March 25, 2014

Kenapa Sih….


Pengalaman hari Senin kemarin yang demikian penuh, dinamis serta excited untuk dilakukan ternyata menyisakan rasa yang kosong di hati dan jiwa.

Saat malam menemui anak-anak serta istriku. Masih terasa kegairahan, keriaan serta excitement tersebut. Sampai pada saat kumulai ingin beristirahat. 

Kenapa ya? Kok kosong, kok ada yang hilang, kok aneh, kok begini aja?

Menghitung jalan yang kutapaki berkurang 24 jam lagi, terasa begitu berat, jauh, dan menanjak.  Adakah aku bersamaNya, di sini? Adakah aku bersamaNya di sisiku? Atau aku hanya sendirian?

…………………………

Pagi ini kubaca lagi buku karangan Jim Conway, Men in Midlife Crisis. Maka timbullah pertanyaan, adakah ini yang membuatku begini? Kusempatkan melakukan olah raga pagi selama 45 menitan. Keringat bercucuran, basah, lepas, tetapi kok rasa itu masih ada?

Sempat ku starter kedua klangenanku, WuLi dan DoGol. Wuih menggetarkan hati. Rasanya ada sesuatu di sana….


Ya Tuhan….. ku tau Engkau lah Sang Maha SegalaNya




Jakarta, 9:45; 25Mar2014

March 21, 2014

Tampil Muda


Bahasa Inggrisnya to look younger.  Ternyata hal ini demikian menggoda banyak orang.  Dengan membaca judulnya saja, aku sempat tergelitik untuk menerapkannya padaku. 

Apakah aku ingin tampil muda? Kelihatan muda? Berjiwa muda atau berpikir gaya anak muda? Atau kalo pertanyaannya dibalik, apa aku takut kelihatan tua? Kenapa ndak mau kelihatan tua? Yang ndak disukai atau dijadikan label, cap atau julukan, ini karena tampilan kita atau gaya style kita atau cara berpikir kita?

Ada yang bilang kalo kita bergaul terus di kalangan generasi, anak-anak muda atau bahkan SMA atau kuliahan, maka kita akan awet muda. Apa iya begitu?

Jadi ingat kejadian di anakku yang remaja, dia malah ingin kelihatan dituakan dari umurnya, tapi sekaligus ingin tetap menikmati “rasa” juniornya dengan bisa tampil atau diajak-ajak dalam event “dewasa” adult juga dalam acara-acara resmi penting.

Nah jadi kembali pada topik di atas. Bagaimana sih maunya?

Kelihatan muda (istilah kelihatan ini lebih relatif dibandingkan dengan tampil muda), bahkan menjadi trending topic belakang yang semakin meningkat bahkan sejak akhir tahun 2000-an.  Bahkan klinik-klinik anti aging menjamur, bedah kosmetik, serta fashion serta gymnasium juga klub kebugaran dan juga klub yoga menangguk banyak peminat, pelanggan juga pembeli. 

Sementara topik muda kan mustinya bukan hanya tampilan, tapi juga cara berpikir, pengelolaan hati serta jiwa yang terus ingin belajar dan tetap merasa hijau yang selayaknya menjadi perhatian dan acuan

Stres dan Proses

Apa sih hubungannya.  Beberapa buku, bacaan serta hasil perbincangan dengan sahabat menunjuk bahwa sejak proses industrialisasi, lalu terus ke mudahnya komunikasi serta teknologi dengan gadget dan internet telah membuat informasi membanjir. Cepatnya informasi tersaji, mudahnya diperoleh, serta “rasa” kebanjiran membuat banyak orang merasa kebanjiran, dan tidak kuasa memilih dan memilah.  Seolah semua menjadi prioritas, semua penting (ingat tulisan saya sebelumnya tentang hal “PENTING”) .  Feel helpless.  Lho?

Gejala serba cepat, mengundang perubahan perilaku orang menjadi serba instant.  Jadi ingat motto Olimpiade, Citius, Altius dan Fortius, yang diterjemahkan secara bebas, lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat. 

Bila dihubungkan dengan perubahan pola perilaku yang serba instan tersebut di atas, maka ibarat pembandingan dengan hal lain, orang lain, pihak lain, atau banding dirinya sendiri tapi dalam tempo singkat. Nah…. Ini baru menimbulkan stres, sebab kalo ndak tercapai (dalam waktu singkat) maka tidak dapat bersaing. Lho kok begitu?

