Showing posts with label pilihan. Show all posts
Showing posts with label pilihan. Show all posts

December 02, 2013

Do you love money?

Pertanyaan ini menarik begitu saya buka-buka situs, menemukan dan membaca Sean Hyman, salah satu host CNBC yang telah menemukan rahasia pengelolaan keuangan dari kitab suci bahkan merupakan salah satu yang diterapkan oleh Raja Sulaiman (Solomon). 

Menjadi pertanyaan pertama adalah,"apakah anda mencintai uang (do you love money)?".  Sebab dibongkar dari kitab suci dan banyak kejadian, sumber keserakahan dan tindakan sembrono termasuk didalamnya manipulasi dan korupsi adalah kecintaan akan uang, akan materi. 

Kitab suci menuliskan, "The love of money is the root of all evil". Kecintaan akan uang adalah akar dari segala kejahatan.

Perlu membongkar arti cinta tersebut. Sebab bila kita menemukan arti cinta tersebut dengan sebenarnya, maka akan dapat diarahkan pada hal yang berguna, sekaligus dari cara maupun tujuan yang baik. 

Cinta menurut bahasa Yunani, Philargyria yang artinya adalah keserakahan atas uang atau keuntungan material.  Jadi jelasnya adalah bahwa keserakahan ini mengarahkan kita pada kecintaan yang tidak proporsional lagi yang menyebabkan cara dan tujuan kita berbeda dari kemaslahatan umat, atau menjadikan kejahatan akar dari tindakan kita. 

Raja Sulaiman mengatakan,"looking well into the matter."  Hal ini mengajak kita untuk menekuni dan meneliti dengan baik dan bijak semua yang ingin kita masuki.  Sehingga tidak semena-mena dan serta merta membutakan kita akan janji dan buaian gimmick keuntungan instan. 

Godaan ini bisa terjadi pada semua orang, termasuk yang kaya dan golongan terdidik. Zaman serba instan ini mengoyahkan banyak orang, dengan godaannya yang dapat meruntuhkan hati.  Apalagi dengan ilmu komunikasi yang baik, yang dibawakan dengan santun, kelihatan terpercaya. Tetapi apakah kita telah menelitinya sebagaimana pesan dari Raja Sulaiman salah satu orang terbijak di dunia yang pernah ada.

Menarik juga dibahas, ternyata kecintaan pada uang (love of money) ada di dua arah:

Pertama, kecintaan akan uang sehingga mendorong orang untuk melakukan hal-hal kreatif yang mengintimidasi orang lain secara elegan dan gradual, dengan iming-iming cara kaya mudah, murah dan cepat. Bahkan kalo dengan mempengaruhi orang lainpun akan dilakukan. 

Kedua, bila pada pertanyaan tersebut kita jawab dengan, tidak, saya tidak mencintai uang sedemikian brutal sehingga saya lebih memilih yang safe aja. Hal ini sebenarnya juga karena saking cintanya, maka melakukannya dengan cara defensif dan "menyimpannya di bawah bantal", dan ikut menyumpahi cara-cara investasi yang membuat orang menjadi lebih kaya. Ini juga merupakan penyakit yang tidak baik.  Malah saking takutnya, dia ndak akan ikut investasi apapun dan malah menghindari apapun yang berbau investasi, penempatan dana, tabur tuai dan seterusnya.  Hal ini hampir mirip dengan cerita talenta dari kitab suci yang karena hamba yang dipercayakan "hanya" satu talenta merasa tuannya jahat, curigaan, tidak percaya pada hambanya, sehingga orang tersebut tidak hanya curiga dan benci pada tuannya, tapi juga membenci dan iri dengki pada hamba lainnya yang dipercaya memperoleh dua talenta dan lima talenta. 

Bayangkan, dengan hidupnya sendiri saja sudah demikian dibencinya, apalagi hidup orang lain. Boro-boro merasakan berkah tetap boleh hidup (dengan tuannya) dan bersyukur atas semua apa yang diterimanya. Yang ada kepercayaan tersebut malah dibalasnya dengan curiga dan kebencian hati.  Wow... familiar kan dalam hidup sehari-hari.

