March 14, 2012

This too will pass

Ungkapan yang diterjemahkan secara bebas: hal inipun akan berlalu.....

Saran ini begitu sederhana, tetapi kalau kita sedang dalam hati bahagia, senang, dan gembira, biasanya saran ini akan menguap dengan cepat bahkan tidak ada bekasnya. Sebab bila kita dalam keadaan gembira, inginnya berada selama mungkin. Malah diharapkan janganlah segera berlalu...

Jadi ingat sebuah lagu Kemesraan, dalam baitnya: ....kemesraan ini janganlah cepat berlalu....

Nah, berbeda keadaannya bila kita dalam keadaan sedih, kecewa, bahkan tertimpa musibah atau kemalangan, justru saran ini menjadi "obat yang manjur lan mujarab". Moga-moga dengan berjalannya waktu segera berlalu deh.... syukur-syukur makin cepat makin baik.

Nah rekan tercinta, ternyata selama kita hidup di dunia yang serba fana ini, saran tersebut sebaiknya diterima dan diterapkan agar kita tidak berlama-lama di suatu tempat, suatu waktu, untuk menikmati atau menyesali.

Kalau senang/bahagia, ya segera akan kembali normal; demikian juga bila bila hati sedih/merana, ya sbentar akan kembali normal juga.

Ibarat bandul, akan bergerak kiri kanan, tetapi akan mengarah ke tengah jua. semakin ringan swing-nya maka akan semakin mudah tertiup berlanjut terombang-ambing. Tetapi bila makin berat "bandul"nya. maka akan segera untuk kembali ke titik seimbang di tengah.

Jadi.....mana yang akan dipilih? memiliki bandul ringan atau berat?

Ingat Eyang di Ngawi dulu, sering mengatakan, ....nyebut, eling...lan waspodo. Bukankah itu berarti memilih untuk menggunakan bandul yang berat dan segera seimbang....

Monggo........

Jakarta 14:44 14Mar2012

Cinta

"Cinta harus lebih diwujudkan dalam perbuatan daripada diungkapkan dalam kata-kata" (St Ignatius Loyola)

Demikian kalimat ini begitu menggugah hati dan pikiran saya. Adakah hal tersebut juga menggetarkan anda?

Cinta merupakan hal yang indah, sakral, bahkan cenderung satu arah. Kita menyayangi seseorang apakah juga sekaligus mencintainya? Bila secara bodo2an dianggap bahwa mencintai sama dengan menyayangi, maka saya ingin membongkar pernyataan tersebut dengan ilustrasi di bawah ini.

Saat saya naksir seseorang pada zaman SMP dulu, apa iya rasa itu disebut cinta? Milhatnya saja sudah "ser" berjuta rasanya. Bertemu, berbincang, apalagi. Wuih, ndak terperkirakan rasanya. Nah tetapi saat dia mengenakan pakaian atau dandanan lain dari biasanya dan tidak tampak cute, langsung saja ilang feeling nih....
Lho kok jadinya kita suka (yang diterjemahkan oleh kita sebagai naksir = cinta) tapi musti sesuai dengan "mau" kita.... Nah apa iya, cinta itu jenis ini...

Kedua, saat mulai naksir dan rasa "ser" sewaktu di kuliah, ternyata hampir mirip dengan rasa sewaktu SMP, tetapi ada perubahan sedikit. sewaktu si dia bertindak, berdandan, berpikiran dan bahkan mendiamkan kita, tetapi rasa yang di dada ini tetap sama. Bahkan, dengan sok tau, malah saya tetap "mengejar"nya dan ingin berpacaran bahkan sampai melamarnya ke pelaminan sampai dengan sekarang. Mulai terjadi dua arah, saling respect, saling belajar, saling mensupport....

Nah belakangan, sesudah kami menikah dan memiliki berkah putra dan putri, berjumlah 3 anak, ternyata, rasa itu juga berkembang. Bahkan rasa saling support untuk "melepaskannya" berkembang lebih jauh menjadi semakin besar. Karena kami semakin percaya bahwa hati kami satu, tapi tetap ada privacy masing-masing yang perlu dikembangkan, walau "ladangnya" berbeda.

Terima kasih Gusti, telah memberikan berkah karunia yang maha Agung ini. Sehingga rasa cinta kami tetap berkembang, dan dapat dirasakan tidak hanya pada pasangan, anak-anak buah hati kami, tetapi juga pada orang yang kami temui. Tuhan memberkati selalu. Amin.

Jakarta 14:30 14Mar2012





March 13, 2012

Menghargai

Hal menghargai..... Orang sana suka menyebutnya respect.

