August 16, 2013

Kaku? Seberapa kaku sih aturan perlu ada?


Pernah baca di suatu blog situs, yang menyebutkan bahwa pada suatu perempatan jalan yang cukup ramai, keempat jalur arahnya dibuatkan lampu bangjo (abang-ijo, ini kalo di Jawa Tengah menyebutnya) atau lampu traffic light kalo kerennya, atau lampu merah ijo (merah-kuning-ijo). 

Sudah dibuatkan lampu yang menyala saja masih banyak terjadi kecelakaan. Banyak pengemudi yang hanya melihat lampu merah, tapi langkah berikutnya, apa di sisi jalan lainnya lebih sepi? Kalo sepi atau ada kesempatan sedikit, akan jalan, tanpa (penting, bukan perlu) untuk melihat kedua kalinya. Ini cocok dengan buku-nya Malcolm Gladwell, just do, no need think twice. Sebab halo efeklah yang paling benar menurut instink. He he he... Bener ndaknya, monggo dicocokkan dengan pengalaman mas2 dan mbakyu2 sekalian...

Bukan hanya motor saja yang melakukan "curi start" ini. Wong curi start di arena lomba lari saja didiskualifikasi. Jadi ingat Usain Bolt yang didiskualifikasi karena dianggap curi start, setelah dia menjadi juarapun tetap dipantau, sebab punya "dosa besar yang ndak bisa dilupakan orang".

Kembali pada pengemudi, juga dilakukan oleh kendaraan umum, kendaraan pribadi. jangan-jangan pejalan kakipun demikian ya? Wah kok jadi banyak ya? Jadi apa mesti tes psikologi lagi ya?

Tidak jarang, sepeda motor dengan sepeda motor bertabrakan dari arah tanda plus (satu dari kiri satu dari depan (karena salah satu tidak mengindahkan lampu bang-jo tadi). Kalo sepeda motor, traffic tidak terhenti lama, karena "sesama".

Nah menarik kalo kecelakaan antar sepeda motor dengan kendaraan roda 4, nah ini masih tergantung kalo kendaraan umum, yang maklum lebih banyak. Ya jelaslah sebab sudah pasti ujungnya "maaf", ndak kuat bayar. Lha iya kalo "cuma" ringsek; lha kalo nyawanya sudah ndak nempel lagi? paling-paling kendaraan umumnya dibakar kan? Kalo ikan bakar sih enak, kalo Me**o M**i opo ya enak? Sangit lah bau nya... 

Sangat menarik kalo kendaraan pribadi, akan terjadi hukum rimba, sebab semua yang berkendaan roda 2 berubah jadi singa lapar yang siap melawan raksasa Goliath. Merasa semut yang mau melawan Mammoth Gajah Purba. Semua "sesama" tadi berubah bermata merah, bawa helm dan kunci pas sebagai senjata. Kata maaf saja ndak cukup, kata damai dan diselesaikan dengan kekeluargaan saja ndak mempan. Musti ada yang dilukai fisik juga mentalnya. Kalo perlu dikeroyok rame-rame. Mirip acara "ngalap berkah"....

Kembali pada "percobaan" yang dilakukan suatu pemda dinas perhubungan darat tersebut (lupa saya di negara atau daerah mana), suatu kali lampu bang-jo dan segala sign board di sekitar perempatan tersebut ditiadakan. Dan dilakukan pemantauan selama 3 bulan, dicatat dan dievaluasi. Nah ini yang mau saya ceritakan:

1. Pola perilaku pengemudinya menjadi lebih sabar, atau setidaknya berubah lebih waspada, sebab menjelang masuk ramainya perempatan, sudah mempersiapkan diri untuk berjalan lebih pelan, lalu mencari kesempatan untuk masuk dan keluar dari perempatan, melihat dulu gejala jalan kendaraan di sisi lain serta baru keputusan untuk jalan.

2. karena hampir semua bertindak demikian, maka dengan sendirinya. Saling waspada, dan tidak menggantungkan lagi pada sign board juga lampu bang-jo. Juga sudah ndak akan menggunakan tanda lalu lintas sebagai "ego" untuk merasa paling "benar". Wong ada tanda lalu lintas saja dianggap sebagai "patokan" untuk dilanggar kan?