Hal yang penting untuk ditulis di sini adalah, tuan tersebut telah mempercayakan uang talentanya pada hamba-hambanya sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Demikian berkah Tuhan pada kita ciptaanNya, tentu sudah disesuaikan dengan kemampuan kita masing-masing. Buat apa iri dan dengki bahkan memiliki prasangka buruk? Push it to the limit, dan pintu ITU akan dibukakan untuk kita demi kemaslahatan umat sesama kita. 

Jenis ini, mengarahkan pada tipe "victim" atau korban, karena merasa dirinya orang paling apes yang hidup di dunia. Self pitty nya tinggi. Semboyannya adalah,"what's in it for me?" Apa untungnya buat saya?  Atau jenis kategori out-in. Ketergantungannya (pada hal lain/diluar dirinya) besar sekali.

Kalo jenis pertama di atas adalah jenis in-out, yang berani mengorbankan orang lain, karena "hati dan pikirannya" tertutup kabut (kecintaan akan uang/materi). Kemandiriannya lebih besar dari jenis kedua, tetapi bila hati dan pikirannya (miring) maka akan mengintimidasi orang lain untuk kepentingannya sendiri. 

Hal ini mengingatkan saya pada beberapa buku tentang berkah, rasa syukur, kerelaan, keikhlasan, saluran berkat, ketamakan, baik yang ditulis oleh Ahmad Chodjim, maupun Osho, Romo Sudrijanta, Tony Stubbs, Romo Anthony De Mello, Arvan Pradiansyah, Bang Rhenald Khasali, Bobby Laluyan, almarhumah Ibu Soegeng dan almarhum Bapak Soegeng, sebagai berikut:

Apa yang engkau miliki, karena ketamakan, sehingga tidak ada rasa syukur, tidak ada bela rasa, dan bahkan saat melihat orang yang membutuhkanpun engkau hindari, maka apapun yang engkau miliki akan Kuambil. Sehingga dalam kekuranganpun karena engkau mempertahankannya, akan Ku minta semua.   Dan engkau yang dengan sadar hati dan pikiran, bahwa semua yang kau alami, kau miliki, juga kau pegang itu adalah berkah Gusti Allah, yang dengan sadar dan dengan mudah kau salurkan pada umatKU dan sesamamu, maka apapun yang kau miliki tersebut akan Ku limpahkan
Lucu bukan? Justru saat kita yang kekurangan, karena takutnya berkurang, maka akan tetap dimintaNya, sedangkan untuk telah berkelebihanpun, karena merasa semua adalah PINJAMAN Gusti, maka apapun yang dipegangnya tetap di-LIMPAHKAN-Nya.

Melihat bahasan dan pelajaran di atas, terlihat bahwa menjadi sadar itu adalah pilihan, jadi tetap menjadi satu dengan keduniawian, juga pilihan. 

Monggo.....



Jakarta, 10:52, 2Des2013

November 08, 2013

Pilihan dan Kelekatan



Berikut ini kutipan dari jawaban Romo Sudrijanta atas pertanyaan dari peserta Meditasinya:

Menikah atau tidak menikah adalah pilihan seperti halnya kita memilih untuk bekerja mandiri atau bekerja sebagai karyawan. Bedanya, pilihan menikah atau tidak menikah merupakan pilihan hidup yang lebih fundamental dibanding memilih pekerjaan.

Apakah kecenderungan untuk “membiarkan segalanya mengalir” tidak lain merupakan ekspresi dari ketidakberdayaan menentukan “pilihan arah” atau merupakan suatu “sikap batin” yang terbuka terhadap semua kemungkinan?

Apakah pilihan-pilihan kita lebih ditentukan oleh kelekatan kita (nafsu, kesenangan, ketakutan, dst) atau oleh sikap lepas bebas? Adalah sangat penting untuk mengolah batin hingga kita mencapai sikap lepas bebas. Dalam keadaan lepas bebas, tentukan “pilihan arah” (menikah atau tidak menikah) dan laksanakan pilihan tersebut apapun bayarannya.