Menarik untuk ditelusuri, tadi pagi sewaktu selesai mencium putri kecilku untuk pamit mau berangkat sekolah. Tak terasa, trenyuh di hati ini... Sudah besar dia mau menyambut ilmu di sekolah TK B.

Ingat sewaktu masih di Surabaya lalu, dimana saya masih ditunggui Ibu selama jam sekolah. Beliau menunggu di luar pagar. Memastikan janjinya pada ku sewaktu mengantar di pintu untuk berbaris masuk kelas, dan memastikan Ibu ada sewaktu saya keluar kelas.

Bahkan saat aku di dalam kelas, dan terasa panjang waktu belajar, aku sudah melirik dan melihat-lihat jendela, siapa tau ibu sudah terlihat di sana. Kalo pandangan sudah melihatnya lalu senyumku melebar.....wuih.....

Saatku besar, bagaimana bisa menghargai ibu adalah hal yang sedemikian menantang... Ibu, sebagaimana orang tua pada umumnya sudah ndak mengikuti jaman, bahkan handphone, komputer, atau sejenisnya teknologi....

Awal bekerjaku, sampai beberapa tahun awal, luar biasa sulitnya. Tetapi dengan berjalannya waktu, dan mulaiku berumahtangga, ternyata menghargai atau respect atas tindakan, pemikiran, kebijakan ibu dan bapak tentunya semakin saya pahami. Matur nuwun Gusti atas berkah yang ada ini.

Ternyata mendidik anak membutuhkan iman, kepercayaan serta doa di dalam tindakan kita. Dan benar adanya bahwa orang tua mencurahkan seluruh jiwa dan raga untuk hidupnya keluarga muda dan kecil ini.

Sehingga diberjalannya waktu, menghargai menjadi menyatu dalam diri dan jiwa ini. Terima kasih ibu, terima kasih bapak dan terima kasihku pada semua orang tua yang mendampingi ku dan kami selama ini.

Jalan masih panjang, penting dan perlu untuk melihatnya secara hidup (dengan fighting spirit). Ora et labora....

Amin

Jakarta 10:11 13Mar2012

Iman

iman [n] adalah (1) kepercayaan (yg berkenaan dng agama); keyakinan dan kepercayaan kpd Allah, nabi, kitab, dsb: -- tidak akan bertentangan dng ilmu; (2) ketetapan hati; keteguhan batin; keseimbangan batin
Referensi: http://kamusbahasaindonesia.org/iman#ixzz1oxXuKnB2

Kata ini sedemikian mengiang di telinga saya sejak pagi ini. Sejak peristiwa besar minggu lalu dengan meninggalnya ibu tercinta, saya agak goyah dalam hati dan jiwa ini. Adakah memang Tuhan menghendaki atau memang sudah selayaknya terjadi?

Ada beda terasa, kepergian ibu bila dibandingkan dengan kepergian bapak di tahun 2007. Bukannya untuk membandingkan mana yang lebih saya sayangi dan cintai sepenuh hati. Ternyata "sakit" di dada, rahang, serta kepala sebelah atas agak berbeda.

Kepergian ibu, serta merta membuat semuanya terlihat hitam, kelam, beranjak mulai abu-abu dan saat ini agak blur...

Terasa terbang lebih tinggi (dengan rasa ndak mau mendarat--mungkin belum sekarang...). Pijakan terasa rentan dan gamang.

Saat menerima ucapan bela sungkawa, apalagi dengan sambungan kalimat,"dikuatkan hatimu dan direlakan kepergiannya ya..." Lho kok seakan mudah untuk diucapkan tapi sulit untuk dilakukan (untuk saat ini). Bukannya menggerutu berkepanjangan, memang rasanya bukan basa-basi. Ibarat kena pukul, tetapi tangan si-pemukul masih menempel di pipi. (sewaktu kecil sempat saya rasakan kena pukul Jimmy teman bermain saya...)

Kembali pada rasa dan roso tadi pagi... Apa iya saya sudah ndak punya iman sehingga saat mengalaminya terasa goyah? Apa iya saya sudah tidak percaya Tuhan bahwa Beliau mendampingi bahkan membopong saya dipanggulNya? Apa iya kalo goyah berarti saya sudah tidak percaya pada sabdaNya?

Dalam hati kecil memang terdengar suara lembut namun tegas,"Saya percaya, dan pasti hal ini memberikan hikmah"

Gusti Allah yang memberikan, Gusti Allah juga yang mengambilNya. Apa iya kita ndak percaya bahwa pasti yang diperkenankanNya itu yang terbaik untuk kita? (dalam hal ini saya?)

