September 28, 2011

Ego

Seminggu lalu, saya membaca buku "One Minute for Yourself" karangan Spencer Johnson, MD. Beberapa bab awal menggugah minat saya untuk membaca lebih jauh karena idenya yang agak nyeleneh dan kontroversial dengan apa yang publik dan masyarakat umum ajarkan. Atau setidaknya menurut yang saya belajar dan dididik berbeda.

Bila sejak kecil, ibu kerap mengatakan bahwa sebaiknya kamu berpikir dan bertindak dengan memperhatikan kepentingan orang lain terlebih dulu, sebelum untukmu sendiri. Jangan dibalik, sebab kamu akan kelihatan egois, dan mementingkan dirimu sendiri.

Semakin besar dan banyak usia kita, hal tersebut semakin melekat di benak kita. Jadi sebaiknya mendahulukan kepentingan orang banyak dulu, baru boleh kita memperoleh manfaat. Setuju? Benar begitu?

Coba renungkan......

Dalam bukunya terrsebut, pak Johnson mengatakan, bahwa bila kita mencintai, peduli, dan memperhatikan diri sendiri, maka pundi2 ego kita akan terpenuhi dan bahkan luber, sehingga pada gilirannya kita akan lebih tenang, damai (dengan diri sendiri), yang berakibat akan dengan sukarela memperhatikan dan mencintai orang lain.

Dalam buku tersebut dijelaskan pada halaman2 awal bahwa kalo kita sendiri tidak menyayangi dan memperhatikan diri, bagaimana kita dapat menyayangi otang lain. Wong, pundi2 ego saja ndak terpenuhi. Dan bagaimana orang lain dapat memperhatikan kita. Karena kita sendiri ingin disayangi, ingin diperhatikan, tetapi justru (dengan terpaksa) mendahulukan orang lain. Bahkan hal ini tentu dapat menimbulkan self pitty, yaitu perasaan mengasihani diri sendiri. Nah lho....

Jadi, mana yang lebih baik dilakukan terlebih dulu? Menyayangi diri sendiri dulu, sehingga lubernya rasa itu akan membuat kita menyayangi orang lain; atau, kita menyayangi orang lain, sebab nantinya kita juga akan disayangi ? Hayo, menarik kan?

Sumonggo, kalo punya pendapat, saya persilakan.

Jakarta, 22.50 Sep28, 2011

Cinta (1)

Kata ini seringkali disamarkan dengan sayang, nafsu, peduli (care) atau bahkan suka.

I heart you. Demikian boysband SM*SH menamakannya dalam salah satu lagunya. Sampai ada hari kasih sayang sedunia, Valentine's day, yang selalu diartikan bahwa cinta selalu (hanya) digunakan untuk ungkapan perasaan antara cewe dan cowo, atau pria-wanita. Lha, bagaimana dengan cinta seorang ibu pada anaknya. Juga bagaimana dengan orang yang sangat lekat perasaannya dengan motor Harley-nya?

Apakah "rasa" itu cukup selama satu pihak (misalnya sang cowo) benar2 sayang, suka, care dan melindungi serta selalu mendoakan pasangannya? Ataukah rasa itu perlu dua belah pihak saling berbalas?

Pernah ada sahabat sewaktu SMP, mengatakan," Dik, kan kalo cinta kan tidak selalu harus bersatu...". Lho, apa lagi ini. Bagaimana penerapannya? Bahkan, salah satu rekan kerja pernah menyampaikan,"kalo cinta sih ndak perlu saling memiliki...." Macam mana pula ini?

Bagaimana menurut anda? Monggo.....

Jakarta, 22.10 Sep28,2011

Percaya dan merelakan

Dalam berhubungan dengan orang lain, baik itu dalam hidup berkeluarga, teman sekerja atau dengan sahabat, seringkali kita dengar bahwa kalo saling percaya ya ndak usah khawatir. Tapi apa hal ini mudah diterapkan?

Saat mulai pacaran dulu, bila sang pacar bertanya, "apa kamu percaya sama aku?" tentu saja kita jawab,"ya, aku percaya sama kamu". Walau saat kita liat dia berbincang dengan teman lawan jenis, hati kita jadi was-was, khawatir, apalagi kalo sang pacar bercanda dengan mesra, dan bisa tertawa lepas. Dibandingkan bila bersama kita sangat jarang hal tersebut (tindakan yang lebih loose) kita temui. Lho, kok begitu ya?