Menarik dalam membaca sekelumit jawaban Romo Sudri dalam menjawab kegalauan salah satu peserta Meditasi Tanpa Objek-nya.  Galau yang diantar oleh rasa ingin kejelasan, kestabilan, kebaikan, peningkatan, tapi tidak ingin melakukan upaya sebab pengalaman peserta, saat melakukan upaya hanya akan membuahkan keraguan apakah nanti pilihannya benar?

Jadi keraguan ini seolah penghindaran akan penerimaan paket atas suatu pilihan.  Ilustrasinya adalah membeli mobil baru.  Saat masih merupakan keinginan, aku berandai-andai aku akan bahagia kalo bisa membeli mobil Toyota Alphard*) tersebut. Kubayangkan saat pertama bisa membelinya betapa membanggakannya? 
Akan kupamerkan pada pasangan, pada anak-anakku, pada sobat dan temanku, biar saja orang yang membenciku semakin benci sebab akhirnya mobil tersebut menjadi milikku. Dan saat ku bisa memperolehnya, betapa senang dan bangganya hatiku.  Saat menjalankan dan bermobil didalamnyapun terasa orang lain akan memandang dengan iri karena menginginkan kenyamanannya.  Dan beberapa saat kemudian, mulailah aku menghadapi kenyataan, bahwa spare-partnya mahal, saat kedua spion mobil ini dicopot paksa oleh sekelompok anak muda di sekitaran Semanggi Senayan. Berikutnya, saat mobil ini tersenggol gerobak penjual kaki lima, di sebelah kiri atas ban. Maka luka lecetlah mobil kesayangan. 
Ditambah, bensinnya yang tergolong boros.  Hua ha ha ha ....

Malah, dulu bapakku pernah menyampaikan, beli mobil gampang, tapi memakai dan memeliharanya dengan bijak itu yang sulit. Tapi kalo kamu sudah melampaunya maka mudahlah kamu menjalaninya. 
Monggo....


Jakarta 13:03, 7Nop2013

August 14, 2013

Punya Pilihan atau Ndak Mau Memilih, tak iye...



Pagi ini memang begitu cerah dan warna-warni di media cetak yang kubaca ini. Setelah membaca model gaya beli masyarakat kita (termasuk aku dong ya..), di halaman finansial... terbaca demikian:

...secepatnya saja pegawai menentukan sikap, sehingga memudahkan perencanaan ke depan (bagi kedua lembaga ini)... pejabat juga mengaku masih terdapat sejumlah kendala kepegawaian karena masing-masing lembaga (tersebut) membutuhkan sumber daya manusia yang cukup (cukup apaan nih? cukup pintar? cukup nurut? cukup nekad atau justru cukup prihatin?) untuk menjalankan kegiatan administrasi.  Nah jelaskan, pegawai yang diharapkan bukan yang pandai, tapi yang setia dan nurut.

Pantas saja kalo sikap pegawai ditunggu, mau milih yang mana? Sementara lembaga butuh, tapi kok kalimat pejabatnya begitu? eh eh eh tunggu dulu, bukannya penulis reporter bisa saja membuat intonasi dan intensi supaya kliatan bingung...

Atau aku aja, Didik ini, yang kepo pengin komentarin urusan orang lain... hua ha ha ha

Sebagai (sesama) pegawai, tentunya aku juga punya pengalaman seperti ini. Saat organisasi butuh, tapi kok ndak pernah disampaikan, kita dibutuhkan untuk apa? dengan kriteria seperti apa, atau nanti direncanakan organisasi akan berubah seperti apa sehingga si Didik yang pegawai ini mau diharapkan jadi apa. Tapi begitu si Didik, yang pegawai ini melakukan tindakan nekad, walau itu baik (menurut diri sendiri), tapi karena (mungkin juga ya) ndak benar menurut organisasi maka ditegur, menyalahi aturan.

Tapi keluar siar organisasi, monggo si Didik yang pegawai ini, menentukan sikap. Hayo, segera menentukan sikap.... (ditunggu oleh organisasi....) kok ndak bersikap-sikap?