Matur nuwun Gusti... Kulo badhe nderek mawon.

Jakarta 9:31 12Mar2012

March 10, 2012

Bekal

Bekal atau sangu atau apapun yang dapat dibawa saat perjalanan. Dapat dikategorikan penting atau tidak penting. Tergantung bagaimana kita menyikapinya.

Antara lain pertimbangannya, kemana kita akan menuju? berapa lama? Dengan siapa? Untuk tujuan apa?

Bila kita anggap perlu atau penting maka akan kita persiapkan sedetil terperinci mungkin. Tapi bila mendadak, apapun dan bagaimanapun jadilah.

Nah kalo kepergian ini sehubungan dengan mengantar keluarga untuk ke pesarean terakhir? Ya apa aja dan bagaimana aja, jadilah.... Dibuat ringan, enteng dan mantap saja.

Ada atasan saya yang selalu travel light. Dia selalu katakan, yang penting hati mantap, badan siap jadilah. Bahkan kalo persediaan pakaian dalam dan pakaian luar kurang, beli saja. Wuih... Can't imagine kan?

Hal tersebut di atas bila dikaitkan dengan persiapan "luar", nah kalo persiapan "dalam"?
Itu dia masalahnya...

Sekarang timbul pertanyaan, kalo Gusti Allah memanggil atau menugaskan kita,"yuk sudah waktunya...monggo kembali..."

Apa iya kita sudah siap badan dan mantap hati...

Just sharing....monggo...

Losarang 03.45 10Mar2012

Ibu

Ibu, demikian biasa dipanggil, tapi panggilan saya padanya adalah Idul, kepanjangan Idul Lendut (bahasa manja ibuku yg gendut).

Beliau ndak marah, malah risih, sebab dengan memanggil demikian biasanya saya cubit2 lengannya yang gendut. Menggemaskan.

Ibu senang, tapi beliau selalu bilang, hush...risih...mosok kowe ndak isin sudah gede nggelendot ibumu ini...(Terjemahan bebasnya: hush...malu, masakan kamu ndak malu sudah besar masih peluk2 ibu...)

Jawabku, "biar wong ini ibuku sendiri"

Dan ibu selalu senyum dan ketawa.

Sekarang kejadian2 ini hanya kenangan yang indah...

Jadi ingat suatu kali semasa kecil ibu bercerita,

Konon ada kejadian seorang anak menangis terus terisak2 di lapangan kota. Dia berteriak minta ketemu ibunya,
Setiap orang bertanya,"seperti apa ciri2 ibumu?"
Si anak menjawab,"ibuku adalah orang tercantik di dunia."
Lalu secara bergantian datang orang membawa perempuan cantik sampai ratu di kerajaan tersebut.
Jawab si anak,"ndak ndak mirip, ibuku lebih cantik dan paling baik se dunia."
Lha sang Ratu saja sudah paling cantik, lalu seperti apa kira2 ibu si anak tersebut...
Ndak berapa lama, ada seorang perempuan tergopoh2 menemui si anak, katanya,"Nak, kamu dari mana saja...ibu cari2."
Tertegunlah orang2 yg berkumpul.
Dengan bangganya si anak menceritakan,"ini ibuku yang paling cantik dan paling baik sedunia...."
Sebagai informasi, ibu si anak tersebut, pendek, agak gemuk dan berkulit agak gelap. Tapi sangat sayang pada anaknya itu. Demikian si anak sangat sayang pada ibu tersebut.

Jadi....

Solobalapan 14.30 9Mar2012

Kosong

Pada saat anakku Laras di rumah sakit untuk diopname karena dehidrasi, saya pikir ini karena Gusti Allah sedang bercanda.

Sebagai pemula pelajar yang baru mempelajari apa arti kelekatan pada duniawi, saya pikir mungkin ini kesempatan saya berikhtiar, berupaya sekaligus berdoa dengan beriman padaNya.
Saat baru dekat2nya dengan cantik kecilku, tiba2 diperkenankan oleh Gusti untuk diminta dirawat... Mana ada orangtua yang tega melihat anaknya sakit... Kalaupun ada, yang demikian tega, setidaknya kami ndak begitu.

Eh ternyata "bercandaan" Gusti belum selesai, saat Laras baru sampai rumah, belum 1 jam kami di rumah, mendengar kabar ibu masuk UGD yang diteruskan opname di ICU dan makin "dalam" saat ibu akhirnya meninggal kemarin sore.

Wuih...kosong rasa jiwa ini.. Kelekatan ternyata juga berupa kedekatan dalam hubungan...

