July 29, 2013

Bencilah Perbuatannya dan Terimalah orangnya


Waduh susah amat ya saran ini. Menjadi terasa sulit dan mahal untuk dilakukan sebab rasa dongkol dan marah serta tidak terima dengan perbuatannya padaku membuat ku menjadi membenci orangnya karena perbuatannya.

Menjadi menarik saat ku baca BBM sharing dari sahabat nun jauh di seberang lautan. Bahwa aku biasanya membenci orang yang berbuat salah atau semena-mena padaku apalagi juga pada barang atau pekerjaanku.

Tidak terasa, air mata ini menetes, saat kuingat rekan seperjuanganku di organisasi lama, ternyata melakukan fitnah yang tajam padaku. Membuatku dipinggirkan dan diasingkan seolah menjadi tahanan pesakitan yang membawa aib, sehingga orang lain (baik yang tidak tahupun) tidak mau berkomunikasi ataupun bersilaturahim.  Takut tertular atau dianggap sekongkol, yang dapat berakibat ikut diasingkan atau dijauhi bahkan dihukum oleh pemimpin.

Betapa ku benci dia luar biasa, mengingat namanyapun ndak ingin, tetapi betul saran itu, sebab dibalik kebencian itu, ternyata menimbulkan kemarahan yang siap meledak. Jadi artinya energi ku terkuras dan terfokus padanya. Padahal sekarang kalo dipikir, apa dia ingat? apa dia sadar? apa dia tahu? apa dia merasa?

Ku rasa dia ndak tau tuh.... Kok aku jadi repot memikirkannya. Sayang banget energi ini dibuang percuma.

Ampunilah musuhmu. Sebab dia tidak tahu apa yang dilakukannya, demikian Yesus, Sang Nabi Isa memberi saran.

Emang gampang? enak aja..... suara ini terus terngiang. Nah inilah ego yang mengalahkan si Didik ini.
Belakangan, lewat keikhlasan, doa, serta berkah dari Gusti Allah lah yang membuat ku pelan-pelan melepaskannya.

Beruntung, belakangan ku siap dengan membenci perbuatan, tapi orangnya tidak.  Lucunya, saat ku-sharing ide ini pada sahabat2ku, disebutnyalah aku goblok, aneh, nyentrik, ndak wajar juga ndak normal.

Ha ha ha ha.... Nyeleneh dan ngawur, demikian menyitir Sujiwo Tejo, bahkan menyebutnya ji*nc****uk...

Tapi ternyata berjalannya waktu membuatku bisa berdiri ditengah kembali.  Ibarat pendulum, swing-nya diam di tengah.  Walau sebentar bergerak, ingin dan segera bergerak ke tengah.  Menuju dan memegang pusatnya, yakni Lindungan Gusti Allah. Puji Tuhan, Alhamdulilah....


Jakarta 29 Juli 2013; 12:58

Anakku


Belakangan baru kusadari bahwa keputusan menikah merupakan keputusan yang besar. Memang dahulu aku menikah karena sudah merasa cukup. Ya cukup umur, ya cukup kekuatan untuk melangkah, juga cukup dewasa. Walaupun saat itu ku menikah dengan dukungan penuh dari orang tua.

Padahal kalo saat ini ditinjau dari sisi mental, sebenarnya belum cukup; dari sisi materi, juga belum padan; kalo dinilai dari sisi kedewasaan juga belum matang. Jadi waktu itu menikah dengan dasar apa?
Kalo boleh berterus terang, saat itu menikah karena ya merasa sudah saatnya saja. Dengan berkah Tuhan, dukungan keluarga, ja jalanlah.

Puji Tuhan, Alhamdulilah, semua berjalan baik, walau tidak sepenuhnya benar. Perjalanan saling mendukung, saling belajar percaya, saling bantu, saling berserah, juga saling menjaga, adalah proses yang luar biasa. Penting untuk selalu ditinjau adalah saling mendoakan.

