April 17, 2013

Penyerahan diri dan Pembelaan diri


Ini ilustrasi self-talk seorang pemimpin. Bukankah setiap kita adalah pemimpin, seorang imam bagi dirinya sendiri. dan juga seorang yang bertanggung jawab. Dan seorang yang bertanggung jawab tidak akan menyalahkan keadaan, pihak/orang lain juga hal yang diluar dirinya. Apa aku seperti ini? Kalo sahabat rekan sekalian merasa, ya ini buat mu. Kalo ndak merasa, juga buatmu yang belum merasa apa-apa karena ndak sensitif.

Apa sih yang membuat aku membuat keputusan begini? Begini yang bagaimana sih?

·         Saat aku ditugaskan dan semua tekanan serta spotlight menuntut aku membuat perubahan;
·         saat aku menemukan banyak pertanyaan yang tidak dapat aku jawab;
·         saat aku dianggap pihak yang juga menikmati dan mengetahui, tetapi aku ndak merasa begitu;
·         saat semua yang aku ketahui tidak cocok dan sesuai dengan kondisi yang aku pahami;
·         dan kebetulan aku merasa dipinggirkan, diabaikan, ada tapi ndak pernah diajak diskusi, diinformasi, juga dimintai pendapat; apalagi seolah tidak diminta bertanggung jawab atas hal ini.
·         juga penugasan awalku adalah sebagai pimpinan dan tanpa diajak bicara dipindahkan ke bagian lain dan sebagai anggota, dan aku tidak pernah diajak bicara tentang hal ini;
·         aku yang tidak pernah ikut campur, ditanya, dibuat malu karena yang dibicarakan adalah bagian ku dan aku tidak mengikuti perkembangannya (juga tidak diinformasikan), bahkan selama ini suaraku tidak didengar;

Selama ini aku ada, tapi sekaligus ndak ada; jadi ndak salah kan, kalo saat ini aku mau menunjukkan eksistensi ku. Ini caraku dan ini gaya kepemimpinanku.

Ingin aku ingin tunjukkan kalo aku bisa mengatur, mengubah, merombak, memindah, memecat, merekrut tim yang pro dengan ku dan hanya setia padaku; dan aku akan lakukan semau ku.

Bohir merestui aku, di tampuk posisi yang aku berada, ya tentunya aku boleh melakukan yang menurut aku perlu dan penting untuk kelompok; untuk kelangsunganku

·         Saat (akhirnya) aku memperoleh yang selama ini aku (mestinya) untuk posisiku; ya boleh dong kalo aku melakukan yang mestinya perlu dan penting ku lakukan...
·         Selama ini penugasan ku selalu kontroversial;
·         Selama ini penugasan ku sebelum di Berau selalu pada posisi yang mengawal transaksi saat pemegang saham menjual sahamnya dan aku menjadi orang dikeluarkan;
·         aku ingin tahu apa jadinya kalo aku yang melakukan itu dalam menentukan nasib orang
·         Aku tidak takut siapapun
·         Aku bawa senjata kemanapun
·         Aku punya banyak teman yang siap membela ku
·         Aku punya banyak teman orang-orang yang ditakuti masyarakat
·         Aku punya banyak teman orang angkatan
·         Aku berteman dengan orang-orang penting di negeri ini, jadi akan dengan mudah bisa aku minta tolong;
·         Aku dekat dengan orang pemerintahan, sejak dulu sampai sekarang
·         Aku tidak takut siapapun, kelompok usaha manapun; karena mereka juga punya cela dan punya kelemahan. Dan akan aku manfaatkan kelemahan itu, untuk menjerat mereka sendiri
·         Sekali lagi aku tidak takut....
·         Tuhan melindungi aku. Selama ini aku orang kuat tapi diabaikan. Aku ada pada jamannya. Aku akan lakukan apapun yang perlu dan penting aku lakukan.

Coba dibedah lebih dalam lagi, apa yang membuatku ndak mau menjaga keharmonisan ini, mengapa perlu tindakan represif ini? Mengapa perlu melempar bom waktu? Mengapa perlu menebar ketakutan? Apa ini sesuai dengan rencanaku? Apakah aku puas dibuatnya?

Juga sahabat yang menjadi korban. Akankah hanya menyalahkan kejadian? Tidak terima dengan keputusan ku? Melolong....mengaum...menyalak...menggonggong...  melemparkan sumpah serapah, menyalahkan orang yang memimpin kita. Lupakah bahwa kita juga memimpin diri sendiri. Apa iya mau menyalahkan orang lain. Apakah ndak cukup untuk berintrospeksi? Ndak cukup untuk belajar lagi? Ndak cukup untuk memperlengkapi diri dengan bekal yang lebih baik, murni dan indah untuk masa yang lebih kekal?

Nah untuk sahabat yang selama ini hanya jadi penonton. Apakah cukup hanya membuat rumours, gosip, membicarakan orang lain? memberikan cap, memberikan simbol dan melakukan judgment. Tidak cukupkan niatan kita untuk introspeksi.  Apakah cukup untuk bersyukur? Atau justru kita lupa untuk mendoakan mereka yang sedang terlibat?

Apakah masih ada dari sahabat dan rekan, juga aku merasa menjadi mental victim? Tidak cukupkah kita mengambil keputusan untuk introspeksi dan berjalan kembali dengan kepala tegak?

P.S: pemakaman esok hari sebelum jam 10 pagi.

Jakarta 17 April 2013 pk 14:47

No comments:

Post a Comment