Ada buku yang penulis baca, bahwa saat hati kita turut dalam tindak tanduk, maka sesuatu yang mudah menjadi lebih sulit. Saat kita ndak punya hidden agenda (baca: ada hati) maka kita dengan mudah bicara, bercanda dan bahkan mengejek (sambil bercanda) dengan lawan jenis. Nah, coba rekan pembaca bayangkan, apakah akan sama kejadiannya bila kita punya perasaan (naksir) dengan si lawan bicara. Biasanya, tindakan kita menjadi hati-hati, bicara diatur, bercanda tidak lepas, bahkan betul-betul menjaga perasaannya.

Nah, menarik bukan.

Dalam kejadian lain, misalnya di tempat kerja. Saat kita tidak memiliki hidden agenda (misalnya mau mengharapkan ada untung persenan dari transaksi ini), maka kita akan bertindak lebih lepas, all-out, bahkan full hearted mengawal transaksi dengan tujuan untuk kepentingan bersama. Pernahkah rekan sekalian temui bahwa kita menjadi curiga dan khawatir saat rekan kita mulai demikian "hati-hati" atau demikian "menjaga" agar transaksi tersebut harus berhasil dan seolah-olah diperlakukan sebagai barang yang mudal pecah "fragile".


Pada buku lain, penulis pernah membaca bahwa, bukankah sebaiknya kita kerjakan suatu hal seolah-olah keberhasilannya tergantung dari upaya dan effort kita, sementara di saat yang sama, kita "serahkan" pada Tuhan karena hanya perkenanNya-lah, bila saatnya tepat, maka Tuhan akan mengkaruniakannya pada kita indah pada waktuNya.

Jadi fight, full-hearted, dan all-out, sekaligus, rela apapun hasilnya sebab Tuhanlah yang memnentukan indah pada waktuNya.

Paradox? Menarik bukan? Bagaimana pendapat rekan sekalian? Silakan......

Jakarta, 21.45 Sept28, 2011

September 09, 2011

Kelekatan

Rekan pembaca budiman, tentunya pernah bertemu dengan seseorang yang menyampaikan bahwa kalo aku ndak bisa hidup tanpa handphone, atau tanpa blackberry, atau tanpa dompet (tentunya yang ada uangnya kan?), dan seterusnya dan seterusnya..

Yang saya diajarkan oleh ibu dan bapak, sejak kecil, "Ndul, kamu jangan tergantung pada apapun. Sebab kamu lahir ndak bawa apa-apa, nanti juga kalo dipanggil Gusti Allah juga ndak bawa apa-apa? Wong tanah untuk menerima kamu aja hanya 2 x 1 meter." Semua pemberian Tuhan, itu semua hanya "dipinjamkan", jangan pernah merasa "nge-milik-i" apalagi menjadi seolah ndak bisa hidup kalo ndak ada.

Jadi bagaimana kita perlu bersikap?

Hidup ini mudah bila kita menyikapinya dengan "enteng". dan tentunya sebaliknya.

Pernah suatu ketika, bapak komisaris kami menyampaikan bahwa beliau tidak (akan) membawa handphone, sehingga apa yang beliau jadwalkan pada hari itu, sudah terjadwal sebelumnya. Apabila ada hal yang mendadak, ya ndak bisa berubah.

Luar biasa!! hare gene ndak pake handphone... wuih di luar kebiasaan tuh, ndak normal tuh, ndak wajar tuh. Wong saya aja kalo ketinggalan handphone, merasa ada yang hilang, biarpun ndak ada yang "nyari" (biasa sok penting kan...)

Lha kalo ada orang yang bilang, saya ndak bisa hidup tanpamu (hayo ingat kalo kita pacaran dan lagi kasmaran berat, pernah kan bilang begini?) Hayo ngaku...
Ini juga jenis kelekatan lain.

Demikian saya sampaikan. Tuhan memberkati rekan pembaca sekalian. Amin.

Jakarta 11.20 9Sep2011







Sebaiknya mana lebih dulu, ide atau uangnya?

Menyimak koran tadi pagi, dimana kepala proyek arena olah raga internasional menyampaikan pada surat kabar bahwa untuk menyelesaikan proyeknya dalam 2 bulan ke depan tidak dapat ditepati.

Apa pasal?

Menurutnya, dana dari pemerintah belum turun, sedangkan sampai saat ini kontraktor sudah "habis-habisan". Salah satu juru bicara pemerintah menyampaikan bahwa, progress perkembangan proyeknya belum diterima sehingga pencairan tidak dapat dilaksanakan. Sementara uangnya sudah siap. Dijelaskan lagi, bahwa untuk yang dianggarkan sudah siap, tapi untuk tambahan (kalo ada) belum disiapkan.

Rekan pembaca yang budiman, apa yang menarik untuk diambil hikmahnya? Kembali pada pertanyaan awal, mana yang sebaiknya ada duluan, ide (penyelesaian), progress (yang sudah dilakukan) atau dana yang disediakan?