Ternyata, saat mulai hadir jabang bayi, semakin membuat bingung, membuat sadar, membuat gamang sekaligus mensyukuri bahwa kami diberi kesempatan untuk dititipi oleh Gusti Allah merawat, mendidik, memfasilitasi sehingga anak kami ini menjadi mandiri. Demikian saat hadir anak kedua dan ketiga. Hanya berkah dari Gusti Allah lah yang membuat semuanya dapat berjalan dengan baik. (sekali lagi belum tentu benar menurut orang lain).

Proses ini semakin kami rasakan bukan kebetulan, kalo dipikir dengan otak ku yang hanya sebesar ini. Ya jelas ndak mungkin. Namun betapa Gusti melimpahkan berkahNya selalu dan sepanjang waktu.

Lalu......

Tiba-tiba (kok ya begini ya??) anak kami yang besar minggu depan akan berkuliah di luar kota. Anak kami yang kedua sudah masuk SMA. Wow.... ndak terasa. Beberapa hari ini, setiap malam tiba, ku pandangi mereka tidur, ternyata memang sudah besar. Sudah memiliki "mau-nya" sendiri.

Walau kadang ku menganggapnya anakku yang kecil yang selalu ingin ku peluk dan kuciumi. Dan tetap ingin selalu kupeluk dan kuciumi. Sudah besar kini kau Nak.... Mas-mas ku.

Doaku teriring selalu untukmu. Iklas dan restuku selalu untukmu Nak, mas-masku.

Lalu .....

Kupandangi anakku ketiga, si kecil yang mulai beranjak besar.... Terima kasih Gusti.



Jakarta 29Jul2013, 12:40

July 19, 2013

Runtuh

Selama ini kukira monumen yang setiap hari ku lewati, ku doakan, ku jaga, juga ku pupuk akan tumbuh, kuat, dan dapat dijadikan gantungan untuk berteduh saat musim kemarau, saat musim hujan, menahan angin agar tidak langsung mengenaiku, ataupun tempat sekedar bercengkerama di saat cuaca cerah.

Kemarin, monumen itu runtuh, remuk, lumer, meleleh, tanpa bentuk, tidak tersisa, tidak menggelegar, tidak bersuara....

Sunyi, senyap, lenyap, hilang ndak berbekas. Hanya tersisa debu, warna hijau, biru, sedikit sisa serpihan oranye.

Lantai fondasinya masih terlihat kuat, walah ada bekas pecahan tegel yang tidak diganti di masa lalu.  Batu alam, warna abu-abu yang sudah mulai menghijau, lumut, licin, bahkan ada sejumlah yang menebal di pojok-pojok nya.

Berdiri, memandangi bekas lokasi monumen tersebut berdiri. Semilir angin, membangunkanku, untuk segera berjalan kembali.

Ibuku memanggil,"Sudah Dik...segera berangkat, ibu sudah siapkan makan pagimu. Kalau ndak sempat dimakan dan minum, dibawa saja.....?"  "Njih bu, matur nuwun,"demikian jawabku.
Dengan bekal, dan kemantapan hati, ku tatap indahnya Dunia ini....

Sampai lupa aku bersyukur..... Ya Allah....


Jakarta, 19 Juli 2013, 10.41

Nafas

Mengingat kejadian kemarin, dimana sahabat, partner, kakak serta guru saya selama di organisasi mendapat kabar bahwa status nya sudah dilepas atau berpisah.

Terduduk, tercenung, termenung, terdiam, senyap, sunyi. Seakan suara, teriakan atau celotehan dari hati yang biasanya lancar bahkan sering tanpa dikomando keluar bagaikan anak panah yang tak tentu arahnya. Nyablak, menyeruak, semburat kemana-mana. Lucunya, kali ini, kok seakan tercekat, lengket atau bahkan kering ndak mau keluar.

