December 21, 2012

Kerja buat mendapat Uang?

Tiga hari lalu, setelah bertemu dengan sahabatku, dimana dia menjanjikan akan memberikan sebagian hasil yang diperoleh untuk menjadi bagianku. Awalnya sedang sekali hati ini, lumayan, mantabs, ok. Puji Tuhan, Alhamdulilah.

Ternyata dua hari lalu, kita bertemu lagi, dimana ada saat perbincangan, disinggung bahwa, semoga hasil yang akan (saya) peroleh, "membuat "kamu" lebih semangat kerja, jangan sampai seperti kemarin kok kelihatan apatis, ndak semangat, bahkan terkesan membiarkan, terjadinya kesemrawutan."

Pada saat mendengar nasihat tersebut, saya bingung. Kok saya diberi pancingan, iming-iming, tetapi diberi nasihat, berharap semoga berjalan sesuai harapannya. Sementara menurut saya, apa yang disampaikan tersebut tidak benar total, dan kalaupun ada yang luput dari pengamatan saya hanya 10% bahkan kurang.

Dan yang betul-betul menyakitkan hati, terjadi kemarin, yakni saat saya mampir selintas di tempat sahabat tersebut. Dia melihat saya dengan pandangan, " oh... sekarang kamu sering ke sini karena mau cepat-cepat memperoleh hasil tersebut ya...."

Ditambahkan, sore harinya, ada pekerjaan yang saya tindak lanjuti, ternyata rekan tersebut tidak memantau, bahkan menurutnya saya yang selayaknya meng-handle semuanya, (mungkin menurutnya--- waduh dosa nih saya telah melakukan prejudice), kan nantinya kamu juga memperoleh hasil tersebut.

Wah, kok jadinya itung-itungan? pamrih, trading, dagang, .....

Tadi pagi rasa "marah" menggelegak dalam kerongkongan saya, seolah ingin berteriak. Bahwa ini tidak benar. Saya bekerja karena saya senang dengan pekerjaannya. Saya menyukai pekerjaan, senang dengan tantangannya. Masuk dalam dan berniat menyelesaikan bersama untuk kemanfaatan bersama.

Saat berdoa pagi tadi,  bahkan sampai tercetus,"dan kalaupun tidak ada hasil yang dibagi, karena saya bekerja di sini, tetap akan saya kerjakan. no matter what." Puji Tuhan, Kuasanya selalu melindungi saya dan keluarga saya.

Terima kasih Gusti, telah memperkenan saya melewati jalan ini. Berkah, kesempatan, keikhlasan serta upaya semua adalah milikMu. Engkau yang memberikan, Engkau juga yang mengambilNya.

Hamba tidak berhak atasnya sedikitpun. Semua saya/kami lakukan untuk KemuliaanMu. Amien.

Jakarta, 14:26, 21Des2012



December 11, 2012

Ready for Nothing

Pagi kemarin saya membaca buku karangan Pak Parlin terbaru, ada bagian yang begitu menarik perhatian. Yaitu saat disinggung bahwa saat ini, di mana hidup begitu dinamis, sehingga sayang bila kita menghadapinya dengan sikap "yang sama dan sudah mempersepsikan terlebih dahulu."

Beliau dalam bukunya menyarankan,"Ready for Nothing, and Open Mind to Anything". Wow, luar biasa banget...

Hal ini menyambung saran latihan yang dianjurkan oleh buku Pak Krishnamurti/Istoto, dengan ilustrasi "backpaker".

Yaitu kita bawa (hal-hal) yang perlu, penting, sehingga dalam mengambil keputusan kita lebih loose dan tanpa beban. Mengapa hal ini menjadi perbedaan yang signifikan? Coba bandingkan dengan bahwa setiap kita hadapi sesuatu, kita sudah mempersiapkan nanti akan menjawab apa, alasannya begini, dst dst. Iya kalo cocok, kalo ternyata ada fakta lain yang muncul, apa ndak gamang? apa ndak galau?

