October 19, 2014

Its not over until the fat lady sings




Dari buku John Maxwellsometimes you win sometimes you lose learn”, halaman 98, beliau mengambil juga dari buku Bob Wosczyk yang berjudul tersebut di atas; disampaikan bahwa ekspresi tersebut mengacu pada opera yang sebentar lagi akan berakhir bila penyanyi soprano yang biasanya bertubuh sintal gempal mulai menyanyi. 

Maksudnya adalah bahwa kita, eh aku sering menunggu atau bahkan mengharapkan “pertarungan” segera berakhir. Lho kok si aku malah mengharapkan segera berakhir? Segera berlalu? Segera berganti permainan? 

Betul, bahwa kenyataan, aku sering memilih untuk berjuang setengah hati aja. Ndak ingin berjuang all out, ndak ingin berjalan dan bergerak sendiri di depan, di antara rekan-rekan. Mulai dari takut diteriakin sok semangat, sok memimpin, sok leader, sok macam-macam…..

Malah aku memilih untuk stay low, ndak udah kelihatan, lha hidup kan perjuangan, dan selama ini sudah cukup babak belur, cukup compang-camping. Nanti kalo berjuang dengan lebih semangat dari biasanya, malah mengundang curiga, mengundang gunjingan, dibilang terima suap, dibilang “pasti ada maunya tuh….” dst dst dst….

Aku milih untuk diam aja deh… titik 

Pikiran ini malah mengundang “sandiwara”, what if… gimana kalo ini, gimana kalo itu, apa pasti ada jalan dan pintu yang terbuka? Jangan-jangan nanti malah keblusuk ke jurang tak bertepi, ato justru saat kejungkal terperosok bener-bener ndak ada yang menolong. Lalu kalo ndak ada yang menolong, gimana dong? 

Terus aja, main sandiwara, ndak ada ujungnya, ndak ada juntrungannya. Malah ndak ngapa-ngapain dan ndak kemana-mana, malah ndak maju, ndak bergerak, ndak mundur atau malah diam aja…. Takut apa sih? 

Bertanya penting, tetapi kebanyakan pertanyaan, justru mbikin aku ndak bergerak.

Kembali pada buku John Maxwell tersebut, disampaikan bahwa “aku” ini (seringkali) ndak paham, kalo melakukan quit justru saat “sbentar lagi” mendekati tujuan, goal, dan impian kita. Nah lho….. Jadi ingat sebuah buku Greg S. Reid yang menulis: "Three feet from Gold".  Dan aku justru quit. Bukankah saat seperti ini yang diuji adalah kesabaran, ketangguhan ku? Patience and resilience.

Masa lalu sebagai patokan, betul sebagai pelajaran, tetapi bukannya satu-satunya hal yang menentukan keberhasilan ku.  Latar belakang adalah pengalaman, tetapi yang jauh lebih penting adalah latar depan.  

Maukahku menyongsong nya, menjemputnya, menyambutnya.  

Sekitar 3 minggu lalu, ku bertemu dengan pak Waluya, seorang tentara aktif. Saat hendak pamit pulang, kusampaikan,”terima kasih pak atas pertemuan ini, siapa tau kita jodoh ya pak.” Dan dijawab beliau sebagai berikut,”mas, ada istilah, jodoh itu ditangan Tuhan. Dan kita memang harus ikhtiar untuk menyambut dan menjemputnya, agar bisa sang jodoh tersebut di tangan kita dan bersama kita. Kalo ndak ya, si jodoh tersebut tetap di tangan Tuhan kan?”

Wow bener-bener marem, mantep tuh wejangan. Luar biasa….

Menurutmu?

Sawangan, 19:03, 18Okt2014

August 29, 2014

Menilai


Kusebut diriku sudah bebas, kusebut diriku humble, kusebut diriku detachment, kusebut diriku pembangun yang mengembangkan, lho kok masih saja aku bersungut-sungut melihat penolakan dan kritikan?

Baru saja terjadi di restroom bersama Har temanku, saat ku sampaikan bahwa pembandingan 5 tahun terakhir ini, dimana tidak terjadi perkembangan, kok pada 8 bulan terakhir ini aku menyebut diri dituntut untuk mengadakan perubahan…  ge’er bener nih aku.

Sampai akhirnya kusampaikan pada sobatku, lha kalo nanti setelah dibuka semua, dan secara jujur, integrity dan kesatria, apa iya akan terjadi perubahan? Dan kalo memang upaya untuk perubahan dirasakan dan diinginkan tidak (akan) dilakukan, maka (dengan mutung) ku hapus semua dari pikiran dan mejaku….

Ha ha ha… ekstrim banget

Itu sih namanya minta dihargai, minta diperhatikan, minta diindahkan, minta dituruti, padahal apa yang terjadi jangan-jangan memang dirancang untuk demikian?

Bener juga sih.

Jangan-jangan perubahan itu hanya obsesiku semata, dan bukan demikian yang diinginkan bersama.
 
Jadi? Ya udah laaaah…..