Biasanya kalo ndak bersikap-sikap lalu, akan ada siar keluar seperti di koran ini... he he he (it sound familiar kan?)

Buat si pegawai sih, kalo memang penting tentu akan "punya sikap". Kalo pilihan lain (yang belum tentu enak), nah ini namanya comfort zone, ya ndak milih.... Tapi bilangnya biar keren kan,"kami tidak punya pilihan!!"

Hayoooo ngaku....



Jakarta, 14Aug2013, 9:02

April 10, 2013

Aku memilih


Saat belajar di SD, aku dipilihkan oleh almarhum ibu. Masuk SMP, aku yang memillih. SMA, adalah pilihanku. Perguruan tinggi yang aku jalani sebenarnya bukan aku yang memilih pertama kali, karena ikut-ikutan dengan sahabatku, yang ternyata tidak mendaftar di tempat tersebut. Saat ada panggilan kedua, almarhum bapak memintaku untuk masuk dalam perguruan tinggi tempat aku mendaftar tersebut. Katanya, ndak mungkin kamu dipanggil kalo bukan kamu sendiri yang memutuskan untuk menuliskannya. Walau sampai dengan lulusnya aku  tetap merasa bukan aku yang memilih. (masih dengan mental victim: menyalahkan orang lain untuk kejadian yang aku jalani…..)

Mulai dengan melamar pekerjaan, aku yang memilih, juga saat pindah kantor kedua dan ketiga. Apakah ada beda antara aku yang melamar atau ditawari oleh orang lain? Sebab kedua pilihan tersebut tetap membutuhkan aku untuk memutuskan dan bertanggung jawab dengan pilihanku kan? Hayooooo…..

Pilihan adalah apapun yang diputuskan dan ada tanggung jawab serta konsekuensi yang menyertainya. Sewaktu di perguruan tinggi, aku merasa bahwa kalo aku dipilihkan atau ikut pilihan bapak, kan kalo ada apa-apa yang membuat tidak sukses kan boleh (baca sekali lagi: boleh menyalahkan orang lain, juga bapak…)

Belakangan sejak bekerja, ternyata dunia ini begitu kejam. Aku memilih, atau ndak memilih (jadi akibat orang lain yang memilihkan) kenyataanya apapun yang aku putuskan untuk menjalani (walau bukan pilihanku…--masih ngotot bukan pilihanku lho, walau aku jalani--…) langsung dan tidak langsung tetap kena di aku. Itu adalah paketnya. Suka ato ndak suka. Apa masih mau menyalahkan orang lain (kalo apes), dan menerima manfaatkannya kalo enak…..   Lho kok enak banget kalo gitu….

Hidup ini indah, apapun bagaimanapun di manapun siapaun kapanpun, penting untuk sadar dan waspada. Setiap sepersekian detik itu berharga. Diam juga merupakan pilihan. Apalagi bergerak…..

Hayoooo masih mau mengatakan kalo semua hal itu adalah akibat hal lain ato orang lain? Dasar mental victim….yang ndak mau sadar…..

Hayuuuuk aaaaah

Jakarta 10 April 2013

February 11, 2013

Kepastian dan Kebebasan



Seringkali saya terjebak dalam perjoangan dan pencarian serta pengorbanan untuk mencari kepastian. Pertanyaan dilayangkan, pertemuan dilaksanakan, perjalanan direncanakan. Tapi adakah kepastian? Seringkali justru hutan gelaplah yang ditemui. Semua orang melengos, alampun diam membisu. Terang surya menyinari, guyuran hujan melebat, membuat orang termasuk saya mengira bahwa itu tanda dari Tuhan, Gusti Allah kita
.
Semua diam, tidak memberi jawab, bahkan untuk sekedar kehangatan dan sekedar pelepas dahaga dari pencarian yang panjang...

Apa masih tetap perlu dan penting untuk mencari dan memperjoangkan kepastian di hidup yang memang tidak pasti. Bukankah sering kita temui bahwa yang pasti justru ketidakpastian?
Apa ya tetap ada kepastian naik pangkat, kepastian sejahtera, kepastian hidup akan membaik? Sementara hidup dengan segala gejolak, dinamika serta perubahannya justru membuat kita hidup? 

