October 01, 2013

Ruang Kerja


Memasuki ruang kerja saat ini di gedung baru, membuat rasa hati ini ser-ser'an. Memasuki gedung kantor yang megah, keluar dari mobil, langsung ketemu security untuk periksa tas. Berjalan memasuki lobi yang luas, kosong, sapaan pak satpam,"selamat pagi" memecahkan keheningan dan keterburu-buruanku. Sambil membalas dan senyum, maka kuayunkan kaki menuju lift, yang tentu saja melewati pagar pembatas yang hanya bisa dilewati bila kartu magnetik ditempelkan ke permukaannya.

Kutekan tombol lift, menunggu, sambil mencari lift sebelah mana yang akan terbuka dan mengantarku ke atas. 

Ternyata lift ujung kanan yang terbuka. Masuklah aku ke dalamnya dan menekan tombol lantai menuju kantorku. Sambil menunggu, terdengar 2 orang pegawai, yang kemungkinan besar dari kantor yang sama, melempar salam,"wah saya ikut upacara nih." Teman satunya menyahut," ndak seru ya, upacara kok ndak di bawah, kan ndak terasa." Temannya menjawab,"iya sih, ndak terasa panasnya. Ha ha ha "

Lalu sampailah ku di lantai tujuan. Keluar lift, sepi. Disapa oleh mbak cleaning service. Senyumku membalasnya. Absen di pintu, kulakukan dengan menempelkan jari telunjuk kanan, sambil melihat jam. Tertulis pukul 7.40. Waduh kepagian, kecepetan nih...  Kutarik pintu terbuka, ternyata sudah ada 3 teman dari bagian keuangan sudah hadir. Sapaan selamat pagi bersahutan, sebagai salam pembuka hari yang indah tentunya.  Melangkah aku menuju ruang kerja di pojok. Mulailah terbayang aku membandingkan rekaman beberapa ruanganku selama pengalaman bekerja sejak lulus kuliah dulu......

Di awal kerja dulu, aku juga bekerja di gedung, megah, hitam, keren dan kliatan angker... Sekitar dukuh atas. Zaman itu, merupakan salah satu gedung impian banyak orang untuk bisa bekerja di sana.  Lantai dua puluh enam.  Sebagai anak baru, aku duduk di cubicle dengan meja tanpa pembatas. Tidak ada laci khusus dan lemari pribadi yang menyertai. Tetapi kebanggaan boleh bekerja, berkontribusi dan mencari sendiri apa yang bisa dikerjakan, dengan pengawasan Managerku saat itu. Luar biasa rasanya. Tersenyum aku dibuatnya, bila menilik kejadian saat itu. Kok iya mau-maunya ya....he he he.

Bos langsungku, ndak banyak bicara, malah menurut rekan sekerjaku, dia pendiam, orang pinter banget, lajang, ndak suka bergaul, tapi kesayangan bos ku yang orang Jepang. Ndak ramah, memang. Tapi ndak juga arogan. Dan senyum padaku sebagai bukti aku telah mengikuti sarannya dan berkontribusi padanya dapat kulihat pada bulan kedua ku bekerja untuknya.

Ternyata saat itu ruang kerja tersebut, cubicle juga bukan, ruangan juga privacy juga bukan. Tetapi kami merasa senang sebab kebersamaan begitu terasa. Di ruangan besar, khas perusahaan jepang, masing-masing di meja kayu yang ndak seragam. Tetapi di ruang tersebut, pernah kulihat ekspresi, pengalaman, keluh kesah, juga seru kemenangan, juga tangis sedu sedan, bahkan teriakan marah maupun teriakan penuh kemenangan ku dengar dengan jelas. Suatu pengalaman luar biasa.

Dua tahun lebih kulalui di ruangan besar tersebut. Dan sempat pindah untuk rotasi ke divisi lain, karena satu hal nyata. Aku dinilai bisa berkembang, dan mengikuti pertumbuhan divisi tetapi karena BUKAN lulusan luar negeri, apalagi lulusan Amrik, maka aku disalurkan ke divisi lain yang bisa "menampung" aspirasi lokal people. He he he. Biasaaaaaaaaa..............

Menarik, meja kerjaku, sekarang. aku duduk berhadapan dan saling menempelkan meja berlima, dengan meja ujung menghadap kami adalah bos kepala divisi kami. 

