November 04, 2013

Mimpi Jadi Pemimpin



Tadi malam, aku bermimpin mewakili negeri tercintaku dalam forum internasional, diisi oleh para pemimpin negara besar, yang cenderung sombong, norak sekaligus pro status quo.  Diisi oleh meja melingkar dari suatu ruangan yang sangat besar, serba putih, juga sangat senyap. Semua menunggu giliran untuk bicara. Tapi lucunya yang dibicarakan adalah ketahanan pangan, ketahanan energi serta ketahanan lainnya yang mendukung kemampuan bumi tempat perpijak ini untuk lebih mengarah pada kesejahteraan dengan dasar pertukaran antar negara sehingga masing-masing lebih berdaulat. 

Ngeri lihat judulnya. Tetapi saat dimulai jam sembilan waktu setempat, ternyata pembicaraan hanyalah melulu kemauan negeri kaya raya untuk lebih bisa mengeduk sumber daya alam dan kemampuan negeri lainnya yang dilihatnya lebih rendah dan kurang berdaulat, serta dianggap lebih rendah kemampuan tawarnya.  Terlihat dari cara bapak-bapak terhormat tersebut mengemuka pendapatnya, hanya dinyatakan satu arah dan gerak pola badan atau sering disebut gesture tidak mensyiratkan inginnya jawaban atau bahkan sanggahan. 

Wakil negeri Amerika Serikat, negeri-negeri dongeng Eropah dan Kerajaan Inggris serta negeri bawah yang mengaku dirinya bermartabat Australia menunjuk-nunjukkan jarinya pada negeri yang ber-indah dan bersumber daya alam melimpah, seperti negeri ku Indonesia, sang zambrud khatulistiwa, negeri-negeri indah di Amerika Selatan, juga negeri-negeri beralam luar biasa dan budayanya yang luar biasa seperti China, Mongolia, Vietnam, dan Jepang serta Korea. 

Dalam mimpiku, arah pembicaraan yang mulai tidak seimbang tersebut, memakan waktu lebih dari tiga hari tiga malam, dan pada gilirannya setelah negeri yang merasa diri kaya tersebut tidak ada bahan untuk mencela serta menunjukkan gigi nya, maka diberinyalah kami kesempatan untuk bicara.

Saat menunjuk pada Indonesia, kebetulan aku sebagai anak bawang, sebab dibanding mereka, bapak-bapak itu sudah berumur dan maaf mulai bau tanah, tapi masih mengagungkan tata nilai Barat yang sebenarnya mulai luntur, luluh serta menguap.

Mulailah kusampaikan pandanganku, dengan sura lirih, pelan, sopan, tanpa banyak basa-basi, serta tetap mengemukakan pandangan keutuhan bumi dan hubungan saling mendukung kedaulatan demi kesejahteraan masyarakatnya. Ku sampaikan ide tentang bagaimana saling respect, dan memberi, yang didasari kasih yang tidak berperhitungan. 

Ide tersebut antara lain:
  • ·         terbuka yang bukan telanjang
  • ·         mendengar untuk memberi
  • ·         barter karena kebutuhan
  • ·         nilai tukar adalah kasih

Belum selesai ku sampaikan, baru mau masuk pada penjelasan, walaupun sudah kusampaikan bahwa tidak akan memakan waktu lebih dari sepuluh menit, bapak-bapak terhormat itu sudah memotong pembicaraan dan ingin diganti oleh pembicara berikutnya.....

Bahkan disampaikannya,"apa yang kamu tau anak muda yang masih bau kencur ini? Menulis saja baru bisa kemarin sore, sudah ingin meng-kuliahi kita. Berapa banyak yang bisa negerimu hasilkan, usahakan dengan dana sendiri, tanpa perlu mengganggu kami. Anak muda yang sombong, pongah dan tak membaca sejarah, Ganti.....!!!!"

Hanya diam dan senyaplah balasanku. Tidak ada senyum tidak ada dendam dan kesal. Hanya rasa kasihan yang ada padaku karena mereka tidak tahu apa yang mereka pikir, perbuat apalagi katakan.

Monggo.........

Jakarta, 09:05, 4 Nop2013


No comments:

Post a Comment