Bingung? ndak. Runtuh, rapuh, lumer, cair dari tadinya berbentuk tiang pancang yang tangguh, seakan ndak roboh bahkan kalo digentarkan oleh gempa. Kali ini seolah lumer, meleleh, cair, rapuh dan runtuh, tanpa bunyi, tanpa suara menggelegar. Senyap...... Hilang ditelan angin sepoi-sepoi.

Hanya terdengar suara AC.... yang biasanya ndak terdengar, kok sekarang hanya bunyi anginnya yang dingin dan berisik.

Tarikan napas yang dalam kulakukan, seolah paru-paru ini takut ndak bisa bernapas sebentar lagi. Coba kuatur nafas ini, tarik yang dalam, ingin kupenuhi paruku ini dengan oksigen, ingin kumasukkan juga ke dalam otakku. Kutahan gerakan nafasku, hanya untuk merasakan alirannya masuk dan beredar ke dalam tubuh.  Lalu kulepas nafasku perlahan, seolah ingin kukeluarkan lewat pori-pori kulit ku di seluruh tubuh.
Semenit, lima menit, dua puluh menit. Tercekat.

Hilang? Apa yang hilang ya? Marah? ndak juga kok. Sudah ndak ada amarah dan amuk dalam hatiku. Mencari salah dan penyebabnya? Ndak juga.

Senyap....

Betapa Gusti Allah masih memberikanku kesempatan untuk mensyukuri hidup ini. Kesempatan, jabatan, teman, sahabat, saudara, materi, hubungan, komunikasi dan bahkan kelekatan boleh datang dan pergi, tetapi Gusti Allah menyertai selalu. Selama hayat dikandung badan.....

Wow....


Jakarta, 19 Juli 2013, 10.10 

July 10, 2013

Wong Edan kok Diikutin....


Ora dhuwe udel.  Urip sak enak'e dhewe. Ra eling karo liyane.... Sak uni ne....

Terserah deh mau dibilang apa. Emangnya mau nunggu orang lain komentar. Emangnya mau nunggu negara ini ganti presiden, ganti pemimpin. Lha kalo ganti pemimpin emangnya lalu ganti suasana?

Lha ndak kejadian tho?

Lha ndak sesuai dengan janji tho?

Terus, mau kecewa? Mau protes? Mau demo? Mau teriak-teriak?

Hua ha ha ha ..... Urip kok nunggu orang lain?

Tadi pagi sambil cross-training (olah raga semacam treadmill), saya baca tulisan Romo Sudriyanta. Lupa nama bukunya, juga halaman berapa? Cuma ingat segelintir rentetan kata:...Subyek dan Obyek.
Kita adalah Subyek, hal yang kita pikirkan (akan terjadi, atau harapan untuk terjadi atau dimiliki atau dialami) adalah Obyek.

Lha kalo Subyek merasa menderita, frustasi, mau meledak, lha ya monggo meledak saja. Kalo mau tertawa lha iya monggo tertawa saja. Dhuaaaar.......!!!! Hua ha ha ha .....

Itu kan (hanya) rasa. Sementara rasa kan dapat dikendalikan. Teman saya, mbak Nana (bukan nama sebenarnya) bilang,"lha mas tapi kan ndak gampang... Emangnya mudah kita menerima kejadian ini? Emangnya gampang kita lepaskan rasa kecewa? Apa iya kita ndak boleh protes?

Lho mbak, kan rasa frustasi, kecewa, senang, mau protes, iya boleh dong.... Pertanyaannya, mau berapa lama kita simpan rasa itu? Emangnya ada gunanya? Emangnya kejadiannya bisa ilang sendiri? Apa maunya (sak enak'e dhewe ini) orang lain yang mengambilkan putusan.... (lihat kembali tulisan : Memutuskan atau Mengendalikan)

Kalo mau disimpan, eman-eman, ya monggo. Dirasakan. Wong hidup-nya sendiri, wong badannya sendiri, wong ndak enak juga rasa-nya sendiri. Tapi....apa perlu "minta!!!" (dengan tanda seru) orang lain musti merasakan juga?