Banyak pengalaman kami tertuang bersama, di dalam kota maupun di luar kota. Menarik sebab kombinasi kami adalah dua orang lulusan dalam negeri, dua lainnya lulusan Amrik.  Sedang bos kami adalah figur yang berpengalaman di industri ini.

Masuk tahun ketiga di perusahaan tersebut, kuputuskan untuk pindah ke perusahaan sejenis. Dimana saat itu ku dengar sebuah perbankan besar akan mendirikan perusahaan sejenis. Dan aku dihubungi oleh rekanku yang telah masuk terlebih dulu.  Alhamdulilah, kantor tersebut hanya menyeberang dari gedungku saat itu.
Memandang gedungnya saja sudah membuat merinding. Itu kan salah satu gedung baru perusahaan BUMN yang saat itupun sedang membangun gedung tertinggi di Jakarta.

Memasuki gedung tersebut, memilih gedung sebelah kiri, lalu pencet lantai delapan belas. Di ruang tersebut aku bertemu dengan pejabat senior bank tersebut yang bertugas sebagai PIC perusahaan barunya.  Terlihat ruang kantor tersebut baru jadi. Singkat cerita aku diterima bekerja di sana.  Maka aku menempati cublicle, ada meja, komputer desktop, dan laci untuk menyimpan dokumen pribadi dan kantor. Hore....akhirnya aku memiliki sejumput ruang kerja dengan pembatas di depan dan kiri kanan. Ternyata privacy walau tidak sepenuhnya perlu, tapi penting untuk dimiliki. Wuih.....pengalaman baru nih. 

Dalam pengalaman bekerja di perusahaan tersebut sempat pula aku pindah lantai ke lantai dua puluh tujuh karena adanya pengembangan usaha.  Dan di sanapun aku memperoleh cubicle dengan punggung menhadap tembok. Lumayan.... sehingga aku bisa memperoleh tambahan privacy, dengan tidak mudah orang membaca dan melihat langsung apa yang aku kerjakan dan tulis, dari cara mengintip dan menyelinap tanpa sepengetahuanku. 

Setelah bekerja selama tiga setengah tahun lebih. Dan situasi kerja kurang optimal, tiba-tiba ada teman yang menawarkan bekerja di tempatnya. Pertama saat kudatangi, di sekitar slipi, eh ternyata yang kutemui adalah dulu seniorku di salemba empat. Ya udah, jadinya ngobrol-ngobrol aja. Dua kali aku bertemu dan dia sangat mengharapkan aku dapat bergabung. Di saat lain, yang hampir bersamaan, aku ditelpon sobatku yang juga seniorku yang lain di salemba, untuk menggantikannya karena dia mau keluar dari perusahaan tersebut, yang menurutnya saat ini sedang berkembang pesat.  Menarik tapi juga sekaligus mencurigakan, sebab kalo perusahaan berkembang kok justru malah ditinggalkan? Pasti tawaran yang diterimanya sangat menarik dan sulit ditolak. Dia jawab ya bro, sebab aku ditawarin jadi direktur perusahaan.

Lucunya saat aku bertemu dengan pemilik perusahaan yang akan ditinggalkan sobatku itu, merupakan pertemuan yang ndak terlupakan karena ku bertemu dengan sobatku di SMU, adik kelas, yang ternyata punya usaha bareng dan saat itu sedang berkembang. Dan diceritakan, dengan pengalamanku, dia ingin membentuk usaha seperti perusahaan dengan sektor usaha seperti yang aku bekerja saat itu. 

Tanpa panjang lebar, dia langsung menanyakan kapan bisa gabung?

Ku jawab, biasa, kan one month notice. Ok, lebih cepat lebih baik ya.

Dan sejak itu, aku bergabung bekerja dengan meja, menghadap tembok, karena jumlah pekerjanya saat itupun ndak lebih dari tujuh belas orang termasuk tim support driver dan office boy.

Di kantor itu, ndak terasa aku bekerja selama sepuluh tahun lebih, mengalami berbagai kejadian baik yang membahagiakan, menyenangkan, mengejutkan, menyedihkan, membuat kecut, membuat bangga, bahkan sempat membuat hati dan pikiranku bertanya apa sih yang membuatku tetap bekerja di sana?