Jadi ingat larangan nyontek, malah membuat pelajar pengin nyontek. Coba suatu ketika di kelas, guru mengatakan, silakan menyelesaikan tugas, mau sendiri monggo, mau kerjasama monggo, mau dibawa pulang monggo. Hayo... malah penginnya kerja sendiri, ndak mau temannya nilainya sama dengan kita kan?
Jadi, aku ini, manusia ini, kita ini, apakah memang maunya diberi aturan ato ndak yak? Diatur maunya dilanggar, kalo melanggar, bangga. Kalo ndak diatur dan ndak ada yang ngatur, teriak2 minta diatur? Halaaaah, maunya apa sih?

Mer---de--kaaaaaaaaa Bung!


Jakarta 16Aug2013; 8:51

August 15, 2013

Pertemuan


Pengalaman tadi siang aku bertemu dengan teman, sobat lama yang pernah bekerja bersama, mengundang beberapa pertanyaan menarik.

Kami janjian 2 hari lalu, awalnya merupakan tindak lanjut dari niatan setelah bertamu 3 minggu lalu di suatu tempat. Ketemu dengan tidak sengaja, atau tidak direncanakan. Lalu, bersalaman dan saling janji untuk ketemu. Seingat ku, dulu dia suka bercerita hal-hal yang transenden, sehingga menarik minat ku untuk berolah opini adu logika serta saling tawar konsepsi hati masing-masing. Dan kebetulan, dia sangat ahli di bidang itung2an keuangan, sementara, buatku itung2an ya cuma hobi aja. he he he

Kembali pada pertemuan tadi siang. Karena kesibukannya dan berkah buatku karena dapat bertemu dan bercengkerama. Banyak belajar aku dibuatnya. Saling beradu cerita dan bertukar informasi. Ndak terasa 1 jam sudah kami berbincang.  Puas dan berkah, karena acara tadi dapat diselenggarakan. Tanpa sadar, ucapkanku adalah,"semoga sehat, lancar dan sampai ketemu lagi...."

Penginku mengkaji, pertemuan yang hanya 1 jam tersebut.

Coba, rekan-rekan perhatikan, berapa banyakkah pertemuan yang tidak terjadi, walau sobat atau kawan atau dulu teman dekat yang akan mampir ke kota kita, dan sekarang dia tinggal di luar kota. Apakah selama ini telah terjadi perubahan di kita, di dia atau pada cara pandang kita yang "dulu" nya sama? Ah, ndak usah deh, dia sekarang sudah beda, sudah lain. Dalam hati kitapun, sudah berguman, ndak jadi ketemu juga ndak apa-apa kok. (mungkin maksudnya, ndak jadi ketemu juga ndak ada yang hilang, yang rugi atau sejenisnya).

Kadang pertemuan terjadi, tetapi selama waktu bertemu, justru banyak diam, malah bingung apa yang akan dibincangkan? Padahal selama ini kalo di sms, bbm atau short message justru rame dan akrab.

Atau justru tali silaturahmi ini jadi beda "rasa" kalo bertemu fisik dan dengan bertemu secara "online"? Jadi kalo ketemu muka, justru malah il-fil, hilang rasa "greng" atau rasa"ser" nya.

Ujung-ujungnya, ada rasa kapok, bahkan, ucapan perpisahanpun hanya sebatas basa-basi. Sehingga ndak tulus. Apalagi muncul,"sampai ketemu lagi ya.." Atau bahkan saling mendoakan agar sobat kita selamat, sehat sehingga bisa ketemu lagi.

Ato justru ndak penting lagi adanya pertemuan, baik itu ketemu muka, ketemu atau saling sapa di telpon, atau sms atau bbm atau sejenisnya. Daripada basa-basi, malah ndak usah saja deh... Sayang energinya.
he he he ...


Jakarta, 15Aug2013, 15:43

August 14, 2013

Omzet Tidak Tercapai, Perubahan Kebiasaan

Mendengar kalimat ini, tentu kita akan langsung membayangkan departemen Marketing kita tidak dapat menjual produk kita karena beberapa sebab. Apakah karena hal internal atau eksternal? Apabila disebabkan oleh hal eksternal, apakah bisa diperbaiki atau disesuaikan, atau kita terima nasib? Kalau ekstrimnya, mau terima nasib, apakah kita mau menderita kerugian? atau musti menyalahkan departemen lain? misalnya untuk kontrol biayanya?