Coba rekan sekalian, bayangkan, mana mungkin (baca: bisa) kita melepaskan ibu atau orang tua yang selama ini begitu dekat.

Banyak sms dan BBM menyarankan mohon diiklaskan... Saran yang luar biasa tapi begitu sulit untuk saat ini.

Merasa kosong kok musti dibilang merasa sudah penuh... Apa iya bisa....? Sementara ini, saya bilang bisa pada saatnya nanti...

Demikian dulu ya... Ndak terasa ada air mata mulai membasahi mata..

Keluar Kertosono 14.12 9Mar2012

Kembali atau Pulang?

Dalam perjalanan pulang dari pemakaman almarhum ibunda terasa berat di dada. Kepala mulai dipenuhi kenangan yang ndak hendak segera hilang jua.

Ndak tau mau disebut apa? Untuk ibunda menyebutnya pulang kepangkuan ibu pertiwi dan menghadap Gusti Allah Sang Pencipta. Tapi untuk saya menyebutnya pulang ya ke Jakarta, tempat tinggal. Atau lebih sering disebut kembali ke Jakarta.

Jadi ingat sepenggal lagu Koes Plus,....ke Jakarta aku kan kembali....

Kalau main yoyo, setiap dilempar dengan tali akan mental kembali ke tangan si pelempar.

Ada saat pulang itu menggembiraan, ada saat kembali pulang ini sedih. Saya ndak tau saat ini apa yang dirasakan. Semuanya ada kumplit. Sedih, tertinggal, senang, bahagia...

Bahkan ada tambahan janji untuk menjadi pribadi dan jiwa yang lebih baik (matang, dewasa?)

Lho?

Kenapa? Buat apa? Siapa? Kepada siapa? Begitu banyak pertanyaan sulit muncul dan ndak ada jawabnya.

Demikian dulu saya akhiri dengan perasaan ada bagian jiwa yang bolong (hollow) sejak kemarin sore...

Kertosono 13.58 9Mar2012

Perjalanan 2

Mengingat perjalanan ke Lampung saat masih menjadi anggota paduan suara mahasiswa.

Saat itu kami jalan darat 2 bis besar menuju Metro Lampung sekitar bulan Januari tahun 89(?)

Ingat kenangan saya naksir salah seorang peserta paduan suara. Wuih...rasanya selangit. Beruntung dia mau duduk sebelah saya dalam satu perjalanan. Rasanya (ndak bisa diceritakan....)

Mengingat semilir angin di kapal ferry menuju Bakahuni Lampung.
Terima kasih Tuhan saat ini rasa itu hinggap lagi.

Kok saya jadi merasa sedang jatuh cinta lagi dengan "pacar itu" lagi ya....

Saat ini dianya sedang duduk, tidur dan memeluk saya di sebelah, dalam bis mengantar kepergian ibunda ke pesarean di Ngawi.

Sekali lagi terima kasih Gusti Allah.

Brebes 22:40 8Mar2012

Perjalanan 1

Memulai suatu perjalanan kadang sulit kadang mudah dan ndak perlu direncanakan matang.
Kok?

Seperti saat ini dimana di tengah jalan sekitar Brebes - Tegal mau mengarah ke Ngawi ke pesarean ibunda yg baru meninggal kemarin.

Begitu sulit bila ditinjau dari tujuannya mengantar ibu almarhum. Tapi sekaligus begitu mudah enteng dan menggairahkan karena mengaingat berjuta kenangan yang telah lama ndak kami lakukan untuk jalan darat ke timur....

Mengingat saat saya kecil dimana hampir pasti dua kali dalam setahun bapak mengajak kami berlima tour de jawa menggunakan mercedes tahun 1962 kesayangan bapak.

Mengingat bersama dengan paduan suara mahasiswa UI tahun 1991(?) menuju lomba di Surabaya, yang saat itu secara aklamasi kalau menang kita akan menuju Bali, tapi kalau kalah akan langsung packing ke Jakarta. Wow...ndak terasa air mata ini meleleh di pipi...

Mengingat saat kami masih berempat (belum ada si cantik kecil) menuju Surabaya, Batu Malang dan pulang lewat selatan Jawa. Wow....

Perjalanan sudah begitu padat kenangan...

Mungkin ini yang ingin almarhum ibu dan almarhum bapak kami kenang sekaligus laksanakan (lagi dan lagi)...

Terima kasih pak, terima kasih bu. Selamat jalan... Kami mendoakan selalu.. Tuhan menyambutmu di Firdaus... Sampai ketemu lagi....

Brebes 22.30 8Mar2012

Luar Biasa Tuhan....