Lha kembali pada keinginannya adalah serba lebih dari yang lain, tetapi dicapai secara singkat, maka ini yang justru ada perbenturan antara harapan dan kenyataan.

Sebab kebiasaan saat ini, justru semakin kurang dan semakin meninggalkan penghargaan terhadap proses, perlu waktu, perlu persiapan dan seterusnya.  Lha wong bayi aja untuk lahir butuh 9 bulan di kandungan, juga bayi untuk bisa berjalan saja, butuh proses merangkak dan seterusnya.

Muda

Kembali ke penampilan muda, segar, fokus, ndak mudah capek, juga siap dalam menghadapi di bermacam kejadian hidup, kok kelihatannya bukan soal penampilan, tetapi juga pikiran dan mental untuk tetap hijau, tetap mau belajar, mau menyesuaikan diri juga open mind, dan ndak grusa-grusu. Nah jenis ini yang justru ada saat muda, sebab didorong oleh sikap agresif dan sembrono, ndak punya rasa takut.

Kok rasa takut? Mohon tidak disalah-artikan sebagai rasa takut karena hal yang tidak diketahui melainkan karena rasa penghargaan melukai orang lain atau pihak lain secara sengaja.

Monggo siapa mau?



Jakarta, 12:33; 21Mar2014 

March 10, 2014

Mencari salah atau memberikan berkah?


Sejak kesetrum tadi pagi, dimana sejak bangun pagi aku memutuskan untuk mulai melakukan reset pikiranku, dan melakukan permenungan dalam diam, ternyata mulai membuahkan hasil.  Hidupku menjadi lebih kalem, tenang, decisive, enak ambil keputusan, juga bisa hitam putih melihat “perjalanan” hidup. 

Ndak berapa lama ini, sobat kerjaku masuk bilik kerjaku dan sharing, progress. Lalu bincang-bincang “what next”? ternyata ndak usah terlalu lama, kalo hidup ini menunggu ya ndak kemana-mana, lalu kuputuskan saran untuk melakukan presentasi, dengan agenda lalu memasukkan beberapa sub agenda tentang bagaimana kejadian (baca: loop atau lubang) lalu ini bisa terjadi. 

Setelah sobat tadi meninggalkanku. Baru ku sadari bahwa kok ternyata selama ini yang terlihat adalah hanya “gap” antara yang terjadi dan yang “seharus”nya atau yang kita pikir benar.  Nah kalo sudah disampaikan, apakah hal ini ndak malah membuat pihak lain kebakaran jenggot? Pengalaman ku, sangat jarang orang lain akan menerima dan mengapresiasi perkataan kita. Lha wong yang disampaikan adalah “kekurangan” yang gap tadi…

Menarik untuk ditelusuri, kembali pada tulisan ku beberapa waktu lalu, ternyata hidup ini dijalankan sesuai dengan yang kita pelajari, terserah apa hal itu kita intensi-kan atau kita lakukan dengan otomatis ndak sadar.  Nah lho, lha kalo kita jalankan hidup ini dengan ndak sadar, pantes kan kalo kita suka kaget-kaget terhadap kejadian yang kita alami.  Ndak kalo kaget mulai menyalahkan orang lain karena kita merasa benar, padahal kita ndak sadar melakukannya.

Kembali pada topik semula, akankah kita “mencari-cari” lobang kesalahan untuk alasan efisiensi, atau kemajuan atau progress juga ekspansi atau kita justru sharing membincangkan perbedaan guna saling respek dan menghargai. Lalu dilanjut dengan apa yang menjadi tugas kita, yang tentunya didasari intensi baik di semua pihak. 

Monggo….


Jakarta; 10:21; 10Mar2014

Ndak tau deh


Saat ini yang kurasakan adalah ingin mencari yang ndak ada di hatiku, ndak ada di rasa ku, ndak ada di milikku.  Sebab semua yang ndak itu terasa sangat seru, sangat asing, sangat ndak tau, tapi kok menarik untuk dijajaki.

Sempat kunamai keadaan diriku ini adalah Si Pemburu. Yakni orang yang baru merasa terpenuhi saat menembak dan mengambilnya.  Seru saat mengikuti, memantau, memonitor, juga mengintip target buruan, tetapi beberapa saat begitu memperolehnya “langsung” terasa hambar, tawar, hampa, nol besar.