Sepengetahuan saya (maafkan kalo salah), kalo produk sudah jadi, dan apa pembelinya. Apakah analisa dan kriteria produk kita adalah termasuk penting di mata pembeli? Sebab kan, kalo penting, tentunya pembeli tetap akan membelinya, tentu urutan berikutnya perlu melakukan penyesuaian misalnya penggunaanya dikurangi, dengan subsitusi produk sejenis, kualitas sama atau perubahan cara (how to).

Ilustrasi ini menarik sebab dapat diilustrasikan dengan analogi kebiasaan dan perubahan kebutuhan (need) menjadi pemenuhan keinginan (wants).

Contohnya, saat kita prihatin, kita biasa naik mobil baik itu ke kantor, pasar, antar ke sekolah. Begitu harga BBM naik, maka mulai disesuaikan, ke kantor naik motor, ke pasar naik bajaj. Mobil hanya dipakai sabtu minggu saja.  Sementara perubahan ini tentunya bukan tanpa "faktor x" pengikut seperti, musti berangkat lebih awal, bawa barang sesuai saja, tidak perlu koper, tas kecil dan tas laptop dibawa-bawa. Juga biaya kesehatan diperhatikan. Masuk angin, sakit kepala tentu menjadi awal pendamping penyesuaian.

Berjalan satu, dua, tiga minggu, saat kebiasaan mulai terjadi, maka tidak masalah lagi.

Begitu ada penyesuaian lagi di kantor, misalnya naik jabatan atau naik gaji, lalu, kembali ke mobil lagi. Motor, bajaj mulai ditinggalkan, driver pribadi dicari lagi. Mulailah, pemenuhan wants yang dikejar. Makan ndak mau pinggir jalan lagi, tapi musti restoran.

Nah beginilah hidup ini berputar.....

Monggo......



Jakarta, 14Aug2013, 9:21

Punya Pilihan atau Ndak Mau Memilih, tak iye...



Pagi ini memang begitu cerah dan warna-warni di media cetak yang kubaca ini. Setelah membaca model gaya beli masyarakat kita (termasuk aku dong ya..), di halaman finansial... terbaca demikian:

...secepatnya saja pegawai menentukan sikap, sehingga memudahkan perencanaan ke depan (bagi kedua lembaga ini)... pejabat juga mengaku masih terdapat sejumlah kendala kepegawaian karena masing-masing lembaga (tersebut) membutuhkan sumber daya manusia yang cukup (cukup apaan nih? cukup pintar? cukup nurut? cukup nekad atau justru cukup prihatin?) untuk menjalankan kegiatan administrasi.  Nah jelaskan, pegawai yang diharapkan bukan yang pandai, tapi yang setia dan nurut.

Pantas saja kalo sikap pegawai ditunggu, mau milih yang mana? Sementara lembaga butuh, tapi kok kalimat pejabatnya begitu? eh eh eh tunggu dulu, bukannya penulis reporter bisa saja membuat intonasi dan intensi supaya kliatan bingung...

Atau aku aja, Didik ini, yang kepo pengin komentarin urusan orang lain... hua ha ha ha

Sebagai (sesama) pegawai, tentunya aku juga punya pengalaman seperti ini. Saat organisasi butuh, tapi kok ndak pernah disampaikan, kita dibutuhkan untuk apa? dengan kriteria seperti apa, atau nanti direncanakan organisasi akan berubah seperti apa sehingga si Didik yang pegawai ini mau diharapkan jadi apa. Tapi begitu si Didik, yang pegawai ini melakukan tindakan nekad, walau itu baik (menurut diri sendiri), tapi karena (mungkin juga ya) ndak benar menurut organisasi maka ditegur, menyalahi aturan.

Tapi keluar siar organisasi, monggo si Didik yang pegawai ini, menentukan sikap. Hayo, segera menentukan sikap.... (ditunggu oleh organisasi....) kok ndak bersikap-sikap?

Biasanya kalo ndak bersikap-sikap lalu, akan ada siar keluar seperti di koran ini... he he he (it sound familiar kan?)

