November 20, 2013

Kagum atau Kasihan


Ditemui sahabatku yang baru masuk kantor selepas masa tiga bulan setelah melahirkan, bersalaman, berbincang, saling menanyakan kabar? Indahnya. Lucunya adalah bahwa kondisi ini langsung mengingatkan beliau untuk kok beda dengan tiga bulan lalu sebelum saya melahirkan ya pak?

Apanya yang beda? Ya jelas beda dong, kan tiga bulan lalu kamu baru mau melahirkan, perutmu sudah demikian besar, si jabang bayi sudah mau keluar, bahkan saat itu kamu sedang menunggu waktu yang tepat untuk ambil cuti melahirkan, juga sibuk untuk mencari pengganti; lha sekarang, organisasi sudah berubah, ndak tau apakah kamu masih di divisi lama atau divisimu justru sudah dilebur atau malah justru dipecah menjadi beberapa divisi pelaksana?

Sementara aku masih di sini, posisi ini, hanya Berkah Gusti lah yang membuatku ada, masih cengengesan dan celingukan, dan kalo dulu masih beda gedung, sekarangkan satu gedung, dulu masih ada teman-teman seperjoangan, sekarang ya sendirian...eh ndak dong, kan aku bersama terus dengan Gusti Allah. Jelas ndak sendirian. Lho malah ini ketemu yang menarik ya? Makin ku sendirian, justru makin ku merasa bersamaNya. Makin dekat, makin terasa tanganNya menggandengku, kadang justru menggendongku. 

Jadi ingat sepotong cerita tentang jejak kaki di pasir pantai.... Suatu saat ku bertanya pada Gusti.... Duh Gusti, dunia yang kuhadapi kok begitu berat? daripada diam di tempat, maka ku tetap berjalan. Yang tadiku berjalan berdua, sebab ada empat kaki di pasir, tetapi kok saat ini justru jejak tersebut hanya ada dua kaki? Duh Gusti..... jangan tinggalkan aku.... Tidak terasa sambil berjalanku, tetes-tetes air mata membasahi pipiku, cengeng! biarin..... malu? ndak!! Ku putuskan tetap berjalan sendiri....please Gusti, janganlah Engkau tinggalkan ku sendiri dalam perjalanan ini.... Tiba-tiba ditendangnya aku, eh....kamu orang yang ndak tau diri. Apa kamu ndak merasa kalo jejak kaki dua itu adalah KakiKu, bukan kakimu. Sebab engkau justru yang AKU panggul, aku gendong. Sebab melihat dan merasakan dirimu saja sudah ndak kuat. Masihkah engkau merasa sendirian? Wahai..... Ampun Gusti, mohon ampun beribu ampun, sebab Engkaulah itu. Matur nuwun sanget Gusti mengingatkanku tetap bersamaku.... Berkah dhalem. Lalu bersimpuhlah aku, mohon ampun.....


Kemarin siang, aku bertemu dengan rekan lama, yang saat ini sekantor. Melihat dan menimbang begitu bedanya status dan situasi kelompok kami, maka awalnya perbincangan ini begitu kaku, aneh, rigid, dan kikuk.

Mulai dari saling bertanya kabar? saling menyampaikan kondisi fisik yang sehat. Padahal ndak tau apakah kondisi yang sama di dalam mental dan spiritualnya.  Lalu saya lontarkan doa agar apapun yang direncanakan bisa berjalan dengan baik dan berhasil. Maka lancarlah pembicaraan selanjutnya, curcol, curhat, cerita dan saling saran, terlontar...seru sekali.

Yang menarik adalah dilontarkannya sepotong kalimat buat ku,"enak bapak bisa ngatur diri, bisa ngalir, bisa menyatu dan membaur dengan kita."

Ndak terasa, terdiamku dibuatnya. Kalo bisa menetes, tentu air mata ini akan melelehi pipi. Dan seketika itu juga kering rasa di kerongkonganku. Tercekat. Ya ampun, Gusti. Inikah pandangan orang lain, liyan di luar diriku?

Betapa Mulia Engkau Gusti junjunganku. Maha Besar, Pelindungku. Yesus, Anak Manusia yang Hidup telah memberikan contoh dengan Hasrat Passion menyerahkah DiriNya untuk kita semua.......

Kalo ku masih dalam kondisi empat tahun lalu, mungkin akan kutampar dia, kumaki dia dengan semena-mena. Kondisiku saat ini berbeda. Dan ini karena BerkahNya membuatku lebih sabar, lebih mau menguliti diriku sehingga bukan casing manusia yang menyetir aku. Sekali lagi HANYA BERKAH GUSTI YANG MEMBUATku begini. Mana sanggup aku sendirian berbuat ini.

Bara dalam hati ini masih merah biru, membakar, terbakar, Gusti berkenan membungkusnya dalam kain lampin biru, indah, dingin juga sejuk. Sehingga batin ini cepat kembali ke tengah ayunan pendulumnya.  Luar biasa Gusti. 

Sedikit kutambahi, betapa orang lain ternyata kagum sekaligus kasihan, tetapi yang terungkap adalah ingin melihat, ingin mendorong, ingin menjerumuskan orang lain dalam jurang luka terdalam, yang tidak tersembuhkan. Sekaligus, tidak ingin menyentuh apalagi mengalami.  Biar orang lain saja yang melakukan dan mengalaminya. Kalo bisa "aku dan keluargaku" ndak mengalami. EGOIS......JAHAT, KEJAM.  Yak.......

Apa dengan begini kita masih mau mengikuti saran, petunjuk, ato perintah (baca: PERINTAH) dan peraturan orang lain? Yang jelas-jelas-jelas ndak peduli pada kita. Jelaslah kalo Gusti Allah Yesus mencontohkan bukan memberi saran, aturan, perintah apalagi ancaman. MEMBERIKAN CONTOH.  Walk the Talk.

Amin. monggo.....


Jakarta 08:59  , 20Nop2013

No comments:

Post a Comment