August 18, 2011

Duh Gusti, kok jalannya makin berat....?

Rekan-rekan pembaca yang saya cintai, kapan terakhir kita mengeluh bahwa hidup yang kita hadapi makin berat.

Sekedar sharing, sejak kecil bapak dan ibu sering menceritakan bahwa pak tani bangun pagi-pagi sebelum matahari terbit berangkat ke sawah dengan semangat. Itu namanya "nyambut gawe". Pekerjaan tani dilakukan setiap hari dari pagi sampai sore. Pulang ke rumah pun dilakukan dengan semangat karena "nyambut anak dan istri". Sementara yang di rumahpun akan dengan senang "nyambut bapak" pulang dari ladang.

Dalam perjalanan pulang sore hari, selepas dari berladang dan bertani seharian, bila di jalan melewati bukit, jalan dengan membawa pacul dan alat makan terasa berat saat naik dan terasa ringan saat turun. Sedang terasa "agak" membosankan saat jalan datar.

Ibu sering menanyakan demikian di akhir ceritanya, Ndul (panggilan saya sejak kecil), pak tani tadi terasa berat waktu jalan di mana? Saya jawab, ya waktu naik bu.

Lha, orang kok sering mengeluh saat perjalanan mulai menanjak? Bukankah hal ini memang sesuai dengan harapannya? Doanya? impiannya? serta rencananya? Bahwa setiap pagi kita ingin didampingi oleh Gusti Allah, dan semoga setiap harinya memperoleh penghidupan yang lebih baik (baca: meningkat).

Coba direnungkan, apakah kita lupa dengan doa dan harapan kita, bahwa seringkali dengan beban hidup yang sama, terasa berat itu berarti jalan hidup makin meningkat, bukan?

Sebaliknya, kita juga kadang terlalu excited bahwa hidup menjadi lebih "ringan", merasa dimudahkan, bahayanya, apakah itu juga dapat berarti kita menapaki jalan yang menurun?

Demikian sharing siang ini. Apabila ada rekan pembaca yang tidak setuju atau menyanggah atau setuju, monggo dikomentari. Matur nuwun. Tuhan memberkati rekan-rekan selalu. Amin

Didik
11.50 18Ag2011

August 04, 2011

Needs vs Wants

Kebutuhan atau keinginan.... Sering kita membandingkan keinginan kita dengan kebutuhan orang lain. Bahkan ada rekan kantor yang menyebut bahwa keinginan adalah kebutuhan yang dilabel merek tertentu.

Pernah suatu ketika, seorang anak dijemput dari sekolah di sekitar Tendean Jakarta Selatan. Notabene masih SD lho, kelas 1. Mbak sudah menunggu di depan sekolah, ndak lama, terlihat sebuah mobil mendekat, lalu keluarlah sopir untuk membukakan pintu. Si anak begitu melihat mobil tersebut, lalu menangislah berguling-guling, sambil berteriak-teriak. "ndak mau! ndak mau! ndak mau pake Kijang. Njemputnya pake Alphard aja... pake Alphard aja...." Lho......

Bukankah dijemput dengan kendaraan sudah merupakan fasilitas, itu kalo ndak boleh dikatakan sebagai suatu fasilitas plus.

Nah, kalo dijemput dengan kendaraan, disopir-in, dijemput depan lobi, masih kita memilih dengan harus menggunakan merek tertentu. Itu namanya apa ya?

Ampun Gusti, kok saya jadi nyinyir begini?

Bagaimana rekan pembaca? silakan....

11.02 4Aug2011

Memberi Dulu baru Menerima

Ibu sering mengatakan bahwa kalo kamu merelakan sesuatu yang paling berharga dan paling kamu takuti atau sayangi maka Gusti Allah akan memberimu yang lebih dari kamu harapkan. Wuiiiih.... menarik kan?

Pernah suatu kali, ibu mengisahkan suatu cerita (fabel, tentang binatang, pen.), suatu saat seekor monyet masuk dalam ruang tamu nenek, saat melihat toples isi permen dan kacang goreng, bingung dia memilihnya, mana yang akan diambil dulu. Karena ia seekor monyet cerdik, maka dengan mudah dibukanya tutup tolpes permen itu dengan cara memutarnya. Agak keras mulanya, tapi segera terbuka. Dengan antusias, dimasukkannya tangannya ke dalam toples, digenggamnya permen sebanyak mungkin, sehingga tanggannya membentuk genggaman penuh dengan permen. Lalu dengan segera ditariknya tangannya itu. Makin keras dia genggam, karena takut ada yang tertinggal dan akan mengakibatkan berkurangnya permen, maka makin sulit si tangan itu keluar. Sedikit mengendur, dimajukan tanggannya itu, lalu dicobanya sekali lagi, ditariknya tangan itu, tidak dapat keluar. Setelah dicoba berulang kali dan tidak dapat keluar, maka mulailah monyet itu berisik, teriak-teriak. Ngik ngik ngik ngik......