Lho......?   Jadi sebaiknya bagaimana?

Apa masih perlu dan penting untuk mencari kepastian? Monggo diputuskan.....

Sementara saat hidup kita terhimpit banyak hal masalah, beda kenyataan dari harapan, serta tekanan dari pekerjaan, keluarga serta perjoangan mencari kepastian tadi, kita menginginkan bahkan “mencari” dan mendambakan (seolah-olah tidak ada di tempat dan waktu kita saat ini dan di sini) untuk mencari kebebasan. Bebas untuk apa sih? Kelegaan untuk berbuat apa? Buat apa? Melepaskan dari siapa? Dari apa? Mengapa penting untuk diperjoangkan? Bukankah kita yang mencari kepastian, memperjoangkannya, lalu dalam perjalanannya, justru mencari kebebasan untuk berbuat apa saja, buat siapa saja? 

Pertanyaannya adalah: apa kita merasa tidak bebas? Dari siapa? Untuk melakukan apa?
Kalo dikatakan nanti kan berarti kita melanggar hukum? Aturan? Kesepakatan? 

Kembali pada pertanyaan, apa kita tetap tidak punya pilihan? untuk mengambil keputusan? 

Kok malah membingungkan ya.....????

Jadi sebenarnya yang dicari kepastian atau kebebasankah? Apa kita punya pilihan untuk mengambil keputusan? Mengapa kita takut? Takut pada apa? Siapa? Kenapa? 

Mosok pejoang, takut konsekuensi? Lha kalo gitu ngapain kita berjoang?

Monggo......

Tanjung Redep, 9:00, 11Feb2013

January 30, 2013

Takut...

Siapa yang takut? Mengapa takut? Apa yang terjadi? Berapa besar kerugiannya? Siapa yang bakal kena? Apa yang diambil? 

Wah jadi ndak punya apa2 dong?
Wah nanti tindakan saya diusut dong? 

Lho, kalo begitu mengapa kita takut? Apa kita ndak punya pilihan? Apa kita tidak mau bertanggung jawab?  Apa yang kita pertahankan itu sedemikian bernilai? Apakah kita akan kehilangan segalanya? Kehilangan nama baik? Kehilangan harga diri? Atau justru kehilangan nyawa kita? 

Kembali ditanyakan: apakah kita punya pilihan? Apakah tidak ada yang dapat kita pertahankan? 

Kalaupun kita rasakan, endapkan, dan jalankan, apakah sebegitunya kita ndak punya apa? Kapan? Sekarang? Nanti? 

Lho kalo sudah ndak punya apa2, kok kita masih takut? Jadi kita mempertahankan apa? 

Jadi kita takut apa sih? 

Bukankah yang berharga dalam diri kita adalah diri, iman, kasih Tuhan? 

Apa hal inipun mau diambil juga? Monggo......

Tanjung Redep 13:39, 30Jan2013

April 23, 2012

Bertemu Prof Dorodjatun...