Buat si pegawai sih, kalo memang penting tentu akan "punya sikap". Kalo pilihan lain (yang belum tentu enak), nah ini namanya comfort zone, ya ndak milih.... Tapi bilangnya biar keren kan,"kami tidak punya pilihan!!"

Hayoooo ngaku....



Jakarta, 14Aug2013, 9:02

Daya Beli atau Gaya Beli?



Pertanyaan nyeleneh ini selintas menyambar pikiran saya, begitu membaca harian bisnis. Disebutkan di situ bahwa target omzet 2013 ini meleset, sehingga memaksa pebisnis untuk memangkasnya. Kegiatan mencukur ini lantarandaya beli masyarakat melemah. Ujungnya disampaikan bahwa melemahnya daya beli ini dikarenakan kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi.

Hm..... seraya tersenyum simpul saya membaca headline tersebut.

Jadi yang disalahkan adalah kenaikan harga minyak bersubsidi sehingga membuat daya beli masyarakat melemah, yang domino efeknya membuat omzet tidak terpenuhi.

Hayuk ah kita berandai-andai menganalisa pura-pura menjadi orang cerdik pandai di negeri tercinta ini. Dengan cara berpikir lingkaran.

1. Dari sisi Pengusaha

Begini: tentu perlu bahan mentah untuk produk yang akan ditawarkan pada masyarakat. Bila harga transpor bahan mentahnya naik, maka produknya musti naik harganya. Tapi bingung, lantaran pembelinya (yang notabene masyarakat) mengurangi pembeliannya karena naiknya harga. Kalo kita bedah potongan kalimat di atas, berarti kan pembeli punya pilihan untuk membeli barang "sejenis" dengan harga lebih murah dong. Hayo ngaku... Ato maunya beli barang yang sama tapi dengan harga "kemarin"? Lho kok jadi sak enak'e gini? Kalo maunya barang yang sama tapi dengan harga "kemarin" (yang tentunya sebelum naik) kan berarti yang dijual stok lama? Apa pembelinya mau? Kalo yang jual sih kalo masih ada stok lama, ya tentu ngakunya barang sama, harga baru, tapi di diskon, sehingga (in favour on pembeli) bilangnya karena pelanggan lama, maka special price. Padahal harga kemarin. Nah, kayaknya kalo pembeli kita (masyarakat kita, tentu termasuk saya) maunya diservis gini dong..... Hayo ngaku....
Kalo gini, apa tetap namanya daya beli? Bukannya ini gaya beli? Jadi beli kalo dengan gaya karena diservis maka tetap nyaman.

he he he

Monggo kerso.....


Jakarta, 14Aug2013, 08:28

August 13, 2013

Mencari sound (alam) yang dicari...



Darah seni apa yang mengalir di dalamku? Seingatku dulu, ibu suka menyanyi, bapak suka mendengarkan musik yang ok punya deh. Saking senangnya dengan Koes Plus, pernah aku nonton konsernya di Gelora Sepuluh Nopember Suroboyo.

Iya, aku pernah tinggal di sana. Seingatku, ini yang aku sebut numpang lahir. Sebab besar di kota lain.
Menyambung kesenanganku dengan Yok Koeswoyo, kuingat pernah nyanyi sambil bergaya main gitaran dengan gagang sapu, lenggak lenggok maju munjur (inget gaya Soneta Grup nih).

Sampai suatu ketika, sukaku dengan musik terasah lagi saat di kelas 4 SD, guruku memang suka menyanyi. Sehingga saat kelas sudah klar, selalu ada pelajaran menyanyi. Murid lain ndak suka, tapi ndak demikian denganku. Buatku ini menambah perbendaharaan lagu baru. Dia suka mengajarkan lagu daerah dan lagu perjuangan.

