October 01, 2013

Sepi ku


Ndak terasa dua minggu ku lalui hidup, tanpa kehadiran Ibu ku yang saat ini memasuki tahun keduapuluh aku diperkenankan bertempat tinggal bersama. Beliau adalah sahabat, ibu, juga kakakku untuk memperbincangkan hal-hal keluarga dan spiritual bersama. Yang belakangan ini segala apa yang kurasakan, sambil sport pagi dengan crosstraining, beliau pagi-pagi bangun, berjemur, sambil sembahyang dan bercerita tentang keluarga, berkomentar dari berita yang dibaca di koran atau bertukar pendapat mengenai banyak hal spiritual, tentang Tuhan, tentang Yesus, tentang kematian, tentang sahabat, tentang komunikasi dan banyak hal lainnya.

Sejak tahun terakhir dan memasuki usianya yang tujuh puluh tahun lewat tersebut, beliau sudah ndak tertarik untuk perjalanan jauh. Bahkan lebih memilih di rumah. 

Ndak terbayang buatku, apakah ini, rasa sepi yang juga Ibu rasakan sampai pada kesempatan ada mbak yang membantunya setiap hari menjadi nanny buat Ibu, menjadi teman, menjadi pembantu, menjadi asisten dan seterusnya. 

Menjadi terbuka buatku, mengapa Ibu sejak tahun ini menjadi berkahku untuk bersama memperbincangkan hal-hal spiritual.  Yang selama ini kuucapkan bahwa ini merupakan berkah, tetapi masih ada dalam hati kecilku kesombongan bahwa ini merupakan buah karyaku mencari, membongkar, membeli, mengalami dan mengejar apapun sehingga rahasia alam dari Tuhan terbuka untukku, walau selalu kuucapkan aku dibukakan oleh Tuhan.

Merinding kau dibuatnya, saat menuliskannya, ternyata aku disentuh olehNya, dan diingatkan bahwa saat ini dimana Ibu sudah menghadap Sang Khalik, dan saat pasanganku sedang mengantar anakku yang  sekolah menengah atas selama dua minggu di tempat jauh yang sinyal telponpun sulit diperoleh. 

Ternyata rasa sepi ini menarik, sebab pertama kali pikiranlah yang mulai mengantar bersandiwara, dan mereka-reka apa yang sedang ku alami, lalu membayangkan hal-hal yang ekstrim bahkan sudah memancing amarah karena self pity yang ditimbulkannya. Bahkan amarah ini semakin memuncak dan bahkan kebanyakan energi yang selama ini bisa punah dan lenyap dengan berolah raga selama 30 menit dengan kucuran keringat, tapi saat-saat ini justru menimbulkan energi untuk bertanya, untuk mempertanyakan, juga untuk amarah yang sedemikian meletup.

Kenapa aku dibiarkan dalam sepi, sendiri, ditinggalkan...... Benar kalo aku sementara ini tetap perlu menjalani hidup dan segala tanggung jawab keluarga. Tetapi kok sejumput informasipun aku ndak dihubungi? Apakah memang sudah sedemikian ndak pentingkah aku? Menanyakan keberadaanku pun sudah ndak ada atau bahkan sudah ndak perlu? Ndak penting?

Bukan karena aku memang harus mengurus rumah, mengurus diri, mengurus putri cantik kecilku, mobil yang perlu servis, tamu Om ku yang akan mampir rumah. Dan seterusnya-dan seterusnya. Dan kau jawab ndak ada sinyal. Wow benar-benar luar biasa meletup mau meledak rasanya.

Benar dan betul bila saat ini aku sedang dalam kondisi terendahku. Kondisi ndak bisa basa-basi. Melihat orang lainpun saat ini rasanya aku ingin menyemburkan apapun yang ada di kerongkonganku tanpa peduli apa yang dirasakan mereka.