Juga akan berbeda, bila kita "alert" tetapi tidak reaktif, melainkan kita proaktif. Sebab dengan reaktif, kadang menjadikan kita menyesal bila fakta lain adalah bertentangan dengan kata hati kita; grusa grusu.


















Bersyukurkah kita?

Menarik untuk dijajaki.

Setiap pagi bangun, mendengar suara putri kami terkecil, suara kakaknya mas yang besar dan mas yang kedua. Betapa hidup ini demikian indah.  Puji Tuhan semua dalam keadaan sehat.  Di sebelah saya sudah bangun, istri tercinta sedang menyiapkan sarapan.

Tak terasa menetes air mata, ya ampun Tuhan, selama ini kok demikian terasa flat, tidak bersyukurnya hambamu ini.

Melihat jarum jam menunjukkan pukul 5 pagi. Masih remang2 di luar.

Segera saya ambil handuk kecil untuk olah raga di lantai atas. Tak terasa 20 menit peluh memenuhi badan. Segar.....

Suara putri kami terdengar nyaring mencari saya...."bapak di mana bu?".  Merinding, mendengarmya.

Terima kasih Gusti, betapa anugerahMu yang tak terhingga dan tidak patut diperbandingkan.

Tuhan mberkati rekan sahabat2 pembaca.

Jakarta 10:05, 11Des2012

Persepsi


Tanjung Redep 5 Des 2012 jam 13.19

Saya benar-benar tidak paham, bagaimana kita sebagai manusia bertindak, apakah berdasarkan rasio atau berdasarkan tingkat kedewasaan/ kebijaksanaan.

Demikian ilustrasinya: saat kita membicarakan kepentingan diri sendiri, ternyata "garisan" atau ukurannya berbeda dengan bila kita membicarakan kepentingan orang lain, pihak lain. Apalagi bila kepentingan lain tersebut tidak berdampak langsung dengan urusan kita.

Tetapi.........bila ternyata ada dampaknya kepada urusan dan kepentingan kita, waduh...begitunya....kita mempertahankan, melakukan defensif serta menyerang kembali dengan meminta berbagai hal, berbagai timbal balik, malah lebih besar "nilai"nya dibandingkan dengan dampak yang ke kita.  Kalau perlu kita yang surplus, untung, profit atau berlebih. Dan membuat orang lain defisit, rugi dan babak belur.

Kejadian lain adalah bahwa saat kita melihat orang lain yang memperoleh manfaat/benefit atau keuntungan atau penghasilan atau apapun yang menjadi pendapatan yang sama dengan kita, kita justru terganggu dan membandingkan.  Apakah memang orang lain tersebut sama effort, kompetensinya atau pengalamannya dan sama atribut nya dengan kita. Nah akan menjadi masalah (buat hati kita) bila ternyata berbeda dengan kita. Bukan masalah besar atau kecil, ternyata beda saja, sudah membuat persepsi bahwa kita "defisit" dibanding orang tersebut. Waduh......kejam yak....

Kalau sudah begini, apa iya begitu.... Bahwa kita ini manusia yang tega, suka itung2an, mementingkan diri sendiri, serta kalo bisa membuat orang kain lebih menderita?

Demikian disampaikan. Monggo.....  Semoga Tuhan mengampuni kita dan mberikan berkatNya selalu.

Senyum


Apakah benar-benar kita tersenyum?

Lho kok bertanya seperti ini? Apa yang salah? Apakah saat tersenyum dalam hati kita juga tersenyum? Apakah memang kita menebarkan senyum kita untuk sesama kita?

Atau...justru kita kita tersenyum hanya agar keliatan (baca: pura-pura) dan tercipta image ramah? Lalu untuk apa biar kelihatan ramah?

