah dibukanya tutup tolpes permen itu dengan cara memutarnya. Agak keras mulanya, tapi segera terbuka. Dengan antusias, dimasukkannya tangannya ke dalam toples, digenggamnya permen sebanyak mungkin, sehingga tanggannya membentuk genggaman penuh dengan permen. Lalu dengan segera ditariknya tangannya itu. Makin keras dia genggam, karena takut ada yang tertinggal dan akan mengakibatkan berkurangnya permen, maka makin sulit si tangan itu keluar. Sedikit mengendur, dimajukan tanggannya itu, lalu dicobanya sekali lagi, ditariknya tangan itu, tidak dapat keluar. Setelah dicoba berulang kali dan tidak dapat keluar, maka mulailah monyet itu berisik, teriak-teriak. Ngik ngik ngik ngik......

Akhirnya nenek yang sedang tidur sore, terbangun dan dilihatnya seekor monyet sedang kesakitan, dengan satu tangan masih di dalam toples. Karena kasihan, maka coba dibantunya untuk mengeluarkan tangan itu. Saat mendekati, si monyet itu marah, khawatir akan diambil toples berisi permen itu.

Melihat kondisi tersebut, nenek tersenyum, yak ampuun....... Mungkin inilah contoh kalo kita ingin mengambil sebanyak yang kita mau tanpa berpikir bahwa upaya/cara bertindak/cara berpikir atau sikap kita hanya melihat dari satu sisi, yaitu bagaimana mengambil sebanyak mungkin secara bijak.

Bagaimana bila kita merelakan sedikit bahwa yang dapat diambil lebih sedikit, tetapi dapat bermanfaat. Apalagi tidak ada hambatan bila kita ingin mengambilnya berulang kali?

Seringkah rekan pembaca menghadapi kondisi seperti ini? Seolah waktu hanya saat ini, seolah pihak yang dapat memperoleh manfaat hanya kita sendiri, seolah ndak perlu orang lain mengetahui dan memperoleh manfaat dari hal ini. Sehingga kita sajalah yang perlu memperoleh kredit. Jangan orang lain, apalagi kita perlu berbagi.

Gejala apa ini?

Monggo pembaca yang budiman, bila ada yang tidak setuju atau mempunyai pendapat lain.

10.28 4AUG2011

No comments:

Post a Comment