Akhirnya nenek yang sedang tidur sore, terbangun dan dilihatnya seekor monyet sedang kesakitan, dengan satu tangan masih di dalam toples. Karena kasihan, maka coba dibantunya untuk mengeluarkan tangan itu. Saat mendekati, si monyet itu marah, khawatir akan diambil toples berisi permen itu.

Melihat kondisi tersebut, nenek tersenyum, yak ampuun....... Mungkin inilah contoh kalo kita ingin mengambil sebanyak yang kita mau tanpa berpikir bahwa upaya/cara bertindak/cara berpikir atau sikap kita hanya melihat dari satu sisi, yaitu bagaimana mengambil sebanyak mungkin secara bijak.

Bagaimana bila kita merelakan sedikit bahwa yang dapat diambil lebih sedikit, tetapi dapat bermanfaat. Apalagi tidak ada hambatan bila kita ingin mengambilnya berulang kali?

Seringkah rekan pembaca menghadapi kondisi seperti ini? Seolah waktu hanya saat ini, seolah pihak yang dapat memperoleh manfaat hanya kita sendiri, seolah ndak perlu orang lain mengetahui dan memperoleh manfaat dari hal ini. Sehingga kita sajalah yang perlu memperoleh kredit. Jangan orang lain, apalagi kita perlu berbagi.

Gejala apa ini?

Monggo pembaca yang budiman, bila ada yang tidak setuju atau mempunyai pendapat lain.

10.28 4AUG2011

August 03, 2011

Mau jadi yang no. 1.....

Kisah ini campuran dari pengalaman sendiri, penglihatanku pada orang lain juga hasil kajian dari bahan bacaan.

Sejak kecil, menjadi no.1 sebenarnya bukan tujuanku. Tetapi melihat teman-teman yang ranking satu dan dua kok dipanggil maju dan peroleh hadiah. Nah itu baru menarik...

Sampai dengan kelas 4 SD aku bukan masuk dalam jajaran itu, puji Tuhan, aku diberkahi Gusti Allah setelahnya aku masuk jajaran yang "dipanggil di muka kelas saat tutup tahun ajaran". Hadiahnya ndak seberapa, tetapi dipanggil oleh suster di muka kelas, itu namanya langsung dikenal. wuiiiiih

Sejak itulah aku dipaksa dan ditunjuk menjadi ketua kelas. Hal ini terjadi sampai aku di SMP.

Kejadian istimewa terjadi saat aku mulai menginjak SMA (sekarang SMU), semua rekan jauuuuuh lebih pandai dan cerdas dari aku. Maka jadilah aku berjuang lagi untuk (siapa tahu) masuk jajaran. Bahkan sampai lulus kuliahpun aku puas dan terberkati menjadi mediocre. Luar biasa berkah itu. Wong lulus di SMA aja berkah, luluh di universitas juga berkah, apa lagi yang dibanggakan lebih dari itu.

Ikut salah satu kegiatan mahasiswa aja, tujuan dan motivasinya aja ndak jelas, wong ikut-ikutan dan yang penting punya kegiatan serta menambah teman. Eh, suatu saat didorong-dorong oleh rekan (yang sampai saat ini saya sangat respect - 3 kakak kelas yang luar biasa) menjadi ketua kegiatan tersebut. Maka jadilah ketua "jadi-jadian" itu. Masih bagus ada yang ikut dan aktivitasnya jalan. Puji Tuhan.

Setelah lulus, aku sudah beberapa kali pindah tempat bekerja dan sampai saat ini memperoleh penugasan yang luar biasa, dengan harapan bisa memberikan manfaat bagi keluarga, rekan, organisasi, serta masyarakat (waduh kejauhan ya???).

Melihat kejadian demi kejadian tersebut di atas, apa masih penting menjadi nomor satu, atau masuk jajaran (yang dikenal rekan dan guru), atau dianggap sebagai pemimpin suatu kelompok, organisasi, atau perusahaan? Wong semua itu adalah berkah Gusti Allah, amanahNya serta bukan "punya dan mau" kita sendiri?

Jadi apa lagi yang boleh dibangga-banggakan, dipamerkan, disombongkan? Urip ikut mung mampir ngombe (demikian idiom yang dibawa oleh orang-orang tua dari Jawa kita).