Nanti kalo kita kelihatan ramah, makin banyak orang mendekat, sebab ramah identik dengan baik hati....
Lalu tiba-tiba kita didatangi banyak orang minta tolong....
Urutan berikutnya kita merasa terganggu....
Dan kemudian merasa lho kok orang lain ndak mbantu kita?
Kok kita yang musti ngerti'in orang lain.....?
Lha kalo kita yang lagi down...siapa yang dapat kita temui atau telpon atau mau mendengar keluh kesah dan bahkan membantu kita?

Sebentar.......lho kok malah itung-itungan.
Jadi kayak orang dagang.
Pamrih.

Wah hidup jadi berat, sebab kita perlu ngitung, kalo kita senyum, bekum tentu kita dibalas drngan senyum. Kalo kita mendengarkan keluhan teman, belum tentu mereka akan mendengar keluhan kita...

Ndak ah.... Saya memilih untuk senyum, baik dengan otot-otot muka, hati juga.. Mu dibalas senyum ya monggo...ndak dibalas juga ndak apa-apa.
Klo satu kesempatan kita mau mendengar keluhan teman, ya ndak musti kita menganggap nanti dia musti mendengar kita. Jadi kalo mau ya monggo, atau saat tertentu kita sedang ndak mau mendengar ya ndak apa-apa....

Nanti kita dibilang sombong, ndak ramah... Ya mbok ben, biarin aja... Kalo hati dan niat kita mau lakukan, just do...., monggo. Kalo lagi ndak ma ya sudah. Mau diomongin, mau dibenci, ya biarin....

Jadi kembali ke atas, apakah kita mau senyum dengan "ringan" tanpa beban? Atau mau dengan beban yang itung-itungan? Silakan memilih, sumonggo kerso.

Jakarta, 19:56; 6Des2012

Mandat


Mandat atau amanah, adalah suatu hal yang membuat kita merasa memiliki atribut sehingga secara moral dan atau legal dapat melegitimasi tindakan kita berdasarkan basis atau dukungan hal/pihak tertentu. Susah banget yak......

Jabatan menjadi suatu mandat sehingga kita dapat (merasa) berpikir, bertindak serta mengelola atau bahkan memimpin suatu kegiatan dan sekelompok pihak untuk tujuan tertentu. 

Mandat? Ada  yang bilang bahwa mandat adalah suatu bentuk "kepercayaan" atau tongkat estafet yang kita terima dan laksanakan serta kawal dengan baik, dan kemudian diserahkan kembali atau diserahkan ke pihak lain saat kita diminta untuk meninggalkannya. 

Amanah? Jelas suatu kepercayaan untuk kita terima, kawal, laksanakan, bahkan juga disalurkan kembali.

Status, hmmmm... Apakah ini juga amanah atau mandat? 
Misalnya status: berkeluarga, menjadi bapak rumah tangga. Saya lebih senang menyebutnya panggilan. Sebab saya memilih, berpikir dan menjalankan serta mengawal perjalanannya sebagai seorang bapak. 

Pertanyaan berikutnya: apakah seorang bapak musti memiliki keluarga? Musti memiliki istri/pasangan? Musti memiliki anak? Musti memiliki orang tua? Musti memiliki tetangga? Musti berada di lingkungan masyarakat? Musti memiliki pekerjaan? Nah......... Bukankah ini menjadi semakin menarik? 

Sebagai ilustrasi: bila seseorang bertemu kita dan saling memberi salam, lalu mengulurkan tangan. Apakah kita memperkenalkan diri dengan nama? Atau juga atribut tersebut di atas? 

Semakin menarik saat kita bongkar bahwa atribut, status, mandat atau amanah tadi, dapat merupakan pilihan atas keputusan kita. Apakah dengan demikian kita akan "membawanya" dengan sia-sia (take it for granted)? Atau kita perlakulan dengan respect dan penuh tanggung jawab? 

Monggo, ternyata semakin dalam kok semakin bingung, semakin luas dan semakin gelap tidak terjamah yak........

Tanjung Redep-Jakarta 19:44; 6Des2012