November 07, 2013

Jujur, Terbuka, Transparan, Telanjang



Belakangan ini beberapa kata ini sering aku dengar, aku baca, aku liat di media cetak maupun media elektronik. Kok begitu gampang orang mengatakannya? Apa sebenarnya hal ini benar-benar dia inginkankah? Apakah hal ini ingin diterapkan untuk orang lain kepadanya semata atau dia juga secara konsisten melakukannya pada diri sendiri, juga pada orang lain?

Nyinyir kah aku? Ya jelas dong, lha wong aku melakukannya aja teman, juga keluargaku protes. Apalagi orang lain yang ndak dikenal.

Jujur, apa sih yang dimaksud jujur. Dalam bahasa dan pengertianku, jujur adalah menyampaikan apa adanya, tanpa dibumbui, tanpa diubah intonasinya, juga tanpa dikurangi. Just it. As is. Coba aku jujur pada istriku, kalo aku punya pacar lagi. Pasti dia akan murang moring marah-marah ndak karuan. Sebelum minta penjelasan, pasti dia akan mutung, ngambeg.  Kedua, coba aja, aku jujur pada perusahaan tempatku bekerja kalo aku juga masih bekerja untuk perusahaan lain. Maka aturannya menjadi bingung. Mau dihukum, dia jujur, ndak dihukum karena sudah ngaku dan self-declare, kok ndak sesuai dengan aturan. Maka semuanya serba bingung, jengah malah susah.

Jadi maunya apa sih?

Apa iya jujur itu tuntutan ku (enaknya pake istilah sendiri kan? Daripada pake istilah orang lain?) hanya untuk orang lain padaku? Atau memang aku juga jujur pada orang lain? Hayoooo ini kan timbal balik. "Mau ndak"? Maafkan ya, aku ndak tanya "mampu atau ndak"?  Lha orang itu pasti mampu, tapi mau atau ndak itu yang selalu menjadi masalah.

Terbuka; nah ini aneh lagi. Orang sering teriak-teriak minta keterbukaan, disclosure, itu bahasa kerennya, transparansi.  Nah kalo terbuka ngablak? Telanjang? Semua orang boleh meniru? Coba dipikir dulu, maksudnya terbuka itu opo?

Misalnya: dulu waktu kecil aku sempat pake uang ibu untuk beli permen. Sebab sebelumnya kuminta dibelikan permen (terbuka kan?), tapi ibu ndak setuju (juga terbuka kan?). jadi saat ibu memintaku beli minyak di warung depan, kembaliannya kubelikan permen (ndak jujur). Lalu kubagi-bagikan pada mbak ku dan adik ku. Sore hari, baru ibu tanya, Le.. (asal kata Tole), kembalian beli minyak tadi kemana? Kujawab,"he he he, bu tadi kubelikan permen (jujur setelah ditanya), kumakan dan kubagi ke mbak dan adik." Oalahhh Le... itu kan sebenernya buat tabunganmu (blessing in disguise... tapi sudah telat).

Halaaaah. Waduh...

Ini yang namanya jujur, ndak terbuka tapi malah bikin nyesel sebab artinya ndak jadi deh tabunganku nambah. Lha wong sudah dimakan dan dibagikan. 

Jadi apa iya kita masih menuntut orang lain untuk jujur, terbuka, transparan, dan telanjang, sementara kita sendiri ndak mau melakukannya pada diri sendiri apalagi buat orang lain secara sukarela, yang tanpa diminta? (baca: dipaksa sebab kepergok...)

Monggo.....



Jakarta 10:54, 7Nop2013

No comments:

Post a Comment