Pada saat masih sekolah dulu, ada rekan saya, sebut saja Bun, yang selalu punya ide (bila kepepet). Suatu ketika dia ingin pergi ke Bandung.
Untuk biayanya karena belum ada, maka dia menghadap kepala Tata Usaha Sekolah, katanya, "pak, apakah bapak punya uang Rp 150.000,-?"
Dijawab, "untuk apa, untuk siapa?"
rekan saya menjawab"untuk saya pak." dilanjutkan,"bapak ada hal yang bisa saya bantu? Biar saya yang mengerjakan saja."

Pada ilustrasi di atas, terlihat "dana" duluan, ide sebagai tukar (exchange) belakangan. Tapi bila kita telusur ke dalam lagi, ide supaya memperoleh dana adalah "pergi ke Bandung", walau sebagai bentuk tukarnya adalah "kebutuhan" dari bapak kepada tata usaha tadi.

Seringkali dalam hidup kita, pemunculan pertama adalah ide sebagai bentuk tukar (transaksi) saja. Sehingga setiap pihak mencoba untuk mencari tahu apa yang menjadi "pendorong" tersebut. Menjadi masalah bila kita sudah berprasangka bahwa pihak lain (pasti) memiliki niat (pendorong) yang ndak baik sebelum bertemu dengan kita.

Sehingga muncullah "What is in IT for ME?" (terjemahan bebasnya, apa untungnya (melakukan) ITU untuk SAYA?).

Apakah ini bisa digolongkan sebagai budaya pamrih? Kalo ndak ada untungnya buat saya, ngapain kita bantu? ngapain kita tolong? ngapain kita bertransaksi dengannya? Waduh....

Apakah masyarakat sudah sedemikian jauhnyakah? Apakah kita juga demikian?

Demikian pembaca, semoga tidak membebani langkah "kecil" kita untuk menjalani hidup yang indah ini. Tuhan memberkati pembaca selalu. Amin.

Jakarta 10.55 9Sep2011

September 07, 2011

Apakah berbeda sama dengan penolakan?

Baru saja saya mengalami kejadian kecil yang begitu “kena” di hati, begitu membuat kaget, shock, dan membuat kecut.

Saat mengucapkan salam untuk menyampaikan Selamat Hari Raya (agama tertentu), dan sudah disampaikan secara sopan dan tulus, tiba-tiba teman tersebut menyampaikan, bahwa dia tidak merayakannya, juga tidak ingin mengucapkan apapun sebagai balasan.

Wow.

Luar biasa nih, selama ini saya sudah mendengar beberapa kali kalo ada beberapa rekan, teman rekan atau pihak lain bertemu dengan lawan bicara yang sudah dikenal maupun belum dikenal, sebagai salam, mengucapkan salam ini. Pada saatnya akan lawan bicara tersebut menolak dan disampaikan dengan sopan tentunya.

Kejadian ini begitu mengejutkan, shock, dan membuat kecut. Seolah kita terlempar beberapa meter ke belakang seperti terkena tenaga dalam. Duuuuaaaaaarrrrrr…….

Apakah hal ini benar? Tidak ada yang membantahnya. Apakah hal ini salah? Tidak ada yang akan mengkonfirmasi tentunya. Apakah hal ini wajar dan boleh disampaikan? Kalau ditinjau dari sisi rekan sebagai lawan bicara tersebut tentunya jujur pada diri sendiri dan setia pada hal yang dipercayainya bahwa perlu menyampaikan kepercayaannya tersebut. Agar……(bisa macam-macam alasannya)

Nah, kalo dari sisi pemberi salam? Ini tentu sangat mengagetkan. Bila kita memang menganut kepercayaan tersebut, mungkin dapat berakibat kita merasa ditolak salamnya; atau kita yang merasa ditolak. Waduh berat nih akibatnya. Kalo pada posisi bahwa pemberi salam bukan penganut kepercayaan tersebut, dan memberikan salam tersebut, bisa dua konsekuensinya, apakah dengan mengucapkan salam tersebut kita dengan serta merta “menganut kepercayaan itu kah?” atau justru kita tidak merasa apa-apa?

Bagaimana dengan rekan pembaca sekalian? Sumonggo kami persilakan bila ada komentar atas kejadian kecil ini.

Jakarta 14.46 7Sep2011

Apakah berbeda sama dengan penolakan?

Apakah berbeda sama dengan penolakan?

Baru saja saya mengalami kejadian kecil yang begitu “kena” di hati, begitu membuat kaget, shock, dan membuat kecut.

Saat mengucapkan salam untuk menyampaikan Selamat Hari Raya (agama tertentu), dan sudah disampaikan secara sopan dan tulus, tiba-tiba teman tersebut menyampaikan, bahwa dia tidak merayakannya, juga tidak ingin mengucapkan apapun sebagai balasan.