Jakarta, 14:25; 29Aug2014

Bebas dari Keterkondisian

Dari tulisan Romo Sudrijanta tentang Libertas Cordis tertanggal 20 Agustus 2014. http://meditativestate.wordpress.com/2014/08/20/libertas-cordis/
…..Kearifan dalam memahami sifat batin yang terkondisi hanya mungkin muncul apabila terdapat kebebasan sepenuhnya. Kebebasan haruslah menjadi langkah pertama dalam melihat, mengamati, menyadari, memahami, atau mengeksplorasi. Mengamati dalam kebebasan, itulah langkah pertama, sekaligus langkah terakhir.
Kebebasan bukan berarti “bebas dari”, bukan “bebas dari emosi yang tidak stabil”, bukan “bebas dari pikiran dan nalar yang kacau”, bukan “bebas dari rasa salah dan kecewa”, bukan “bebas dari rasa jenuh, bosan, rasa lumpuh.” “Bebas dari” adalah sebentuk kebebasan yang terkondisi, kebebasan yang terbatas, sebagai reaksi dari kondisi-kondisi.
Melihat tulisan dari Romo Sudrijanta, tentang “bebas dari”, langsung terngiang dalam benak saya bahwa setiap mahluk akan pertama kali menemui hal ini, dan ingin mencapai jenis bebas ini. Yakni, “bebas dari”.  Hal ini terjadi karena pada tahapan ini, sang mahluk merasa dirinya pemula, bagi kondisi tersebut, sehingga hidupnya sangat tergantung hal lain, orang lain, pihak lain, kondisi eksternal dengan sangat dahsyat.  Ibarat kita pertama kali masuk sekolah, dan bingung karena semua serba baru, atau kita baru pindah tempat kerja, atau baru pindah rumah ke lokasi baru. 
Serba baru tersebut membuat kita perlu dan penting untuk “bebas dari” karena kita merasa sangat dependent.
Dengan berjalannya pendidikan yang kita sambut, terima dan pelajari, lalu kita menjadi terbebas dari tahap awal dengan melepaskan diri dari dependent menjadi independent.  Maka kita lanjutkan cuplikan dari tulisan Romo di atas…..

Kebebasan sepenuhnya juga bukan “bebas untuk”, bukan bebas untuk melakukan apa saja yang Anda inginkan atau bebas berkeinginan. Kalau Anda suka, Anda bebas untuk menyenangi apa yang Anda suka; kalau Anda tidak suka, Anda bebas untuk menolak atau membuang apa yang Anda tidak suka. Kebebasan seperti itu gampang mengarah pada penyimpangan-penyimpangan.
Banyak sekali orang diiming-iming dan tergoda untuk masuk dalam tahapan ini, karena merasa yang dipenuhi adalah “rintangan” yang kemarin, yakni bebas dari….
Jenis bebas dari ini lebih dikonotasikan oleh rasa yakin diri berada sebagai objek, sebagai korban, atau sebagai victim, pelengkap penderita. Sehingga hidupnya tergantung hal eksternal.  Kesuksesan, kebahagiaan, kesenangan, mood, juga sedih, benci, atau bingung, disorientasi, tergantung hal eksternal. 
Mereka ini percaya bahwa menjadi dependent karena pihak lain, dan untuk membalikkan keadaan adalah dengan mencapai kesuksesan, kebahagiaan, kenyamanan, adalah dengan cara meraih materi, hadiah uang, menang loterei; menjadi direktur, menjadi pejabat, menjadi penguasa dan menjadi apapun yang membuat orang/pihak atau apapun lalu, dirinya sengsara, terpojok dan kesulitan.  Ada unsur balas dendam….
Mereka merasa mandiri untuk (membalas) pihak, orang/hal ekternal yang sebelumnya membuat dirinya menderita dan tidak bahagia. Karena percaya bahwa bahagia sumbernya juga eksternal
Jadi tahap “kemandirian” dan merasa diri “bebas untuk” justru lebih berbahaya dan lebih ganas. Karena pada tahapan ini, ibarat anak TK pegang pisau dapur (yang gunanya untuk memasak), justru untuk menakut-nakuti orang lain, seperti ibunya, orang tuanya, gurunya, atau bahkan minta priviledge untuk memperoleh kemudahan, misalnya mengancam penjual es dungdung, untuk dapat membeli dengan gratis. 
Pada tahapan ini, keyakinan diri “bebas untuk”, menimbulkan feeling independent. Nah kalo independent diartikan sebagai bebas, sebagaimana kemerdekaan dari penjajah, dan ada ilustrasi sebagai berikut:
Seorang penumpang saat tahun 1946, naik kendaraan umum, dan ditagih bayaran karcis oleh kenek, justru menjawab:”lha wong sudah merdeka, kok disuruh membayar? Kalo masih membayar kan berarti seperti jaman Belanda kemarin?”
Kesewenang-wenangan akan timbul, bila penguasa, pemimpin, pejabat, petugas pemerintah serta direktur atau para pengurus pelaksana, justru melakukan tindakan abuse. Apalagi kalo ditambahi rasa mumpung, mumpung masih menjabat, mumpung masih punya fasilitas, mumpung dianggap oleh masyarakat dst dst…waduh bakal gawat tuh…
Nah oleh karenanya, akan semakin menarik sajian tulisan Romo di atas dilanjutkan dengan jenis kebebasan yang bertanggung jawab yakni kebebasan sepenuhnya, dan saling menghargai sehingga setiap pihak, setiap mahluk berpikir, berperilaku, bersikap dan bertindak karena memang tidak tergantung dari hal eksternal, melainkan karena justru roso yang sudah penuh berkat dari Gusti Allah, dan penghargaan atas Nya.
Jadi, dalam kebebasan sepenuhnya, tidak terdapat keterkondisian dan tidak terdapat penyimpangan-penyimpangan. Dalam kebebasan sepenuhnya, tidak terdapat motif untuk melenyapkan kotoran batin, untuk menyalahkan, untuk menilai atau untuk mengubah. Batin sepenuhnya diam, waspada, peka, stabil, tidak terguncang, tidak terusik. Batin seperti ini mampu bertindak secara benar dan tepat sasaran, tanpa penyimpangan-penyimpangan. Itu adalah gambaran batin yang sepenuhnya bebas, jiwa yang sepenuhnya bebas.
Maka jiwa dan batin ini akan menimbulkan mahluk yang interdependent. Saling menghargai, respect, saling bantu, juga saling dukung. Karena memang demikian adanya.  Bukan karena butuh, karena ingin sesuatu.  Bebas sepenuhnya yang interdependent.  
Monggo….