Di kelas 5, diberitahu kalo nanti kelas 6 ada ujian memainkan alat musik. Maka jadilah aku les gitar, karena kesengsem oleh Benny sobatku yang belajar gitar les di YMI jalan Bumi, Mayestik. Sekarang sekolah itu ndak ada lagi. Apalagi, saat itu sobat ku yang lain, Sandy putra dari Bp Suwanto Suwandi, kakaknya juga les gitar di YMI dan sudah grade 6, jago banget main gitarnya. Senang aku melihatnya. Dan mulai berkayal nanti kalo bisa main gitar akan seperti Michael Gan (sekarang mungkin mirip dengan Om Jubing Kristianto, malah lebih jago kaleeee).
Tapi aku juga belajar harmonika, pianika, recorder, sehingga suatu waktu 3 minggu menjelang ujian di kelas 6, aku ditegor dimarahi oleh guru, karena setiap minggu aku diminta tampil ke depan kelas (seperti murid lainnya) untuk memainkan alat musik, lagunya selalu berubah-ubah. Dikatakan, kamu mau ujian ato pamer?
Sejak itu aku persiapkan hanya 2 lagu, 1 wajib dan satunya lagi lagu bebas. Kupilih yang ku suka saja. Nilai bagus dong....

Saat ke SMP, dimana kelas 1 masih les gitar, dan grade sudah 8, klasik mulai bosan. Sebab memainkan gitar musti baca not, dan sekaligus aturan tanda dinamika dst dst. Jadi kalo aku pengin main gitar dengan kord-nya, gagu dan kelu, bingung.

Sampai suatu ketika, bapak pulang kantor membeli kaset Rolling Stone dan Deep Purple. Kata bapak, ini dari temen bapak, katanya,"pasti anakmu seneng model anak muda ini..."

Dan benar, sejak saat itu aku putuskan main gitar listrik dan tertarik dengan Keith Richard saat memainkan Lady Jane dan Brown Sugar. Nah mulailah.....

Semua jenis musik, jenis aliran, jenis penyanyi, apa aja deh.... Ndak ada batasan, ndak ada pantangan. Yang enak didengar, ada yang enak dimainkan, ada yang enak dilihat (aksi panggungnya).

Maka mulailah main band di kelas 2 SMP, bareng sobatku Oong, Rocky, Benny, Bayu . Juga Eddy Yanto, dan Bowo.  Malah saat kelas 3 SMP, main 2 aliran dalam 2 band, ditambah, Rudy dan Hanung.

Malu? ya ndak lah... itu kan bagian dari perjalananku.

Selama SMA hanya kelas 3 aku main band, itu dengan Bayu, dan beberapa teman dari kompleks SekNeg Cileduk. Jadi ini band di luar teman SMA.

 Setelah itu kuliah, aku pindah ke nyanyi. Ternyata bisa juga ya? Eh...ndak juga sih. Wong tujuan masuk paduan suara itu dulu cari jodoh. he he he (mbuka rahasia nih). Bonusnya bisa nyanyi sedikit-sedikit, malah sempat dijorokin kecebur organisasi juga sih...

Yang paling berkah adalah aku dapet jodoh, wanita istimewa dan sampai saat ini sudah 20 tahun menjalani hidup rumah tangga dengan 3 anak2 berkah Gusti Allah...

Di tahun 2009, saat di kantor menunggu penugasan baru, berjalan bulan ke-4, mulailah aku disarankan oleh sobat kentalku, kalo ini mungkin mulai masuk puber kedua. Jadi musti disikapi dengan bijak. Dia menyarankan coba mencari kegiatan alternatif, syukur-syukur akan membuka wawasan dan kebijakan. Disarankan untuk memilih minimal 1 dari 3; yakni, belajar bahasa (sama sekali yang baru, bukan bahasa jawa, apalagi Inggris); belajar agama (ini ada bahayanya, sebab bisa makin dalam, bisa terpanggil dengan benar ato jadi gila beneran) atau belajar alat musik sama sekali baru (bukan gitar, recorder, harmonika, pianika). Ternyata aku pilih yang ketiga.

Mulailah aku mampir ke Wijaya Musik PangPol, cari-cari alat musik apa nih untuk belajar baru. Ketemu dengan mbak Ika dan Mbak Narsih di situ, disarankan, flute aja atau trumpet aja, atau malah saxophone?
Setelah menimbang suka ku dengan musik latin, seperti Dave Valentin dan Herbie Mann, juga Arturo Sandoval, maka aku pilih pengin belajar 2 alat sekaligus. Flute dan Trumpet. Disarankan beberapa guru dari situ, ketemulah aku dengan guru-guruku yang ok, funky dan luar biasa (sabarnya).

