July 31, 2011

Resensi buku: REVOLUSI BATIN ADALAH REVOLUSI SOSIAL

Buku : Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial, karangan Romo Sudrijanta, SJ.

Latar Belakang-penulis

Penerbit Kanisius tahun 2009. Yang menarik dari buku ini adalah dikarang oleh Romo yang menjadi pastor kepala paroki kami Santa Perawan Maria Ratu, pindahan dari romo kepala Paroki Duren Sawit.

Beliau sering menyitir beberapa kalimat yang diterjemahkan demikian canggih (baca: sophisticated) sehingga sulit saya terima dan kunyah. Atau memang demikian karena saya masih berporos pada dunia?

Sudah ada hampir 2 bulan saya lihat di BS (Berita Sepekan, red) untuk niat membeli buku yang ditulis oleh romo, tetapi ternyata hanya niat tanpa tindakan. Baru pada Rabu tanggal 27 Juli kemarin, saya lihat di almari buku ternyata sudah ada yang membeli. Istriku bilang, itu Oom yang membeli dan membagikannya untuk dibaca. Puji Tuhan, Alhamdulilah, ternyata sudah ada yang beli untuk saya baca.

Sekilas komentar buku ini.

"Jejak Langkah Menuju Allah" halaman 26 sampai 30.
Sebelum berkomentar dan membongkar "jejak ini" izinkan saya berterima kasih pada Romo Sudri yang telah njewer dan nyentil kuping saya karena tulisannya yang begitu mengena.

Ilustrasi: antara petani penggembala dan sapi miliknya. Dimana bagi petani tersebut, sapi merupakan segala-galanya, sebagai contoh, tenaganya untuk membajak sawah, kotoran kandangnya untuk pupuk, tahi sapi bisa dipakai untuk tembok, dan lantai rumah, juga tahi tersebut bisa dipakai untuk obat luka. Kulitnya bisa membuat pakaian, dagingnya menjadi makanan bergizi. Jadi kesimpulannya adalah petani tersebut tak dapat hidup tanpa sapi itu.

Di sinilah dibongkar oleh Romo Sudri bahwa perjalanan kerohanian memiliki 10 tahap.

Tahap Pertama; jati diri diidentikkan pada komitmen, sehingga bila petani kehilangan sapi, maka ia akan mencari, sementara yang dirasakan adalah sedih, tegang, khawatir, dan tidak berhenti mencari sampai mendapatkannya kembali. Ia akan mencari dengan sepenuh hati, penuh semangat, berani, tak kenal nyerah, penuh komitmen. Semakin dalam ia kehilangan, maka akan semakin tinggi energi pencariannya. Semakin tinggi derita karenanya, akan semakin kuat energi pencarian yang dilakukannya. Penderitaan ini bisa pribadi, dapat juga kolektif.

Tahap Kedua, saat pencarian mulai menampakkan jejak-jejaknya, maka senanglah ia. Titik terang ditemukan. Ada harapan akan menemukan apa yang dicari. Jadi semangat saja belum cukup, mesti menemukan jalannya, yang unik bagi setiap orang. Tahap ini dinamakan marga/sadhana.

Tahap Ketiga, jejak yang mewujud pada sapi (walau masih di kejauhan). Harapan menjadi pencerahan. Dalam perjalanan spiritual, pencerahan ini menjadikannya "sikap berani maju terus". Perhatikan, bahwa bila perjalanan yang tanpa pencerahan akan membuat frustasi dan berhenti di tengah jalan.

Tahap Keempat; tak puas hanya melihat di kejauhan, maka ia akan mendekat, ingin menjamah dan menyentuhnya. Akan coba menangkapnya. Ingin masuk dalam jantung hati realitas.

Tahap Kelima. Saat petani tersebut berhasil menangkap, ia pegang tali kekangnya, dan menariknya keluar semak belukar. Sapi itu diam dan mengikuti gembalanya. Hal ini disebut wiweka (discernment). Pada tahap ini, kita mulai membeda-bedakan gerak batin, memilah-milah dan membebaskan roh yang baik dari keterbelitan semak.

Tahap Keenam; Petani sekarang pulang ke rumah menunggang sapinya sambil meniup memainkan serulingnya. Ia mengalami kedamaian, kegembiraan, kegirangan. Seolah perjalanan telah berakhir.

Tahap Ketujuh. Saat sampai di rumah, dan telah ditambatkannya sapi itu, petani tinggal duduk tenang sendirian. Ia melupakan sapinya, yang ada adalah rasa aman. Everything is alright, feeling great, never better. Wow. Fuiiiih (sambil melempar keringat dari dahi...)
Rasa aman itu karena suatu hal dan sesuatu itu bisa bernama rumah, tanah, uang, keluarga, sabahat, cinta, Tuhan, agama, perayaan ritual dan seterusnya dan seterusnya. Pada titik tertentu, rasa aman itu hilang, sampai pada saat bahwa rasa aman itu adalah konstruksi dari pikiran. Pada tahap ini, konstruksi pikirannya menjadi penghalang untuk bertemu dengan jantung hati segala sesuatu. Terjadi pengalaman kekeringan, kosong, desolasi, rasa tersiksa.

Tahap Kedelapan. Tahap pengosongan diri. Kesadaran bahwa pikirannya tidak mampu menyelamatkannya, maka ia rela berserah, melepaskan segala sesuatu dan masuk dalam pengalaman kekosongan.
Misteri kekosongan ini terjadi yang membuat orang mengalami kesatuan dengan segala sesuatu. ia mengalami satu dengan jantung hati segala sesuatu.

Tahap Kesembilan; Ia menemukan jantung hatinya dan jantung hati segala sesuatu. Pusat hidup bukan lagi si aku atau pikiran, melainkan jantung hati dirinya dan jantung hati segala sesuatu. Dunia homosentris menjadi tidak bermakna.

Tahap Kesepuluh. Orang kembali pada kehidupan dengan tangan terbuka. Tiada lagi dualitas, aku atau jati diriku, surga dan bumi, ilahi dan manusiawi, sakral atau profan. Semua tampil sebagai kesatuan.

....dilanjutkan pada paragraf yang menyebutkan bahwa: Orang kembali hidup, bergerak dan meng-ada dengan hati lepas-bebas dari segala keterbelitan dan kelekatan akan segala sesuatu. Tidak ada lagi aku, tetapi Dialah yang hidup dalam diriku.

Wow, betapa indah hidup ini. Kita yang jatuh bangun mencari sesuatu, merasa kehilangan, memiliki harapan, menemukan, tercerahkan, mengalami kekosongan akibat buah pikiran, melepaskan kelekatan, lalu merelakan kelekatan, tetapi justru merasa memiliki segala sesuatu. Puji Tuhan, Puji Tuhan, Allah yang Hidup. Betapa Engkau selalu bersama denganku selama ini. Engkau mengizinkan aku mengalami semua tahapan itu, mendewasakan aku, membiarkan-ku belajar, jatuh, sakit, tertolong dan bersyukur. Terima kasih Tuhanku.

23.11 31Juli2011

No comments:

Post a Comment