April 08, 2013

Pengganti ato Pengalih?

Rasa kehilangan adalah rasa yang timbul karena saya mengangap memiliki sesuatu, misalnya memiliki harta, tahta, wanita. Itu istilah yang selalu diingatkan. Monggo ditelaah pelan-pelan.

Saat saya memiliki, maka saya akan memperjuangkan untuk tetap menjadi milik saya. Walau tau kalo di dunia ini tidak ada yang abadi. Lha wong yang tetap ada di dunia adalah perubahan dan kematian. Jadi apa iya kita perlu mempertahankan yang saya miliki?

Kalo begitu apa saya ndak perlu memperjuangkan untuk memiliki, mengalami atau menemui hal tersebut? Lho kok menjadi apatis dan pasrah bongkok’an?

Lha ndak begitu, wong yang ada di dunia adalah hanya berkah dan perkenaanNya. Jadi ikhtiar dan doa; ora et labora; adalah hal yang selalu bersanding selalu.

Harta, jelas, materi; kebendaan, sangat sulit dilepaskan. Misalnya wong saya bekerja untuk memberikan fasilitas bagi saya dan keluarga. Kok dilepaskan? Apa ndak dapat dilepaskan? Menarik di sini bila saya katakan bahwa melepaskan bukan menjual, lalu tidak merawat lalu melalaikan. Hal tersebut berbeda sama sekali. Monggo dilanjutkan dengan bersyukur. Kalau saya memiliki materi disyukuri kan komplit. Bagaimana dengan tidak memiliki materi? Ya tetap disyukuri. Kok lanjutannya tidak memiliki materi?

Materi ini untuk apa sih? Kenapa penting? Kenapa perlu? Monggo….

Ndak usah pake orang lain, saya pengin punya mobil untuk kliatan mapan, sukses dan enak; saya pengin punya rumah dengan halaman luas untuk kliatan mampu, kaya, dan sukses. Jadi kalo ndak kesampean namanya ndak sukses, ndak kaya, ndak enak. Lho kok segitu aja? Apa kita menikmati kesuksesan? Apa hal itu berguna? Apa ada manfaatnya buat saya? Apa ada manfaatnya buat keluarga, istri, anak-anak saya? Hi hi hi hi

Kalo yang ada sekarang disyukuri? Apa ndak bisa? Ya jelas bisa wong semua ada, mobil, rumah, fasilitas dan seterusnya… Lalu mau cari apa lagi? Kok jadinya ngejar terus…. Nguber terus…. Lalu setelah didapatkan kok ndak puas juga? Ndak enak juga? Ndak bersyukur juga? Malah tetap cari lebih lagi lebih lagi….. Sampai batas mana?

Ngeri juga ya….?

Tahta, jabatan, wewenang, kekuasaan, penguasaan, pengendalian. Kenapa penting? Buat apa? Untungnya apa? Manfaat basic-nya apa? Tujuannya buat apa? Kemana? Menarik. Teringat salah satu godaan Tuhan Yesus saat dibubungan Bait Allah setelah berpuasa 40 hari, adalah jatuhkan diriMu, pasti malaikatmu tidak akan membiarkan dirimu terantuk batu. Juga ubahlah batu menjadi roti. Kekuasaan ternyata menyilaukan mata kita, baik mata panca indera maupun mata hati. Saya tergoda untuk mengambil keputusan, sebab akan merasa saya mempunyai kendali atas diri saya dan orang lain, dan perusahaan, dan mitra kerja, dan masyarakat dan seterusnya. Apa yang menyenangkan (menyilaukan) sebab seolah saya “playing God”.

Waduh bahaya banget. Merasa berkuasa atas orang lain dan seterusnya. Godaan ini makin tidak terlihat. Hanya kliatan hasilnya. Muncul hanya pada intensi, semakin halus, semakin terasa hanya energinya.

Pengaruhnya….

Apakah saya bisa melepaskannya? Tentu bisa. Wong kuasa, wewenang itu merupakan amanah. Sedangkan sumber dan wujud dari seserahan tersebut adalah titipan atas dasar trust, kepercayaan. Lha kalo yang dipercaya sudah memiliki intensi yang tidak sesuai trust tersebut ya bukan menjadi “orang kepercayaan lagi” dong… selanjutnya ya bisa diambil amanahnya. Pindah pada orang yang mampu dan mau diserahi amanah tersebut.  Apa iya saya menjadi mentang-mentang kalo diberi wewenang? Ya bisa saja, awal dulu, sewaktu diserahi jabatan, saya kaget, memutuskan, berinisiatif, lalu ada hasilnya, ada konsekuensinya, ada tanggung jawabnya. Eh juga ada kompensasinya. Orang lain yang teman iri, dengki, fitnah dan cemburu. Berpikir dapat mengambil amanah dan memindahkan. Tentu saja bisa memindahkannya, tetapi apakah teman yang diserahi amanah tersebut tau kalo diserahi adalah tanggung jawab besar dan bukan mentang-mentang?

Monggo dijalani mawon. Kalo belum merasakan juga hanya melihat kompensasinya sering menyilaukan mata, mirip saya alami di awal karir tersebut. Kok di awal karir? Apa sekarang sudah berubah? Ndak kok baru mulai sadar dan belajar mingkrik-mingkrik, pelan-pelan.

Kuasa ternyata hanya membuat saya merasa puas sebab kliatan atau ada power dalam setiap tindakan.

Manfaat lain? Ya ndak ada.

Wanita, ini diindentikkan dengan keindahan, keagungan, kebesaran, kecepatan, ada rasa ser yang tidak akan terdefinisikan. 

Merelakan keindahan menghinggapi saya, awalnya sukar, sebab yang diinginkan adalah sesuatu yang obvious, malah penginnya keindahan itu meningkat terus dari waktu ke waktu, dari keindahan yang satu ke keindahan berikutnya. Ndak pernah puas, dan merasa harus tercapai. Ujungnya lelah kecapean.

Getir?

Lho bagaimana sih? Apa iya selama ini saya hanya memiliki kejelekan? Sehingga butuh keindahan. Bukankah semua yang ada selama ini baik ketidaksempurnaan, kesakitan, kebaikan, keindahan, keharmonisan, kesusahan, kekecewaan, juga merupakan keindahan dan kesempurnaan itu sendiri.

Ibu dan bapak, almarhum, juga Mbah pernah menyampaikan, “Le…(sebutan anak cucu yang disayangi—kepanjangan dari Tole..) urip itu mung mampir ngombe…”

Disambung, biso ngerasakne sehat, setelah ngerasakne loro (sakit), biso ngerasakne seneng, setelah ngerasakne sedih. Bukankah ini dinamika hidup.

Lha kok, si aku iki minta kepastian? Minta enak terus, minta ini minta itu… wong urip iku titipan.

Monggo…..

Jakarta 2 April 2013

No comments:

Post a Comment