Untuk sabar ini kuketahui belakangan, setelah 3 bulan ikut les. Disebut, bahwa biasanya guru itu menolak murid yang sudah umur (diatas 20 tahun) sebab katanya itu jenis murid yang gampang patah arang, kapok, cuma modal bisa beli, dan juga ndak sabar dalam belajar, banyak bicara, juga sekaligus ndak nurut kalo diminta latihan.   Makanya baru ku sadar, sebab sarannya sama di kedua guru tersebut, yakni,"yang penting pak Didik senang aja dulu, suka, jatuh cinta dengan alatnya, nanti akan pengin tahu dan belajar lebih banyak.  Juga sejak awal aku diberitahu bahwa latihan mulut (embouchure) trumpet dan flute berbeda bahkan saling melemahkan. Tapi karena penasaran, ya kujalani keduanya. Emang nekad ya...

Bisa menyanyikan dengan alat musik baru, wuih senengnya.... mulailah pencarian sound yang enak, yang bulet, yang mellow tapi ok dah pokoknya...

Masuk tahun 2010 sampai Maret 2013 lalu, alat musik ndak pernah kusentuh lagi. Eh siklus "menunggu penugasan" muncul lagi.... Maka bulan kedua masa tunggu ini ku lirik lagi lah alat musik ku. Bahkan kuhubungi lagi guru flute ku, Mas Harry, dengan lembut, dia tolak, katanya," sudah pak Didik main aja dulu, suka dulu, jatuh lagi dulu aja... nanti kan ketemu.."

Ya sudah, wong kadhung jatuh cinta, ya aku peganglah sang flute tadi tiap hari minimal 15 menit. Bahkan biasanya jadi 40 menitan.

Belakangan, setelah mulai bisa cari lagu dengan not dari flute, karena diajarin anakku, Krisna untuk main kromatik, maka makin besar lah pencarian sound tadi.

Awalnya kupikir sound itu "dull" tapi ternyata nada rendah, mellow, bisa nada tinggi juga tapi tetap merdu merayu. Seperti penari tango Argentina atau penari samba Brazil.

Kupikir bahwa aku akan dapatkan dengan flute dari kayu, atau dari bambu DiZi, atau Xiau, atau suling Sunda, atau Saluang dari Batak, atau Shakuhachi Jepang, ternyata belum juga ok...

Sampai suatu ketika kau dikenalkan oleh mas Nino (aku dapet flute bagus darinya), untuk coba clarinet aja. Itu kan dari suara kayu, atau ebonit (untuk student).  Dan aku menyukainya.

Sampai tadi malam, dari penulusuranku mencari sound tadi, aku ketemu di website membincangkan tuning untuk alat musik, bahwa Giuseppe Verdi menyarankan pindah dari A=440hz ke 432hz. Situs itu menyatakan bahwa itulah vibrasi atau suara alam semesta ini dibuat. Sehingga pada frekuensi yang tepat akan membuka healing, cakra dan seterusnya. Wuih...makin seru nih.

Bahkan di situs lain, Schiller Institute, dan La Rouce, membongkar hal lain yang menyatakan bahwa Ilmuwan Keppler menghubungkan penemuannya tentang Astronomi dengan Phitagoras, tuning alat musik ini, juga dengan letak planet lain terhadap bumi dan matahari serta bilangan indah Fibonacci.

Nah lho......

Sementara ini dulu deh, nanti disambung lagi.


Jakarta, 13Aug2013, 12:21

Pertumbuhan ekonomi melambat

Apa sih ini maksudnya? Kita makin miskin? makin ndak punya harga diri? makin susah makan? atau yang bagaimana yak?

Di koran dan media cetak maupun media elektronik disebutkan bahwa harga-harga meningkat, ini disebabkan oleh naiknya harga BBM? Sehingga transportasi atau pemindahan barang dari daerah satu ke tempat lainnya meningkat. Walau barang atau jasa yang kita terima tidak secara langsung dipengaruhi BBM, maka semua menyesuaikan diri karena peningkatan BBM yang meningkat?