He he he, wong edan, kok diikutin..... Mau berubah kok mintanya yang lain yang berubah? he he he


Jakarta, 10 Juli 2013, 8:25

(Lucunya) Sebuah Pertemuan

Menilik urutan kejadian kemarin bukan main bungah nya. Bukan main indahnya, bukan main segar dan enak untuk dikenang.

Dengan niat untuk silaturahim, bersapa, bertegur, dan kalo diberkahi Gusti Allah untuk lebih dengan ngobrol, diskusi bahkan keputusan, ya jelas luar biasa.

Dimulai dengan pertemuan temu kangen jam 9 lewat 10 menit, tanpa terasa ide mengalir, diskusi mendesir, seperti peluru saling meluncur bahkan tak terbendung. Rekan2 yang selama ini hanya terhubung dengan telpon, sms bahkan messenger BB, kelihatan ndak sabar untuk memutuskan apakah proyek kita mau jalan atau menunggu lagi?

Antusiasme yang terlihat di meja pertemuan, tergelar dokumen yang menunjukkan jadwal yang cukup padat. Begin with the end in mind. Hayuuuuk laaaah.....

Pertanyaan terakhir: jadi siapa yang mau memimpin? (coba perhatikan kalimat barusan, dan fokuskan pada kata "mau").

Tiba-tiba semua terdiam. Membisu, sunyi, senyap.... Lho kalo semua sepakat mau dijalankan, kok ndak ada yang mau? Juga aku?

Ha ha ha, pecahlah tawa renyah (dalam hati....). Akeh tunggalle.... (ini adalah komentar almarhumah ibu, kalo melihat hal biasa dalam keluarga, masyarakat...). Semua (orang) juga begitu......

Semua menunggu orang lain mengacungkan telunjuknya. Saling lihat, saling tertunduk, takut kalo ada yang menunjuk.

Lha gimana, wong semua peserta pakewuh, dan merasa ndak ada merasa posisi lebih tinggi.
Jadi.....?


Jakarta, 10 Juli 2013, 8:03

July 09, 2013

Ambil Putusan kok Susah ya?


Namanya memutuskan kok susah ya? Apa ini karena salah memberi label? Sehingga kesannya kita "putus" dari apapun yang sudah atau sedang berjalan.

Kok malah enak bahasa Inggeris ya? Decide (kata kerja) atau Decision (kata bendanya). Lebih keren.
Karena lagi sok dipengaruhi psikologis gadungan, pengalaman saya, memutuskan, atau mengambil putusan, kok kesannya negatif ya? Kesannya gaya, sebab dengan gagah berani telah menunjukkan pada "dunia" bahwa saya (nah ini yang keren, sebab pake subyek, diri sendiri lho...) melakukannya.

Bulan lalu, saya yang termasuk keranjingan gambar-gambar indah, memutuskan bahwa saya tidak diperbudak lagi oleh gambar dan bahkan film indah tersebut. Saya dibantu oleh coach suatu pelatihan, yang menggambarkan bahwa tubuh kita ini sakral, dan kita (yang utuh ini mengendalikan) dan bukan hal lain di luar kita yang mengendalikan kita.

Betul bahwa dunia ini indah dengan segala ketidaksempurnaan. Coba aja, mulai bangun tidur. lalu baca koran, eh beritanya "seru", bahkah sering membuat bulu kuduk, dan membuat kita takut melewati jalan tertentu katanya banyak premannya. Ato semalam ada informasi dari anak saya, bahwa ada mahasiswa yang gantung diri karena 2 hari kemarin B**ckberry-nya ndak bisa menampilkan dan mengganti display picture-nya.  Kok serem amat yak?

