September 23, 2013

Pahit Manis


Menariknya hidup ternyata membuat kita lebih kaya dengan pengalaman. Awalnya dialami dengan ego yang meluap-luap, menggelora, tetapi setelah diendapkan, akan menjadi indah begitu kejadiannya sudah berhasil kita lewati. Bahkan, mpok Ipeh, penjual warteg di tempat sekolah dulu pernah  mengatakan," eh bang, rasa manis tuh, baru dirasa, kalo kita abis makan nyang pahit-pahit, kayak pare ato daun singkong."

Bener juga sih, pengalaman pahit, setelah kita lewati akan manis juga untuk dikenang. Malah makin bersyukur setelah kita benar-benar bisa melewatinya. Bahkan suatu kejadian manispun ndak terasa manis bila kita belum (pernah) mengalami pengalaman pahit.

Pantas saja ibu almarhumah, dulu pernah menyampaikan,"pahit manisnya hidup ini membuat gambar yang kamu torehkan dalam begitu indah. Coba kalo misalnya kamu suka warna merah, dan kamu torehkan hanya merah, maka gambarnya akan hanya senada, satu warna."

Siapa pernah mengira bahwa di suatu saat kita yang merekrut rekan ini dan merekomendasikannya pada atasan. Lalu kita berjalan seiring dalam suka duka membangun kelompok kita untuk bisa bicara dikancah bisnis. Ternyata karena suatu hal, maka justru kita yang tersisih, tersingkir, lalu terdepak keluar dari arena, ibarat atlet Sumo yang terdorong keluar karena kekuatannya sendiri dimanfaatkan oleh lawannya. Dan kita melongo, bengong, bingung, sambil bertanya,"lho kok bisa terjadi?" Hua ha ha ha ....

Indah bukan? Justru ini, yang menunjukkan bahwa hidup ini beserta kejadiannya hanya titipan Gusti Allah saja. Jabatan, materi, status, bahkan badan yang kita "tumpangi" ini saja merupakan titipan dan pinjaman Gusti Allah, yang "mustinya" dengan mudah kita gunakan dengan penuh tanggung jawab, tetapi saat diminta (oleh siapapun) untuk ditinggalkan ya musti ikhlas.

Lho kok kayaknya ndak fight ? ndak berjuang, mempertahankan? kok ndak bertanggung jawab bertahan?

Hayuuuuk ah.


Jakarta, 11:55, 23Sep2013

No comments:

Post a Comment