Jadi ingat sahabatku, saat ditinggal oleh pasangannya merantau di negeri seberang, selama dua setengah tahun. Berita hanya melalui pesan singkat sms, tanpa mendengar suara untuk komunikasi selama dua setengah tahun. Betapa luar biasa rasanya. Pantas yang diterima pasangannya adalah nah, sekarang gantian, semua kamu yang musti kerja dan melakukannya untuk aku dan anak-anakmu yang selama ini aku yang lakukan sendirian. Tanpa perlu malu, tanpa perlu gengsi dan ego, semua untuk menyambung hidup.

Boro-boro untuk berpikir mengisi hidup, saat itu mungkin yang terasa adalah menyambung hidup.

Kepalaku sakit, sebelah kiri, sebelah kanan dan mataku kunang-kunang. Menahan.

Hening, berhenti aku menulis- - - - - - - - - - . . . . . ................................

Mengingat sms dari pasanganku barusan, kok bisa-bisanya dia yang kusembur karena rasa kangenku yang membuncah? Ternyata rasa kangen bila ndak dipenuhi akan menimbulkan amarah yang demikiat hebat. Ya Tuhan, aku telah melukainya. Kok tega ya?

Oh ya tega dong, wong aku sampaikan tadi (semburanku ini) dengan maksud agar dia sadar dan tau kalo aku kangen. Kok egois ya? Apa iya kalo dia juga ndak kangen? Penginnya disambut mesra tapi malah disembur disemprot dengan kalimat keras dan kasar.

Biarin deh... sebentar aku menenangkan diri. Kalo sudah tenang nanti juga bisa mikir normal.

Sebentar, sebentar, lho kok aku yang kangen lalu jadi marah? Wah ternyata rasa kangen ini cuma bisa dipenuhi kalo dia hadir, datang, hanya untukku. Ternyata pelajarannya adalah untuk memenuhi (kangen)ku hanya dengan dia. Aku ndak peduli dia. Menurut Sujiwo Tejo, ini dagang, ini trading, ini pamrih.

Ini jelas bukan cinta. Ini hukum timbal balik. Aku ndak menerapkan unconditional love. Menerima paketnya. Dengan menerima berarti siap ditinggal.

Sebentar, sebentar, lho kok sampai-sampainya cinta itu musti siap terima ya siap ditinggal. Bukannya cinta itu merupakan timbal balik dua pihak atau lebih? Kalo bukan dua pihak yang secara aktif bercinta apa ya namanya cinta? Bukannya nanti jadi bertepuk sebelah tangan? Lho kok repot ya?

Hening, sepi, kok jadi speechless ya?

Kalo gitu apa aku masih mencintainya? kalo aku menerima tapi rela melepasnya? Wah kok susah amat ya, untuk mengunyahnya? Lho kok? wong cinta itu diperjuangkan, tapi kok rela kalo dia mau lepas? Wag ndak masuk akal nih.

Jadi ingat saat mulai punya anak, sejak bayi, ditimang, disayang, dijagain, dibimbing. Lalu begitu besar, seperti anakku yang masuk kuliah memilih sendiri jurusan, fakultas dan universitasnya. Dia kos karena yang dipilih adalah di kota lain. Tetap disayang di hati di pikiran, tapi juga ikhlas karena dia ingin maju dan mandiri.
Lha mosok pasangan juga direlakan kalo ingin mandiri? Opo mau pasangan ini lepas, secara fisik, pikiran dan hati? Ah.....makin bingung nih Gusti.

Unconditional love

Melepaskan kelekatan

Meniadakan aku di diri

Wah malah makin bingung, makin ndak berbentuk nih......

Apa memang ada, menghadapi hidup tetap waras, tetap positif, tetap optimis tapi dengan keikhlasan pada Gusti Allah bahwa yang dihadapi adalah berkatNya.

Luar biasa


Jakarta 11:32; 1 Okt 2013

No comments:

Post a Comment