Luar Biasa Tuhan

Malam ini saya menemani istri tercinta di kamar 509, menemani putri kecil saya yang sedang sakit.

Hari yang panjang terasa...

Seakan melihat film yang mencekam, dihadapkan pada pilihan yang sumir, dengan warna dan content yang hanya hampir sama. Apakah ini rasa di tingkat ini? Terasa sangat luar biasa... Tidak tertahankan, menempel di hati dan jiwa ini.

Sekali lagi, luar biasa Gusti...

Matur nuwun sanget atas kehadiranMu yang selalu ada di setiap saat.

Roller coaster hidup ini bukan lagi merah hijau, hitam putih, pahit manis, enak enek, up and down, right or wrong, dan berbagai jenis lainnya...

Seakan Gusti mengajak bersama (dan ini luar biasanya) menikmati hidup ini sehingga nantinya menjadi "tenang", kalem, cool bahkan hampir kebas/numb...

Kemarin pagi seakan menerima informasi bahwa putri kecil kami ingin ditemani, maka aku ikut bersama istriku menemani konsul ke dokter anak;

Mundur paginya, ada "pelajaran" di rumah saat bangun, tidak ada air untuk mandi. Puji Tuhan, putra yang besar, dan yang keduapun tanpa berkomentar dan mengeluh, bertindak (dan berlaku dewasa) seadanya, lalu pergi ke sekolah dengan "feel great". Terima kasih Tuhan...

Kembali saat dokter menyarankan diopname. Waduh rasanya........ Ini saran Gusti untuk recovery putriku. Sedih, bila kuingat melihat jarum infus menembus kulit tipis putriku... Dimana saat dia ndak bertenaga bahkan untuk menggerakkan badannya. Yang dilakukan hanya menangis menahan sakit dan kagetnya... Kasian putri kecilku.

Saat mulai kuatur dengan mantap batu bata bangunan, sore hari saya mampir kantor dan masih "membereskan" beberapa aktivitas. Juga ada aktivitas yg cukup menguras "hati"...

Tiba2 Yuti, telpon, cerita bahwa ibu masih ndak bangun dari tidurnya. Dan mulai ada luka di pinggangnya. Waduh....

Di meeting bareng bos ku ini, beliau kliatan bingung, marah, fight tapi tanpa intospeksi(?). Jadi kliatan masih blame on others...

Selama itu masih terjadi.....

Beberapa yang di temui (baca"dipanggil" nya) semua didengar info terakhirnya tapi sebenarnya ndak ada yang paling update, cuma ingin dengar yang sebenarnya menaikkan adrenalin saja... Menyimpan kekesalan, kekecewaan, yang sebenarnya sangat sederhana bila mau sedikit membuka hati... Oops...

Jakarta 28Feb2012

Begini aja deh

Senin 5 Maret 2012,

Memulai hari dengan berat. Terasa demikian karena lelah begitu banyak yang (menurut anggapan dan perasaan saya) menuntut untuk diperhatikan dan dihibur...

Lucu ya... Hidup ini ternyata "sekedar" berkorban untuk "kebahagiaan" orang lain walau mereka hanya memperoleh pembuktian apa yang mereka "harapkan, persepsikan, paksakan dan sugestikan" terjadi untuk dipenuhi.

Sekarang sedang menikmati waktu untuk sendiri saat ini, di tempat ini dan begini aja...

Wow...menarik, enteng, lucu, full throttle... Ayuk aaaaah...

Rela (Januari 2012)

Luar biasa kata rela ini dimaknakan. Apalagi dilakukan.
Rela...
Mengandung makna yang sangat luas dan dalam. Ada penglepasan energi yg sangat besar dan tadinya tidak terukur menjadi terukur begitu kita melakukannya. Bahwa sebelumnya yaitu saat kita memikirkannya dan saat mau melepaskannya.

Kerelaan, erat kaitannya dengan kelekatan. Dimana kelekatan biasanya dihubungkan dengan penguasaan, ada unsur ego, serta penjinakan atau bahkan lebih vulgar bila dimaknai sebagai satu2nya pemilikan dan penguasaan tunggal.

Bahkan seperti pada ilustrasi seorang yang baru pacaran, saat sang pasangan memikirkan bahwa seolah hanya dia seoranglah yg hidup di dunia ini, lainnya ngontrak; hanya dialah seorang yang berhak memiliki kekasihnya itu.

Nah bila ada orang bijak bertanya, apakah memang kamu yang membuat pasanganmu hidup? Atau kamu telah bersedia bertanggung jawab luas dan dalam atas hidup kekasihmu? Tidakkah Gusti Allahmu lahyang mengkaruniakan semuanya, termasuk orang tuanya yang selama ini menghidupinya? ataukah ada pemikiran lan?