Pelajaran penting dari pertemuan dengan Prof Dorodjatun…

Setelah memperoleh waktu untuk bertemu dengan beliau, ternyata kesan pertama bahwa beliau pernah menjadi Dekan FEUI, Menteri sewaktu zaman Orba, Dubes Indonesia untuk Amerika Serikat, Menteri zaman Reformasi, Komisaris Utama di beberapa perusahaan ternama, hampir tidak tampak. Justru beliau tampak sebagai seorang sahabat yang bersedia sharing pengalaman dan pertimbangan di masa mendatang.
Pertimbangan untuk menghadapi masa depan inilah yang membuat saya memberanikan diri untuk menghadap beliau.  Saya belajar dua hal besar, yaitu bahwa hadapilah segala sesuatu tanpa emosi (dettachment), kedua disiplin dalam memilih.
Hal pertama tampak dalam tindak tanduk, sikap dan pola pikir beliau yang setia pada prinsip dalam menghadapi hidup.  Beliau sampaikan,” apa sih yang permanen di hidup ini? Bukankah itu kematian dan perubahan. Jadi apa yang perlu kita siapkan? Legacy. Apa yang akan kita tinggalkan yang akan bermanfaat bagi sesama.”
Luar biasa. Beliau sampaikan bahwa hidup ini untuk dihadapi, terlalu singkat untuk melakukan hal-hal yang sia-sia. Berpikir dan bertindaklah strategis dan berdampak jangka panjang. Godaan sesaat adalah pola masa lalu.
Bahkan beliau sempat membagi nasehat orang tuanya,”mintalah nasihat dari orang tua atau orang yang kamu tuakan; juga mintalah nasihat dari gurumu. Bila tidak demikian, maka hiduplah yang akan memberikannya.” 
Disiplin, ini merupakan hal kedua yang beliau sampaikan. Kenapa? Sebagai contoh, banyak sekali orang lupa (atau tepatnya nglupa) saat berkuasa, saat berpunya, saat ada kesempatan, tetapi hal yang dipilihnya adalah yang berdampak jangka pendek (short-term-nisme). Sehingga temptation (godaan) yang seolah indah dan enak tersebut langsung ditubruk tanpa memperhatikan apa yang seharusnya kita lakukan, sesuai dengan tujuan kita.
Ilustrasi, banyak perusahaan setelah bertumbuh, maju, lalu kesempatan ada untuk semakin berkembang, apalagi pendanaan memadai.  Lalu yang dipikirkan adalah integrasi. Bila berdisiplin, maka yang kita pilih adalah integrasi vertical atau integrasi horizontal. Tetapi ingat, saat itu godaan begitu menggairahkan, maka yang ditubruk adalah investasi dalam bidang-bidang yang (hampir) tidak berhubungan dengan bisnis asli-nya.
Bayangkan, apa yang terjadi bila kita masuk dalam usaha yang bukan kompetensi kita? Apakah akan berjalan baik dalam jangka panjang? Apakah tidak ada “cara” lain untuk memperoleh benefit?
Pola yang kedua erat hubungannya dengan pertanyaan, apakah kita perlu memiliki atau hanya menguasai?

Beruntungnya saya sempat bertemu muka one-on-one sharing dengan beliau. 

Demikian tulisan kali ini di sampaikan. Monggo….. 
Tuhan memberkati rekan tercinta selalu.

Jakarta 17.10 23Apr2012 

October 11, 2011

Melayani

Apa yang timbul bila kita menyebut kata "melayani" ini?

Seringkali kita membayangkan bahwa melayani berarti melakukan tindakan untuk seseorang dengan tidak perlu mengindahkan apa yang kita rasakan. Apakah kita senang melakukannya? apakah rela kita melakukannya? apakah kita mengharapkan sesuatu dari tindakan kita? apakah kita justru membalas tindakan seseorang tersebut, sehingga kita melakukan pelayanan itu?

Apapun jawabannya, penulis menemukan sesuatu, bahwa dengan melakukan pelayanan, berarti kita merelakan sebagian (atau seluruh) ego kita, sekaligus tanpa kehilangan kendali.

Mungkin dari rekan pembaca akan merasa terganggu pada penggalan kedua kalimat diatas. Wong kita merelakan sesuatu kok ndak kehilangan kendali. Apa bisa? apa mungkin?

Disinilah tantangannya, sebab bila kita rela dan "cul-culan" (atau bahasa jawa-nya adalah "wis, tak cul no, sak karepmu dewe...) maka hal ini berarti kita merelakan, tapi masih ada yang kita lepaskan dengan tidak rela (baca: pamrih).

Maksud penulis pada pengartian di atas adalah: bahwa melakukan pelayanan adalah pilihan (choice) dari pelaku, sehingga dengan sadar dan bijaksana, tentunya disikapi dengan baik yaitu tetap dalam kendali pelaku yang bertanggung jawab. (bukan cul-culan).

Demikian sedikit curcol penulis, monggo bila ada rekan pembaca yang berkomentar lain....

Jakarta 13.37 Okt11,2011