Jadi.......

16.08 3Aug2011

Mau mu ndak sama dengan Mau ku? Kenapa sih kok mau repot?

Begitu aja kok repot?

Ini merupakan ungkapan dari mantan Presiden Gus Dur yang terkenal itu. Betul sekali, kok kita repot-repot ngurusi dan ngitung Mau orang lain yang sudah jelas maupun ndak jelas berbeda dari Mau kita.

Sering kali niat baik kita untuk mengembangkan organisasi, meningkatkan hubungan, memajukan perusahaan, kita dengan sukarela melemparkan ide. Sebagai pencetus ide, sudah barang tentu kita akan bertanggung jawab untuk ikut minimal rembug dalam pelaksanaan atau sebagai peserta. Nah, masalah akan timbul (ini kalo kita mau menyebut hal itu adalah masalah), adalah bahwa tidak semua anggota organisasi, tim kerja atau rekan kita mau menerima ide tersebut sebagai ide yang baik untuk diterima apalagi dilaksanakan.

Kedua, ada pandangan bahwa, si rekan tersebut dapat berpikir, kalo cuma "hal itu aja", saya sih sudah terpikir, tapi keduluan kamu aja (itu pikir yang diungkapkan, dan seringkali tidak di depan kita tentunya).

Ketiga, pandangan yang langsung dan "melotot" pada kita adalah, kenapa sih kamu repot-repot lempar ide? Kan sekarang ini, kita sedang dalam kondisi bagus-bagusnya, enak-enaknya, kalo tiba-tiba pemimpin kita menerima ide kamu, maka akan ada perubahan dong. Nah lo.... Kita tahu bahwa ini merupakan kejadian yang mengusik comfort zone.

Keempat, kalo kamu yang lempar ide, artinya ada sesuatu yang ada di "agenda kamu" dong... Apa sih untungnya buat kamu? Kamu mau cari muka atau kamu akan memperoleh sesuatu dari ide itu?

Kelima dan seterusnya, akan terjadi upaya untuk membuat ide tersebut menjadi terlihat konyol dan tidak dapat diterapkan. Ataupun setidaknya kalo diterapkan akan terlalu banyak effort yang terbuang. Wah....

Seberapa sering kita mengalami hal ini? Ndak pernah?

Hayo coba diingat-ingat lagi. Saya doakan dan alhamdulilah bila rekan pembaca tidak pernah mengalaminya. Tetapi kalo pernah mengalaminya, apa yang rekan lakukan?

Monggo lain waktu kita sambung lagi.....

15.44 3Aug2011

August 01, 2011

Lupa

Lupa, lali, nglali, kesupen, forget, not remember, ketinggalan.

Ini kejadian yang kesekian kalinya. Memalukan? Buat orang lain, ya. Buat ku sendiri? Kenapa malu? Kan yang penting barang yang dicari masih ketemu. Kan masih ada orang lain yang membantu. Kan, kan, kan dan seterusnya dan seterusnya.

Memang enak ternyata masih ada sahabat, teman, rekan, istri, anak, asisten yang mau membantu, baik mencarikan barang yang tertinggal atau setidaknya ikut rembug ribet memikirkan tadi ketinggalan di mana.

Bagus kalo ternyata segera sadar bahwa barang tersebut ketinggalan, bagaimana kalo ternyata barang yang dicari adalah sudah setidaknya lebih dari 6 bulan ndak dipakai. Apa iya masih di tempatnya? Tempatnya? Di mana? Wong tempatnya aja lupa?

Jadi ingat Bapak Mertua di rumah selalu menyarankan bahwa barang yang sudah tidak dipakai (baca: ndak terpakai, walau masih bagus, namanya adalah "tidak dipakai") sebaiknya tiap bulan disingkirkan untuk dimanfaatkan orang lain (baca: dibagikan pada pihak yang membutuhkan).

Salah satu sarannya adalah: ajak anggota keluarga untuk bekerja sama, bila misalnya buku/majalah/baju atau apa saja, yang sudah tidak pernah disentuh lebih dari 2 bulan dan berada tetap pada tempatnya (tentu saja ndak usah izin pada pihak yang punya) pelan-pelan disingkirkan. Jadi bila pada bulan ke-tiga tidak disinggung juga, maka sebaiknya diserahkan pada acara "garage sale".

Kalo ternyata pada bulan ke-enam dicari lagi (ato ingat lagi), maka tinggal bilang:"lho kan selama ini sudah ndak pernah dipake, kok masih ingat?"

Hayo, ada yang punya pengalaman lain? Monggo di-sharing di sini.

14:38 1Aug2011