Jadi? Sudah berani? Mau? Rela?

Tlepok... Baru bangun deh kita...

Ternyata rela mengandung maksud yang luas dan dalam. Mengeluarkan energi untuk pihak atau hal lain untuk "lebih membuatnya hidup". Laksana anak panah yang dilontarkan ksatria untuk menuju suatu target. Bagaimana bila rela tidak ada? Apa dia terlontar? Ya! Apakah akan memenuhi target? Belum tentu! Apakah akan "terbang" jauh"? Belum tentu. Bila ditanya lebih jauh? Apakah sang ksatria sepenuh hati dan melibatkan emosi (bukan amarah) untuk melampauinya? Wajib.

Jadi rela perlu: sepenuh hati, melepaskan, energi yang terlontar, tujuan ke dalam dan ke luar, lebih diserahkan pada "panah" nya, dilengkapi oleh doa oleh sang ksatria.

Tuhan memberkati.

Mataram Lombok, 8.58 23Jan2012

Ungkapan tersisa akhir 2011

Feel Free

Merasa akrab itu bagus, tetapi melampuainya dengan kesembronoan "sembarangan" maksudnya menganggap orang lain sudah tau, sudah kenal, dan seharusnya menganggap maklum, itu menjadi "berlebihan".

Feel free at home doesn't mean to act and do freely, to others be abandoned.

Tokyo 30Des2011

Impian akhir 2011 yang terabaikan

Abandoned Dream

Last night I dreamed, that our company become that big and huge that almost all shareholders and management won't do share its "stakes" to others to break the limitations.
Sharing that we can still have the benefits and grow, nobody won't listened.
They still think that if shares to others, it will makes hole and less benefit to them. But I ensure that it won't happen untill almost all community get the benefits of the existence of the organizations.
Up until the day that nobody can do anything else. Means no grow at all.
What a great experience and lesson to have

Tokyo, 31Des2011

March 06, 2012

Indahnya team work

Sudah lama saya ndak merasakan indahnya dan nyamannya team-work. Kira-kira sejak pertengahan tahun lalu terakhir merasakannya. Dimana rasa ini diliputi trust, kepercayaan, saling memegang peran dengan bertanggung jawab dan penting untuk tujuan yang sama sesuai kesepakatan. Jadi apabila berubah, ya disepakati untuk berubah bersama serta tanggung bersama.

Pada lebih kurang dua tahun lalu, sejak bergabung dengan penugasan baru, saya merasakan team work yang luar biasa. Semua pihak dan individu serta lini dan tingkatan bertujuan mensukseskan tujuan yang sama.

Jadi ingat semboyan Three Musketeer; One for all and all for one.

Nah menarik sejak penugasan berjalan lebih kurang 9 bulan, terjadilah hal-hal baru. Tiba-tiba kesepakatan super-team, kok ada peserta penugasan yang ingin menjadi super-man. Ingin menonjolkan diri. Biasa, mirip group band yang baru terkenal dengan 1 lagunya, tiba-tiba ribut merasa menjadi jubir atas band-nya tersebut, merasa dia sebagai penyanyinya, merasa dia yang paling berjasa dan berkontribusi untuk band tersebut.

Wong kalo dipandang dengan kacamata normal aja (bukan kacamata minus apalagi kacamata plus...ha ha ha ) sukses kan hasil bersama, kemauan bersama, tujuan bersama dan kontribusi bersama karena masing-masing punya peran, bertanggung jawab atas perannya dan percaya bahwa rekan lainnya akan menjalankan perannya. Tanpa itung-itungan. Titik.

Eh, kok tiba-tiba begitu "rasanya" enak, ada untungnya, ada sorotan media dan group, ada sorotan atasan, ada ini dan ada itu, eh..... tiba-tiba menjadi rebutan. Nah ini apa yang direbut? Wong masing-masing perannya beda dan tujuannya sama. Apa ya pantes, apa ya ndak inget?

Mumpung lagi normal (lagi), saya dijewer oleh Gusti diingatkan bahwa, jari tangan terdiri dari 5 jari yang berbeda, ada ibu jari, jari telunjuk, jari tengah, jari manis, dan jari kelingking. Kalau menggenggam perlu semuanya kan? Coba kalo semuanya ibu jari.... (karena merasa semuanya jempolan...) apa iya kita bisa menggenggam bola dan melemparkannya? Coba dirasaken......

Sudah ah, kok malah curcol... Monggo.....