Jakarta, 29Aug2014; 13:30

July 17, 2014

Cermin


Dalam diskusi kemarin siang dengan sobatku, ternyata ada yang sampai hari ini masih tergiang di benakku. Bahkan dalam mimpi malam tadi sempat masuk dalam bawah sadarku dan terus menggangguku.

Cermin.  Itulah kata-kata yang tadi pagi begitu bangun langsung ku temukan.  Ya, cermin adalah suatu metafora sederhana kurasakan cukup mewakili gambaran ini. 

Betapa ternyata bincang dengan sobatku tersebut langsung kutemui bahwa rasa, sikap, tindakan, pemikiran ataupun pandangan dan komentar serta sanggahan yang disampaikan adalah cermin dari yang juga selama ini kulakukan, kutemui serta kurasakan sendiri.  Yang membedakan adalah waktu dan kadar saja. 

Jelas dong, lha wong jalanan yang sama saja, setiap hari dilalui oleh angin, debu serta kendaraan yang berbeda-beda. Lho kok beda? Kan tiap hari jalan itu kulalui? Mosok ndak memperhatikan, bahwa sekitar kita ini juga sudah berbeda kondisinya dalam setiap sepersekian detik. Walau jam dan waktunya serta tempatnya sama persis. 

Monggo bicarakan makro vs mikro. Jangka panjang vs jangka pendek. Dst dst dst…

Kembali pada perbincangan di atas, cermin itu adalah media atau apapun yang menjadikan satu hal reminder yang lain. 

Jadi kalo ada saat kita temui, kok ada sih orang marah-marah pada orang lain, sementara dia antri untuk masuk jalan sempit. Melihat orang lain pake sepeda motor (dan kitapun berkendaraan, baik pake motor maupun mobil atau sepeda), dan sudah mengantri, ternyata orang lain main seenaknya nyelonong ndak ngantri. 
Jadi yang terlihat adalah langsung tindakannya.  Hasilnya membuat dongkol kita atau siapapun yang melihatnya.
Eh…ditambah, ternyata ada lho yang memberikan jalan pada dia (yang nyelonong tadi). Makin dongkollah kita.  Maka secara ndak sadar, kita sudah memaki (baik dalam hati maupun langsung buka mulut…), langsung pencet klakson, langsung ikut nyelonong dst dst dst….

Apalagi di bulan puasa ini, bagi kita yang ikut puasa, kan sebenarnya sudah membatalkan ibadah kita sendiri….

Kembali lagi pada tema kita, cermin…. Kenapa sih kita langsung marah, apa kita sebenarnya kita marah karena hal tersebut tidak kita lakukan? Atau sebenarnya kita juga mau (ndak tertib dan ndak ikut aturan tersebut), terserah orang lain. This is my life….

Atau kita mempertanyakan, lha katanya saja konsensus, mesti antri kalo mau lancar, lha kok masih ada yang nyelonong. Atau kita berpikiran lain, misalnya hal yang lebih besar, ternyata di jalan ya hanya berlaku bagi orang yang sadar dan sabar saja. 

Aku belajar dari sobatku yang lain, ternyata contoh nyelonong, nyalib di tikungan yang membahayakan orang lain dst dst, adalah ya ndak apa-apa.  Lho kok begitu? Katanya, kan sebenarnya orang lain mau sak enaknya sendiri itu urusan dia. Bukan urusan kita. Bener juga sih. Lha nanti kalo ada yang celaka gimana? Lha kan itu kalo ada yang celaka, kan faktanya ndak ada. Ya sudah. Titik.

Sebentar-sebentar… lho kok enteng banget nih…

Dia jawab, lha bukannya hidup ini memang enteng aja. Kan kamu sendiri aja yang mbayangin lain-lain. Nanti bahaya lah, nanti celaka lah, dst dst dst. Risiko kan ditanggung sendiri. Dan mustinya menyesal itu ndak relevan. Cuma orang yang mau belajar ke dalam (diri)lah yang melakukannya. Mengendapkan. 

Betul juga sih….

Kembali ke tema cermin di atas. Ternyata hidupku, hidupmu, hidup kita, ya urusan sendiri, sendiri. Tanggung jawab, kewenangan, dipilih orang, disukai orang, dibenci orang, dinilai baik atau buruk, dianggap sampah oleh segelintir orang atau bahkan dicap jahat, sebagaimana yang dilakukan tentara Israel. Lha itu kan hidup mereka. Pilihan mereka. Mosok kita mau menyeragamkan semua orang, menyeragamkan kebutuhan dan pandangan serta keyakinan orang. 

Bukankah  semua keberagaman, ketidaksempurnaan, yang membuat indah dunia ini. 
Bukankah aturan, regulasi hukum dan budaya adalah bentuk konsensus kesepakatan kita si-aku yang bersedia (diartikan: memilih) hidup bersama dengan masyarakat, kelompok penduduk, sesama umat.  

Coba bayangkan, ibarat sepak bola, ndak diatur jumlah orang yang boleh main, posisi gawang, jumlah bola yang digunakan, ada yang boleh menendang, tapi karena pilihannya ada yang milih pake tangan, ada yang pake sepatu ada yang nyeker, dst dst dst. Apa ndak bubar itu permainan? Apa masih enak tontonan World Cup tersebut?

Monggo……


Jakarta, 11:45; 17Jul2014

July 10, 2014

Disiplin


Sejak Rabu minggu lalu, aku belajar dari anakku yang terkecil, yakni saat kutanyakan kapan dia akan merencanakan untuk lepas dari minum susu pake dot?

