April 08, 2013

Todongan

Baru saja saya mengatakan bahwa semua yang saya alami dan miliki adalah titipan. Kapan saja dapat diberi juga dapat diambil.

Hanya karena peraturan maka tidak akan digunakan dengan cara yang brutal, sehingga todongan atau spotlight tidak langsung membuat kulit saya merah, luka bakar, atau juga gosong.

Todongan yang paling elegan adalah dengan cara meminjam tangan orang lain atas nama peraturan. Sehingga target akan “mati” karena sudah diperingatkan. Di mana seorang berwajib akan sesuai dengan aturan bahwa kalaupun akan menembak sasaran targetnya dengan memulai dengan peringatan berupa teriakan, kedua peringatan berupa tembakan ke angkasa, baru kemudian tembak ke sasaran tembaknya.

Sebagai orang yang menjadi sasaran tembak, apakah masih punya pilihan? Mau pilih pasif atau masih pilih aktif, pilih sembunyi atau justru pilih terlihat di publik. Pilih secara sukarela atau melawan,

Apakah masih ada pilihan lain? Penilaian menjadi basic, yakni, hadir, tanpa kontribusi, dan saya memilih belajar lagi, baca buku lagi, summary lagi, sehingga setiap saatnya saya siap untuk tugas (baik diri sendiri atau untuk orang lain).

Apakah sebagai target sasaran tembak, saya perlu takut? Perlu untuk khawatir? Bukankah setiap hari kita sudah isi dengan ketidakpastian? Sebab kalau kepastian, kan menjadi statis. Jadi kok ya apa saya musti grogi?

Bukankah yang grogi adalah pencatat kehadiran dan pemantau serta pengambilkeputusannya tersebut.
Apa saja yang dapat dinikmati, dipikirkan, dilakukan oleh seorang yang merasa dirinya menjadi sasaran tembak?

Apakah perlu mengubah pola hidup? Apakah perlu mengubah kebiasaan?

Menarik…..

Dapat dilakukan kedua alternatif tersebut. Pertama tidak perlu mengubah apapun. Just enjoy it. Kedua adalah mengubah sama sekali yang baru, lain dari sebelumnya dan kalo bisa pola yang belum pernah saya terapkan.

Usul adalah hadir dalam pemantauan, tanpa perlu siar2, tapi tetap bekerja dan belajar untuk mempersiapkan diri guna tugas berikutnya. Baik itu tugas untuk orang lain maupun untuk diri sendiri.

Berikutnya adalah: timbul pertanyaan, apakah saya akan menyalahkan dan marah dendam benci pada orang yang menembak dan akan terus menembak saya?

Jawabnya adalah apa perlu? Apa penting untuk merasa demikian?

Apakah dengan marah kita akan menjadi lebih baik? Apakah dengan dengan rela, ikhlas, dan legowo. Puji Tuhan, ternyata cara atau pilihan yang legowo jauh lebih enteng.

Sebagai pengguna casing manusia, tentunya rencana, pelaksanaan dilaksanakan dengan sebaiknya, tapi fakta dan hasil di lapangan tentu bisa berbeda. Apakah saya juga akan rela dan besar hati untuk menerimanya?

Kok sulit ya menjawabnya. Penginnya menjawab ikhlas dan rela. Tidak mudah tetapi dapat dilakukan dan dirasa roso demikian….

Monggo dicoba.

Jakarta 3 April 2013

No comments:

Post a Comment