Ada juga pengusaha besar yang menyampaikan bahwa biaya produksi juga meningkat, karena memang meningkat setiap tahunnya. Tanpa perlu memperincikan dari mana sumbernya. Diterjang lagi oleh arus, bahwa harga komoditas dan harga energi yang meningkat sementara kita masuk tergantung oleh ekspor. 
Sedangkan tujuan kita berjualan sumber daya alam dan energi tersebut adalah ke China dan India yang saat ini sedang lesu alias mengurangi konsumsinya membeli dari ekspor Indonesia kita ini.

Sementara berita yang lain, investor-investor Jepang memimpin membeli perusahaan-perusahaan lokal yang mulai terseok-seok (tadi diatas) tapi (sebenarnya) menguasai pangsa pasar di Indonesia atau pasar Asia Tenggara dengan cukup meyakinkan. Ditambah lagi, bahwa investor (the big boys) private equity besar KKR terlihat mulai menyelesaikan transaksi membeli perusahaan Tiga Pilar yang selama ini cukup berkibar di Indonesia.

Nah lho.... di setiap kesulitan ada kesempatan yang tersembul. Dan di setiap kesempatan ada kesulitan yang mendampingi. Pemenang memilih opsi satu, sementara pecundang memilih opsi dua.

Monggo pilih yang mana?

Kok rasanya ndak salah ya, kalo bapak besar kita Dorojatun Kuntjoro Jakti, pernah menyampaikan pada saya,"...saudara, jadi Indonesia saat ini diisi oleh orang-orang yang merasa dirinya seperti (ini ilustrasinya...) tikus yang mati di lumbung padi...."

Hayuk aaaah......


Jakarta 13Aug2013, 11:25

August 12, 2013

Kamu orang asing


Pertanyaan ini sungguh-sungguh menyengatku dengan tajam, dan dalam. Sakit seperti ditusuk duri di telapak kaki.

Ya, aku dulu orang asing di keluargaku, lahir dari ibu, dinantikan selama 9 bulan, dan pada lahirnya, nangis, minta diperhatikan, lalu besar dalam keluarga, merasa menjadi bagian dalam keluarga. Tetapi saat besar, menginjak SMA, susah diatur, merasa bahwa orang tua musti dan pasti membantu dan memfasilitasi semua yang diinginkan (baca: bukan dibutuhkan) ku dong.... Dan saat menikah, terkejut ku dibuatnya, ternyata keputusan menikah, keputusan memiliki anak, membesarkan, menyertai dalam kebersamaan keluarga. Yak ampuuuuun.....ternyata tindakan, perasaan, upaya, doa, dan semua hal yang melingkupi diri ini dulu, benar-benar ndak tau diri....take it for granted.... sak enak'e dhewe...

Menyesal? Ndak. Sebab ndak ada gunanya. Bersyukur aku sempat merasakan ini. Sebab dengan sengatan "peringatan" itu membuatku hidup, bangun serta berjalan kembali menapak di tanah.

Orang asing juga adalah aku, saat aku hidup bersama dengan istriku tercinta. Menikah, hidup bersama, tinggal bersama. Juga berkah aku boleh tinggal menumpang di rumah keluarga. Apalagi, anak-anak kami juga besar di sini. Tepo seliro, dan unggah ungguh pada awalnya. Tetapi berjalan di tahun ke 20, tahun ini, kok sudah seperti rumah sendiri, rasa respect tetap terjaga, tetapi kok ada rasa lain yang meraja di hatiku.... Mungkin juga tindak tandukku, mungkin juga kebiasaanku.....

Lho? Ya ternyata, hal ini begitu terasa...begitu ada mbak yang ikut bersama ibu. Dimana sudah berjalan hampir 1 tahun, berubah juga..... he he he....   Langsung hati, badan, pikiran ini seperti disengat listrik ribuan watt. Kalo beliau aja begitu, berarti aku (kan juga) begitu dong.....

Waduh.... sak enak'e dhewe... sak enak udel'le....

Menyesal? Ndak. Yang sudah berlalu, biar berlalu, tidak bisa dihapus. Saat ini justru saat yang tepat untuk berdiri tegak berjalan kembali. Menata diri, hati dan pikiran, mulai jalan. Menapak di tanah....