Selama ini selalu dijawabnya adalah, ya nanti aja waktu mulai masuk sekolah, nah, besoknya aku mulai ndak pake dot. 

Dan ternyata dengan segala ketidaknyamanan yang kita perhatikan sebagai orang tua, seringkali kita kasihan, sebab dot diminum saat dia sudah mulai mengantuk. Dan dengan minum dot, susu hangat, maka akan nyaman dan cepat tidur.  

Dan sejak Rabu malam minggu lalu, dia sudah membiasakan dengan minum susu hangat pake gelas.

Pernah, si-mbak-nya kasihan dan tanya (mungkin karena kasihan), jadi mau minum susu pake dot aja? Dan ternyata anakku itu menjawab, ndak mbak, kan sudah janji sama bapak minum pake gelas. 

Dan sudah berjalan seminggu lebih. Maka kelihatan sudah mulai terbiasa dan kita sengaja tidak menanyakan tetapi tiap kali dia minta susu dalam dot maka kita buatkan susu dalam gelas.  Dan kelihatannya lancar.  Mudah-mudahan. 

Sebagai orang tua melihat anak yang sedang belajar mandiri, belajar tidak tergantung pada kenyamanan, belajar merasakan hal baru, belajar mengalami hal lain yang pastinya ndak nyaman, ndak enak, apalagi minum susu menjadi sedikit, maka akan terlihat buanyaaaak konsekuensi lainnya. 

Mengingat banyak buku yang mengingatkan kita untuk selalu adaptif, selalu menerima tantangan tidak dengan menggerutu dan  bahkan mencari dan mentransformasi energi kita, seperti misalnya “Who move my cheese”, memang tidaklah mudah. 

Buktinya banyak dari kita, saya, anda dan siapapun juga menghindari hal yang tidak nyaman, hanya untuk keamanan sebentar saja. 

Hayooooo mosok ndak mau belajar dari anak kita sendiri?

Monggo….



Jakarta; 12:15; 10Jul2014

Anggaran


Ternyata untuk membuat dan mempersiapkan anggaran atau perencanaan kegiatan dan kebutuhan serta hasil finansial sedemikian membuat kita gamang dan khawatir. 

Saat mempersiapkan hal ini, kecenderungan kita adalah menampilkan :

  1. -          kegiatan sesedikit mungkin;
  2. -          hasil sebanyak mungkin, tetapi dengan detil seminimal mungkin;
  3. -          biaya ditampilkan sesedikit mungkin;

Ternyata secara psikologis, mau memberikan pesan bahwa kita sudah memiliki kegiatan yang pasti, dengan biaya sesedikit mungkin dengan harapan akan menghasilkan sebanyak mungkin. 

Dan lucunya, serta sudah sering terjadi, adalah bahwa kegiatan yang disampaikan saat membuat anggaran adalah kurang terperinci, detail, spesifik serta mendasarkan pada dukungan teknis, sehingga pada kenyataannya, justru kegiatan yang dapat berjalan di lapangan makin banyak, detil serta runut, bila hal ini ditujukan untuk memberikan hasil yang baik. 

Atau, justru bila dirasakan terlalu membahayakan hasil sebagaimana dianggarkan, maka pelaku akan mengurangi aktivitas sehingga hasilnyapun bukan sebagaimana yang direncanakan melainkan bahkan kurang dari yang dianggarkan. 


Banyak pelaku bingung, bila dihadapkan pada kondisi situasi yang membenturkan pilihan antara hasil yang dicapai atau biaya / effort / upaya yang musti dijalankan. 

Tetapi bila kita disiplin dengan kegiatan yang detil, terperinci serta bercermin dari kegiatan di lapangan yang ada, maka tidak semua kegiatan memiliki deviasi yang besar, hanya pada aktivitas yang memiliki tingkat ketidakpastian tinggi saja yang kita “lepas” untuk memberikan deviasi besar. 

Hal ini berlaku baik pada kegiatan utama (operasional) maupun kegiatan pendukung (support), sebab bila kita musti pilih dan pilah, maka penting untuk mendetilkan maksud, tujuan, juga makna dari kegiatan tersebut. 

Selesai melakukan pendetilan masing-masing kegiatan tersebut, maka selanjutnya perlu dihubungkan dengan perilaku masing-masing detil tadi terhubung. 

Kita musti sering melihat masuk ke dalam (detil) dan keluar (helicopter view) untuk memandang apakah kegiatan dan perencanaan kita sudah memiliki arah yang benar.  Seringkali kita hilang arah saat kita terlalu dalam terjun ke hal-hal detil (micromanagement), tetapi kita seringkali lepas kendali dan mentolerir dan tidak efisien saat kita terlalu macromanagement atau hanya melihat gambar besar. 

Bercermin dari kejadian ini, maka fleksibilitas kitalah yang memandu, selain common sense untuk merasakan apakah hal yang berjalan berarti sudah benar dan baik, sementara sebaliknya apakah hal yang kita rasakan tidak berjalan dapat selalu berarti detil atau hal-hal kecil komponennya sudah pasti tidak benar atau tidak baik juga?

Monggo……



Jakarta, 11:58; 10Jul2014

April 07, 2014

Ku ingin semuanya….


Meninpau apa yang dilakukan oleh panutan ku, membuat bulu kudukku bergidik.  Sempat kudengar bahwa dia sejak kecil yang kalo ditanya apakah yang dicita-citakan? Bila kakak-kakaknya ingin menjadi dokter, insinyur, atau sarjana pertanian, dia malah mengatakan ingin punya duit buanyaaak kayak Mamah.