Pindah dari cubicle di kantor lama ke kantor ini yang berbentuk meja kayu, awalnya aku merasa ini kemunduran, tetapi suasana, pengalaman, kebersamaan dan satu tujuan membuatku tetap di sana. Bahkan saat kantor pertaman kali berkembang, dan ekspansi, aku sempat (ge er nih) ditawarin untuk posisi dan lokasi duluan, walau bukan di ruangan.  Tetapi cubicle yang lebih privacy dengan pembatas yang melampaui tinggi kepala membuat privacy sangat terasa.  I have my own space. Dan ini membuatku merasa beda, bangga dan diperhatikan. 

Sampai suatu peristiwa yang mengejutkan itu datang, yakni di tahun ketigaku bekerja di sana, atasanku yang juga sobat kentalku, juga kuanggap sebagai kakak/mas ku, keluar dari kantor. Dan bos ku menawarkan posisi itu padaku.  Luar biasa rasa ini, ndak terbayang sebelumnya, ndak pernah ge er ku dibuatnya, lha wong mimpi aja ndak pernah. Opo mau jadi kere munggah bale?

Sejak itu aku diberi kesempatan bekerja di ruangan, dengan meja dan 2 kursi untuk tamu ku. Dan lemari dengan 4 laci untuk menyimpan dokumen penting perusahaan. Oh ya perlu kusampaikan di sini, mejaku juga memiliki laci untuk menyimpan barang pribadiku. 

Pengalaman demi pengalaman, kulalui, bahkan kali ini kuhadapi pertama kali pengalaman berhadapan dengan penegak hukum. Wow....luar biasa. Ndak terasa (setelah melaluinya) bahwa tiga setengah tahun serasa dalam neraka. Eh apa aku pernah ke sana ya? Lha wong mati saja belum. Dalam suasana tersebut mejaku dan beberapa sobat sahabat yang tetap percaya dan berkenan mendampingi melalui pengalaman tersebutlah betul-betul sahabat.

Setelah itu, sempat mengalami zaman nyamannya duduk dan memimpin kelompok bekerja dari meja ruang kerja ku. Sampai pada suatu ketika, bos di kantor katakan, bahwa akan membangun gedung sendiri. Dan seperti biasa aku diperkenankan memilih tempat juga. Maka kupilihlah tempat di pojok gedung, menghadap dua sisi, pinggir jendela, sehingga bisa melihat dari dua sisi gedung. 

Ruanganku lumayan besar, ada meja cukup mewah, minimalis, dengan tempat duduk nyaman, dengan dua kursi tamu menghadap, dan ada sofa untuk tamu. Cukup mewah, luas dan bersofa. Satu setengah tahun ku duduk di meja ruang kerja tersebut. Sampai pada peristiwa aku mengalami terusir dari ruang meja dan lingkungan kerjaku. Fitnah membuatku dipindah, tapi ndak ada tempat duduk, cubicle atau bahkan sejumput meja apalagi kursi yang boleh aku duduki. Lha wong saat itu benar-benar aku terusir karena fitnah, yang dilakukan sahabatku sendiri. Dan sampai sekarang ku tidak pernah memperoleh jawaban nya kenapa?

Menarik kuperhatikan, ternyata meja kerja, cubicle kerja, ruang kerja dengan meja, kursi tamu, kursi makan, bahkan sofa dan lemari adalah merupakan fasilitas karena kita merupakan bagian dari perusahaan atau kantor. Tetapi saat ku terusir, ndak dikehendaki berada di antaranya, maka sulitlah memperoleh meja kerja atau ruang kerja tempat untuk berkarya, walau hanya untuk numpang duduk sebentaran. Mata, gesture, gerak tubuh, serta sas sus di sekitar membuat kita ditolak keberadaannya.

Akhirnya bos sempat memberikan ruang kosong walau sempat kukatakan bahwa aku ikhlas bekerja dari rumah, dan akan ke kantor kalo nanti ada meeting atau dipanggil. 

Sekali lagi, yang membuatku bertahan adalah dukungan keluarga, istriku tercinta dan anak-anakku yang luar biasa. Juga sahabat-sahabatku yang ternyata ada dan selalu ada di suasana apapun. Walau ku tahu pada awalnya merekapun jengah dengan kondisiku, sebab kupaham, merekapun takut nanti kena tulah, karena dekat dengan ku. Buatku, inilah bukti Gusti Allah memang selalu mendampingi ku dan keluarga juga kantor tempatku bekerja sehingga tetap memberikan berkahNya.