Jakarta 17.59 6Maret2012

Mengeluh

Sering kita merasa bahwa semuanya ndak beres....

Pagi ini, kita bangun terburu-buru, karena sudah terlambat maka, otak kita langsung scanning apa aja nih yang ndak beres. Apakah dokumen sudah disiapkan, apakah sarapan sudah siap, bagaimana dengan sepatu? Tadi malam apa ya yang mau saya kerjakan sebelum mandi? Lho kok di handphone sudah ada miss-call? Waduh ini, waduh itu dst dst.... belum ditambah lagi kok air di kamar mandi ndak keluar? Waduh listrik nyala kok air ngadat? Langsung terpikir kok ndak ada yang peduli sih.... Tadi waktu anak-anak mandi apakah masih ada airnya? Kok ndak ada yang kasih tau...

Pernahkah anda mengalaminya? Sering? Baru saja? Ndak pernah...?

Ha ha ha....kalau sedang normal, saya biasa komentar, begitu aja kok repot? Emang ndak ada yang lebih berbobot?

Coba kalau kita sendiri yang mengalaminya... Maka apa saja yang ada di depan mata seolah menjadi musuh dan memusuhi kita... Hayo ngaku....

Mumpung sedang normal, saya berkesempatan untuk membongkar walau sedikit...
(coba perhatikan cerita di atas)

Mulai bangun pagi dan terlambat, siapa yang suruh tidur telat?
Kedua, begitu menemui dokumen dan peralatan siap tapi kita ada janji pagi hari, siapa yang perlu menyiapkannya dan kenapa ndak dilakukan? Siapa yang perlu?
(langsung aja di akhir ya...) air untuk mandi ndak keluar, lha kalo tadi pagi aja anak-anak bisa mandi dan ndak rame kok kita rame, kayak cacing kepanasan. Emang ndak ada jalan lain?

Mau repot? Monggo...

Kalo mau repot jenis 1 (satu) yakni repot membela diri; pertanyaan 1 bisa dibalas demikian. tadi malem kan masih mbantu anak mengerjakan PR dan kebetulan si kecil ngompol jadi mbantuin ganti sprei... Belum siapkan dokumen dan peralatan, kan tadi malem masih antar ibu ke UGD... Air ndak keluar di kamar mandi, lho kan yang tugas menyiapkan bukan saya, kok jadi kita?

Berbeda dengan mau repot jenis 2 (dua), yakni lebih cool dan sabar (mungkin jarang yaaaa... hayo ngaku...)
Terlambat, ya sudah, coba mulai dengan persiapan, sambil telpon minta maaf bila terlambat. Eh air ndak keluar di kamar mandi, ya udah...ambil air di ember dan gayung dari kamar mandi lain.

Coba bandingkan perasaan dan emosi serta energi yang terbuang... Monggo dirasaken...

Jakarta 17.45 6Maret2012

March 02, 2012

Hidup dalam hidup atau mati dalam hidup-kah kita ini?

Kemarin saya bicang-bincang sore dengan sahabat. Menarik dan banyak belajar dalam pertemuan itu. Saya menceritakan bahwa ibu saya sdang dirawat di rumah sakit, sementara dia menceritakan tentang putra nya tercinta yang saat ini begitu berkembang.

Singkat cerita, sampailah kami diperbincangan pada topik, lalu bagaimana kita menghadapi atau tepatnya menyikapi setiap kejadian yangdemikian mengguncangkan ini?

Waduh...ndak gampang nih...

Ngelantur pada pagi harinya saja sudah membuat "story".... Ketika mau sikat gigi, saya mencari2 dimana ya saya letakkan sikat gigi saya? Cukup lama saya cari, di wastafel ndak ada, di dekat cermin ndak ada, dekat gayung ndak ada, di atas bupet samping ndak ada, wah....makan waktu hampir 20menit. Mulai ndak sabar, mulai kesal, lalu saya cari di kamar mandi bawah...ndak ada juga. Nah lho....
Lalu saya buka sikat gigi baru (walau perasaan kesal sudah melanda).

Selesai mandi, saya melirik ke cermin di dalam gelas, eh......kok ada di situ? Siap yang taruh....

Sambil makan pagi saya mikir, saya urut, saya "lepaskan"..... Eh ternyata kebiasaan saya (ndak tau ya kalo orang lain...) kalo kita mencari sesuatu, bertemu orang lain, mendengar sesuatu, SAYA SUDAH MENANNAMKAN APA MAU SAYA, sehingga bila ketemu hal yang berbeda baik keadaan, perbincangan, topik, kejadian bahkan jawaban lain, maka segera terpikir, KENAPA, SIAPA YANG MELAKUKAN, PASTI ADA YANG PUNYA NIAT LAIN, KOK SAYA KENA LAGI.....