Sejak awal kuikut dalam kelompoknya, sering dia katakan, bahwa suatu waktu nanti kita akan besar. Entah dari mana? Dalam prinsipnya, kalo orang lain mulai meninggalkan sesuatu biasanya karena sudah mulai ndak ada daya tarik dalam suatu itu. Tetapi justru menurutnya, di situlah letak “daya tariknya”.  Hidup tidak dilalui dengan aman, dan nyaman, melainkan kenyamanan akan kita dapat bila diperoleh dengan cara perjuangan, dan berjalan di “pinggir-pinggir” jurang.

Hidup musti memiliki plan B, C dan seterusnya. Sementara orang normal hanya mengharapkan terjadinya plan A, syukur-syukur Plan B juga.

Bekerja dan berkarya, musti dilakukan dengan hasrat yang besar. Passionate. All out, tetapi sekaligus bila terjadi hal yang sebaliknya, musti rela dan diikhlaskan. Be here now.

Respect pada para sesama, dan menghargai semua orang.  Don’t underestimate orang yang kita temui, jangan-jangan dia memiliki hal yang kita justru tidak miliki, dan bahkan hal tersebut sangat kita butuhkan. 

Tidak ada kawan dan lawan yang sejati, tetapi yang ada hanyalah kepentingan pada suatu waktu dan tempat.
Persisten dan konsisten. Nah ini hanya pernah kudengar tetapi tidak pernah disampaikan langsung padaku.

Trust atau yakin, hanya perlu didengar sekali, sebab bila ditanyakan berulang kali berarti kita tidak yakin. Dan hal ini akan menimbulkan ketidakpercayaan.  Menurutku, di sinilah letak yakin dan sekaligus keikhlasan.

Demikian sementara yang ingin saya sharing….



Jakarta; 16:07;7Apr2014

Malayang


Menjelang usia yang ke empat puluh tujuh tahun, membuatku sering berdiam diri dan merenung.  Pikiranku melayang-layang ndak karuan, kadang ingin terbang tinggi menembus awan, kali lain ingin menembus bumi dan menelusuri kegelapan…

Apakah ini suatu tanda atau suatu masa yang menentukan untuk masa yang lain. Bukankah keadaan seperti ini pernah kualami atau ini merupakan hal baru yang kulalui?

Beberapa hari menjelangku tidur malam untuk menyerahkan diri, jiwa dan pikiran pada Sang Khalik, kurebahkan tubuh, sambil kupejamkan mata, tetapi pikiranku ndak mau diam bersamaku. Melayang, melayang dan terus melayang…..

Gusti, apakah yang hendak kau sampaikan, hamba siap mendengarkan…..




Jakarta, 13:36; 7 April 2014

April 01, 2014

Perlu Bantuan


Pada suatu ketika aku ketemu dengan sobat lama, setelah ngobrol ngalur-ngidul maka sampailah dia menyampaikan, apa boleh minta tolong

Sebagai informasi, sobatku ini dulu sewaktu SMP sama-sama main.  Bila ditanya apa cukup dekat, ya. Tetapi apakah masuk dalam kategori sangat dekat, jawabnya adalah tidak.

Masing-masing dari kita pernah mengalami masa sulit dalam berkeluarga maupun sebelum selama masa lajang.  Baik karena hal yang berhubungan dengan komunikasi, keuangan keluarga, spiritualitasseksualitas, mendidik anak serta bagaimana memfasilitasi ego kita dan minat kita yang belum tentu sama dengan anggota keluarga lain terutama pasangan kita.

Kembali ke pokok pembicaraan di atas, apakah kita perlu, harus atau selayaknya membantu sobat atau orang yang memerlukan bantuan?

Bila dijawab secara lisan, maka jawabnya adalah perlu atau boleh juga sih…

Nah begitu kita memperoleh informasi tentangnya, maka terjadilah bentrok antara pentingnya membantu dan dihadapkan dengan sikap yang berbeda dengan nilai atau value kita dalam menghadapi hidup yang dinamis ini.

Sebut aja contoh, untuk yang pertama, bila kita mendengar teman kita memerlukan bantuan karena menderita penyakit yang sudah regular memerlukan cuci darah, maka bila kita memiliki sedikit dana yang belum teralokasi, maka tentu akan dengan sukarela dan langsung membantu.

Kedua, bila ketemu teman yang sedang tidak bekerja, tentu dengan akses kita akan mencarikan akses untuk bekerja. Tetapi bila teman ini meminta dana saja untuk menutup hidup sehari-hari. Maukah kita langsung memberi dana ini?

Untuk pertanyaan kedua, ada beberapa pandangan, bila saya ingat cerita almarhum bapak dulu sewaktu kecil, beliau pernah menyampaikan bahwa kalau membantu orang tentu akan lebih berguna bila kita memberikan kail dibandingkan dengan memberikan ikan saja.

Tetapi bila dihadapkan informasi di atas, maka yang saya hadapi adalah sobat tersebut lebih memilih minta dana saja.  Ditambah informasi, bahwa pernah ada beberapa kawan yang membantu memberikan akses untuk bekerja tetapi respons dari counter party kita ternyata sang sobat ini justru tidak optimal, tidak betah juga tidak all out.

Jadi kembali pada topik kita di atas, akankah kita membantu?

Monggo…..



Jakarta, 15:33; 1Apr2014

March 25, 2014

Kenapa Sih….


Pengalaman hari Senin kemarin yang demikian penuh, dinamis serta excited untuk dilakukan ternyata menyisakan rasa yang kosong di hati dan jiwa.

Saat malam menemui anak-anak serta istriku. Masih terasa kegairahan, keriaan serta excitement tersebut. Sampai pada saat kumulai ingin beristirahat. 

Kenapa ya? Kok kosong, kok ada yang hilang, kok aneh, kok begini aja?