Sampai suatu ketika aku ditugaskan untuk duduk di anak perusahaan. Dengan medan yang belum ketahuan.
 Tetapi ku boleh peroleh ruangan luas dengan meja kerja, lemari, dan meja pertemuan di dalam. Wow mewah betul.... Dan inipun kulalui tujuh bulan. Dan berikutnya ku terusir pindah lagi dan ditampung oleh rekan sobatku di ruang kerja, bersatu dengannya dalam satu ruangan.  Kursi, menghadap meja, kembali tanpa kursi untuk tamu. Lumayanlah, meja dengan laci, dan credensa di samping. Dan kesempatan bekerja dan berkelakar dalam satu ruang.

Sampai pada kesempatan, di tahun tersebut, kita pindah gedung, bergabung dengan kelompok usaha, dan kita menempati lantai lain yang sudah di fitting.  Sobatku satu ruangan, memperoleh ruang pojok sepertiku dua tahun lalu, sementara aku juga di pojok akhirnya memperoleh ruang, lemari dan meja dengan dua kursi tamu. Kembali memiliki privacy. Dan di tahun kedua setelah pindah gedung, aku menempati ruang juga di pojok tetapi nyempil, karena pindah tugas kembali. Tersingkir, tetapi tetap boleh berkontribusi.  Dan di penghujung tahun ketiga, aku kembali diperkenankan memperoleh tanggung jawab dan kewenangan divisi baru. Ruang tetap, di pojok nyempil.  Masuk tahun keempat di kantor ini, masuklah pengalaman luar biasa lain, bahwa aku merupakan salah satu yang diisolasi karena perusahaan kami dibeli oleh investor lain, sementara kami dari pemegang saham lalu yang masih tertinggal.  Maka di bulan ketiga masa isolasi, kami pindah ke ruang dengan meja kerja dan lemari, tetapi rekan-rekan kami sudah pindah ke lain gedung kembali, masuk kawasan impian para pekerja yakni di kawasan segitiga emas. Dan pada bulan ke enam masa isolasi kami, akhirnya kami diberitau akan memperoleh ruangan dengan meja kerja dan kursi untuk tamu dan almari.

Menarik di sini, babak baru kami akan pindah gedung, bersatu dengan rekan yang lain.  Pada suatu akhir minggu menjelang kepindahan, dimana barang dokumen dan hal penting sudah masuk packing, dan siap dikirim mover, rekan terhormat dari HR division mendatangi ku dan menyampaikan bahwa kami nantinya akan dikumpulkan di satu tempat dalam satu ruangan, tanpa pembatas, tetapi tetap memiliki meja, kursi, tanpa almari. Tentu saja ada laci untuk menyimpan dokumen atau barang baik kantor maupun pribadi.

Nah sampailah ku di sini. Sejak minggu lalu. Dan ini hari ke tujuh hari kerja boleh berkantor bersamai dengan rekan-rekan, tetapi tugasnya yang tidak ada.  Kami berkantor, hadir di kantor, tetapi tidak diperkenankan berkontribusi. Atau malah kontribusi kami adalah hadir dan ndak ada tugasnya.  Betul sekali, teman kami adalah rekan satu ruangan, tanpa pembatas privacy, juga sobat kantor kami yang berkenan mampir dan bercengkerama walau sebentar di ruang ini. 

Suatu pengalaman luar biasa, ternyata, kerelaan, keikhlasan, menghadapi dan berkantor dengan apapun bentuk bukanlah apa-apa. Ndak menunjukkan apa-apa, juga bukan merupakan fasilitas yang wajib dipenuhi perusahaan.

Sebentar memperoleh kemewahan fasilitas, sebentar menikmati meja dan kursi untuk meletakkan badan dan menulis apapun yang hati dan pikiran rasakan.

Akankah ku merasa bangga, merasa senang, merasa sedih, merasa "I am the man", atau justru merasa tersisih?

Apa sih arti meja kerja atau ruang kerja buatmu? Mau menunjukkan privacy? Lalu buat apa?


Jakarta 1 Okt 2013, 10:39

No comments:

Post a Comment