Mumpung sedang sadar dan merasa hidup, jadi saya tuangkan hal ini jadi tulisan. Ternyata selama ini saya hidup dengan PERSEPSI yang sudah dan selalu terpasang terlebih dahulu. Otomatis... Auto-pilot, ha ha ha, mirip negeri tercinta kita ya...... Look familiar....

Sering berpikir, saya hanya mau mendengar "apa yang saya mau", lainnya ndak...tolak aja... Kalo berbeda, merasa ditolak, merasa dijerumuskan, merasa disingkirkan, merasa jadi korban...... Self pitty. Meng-kasihani diri sendiri.

Jangan-jangan ini yang disebut "mati di saat hidup"

Wong di dunia ini seperti roller coaster, naik turun nya demikian tajam. Sebentar naik, sebentar turun, bisa curam, bisa landai, bisa ada belokan, bisa lurus. Mau menikmati? Monggo.... Rekan saya yang sok kebarat2an bilangnya, "That's Life! What do you expect more...?"

Menikmati? Monggo..... Mau menghindar, ya monggo kerso.... Wong kita diciptakan dengan kemerdekaan (free will).....

Tuhan memberkati

Jakarta 7.50 2mar2012

Pepatah: berhenti, artinya kita tiba di suatu tempat

Membaca sebagian kecil pada buku "berjalan di atas air" karangan Romo Anthony de Mello, seorang Jesuit dari India sungguh menenteramkan hati.

Pada bukunya halaman 25, disebutkan demikian, Orang Jepang punya pepatah, " Pada waktu anda berhenti mengadakan perjalanan, Anda akan tiba di suatu tempat." dan saya akan berkata,"pada saat Anda berhenti berlari, Anda akan sampai di suatu tempat."

Hal ini mengingatkan saya bila kita mengadakan suatu perjalanan, misalnya dari Jakarta menuju Bandung naik kendaraan pribadi lewat Cipularang. Berangkat siang ini setelah sholat Jumat. Tentunya berpikir, akan lewat mana rutenya, bawa apa aja, dengan siapa dan terutama ke Bandung mau melakukan apa saja, berapa hari diperlukan?

Baiklah, kita hanya menyitir perjalanan berangkat saja, sekitar jam 14, maka ditengah jalan kita ingin mampir di rest area untuk, tugas biologis serta mengisi perut. Ini yang menarik, biasanya saat berhenti, terpikir bahwa,"ayo cepat-cepat, karena waktu kita menikmati kopi, atau mulai bersendau gurau, kita tidak akan memperoleh apa2 bahkan akan ketinggalan sehingga sampai nantinya justru kemalaman." hal ini terpikir sebab bisa "kehilangan satu "waktu menikmati Bandung", waduh...."

Terpikir akan merasa rugi, merasa kehilangan, merasa kesal, dst dst dll.

Kita selalu berusaha menghemat waktu, dan justru kehilangan hidup kita yang berharga. Seperti Gusti Yesus pernah bersabda,"Kalian telah memperoleh dunia, tetapi akan kehilangan nyawa!"

Jadi ingat sampai dengan tahun 2010, saya senang menyetir mobil sendiri, tapi (ini yang menarik) suka mengeerutu kalo disalib orang lain di jalan. Lalu berusaha menghalangi jalan mobil atau kendaraan yang grusa-grusu tersebut. Alhasil istri saya suka menyindir,"sudah, biarin aja, emang kamu ngebut-ngebut mau kemana sih? Paling nanti jadi stress, mood kamu jadi rusak dst dst..."

Setelah latihan yg luar biasa membiasakan diri sabar (walau ndak gampang karena sering tergoda lagi...) saya coba tanamkan, kalo ada yang grusa-grusu lalu berpikir, waduh kasihan ya, orang itu pasti lagi buru-buru sebab sudah a) ketinggalan pesawat, b) sedang adaanggilan biologis (kebelet maaf-pjpis), c) kehilangan pekerjaan......

Dengan demikian latihan sabar, dengan memandang dari sisi orang lain. Hi hi hi, emang enak.....

Alhasil, di situasi apapun, di manapun, kapanpun, bila ada yang grusa-grusu ndak sabaran, saya jadi ingat mirip saya dahulu....

Demikian sharing pagi ini. Monggo mentertawakan diri sendiri dalam situasi saat ini...
Tuhan memberkati.

Jakarta, 7.21 2mar2012