Menghitung jalan yang kutapaki berkurang 24 jam lagi, terasa begitu berat, jauh, dan menanjak.  Adakah aku bersamaNya, di sini? Adakah aku bersamaNya di sisiku? Atau aku hanya sendirian?

…………………………

Pagi ini kubaca lagi buku karangan Jim Conway, Men in Midlife Crisis. Maka timbullah pertanyaan, adakah ini yang membuatku begini? Kusempatkan melakukan olah raga pagi selama 45 menitan. Keringat bercucuran, basah, lepas, tetapi kok rasa itu masih ada?

Sempat ku starter kedua klangenanku, WuLi dan DoGol. Wuih menggetarkan hati. Rasanya ada sesuatu di sana….


Ya Tuhan….. ku tau Engkau lah Sang Maha SegalaNya




Jakarta, 9:45; 25Mar2014

March 21, 2014

Tampil Muda


Bahasa Inggrisnya to look younger.  Ternyata hal ini demikian menggoda banyak orang.  Dengan membaca judulnya saja, aku sempat tergelitik untuk menerapkannya padaku. 

Apakah aku ingin tampil muda? Kelihatan muda? Berjiwa muda atau berpikir gaya anak muda? Atau kalo pertanyaannya dibalik, apa aku takut kelihatan tua? Kenapa ndak mau kelihatan tua? Yang ndak disukai atau dijadikan label, cap atau julukan, ini karena tampilan kita atau gaya style kita atau cara berpikir kita?

Ada yang bilang kalo kita bergaul terus di kalangan generasi, anak-anak muda atau bahkan SMA atau kuliahan, maka kita akan awet muda. Apa iya begitu?

Jadi ingat kejadian di anakku yang remaja, dia malah ingin kelihatan dituakan dari umurnya, tapi sekaligus ingin tetap menikmati “rasa” juniornya dengan bisa tampil atau diajak-ajak dalam event “dewasa” adult juga dalam acara-acara resmi penting.

Nah jadi kembali pada topik di atas. Bagaimana sih maunya?

Kelihatan muda (istilah kelihatan ini lebih relatif dibandingkan dengan tampil muda), bahkan menjadi trending topic belakang yang semakin meningkat bahkan sejak akhir tahun 2000-an.  Bahkan klinik-klinik anti aging menjamur, bedah kosmetik, serta fashion serta gymnasium juga klub kebugaran dan juga klub yoga menangguk banyak peminat, pelanggan juga pembeli. 

Sementara topik muda kan mustinya bukan hanya tampilan, tapi juga cara berpikir, pengelolaan hati serta jiwa yang terus ingin belajar dan tetap merasa hijau yang selayaknya menjadi perhatian dan acuan

Stres dan Proses

Apa sih hubungannya.  Beberapa buku, bacaan serta hasil perbincangan dengan sahabat menunjuk bahwa sejak proses industrialisasi, lalu terus ke mudahnya komunikasi serta teknologi dengan gadget dan internet telah membuat informasi membanjir. Cepatnya informasi tersaji, mudahnya diperoleh, serta “rasa” kebanjiran membuat banyak orang merasa kebanjiran, dan tidak kuasa memilih dan memilah.  Seolah semua menjadi prioritas, semua penting (ingat tulisan saya sebelumnya tentang hal “PENTING”) .  Feel helpless.  Lho?

Gejala serba cepat, mengundang perubahan perilaku orang menjadi serba instant.  Jadi ingat motto Olimpiade, Citius, Altius dan Fortius, yang diterjemahkan secara bebas, lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat. 

Bila dihubungkan dengan perubahan pola perilaku yang serba instan tersebut di atas, maka ibarat pembandingan dengan hal lain, orang lain, pihak lain, atau banding dirinya sendiri tapi dalam tempo singkat. Nah…. Ini baru menimbulkan stres, sebab kalo ndak tercapai (dalam waktu singkat) maka tidak dapat bersaing. Lho kok begitu?

Lha kembali pada keinginannya adalah serba lebih dari yang lain, tetapi dicapai secara singkat, maka ini yang justru ada perbenturan antara harapan dan kenyataan.

Sebab kebiasaan saat ini, justru semakin kurang dan semakin meninggalkan penghargaan terhadap proses, perlu waktu, perlu persiapan dan seterusnya.  Lha wong bayi aja untuk lahir butuh 9 bulan di kandungan, juga bayi untuk bisa berjalan saja, butuh proses merangkak dan seterusnya.

Muda

Kembali ke penampilan muda, segar, fokus, ndak mudah capek, juga siap dalam menghadapi di bermacam kejadian hidup, kok kelihatannya bukan soal penampilan, tetapi juga pikiran dan mental untuk tetap hijau, tetap mau belajar, mau menyesuaikan diri juga open mind, dan ndak grusa-grusu. Nah jenis ini yang justru ada saat muda, sebab didorong oleh sikap agresif dan sembrono, ndak punya rasa takut.

Kok rasa takut? Mohon tidak disalah-artikan sebagai rasa takut karena hal yang tidak diketahui melainkan karena rasa penghargaan melukai orang lain atau pihak lain secara sengaja.

Monggo siapa mau?



Jakarta, 12:33; 21Mar2014 

March 10, 2014

Mencari salah atau memberikan berkah?


Sejak kesetrum tadi pagi, dimana sejak bangun pagi aku memutuskan untuk mulai melakukan reset pikiranku, dan melakukan permenungan dalam diam, ternyata mulai membuahkan hasil.  Hidupku menjadi lebih kalem, tenang, decisive, enak ambil keputusan, juga bisa hitam putih melihat “perjalanan” hidup. 