Ingat saat aku masuk  ke kantor ini, dimana tiga setengah tahun lalu, menjadi orang asing, orang baru, menyesuaikan diri. Lalu mencoba berkontribusi. Dan sekarang saat penugasan berubah, kok aku merasa rumah, rekan-rekanku jauh dariku. Lha wong aku saja asing bagi mereka, kok aku ndak merasa asing? Kok bisa-bisanya merasa orang dalam, orang lama. Apa iya ndak ngerasa....???

Hua ha ha ha ha .... meledak tawa ku (dalam hati sih...)

Jadi rasa orang asing, tapi menjadi orang dalam dan orang lama, kok iya bisa-bisanya? Itu kan namanya ge-er. Gede rasa. "ngeroso biso" kan mestinya wong jowo iku "biso ngeroso".

Nah kali ini bener-bener, duri tadi menusuk dan ditambahi listrik untuk menyengatku.   Hayo bangun...!


Jakarta, 12Aug2013; 11:00

August 02, 2013

Betapa BerkahNya......


Betapa lucunya hidup ini. Kita ndak pernah tau apa yang akan terjadi. Lha wong bukan peramal dan bukan penjudi.

Sehingga bila seperti kemarin saya ngobrol dengan sobat, tercetus dia sampaikan demikian,"coba bro kalo tau dulu saya ikut jalanmu kan, ndak jadi kayak gini kan?"

Lho kalo tau jalanku seperti ini kan juga dulu juga masing-masing kita memperoleh tawaran dan keputusan masing-masing dong..... Kalo tau begini, mustinya kan dulu memutuskannya yang seperti .... (isi dengan yang lain).

Wah jadi ingat pasar modal, pasar saham yang sudah saya tinggalkan hampir 5 tahun lalu. Setiap kali ketemu dengan teman yang berinvestasi di saham, celetukannya adalah:
- kalo tau saham X digoreng kan mustinya gue ikut...
- kalo tau (harga) sahamnya mau diangkat kan mustinya gue ikut tuh...
dan seterusnya dan seterusnya....

Atau kalo ingat sempat beberapa bulan lalu saya ikut teman yang cari-cari tau mobil antik, beberapa kali disapa oleh "pemain" lama mobil antik: " mas selama ini kemana? kan tau dong kalo mobil gini di awal tahun 2000 aja, ndak ada yang mau nengok. Apalagi dicari orang. Lha kok sekarang baru carinya..."

Hua ha ha ha .... Sempat dongkol dan kesel sih dengan celetukan begini. Tapi setelah saya resapi dan endapkan, ternyata ndak perlu juga sih merasa dongkol atau kesel apalagi tersinggung dan marah.
Lha orang kan komentar boleh aja, apa aja dan sak'enak'e dhewe. Lha wong merdeka kan...??

Tulisan kali ini kembali pada "roso" diri kok bukan pendapat ato komentar orang lain. Monggo.... Lha kalo kita tau... maka.... Nah masalahnya eh...sbentar ini bukan masalah kok.. Jadi saya ralat. Jadi halnya adalah: kita mengharapkan tau sebelum kejadian. Tapi mana ada di dunia ini yang begini. Emang kalo misalnya Gusti Allah mengabulkan kita tau, apa kita ndak pengin di dunia ini? Hayoooooo

Bukankah indahnya karena justru bisa berimajinasi, bisa mengira-ngira, tanpa tau bahkan termasuk 1% saja hasilnya ya ndak tau... Bukankah ilmu probability, asuransi, investasi, teknik, pemasaran, atau produksi juga menganut hal ini. Kan kalo ada segelintir (atau bahkan 1 saja orang) yang tau masa depan kan justru rusak dunia ini dibuatnya....

Hayo..... masih tergoda pengin tau masa depan? Hiduplah hari ini, menit ini, detik ini, nikmati, di sini, bukan di pikiran kita yang sudah menjelang libur. Ingat kembali pada lagu anak-anak, "Di sini senang, Di sana senang". Atau lagunya Oasis "Be here, now!"

Luar biasa ya Gusti Allah kita ini..... Kumohon ampunMu... Sebab berkah Itu sudah bersamaku selalu. Dan mendahului pengharapanku.


Jakarta 2 Agustus 2013, 11:19