Membaca beberapa buku tentang ini dan berbincang dengan beberapa sahabat yang telah mengalaminya, ternyata salah satunya adalah betapa kita perlu menggali dalam diri kita apa yang sudah ada atau memang telah ada tetapi kita tidak pernah kunjungi.  Hal ini sampai pada saat orang lain “meminta”nya dari kita atau sampai saat kita misalnya (amit-amit) sakit, ternyata membuktikan kita masih punya hal itu. 

Sebagai contoh, saat kemarin anakku kedua, mengatakan, pak, mas mau bawa kameranya ke Bandung, kan bapak sudah lama ndak pake. Mustinya kalo ada yang mau pake, mas kan boleh ya pak? Lho ternyata si kamera tersebut ada di sudut berdebu, dan masih bisa dipake untuk motret, bahkan kata anakku, itu kan lebih canggih dari yang satunya bahkan bisa buat bikin film pak. Ini lebih bagus daripada motret pake Ip*one. Lebih elegan pak, kalo ada acara kalo pake kamera ini. He he he

Cetaaaaaarrrrrr, rasanya dipecut aku mendengar anakku demikian tadi.  Ternyata masih ada dan bisa dipake anakku sendiri…

Minggu lalu, hari Selasa saatku ke dokter, dan menyampaikan hasil lab darah, ternyata trigliserida ku adalah 880.  Menurut dokter, lho itu kan bagus, berarti indikator (milik) kamu masih bagus, kamu masih bisa sakit kepala, yang berarti kamu masih punya kepala dan masih menunjukkan fungsinya dengan baik.  Itu aja yang kelihatan.

Kemarin saat ku ikut istri acara kumpul keluarga besar, Om ku banyak bercerita, banyak memberi saran. Bahkan anakku yang sudah kuliah ini diceramahinya. Awalnya aku sangat terganggu, sangat terintimidasi, tetapi ku pendam semua dalam hati. Dan saat kusampaikan ke istri, betul sekali, dia memadamkan “keruwetan” ini dengan menyampaikan, lho kan itu bagus berarti kamu masih punya perasaan. Coba kalo sudah ndak punya, ya ndak terasa apa-apa.  Nah kan……

Menarik kan untuk ditelusur lebih jauh….

Monggo



Jakarta, 08:59; 10Mar2014

Pencarian



Sudah hampir dua minggu aku merasa aneh, marah, ngedumel, mengeluh, mengesah, ndak sabar, kesel, sebel, benci, terpojok, dipental’in, di-pingpong, dikerjain, dibiarin, disuruh-suruh, tapi juga ditabrakin tembok. 

Awalnya kukira hal ini karena apa yang aku rasakan berasal dari luar ku, malah pada minggu pertama distraction, aku ndak mau olah raga, jadi dalam satu minggu tujuh hari itu, hanya kulakukan satu kali, pelarianku ke makan. Sampai pada puncaknya suatu malam setelah misa kami sekeluarga makan di restoran padang dan kumakan apa yang kuingin makan. Saat itu ndak terasa. 

Turning point terjadi esok harinya, hari senin minggu lalu pas pagi, dimana begitu bangun pagi, ku terasa semangat dan melakukan olah raga jogging lebih kurang lima puluh tiga menit. Badan segar, pikiran segar, excitement terasa dalam auraku. Menyebar, menyeruak, menyembul kemana-mana sampai pada makan pagi, masih basah kuyup oleh keringat, dan setelah makan untuk memperoleh hasil yang optimal, kuminum fat burner. Nah ini……..

Masih sempat ku mampir ke bank sebelum kantor, juga sesampai di kantor, masih terasa badan dan tenggorokan panas serta kering. Kupikir hanya karena sport yang memeras keringat, sehingga kebutuhan air begitu besar.  Akhirnya sakit kepala dan tekanan darah yang naik cukup tinggi. Yang pada gilirannya membuat pentingnya bedrest dan mengurangi serta mengelola makanan asupan badan ini. 

Pada sabtu minggu kemarin, setelah beberapa hari mulai pemulihan, kurasakan kembali apa yang terjadi hampir dua minggu lalu, dan tetap menyeruap menyembul keluar…. Apa sih yang sedang kucari? Kok segitunya membuatku terhuyung-huyung kena tinju?

Beruntungku punya pasangan pacarku selalu, istriku tercinta. Juga di sampingku anak-anakku yang tetap ada dan berkenan berbincang denganku. Kelihatannya ini merupakan buah Berkah Gusti Allah, yang selama ini kucari. Diperkenankanlah mewujud di sekitarku.  Padahal itu semua sudah ada dalam ku, melekat dalam ku, menyertaiku selalu. Kok musti kucari keluar, di luar, dan bahkan di “kebendaan” di luar ku. Nuwun sewu mohon maaf Gusti, maafkan ku terus melakukan ini…..