Ndak berapa lama ini, sobat kerjaku masuk bilik kerjaku dan sharing, progress. Lalu bincang-bincang “what next”? ternyata ndak usah terlalu lama, kalo hidup ini menunggu ya ndak kemana-mana, lalu kuputuskan saran untuk melakukan presentasi, dengan agenda lalu memasukkan beberapa sub agenda tentang bagaimana kejadian (baca: loop atau lubang) lalu ini bisa terjadi. 

Setelah sobat tadi meninggalkanku. Baru ku sadari bahwa kok ternyata selama ini yang terlihat adalah hanya “gap” antara yang terjadi dan yang “seharus”nya atau yang kita pikir benar.  Nah kalo sudah disampaikan, apakah hal ini ndak malah membuat pihak lain kebakaran jenggot? Pengalaman ku, sangat jarang orang lain akan menerima dan mengapresiasi perkataan kita. Lha wong yang disampaikan adalah “kekurangan” yang gap tadi…

Menarik untuk ditelusuri, kembali pada tulisan ku beberapa waktu lalu, ternyata hidup ini dijalankan sesuai dengan yang kita pelajari, terserah apa hal itu kita intensi-kan atau kita lakukan dengan otomatis ndak sadar.  Nah lho, lha kalo kita jalankan hidup ini dengan ndak sadar, pantes kan kalo kita suka kaget-kaget terhadap kejadian yang kita alami.  Ndak kalo kaget mulai menyalahkan orang lain karena kita merasa benar, padahal kita ndak sadar melakukannya.

Kembali pada topik semula, akankah kita “mencari-cari” lobang kesalahan untuk alasan efisiensi, atau kemajuan atau progress juga ekspansi atau kita justru sharing membincangkan perbedaan guna saling respek dan menghargai. Lalu dilanjut dengan apa yang menjadi tugas kita, yang tentunya didasari intensi baik di semua pihak. 

Monggo….


Jakarta; 10:21; 10Mar2014

Ndak tau deh


Saat ini yang kurasakan adalah ingin mencari yang ndak ada di hatiku, ndak ada di rasa ku, ndak ada di milikku.  Sebab semua yang ndak itu terasa sangat seru, sangat asing, sangat ndak tau, tapi kok menarik untuk dijajaki.

Sempat kunamai keadaan diriku ini adalah Si Pemburu. Yakni orang yang baru merasa terpenuhi saat menembak dan mengambilnya.  Seru saat mengikuti, memantau, memonitor, juga mengintip target buruan, tetapi beberapa saat begitu memperolehnya “langsung” terasa hambar, tawar, hampa, nol besar.

Membaca beberapa buku tentang ini dan berbincang dengan beberapa sahabat yang telah mengalaminya, ternyata salah satunya adalah betapa kita perlu menggali dalam diri kita apa yang sudah ada atau memang telah ada tetapi kita tidak pernah kunjungi.  Hal ini sampai pada saat orang lain “meminta”nya dari kita atau sampai saat kita misalnya (amit-amit) sakit, ternyata membuktikan kita masih punya hal itu. 

Sebagai contoh, saat kemarin anakku kedua, mengatakan, pak, mas mau bawa kameranya ke Bandung, kan bapak sudah lama ndak pake. Mustinya kalo ada yang mau pake, mas kan boleh ya pak? Lho ternyata si kamera tersebut ada di sudut berdebu, dan masih bisa dipake untuk motret, bahkan kata anakku, itu kan lebih canggih dari yang satunya bahkan bisa buat bikin film pak. Ini lebih bagus daripada motret pake Ip*one. Lebih elegan pak, kalo ada acara kalo pake kamera ini. He he he

Cetaaaaaarrrrrr, rasanya dipecut aku mendengar anakku demikian tadi.  Ternyata masih ada dan bisa dipake anakku sendiri…

Minggu lalu, hari Selasa saatku ke dokter, dan menyampaikan hasil lab darah, ternyata trigliserida ku adalah 880.  Menurut dokter, lho itu kan bagus, berarti indikator (milik) kamu masih bagus, kamu masih bisa sakit kepala, yang berarti kamu masih punya kepala dan masih menunjukkan fungsinya dengan baik.  Itu aja yang kelihatan.

Kemarin saat ku ikut istri acara kumpul keluarga besar, Om ku banyak bercerita, banyak memberi saran. Bahkan anakku yang sudah kuliah ini diceramahinya. Awalnya aku sangat terganggu, sangat terintimidasi, tetapi ku pendam semua dalam hati. Dan saat kusampaikan ke istri, betul sekali, dia memadamkan “keruwetan” ini dengan menyampaikan, lho kan itu bagus berarti kamu masih punya perasaan. Coba kalo sudah ndak punya, ya ndak terasa apa-apa.  Nah kan……

Menarik kan untuk ditelusur lebih jauh….

Monggo



Jakarta, 08:59; 10Mar2014

Pencarian



Sudah hampir dua minggu aku merasa aneh, marah, ngedumel, mengeluh, mengesah, ndak sabar, kesel, sebel, benci, terpojok, dipental’in, di-pingpong, dikerjain, dibiarin, disuruh-suruh, tapi juga ditabrakin tembok. 

Awalnya kukira hal ini karena apa yang aku rasakan berasal dari luar ku, malah pada minggu pertama distraction, aku ndak mau olah raga, jadi dalam satu minggu tujuh hari itu, hanya kulakukan satu kali, pelarianku ke makan. Sampai pada puncaknya suatu malam setelah misa kami sekeluarga makan di restoran padang dan kumakan apa yang kuingin makan. Saat itu ndak terasa. 

Turning point terjadi esok harinya, hari senin minggu lalu pas pagi, dimana begitu bangun pagi, ku terasa semangat dan melakukan olah raga jogging lebih kurang lima puluh tiga menit. Badan segar, pikiran segar, excitement terasa dalam auraku. Menyebar, menyeruak, menyembul kemana-mana sampai pada makan pagi, masih basah kuyup oleh keringat, dan setelah makan untuk memperoleh hasil yang optimal, kuminum fat burner. Nah ini……..