Jadi....apakah kita mau nunggu hal/orang/berita/kejadian lain yang berubah atau kita yang mengendalikannya? untuk diri kita sendiri?

He he he....susah, sulit yak?

Baiklah, kalo begitu..... Pemilihan kata ternyata juga secara psikologis mempengaruhi "roso" dalam diri kita, kalo kita bilang memutuskan, kesannya ada yang diputus, ditinggalkan, dibuang, disapih.... Tega amat ya?
Kalo kita memilih mengendalikan, kesannya gaya, keren, berani, ya...agak positif sih...

Monggo pilih sendiri.

Jakarta 9 Juli 2013, 8:44

Belajar lagi...


Dua minggu lalu, sejak menemukan kembali flute, alat musik yang aku pelajari 4 tahun lalu, tepatnya di tahun 2009, mulailah mencoba meniup, membentuk tangga nada, membantuk lagu sekenanya. Ndak enak didengar, kadang ketemu kadang ndak ketemu.

Pikiranku kembali ke masa silam saat pertama memutuskan untuk "memulai suatu yang baru". Antusias, mencari berbagai informasi mulai dari cara bermain, cara memulai, bagaimana membentuk bunyinya, lalu mencari sejarah kapan mulainya flute, dan berbagai macam lainnya seperti saudara "kembar" atau "kakek-nya" flute, seruling, suling, saluang, recorder yang dipelajari sewaktu SD dan SMP. Malah ketemu juga bahwa, saudara kembar ada yang terbuat dari bambu, shakuhashi di Jepang, lalu pan flute di Amerika Latin, French Flute, juga German Flute, wah.....makin banyak, ada yang dari kayu hitam Afrika, terbuat dari kayu grenadila, dan lain sebagainya... Waduh... banyak sekali informasinya. Lalu jadi teringat, lho, sebenarnya aku mau belajar memainkan atau "menyelam" membunyikannya atau mempelajari sejarahnya?

Ndak terasa, ternyata beginilah model antusiasme-ku bila sudah tertarik dengan suatu hal. Mencari apa saja yang terhubung, sejarah, saudara kembarnya, terbuat dari apa saja, bagaimana cara memainkan, juga bagaimana memodifikasinya. Nah khusus yang terakhir ini yang menyebalkan anggota keluarga lainnya. Kalau dahulu sebelum menikah, ibu yang selalu mengingatkan,"kowe iku arep main musik opo nggawe alat musik?" (terj.: kamu itu mau main musik atau mbuat alat musik?"). Ini adalah jenis sindiran almarhum ibu tercinta.

Memori itu kembali lagi... ndak terasa lelehan air mata membasahi pipi. Oh iya ya, memang selama ini secara sadar dan bahkan lebih sering ndak sadar aku didorong oleh kemauan yang demikian hebat kalo sudah tertarik dengan suatu hal. Bahkah lebih sering hal tersebut awalnya bukan suatu yang "musim", atau memasyarakat. Tambahan, menurut almarhumah ibu, kalo sudah keranjingan, keracunan "hal/alat" itu, orang lain akan tertarik dibuatnya. Sebab setiap kali, aku bercerita tentang hal itu, atau tindakanku mengarah tentang hal itu. Terserah orang lain, atau teman, atau anggota keluarga, mau ikut atau ndak.

Ha ha ha.....seru juga ya... antusiasme yang bisa menular karena diberi energi, terus-menerus, juga bersemangat dalam mengejar atau "memegangnya."

Nanti suatu waktu kuceritakan tentang impianku sejak kecil yang punya sepeda montor Harly, karena rekomendasi dari almarhum Mbah John di Madiun dulu.

Bener nih, ndak tertarik? Coba aja...memberikan energi pada suatu yang kamu tertarik dan lakukan dengan antusias. Perhatikan pengaruhnya pada lingkungan sekitarmu.

Monggo....                          


Jakarta, 9 Jul 2013, 08:22