Membaca karya Osho, salah satu spiritualist yang ndak bosan membagikan berkah Gusti, melalui tulisan-tulisannya, “Twenty Difficult Things to Accomplish in this World”.  Atau terjemahan bebasnya, ada dua puluh hal yang sulit dicapai di dunia ini.  Ndak usah baca keduapuluh hal tersebut, baru membaca dan meresapkan yang pertama saja sudah serasa kena tendang dan dipukul pake bangku bakso kayu. Nah lho, yang begini ini……

Pertama, It is difficult for the poor to practice charity. Yang diterjemahkan bebas, Sulit bagi orang miskin untuk membagi sesuatu.  Nah lho. Belum-belum kita sudah membayangkan, waduh orang miskin kok disuruh (diminta) untuk berbagi? Lha wong yang ada padanya aja kurang. Sebentar-sebentar, jangan-jangan, ini miskin yang lain maksudnya…..

Demikian secuplik kalimat yang “cukup nendang”…  Hidup ini bukanlah digambarkan sebagai jalan yang melimpah bunga, mewangi, indah dan seterusnya.  Hidup ini sulit, kompleks.  Jadi memang sangat langka untuk tetap hidup dengan roso yang “penuh” setiap waktu.  Mewujud lahir di dunia adalah satu hal, tetapi tetap “hidup” menjalani kehidupan ini, nah ini hal lainnya.  Sebab mewujud lahiriah ini adalah badani, tetapi “tetap hidup” adalah dimensi yang benar-benar-benar berbeda, sebab ini sudah masuk dalam kancah spiritualitas.  Betul, bahwa “berpindah” dari badaniah ke spiritualitas adalah sulit.  Penuh tantangan di sini.  Perlu loncatan yang luar biasa.  ……

Osho menyampaikan pula, …ada terdapat dua puluh puncak Himalaya yang menantang anda, ini adalah undangan besar untuk anda.  Jangan menetap di lembah (subur) yang aman, nyaman. Anda tidak akan bertumbuh, tetapi (hanya) bertambah tua. 

Kembali pada Hal Pertama menurut Osho. Bagaimana kita akan membagi lha wong kita sendiri miskin? Sebentar, jangan terintimidasi dulu, yang dimaksud miskin di sini bukan hanya harta, tahta dst….  Sebab katanya, … jika kita tidak memilikinya, ya jelas ndak dapat membagi dong… Untuk membagi pada yang lain, pertama-tama, anda musti memilikinya. 

Lanjutnya, …saya melihat demikian banyak orang mencoba membagi cintanya kasihnya, dan mereka tidak memiliki cinta.  Karena yang ada padanya adalah kesulitan, keluhan, maka yang mereka bagi adalah kesulitan, kesusahan, dan keluhan akan beratnya hidup saja.  Pada saat berbincang, silaturahmi, coba ingat kembali, apa yang anda bincangkan? Anda pikir sudah berbagi cinta, tetapi yang anda bincangkan adalah kesusahan, kesulitan, keluhan. Nah ini apa yang dimaksud dengan cinta?

Untuk dapat membagi cinta, kasih, anda musti pertama-tama merasakan energi cinta tersebut.  Cinta tumbuh dari “dalam” diri. Cinta tidak tumbuh dari luar.  Kalo dari luar itu bukan cinta, melainkan pamrih, jual-beli, dagang, itung-itungan. Energi cinta, akan menyeruak keluar, luber, menyebar, menular, yang bahkan anda sendiri tidak dapat menahannya untuk tidak berbagi.  Energi cinta tidak itung-itungan, misalnya, bagaimana kalo orang itu menolaknya, bagaimana kalo dia justru meninggalkan saya, dst.

Cinta tidak terbendung. Kasih tidak memilih, energi kasihlah yang menyembur semua yang ada di sekitar kita.

Nah kembali pada pernyataan Osho, bagaimana kita mau berbagi kalo ndak memiliki kasih dan cinta?

Anda punya kasih dan cinta? Atau yang anda punya adalah kesusahan, kesulitan, pamrih? Mosok hal ini yang dibagi? Lha wong ini aja deficit (of love) kok mau berbagi?  

Monggo….


Jakarta, 07:07; 10Mar2014