Masih sempat ku mampir ke bank sebelum kantor, juga sesampai di kantor, masih terasa badan dan tenggorokan panas serta kering. Kupikir hanya karena sport yang memeras keringat, sehingga kebutuhan air begitu besar.  Akhirnya sakit kepala dan tekanan darah yang naik cukup tinggi. Yang pada gilirannya membuat pentingnya bedrest dan mengurangi serta mengelola makanan asupan badan ini. 

Pada sabtu minggu kemarin, setelah beberapa hari mulai pemulihan, kurasakan kembali apa yang terjadi hampir dua minggu lalu, dan tetap menyeruap menyembul keluar…. Apa sih yang sedang kucari? Kok segitunya membuatku terhuyung-huyung kena tinju?

Beruntungku punya pasangan pacarku selalu, istriku tercinta. Juga di sampingku anak-anakku yang tetap ada dan berkenan berbincang denganku. Kelihatannya ini merupakan buah Berkah Gusti Allah, yang selama ini kucari. Diperkenankanlah mewujud di sekitarku.  Padahal itu semua sudah ada dalam ku, melekat dalam ku, menyertaiku selalu. Kok musti kucari keluar, di luar, dan bahkan di “kebendaan” di luar ku. Nuwun sewu mohon maaf Gusti, maafkan ku terus melakukan ini…..

Membaca karya Osho, salah satu spiritualist yang ndak bosan membagikan berkah Gusti, melalui tulisan-tulisannya, “Twenty Difficult Things to Accomplish in this World”.  Atau terjemahan bebasnya, ada dua puluh hal yang sulit dicapai di dunia ini.  Ndak usah baca keduapuluh hal tersebut, baru membaca dan meresapkan yang pertama saja sudah serasa kena tendang dan dipukul pake bangku bakso kayu. Nah lho, yang begini ini……

Pertama, It is difficult for the poor to practice charity. Yang diterjemahkan bebas, Sulit bagi orang miskin untuk membagi sesuatu.  Nah lho. Belum-belum kita sudah membayangkan, waduh orang miskin kok disuruh (diminta) untuk berbagi? Lha wong yang ada padanya aja kurang. Sebentar-sebentar, jangan-jangan, ini miskin yang lain maksudnya…..

Demikian secuplik kalimat yang “cukup nendang”…  Hidup ini bukanlah digambarkan sebagai jalan yang melimpah bunga, mewangi, indah dan seterusnya.  Hidup ini sulit, kompleks.  Jadi memang sangat langka untuk tetap hidup dengan roso yang “penuh” setiap waktu.  Mewujud lahir di dunia adalah satu hal, tetapi tetap “hidup” menjalani kehidupan ini, nah ini hal lainnya.  Sebab mewujud lahiriah ini adalah badani, tetapi “tetap hidup” adalah dimensi yang benar-benar-benar berbeda, sebab ini sudah masuk dalam kancah spiritualitas.  Betul, bahwa “berpindah” dari badaniah ke spiritualitas adalah sulit.  Penuh tantangan di sini.  Perlu loncatan yang luar biasa.  ……

Osho menyampaikan pula, …ada terdapat dua puluh puncak Himalaya yang menantang anda, ini adalah undangan besar untuk anda.  Jangan menetap di lembah (subur) yang aman, nyaman. Anda tidak akan bertumbuh, tetapi (hanya) bertambah tua. 

Kembali pada Hal Pertama menurut Osho. Bagaimana kita akan membagi lha wong kita sendiri miskin? Sebentar, jangan terintimidasi dulu, yang dimaksud miskin di sini bukan hanya harta, tahta dst….  Sebab katanya, … jika kita tidak memilikinya, ya jelas ndak dapat membagi dong… Untuk membagi pada yang lain, pertama-tama, anda musti memilikinya. 

Lanjutnya, …saya melihat demikian banyak orang mencoba membagi cintanya kasihnya, dan mereka tidak memiliki cinta.  Karena yang ada padanya adalah kesulitan, keluhan, maka yang mereka bagi adalah kesulitan, kesusahan, dan keluhan akan beratnya hidup saja.  Pada saat berbincang, silaturahmi, coba ingat kembali, apa yang anda bincangkan? Anda pikir sudah berbagi cinta, tetapi yang anda bincangkan adalah kesusahan, kesulitan, keluhan. Nah ini apa yang dimaksud dengan cinta?

Untuk dapat membagi cinta, kasih, anda musti pertama-tama merasakan energi cinta tersebut.  Cinta tumbuh dari “dalam” diri. Cinta tidak tumbuh dari luar.  Kalo dari luar itu bukan cinta, melainkan pamrih, jual-beli, dagang, itung-itungan. Energi cinta, akan menyeruak keluar, luber, menyebar, menular, yang bahkan anda sendiri tidak dapat menahannya untuk tidak berbagi.  Energi cinta tidak itung-itungan, misalnya, bagaimana kalo orang itu menolaknya, bagaimana kalo dia justru meninggalkan saya, dst.

Cinta tidak terbendung. Kasih tidak memilih, energi kasihlah yang menyembur semua yang ada di sekitar kita.

Nah kembali pada pernyataan Osho, bagaimana kita mau berbagi kalo ndak memiliki kasih dan cinta?

Anda punya kasih dan cinta? Atau yang anda punya adalah kesusahan, kesulitan, pamrih? Mosok hal ini yang dibagi? Lha wong ini aja deficit (of love) kok mau berbagi?  

Monggo….


Jakarta, 07:07; 10Mar2014