Wow.

Luar biasa nih, selama ini saya sudah mendengar beberapa kali kalo ada beberapa rekan, teman rekan atau pihak lain bertemu dengan lawan bicara yang sudah dikenal maupun belum dikenal, sebagai salam, mengucapkan salam ini. Pada saatnya akan lawan bicara tersebut menolak dan disampaikan dengan sopan tentunya.

Kejadian ini begitu mengejutkan, shock, dan membuat kecut. Seolah kita terlempar beberapa meter ke belakang seperti terkena tenaga dalam. Duuuuaaaaaarrrrrr…….

Apakah hal ini benar? Tidak ada yang membantahnya. Apakah hal ini salah? Tidak ada yang akan mengkonfirmasi tentunya. Apakah hal ini wajar dan boleh disampaikan? Kalau ditinjau dari sisi rekan sebagai lawan bicara tersebut tentunya jujur pada diri sendiri dan setia pada hal yang dipercayainya bahwa perlu menyampaikan kepercayaannya tersebut. Agar……(bisa macam-macam alasannya)

Nah, kalo dari sisi pemberi salam? Ini tentu sangat mengagetkan. Bila kita memang menganut kepercayaan tersebut, mungkin dapat berakibat kita merasa ditolak salamnya; atau kita yang merasa ditolak. Waduh berat nih akibatnya. Kalo pada posisi bahwa pemberi salam bukan penganut kepercayaan tersebut, dan memberikan salam tersebut, bisa dua konsekuensinya, apakah dengan mengucapkan salam tersebut kita dengan serta merta “menganut kepercayaan itu kah?” atau justru kita tidak merasa apa-apa?

Bagaimana dengan rekan pembaca sekalian? Sumonggo kami persilakan bila ada komentar atas kejadian kecil ini.

September 05, 2011

Hidup yang membingungkan?!

Melihat di TV tayangan meninggalnya istri penyanyi Saiful Jamil pada beberapa hari lalu menggugah ingatan saya tentang "bagaimana hidup ini perlu disikapi dan ditanggapi".

Ibu dan bapak saya sejak kecil sering menyampaikan ungkapan "urip mung mampir ngombe". Jadi apa yang terjadi di hidup kita ini hanya sebentar, yang artinya sementara. Ya, kalo namanya sementara artinya ndak ada yang abadi.

Hal inilah yang "mengganggu" pikiran saya tadi malam sebelum tidur. Sempat saya sampaikan ke istri saya, bahwa bagaimana sikap kita menghadapi hidup ini. Dibuat susah ya menjadi susah, dibuat mudah ya menjadi mudah. Lalu?

Muncul pertama, kita hadapi saja dengan mantap, bekerja, bermasyarakat, dan berkarya dengan menjalani rencana kita, seolah-olah kita hidup selamanya. Forever, ndak mati-mati, menurut kata kerennya immortal.

Kedua, membedah kata sementara di atas, ya sebaiknya kita hidup, menghadapi, bekerja dan mengambil keputusan berdasarkan apa yang ada dan dihidangkan di "depan kita saja". Ndak usah cari yang lain. Apalagi mikir yang kemarin dan yang besok, wong kemarin sudah lewat, dan besok sudah ada masalahnya sendiri. Perusahaan Nike pernah berslogan "just do it".

Menarik untuk dikaji bahwa, kedua pandangan di atas berbeda, berseberangan, tapi berdampingan. Kita ambil keputusan berdasarkan kedua pandangan tersebut. Bila kita banyak mengambil yang jenis pertama, kita memilih "berjangka waktu panjang dan luas/dalam (depth)", sementara bila kita lebih banyak mengambil yang kedua "berjangka waktu pendek dan sempit (narrow)".

Persamaan dalam kedua pandangan tersebut adalah kita melakukannya "all the way" dengan sepenuh hati. Sedikit saja kita melakukan dengan keraguan dan kebimbangan maka boleh disebut kita kurang bersyukur.

Istilah ibu saya, kalo bekerja kan namanya "nyambut gawe" bukan "nggolek gawe". Jadi ingat AA Gym beberapa tahun lalu pernah menyampaikan, kita bekerja itu menjemput rizki, dan bukan mencari rizki. Sebab kalo menjemput itu sudah "ada" untuk kita, sedangkan bila mencari itu belum tentu ada. Lagi-lagi nanti bisa mengambil rizki orang lain. Waduh....

Demikian dulu kegundahan saya pagi yang sudah beranjak siang ini. Apabila ada dari pembaca yang tidak setuju atau malah mau menambahi, sumonggo, akan saya terima dengan tangan terbuka. Tuhan memberkati selalu. Amin.

Jakarta 11.26 5Sep2011