August 14, 2013

Daya Beli atau Gaya Beli?



Pertanyaan nyeleneh ini selintas menyambar pikiran saya, begitu membaca harian bisnis. Disebutkan di situ bahwa target omzet 2013 ini meleset, sehingga memaksa pebisnis untuk memangkasnya. Kegiatan mencukur ini lantarandaya beli masyarakat melemah. Ujungnya disampaikan bahwa melemahnya daya beli ini dikarenakan kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi.

Hm..... seraya tersenyum simpul saya membaca headline tersebut.

Jadi yang disalahkan adalah kenaikan harga minyak bersubsidi sehingga membuat daya beli masyarakat melemah, yang domino efeknya membuat omzet tidak terpenuhi.

Hayuk ah kita berandai-andai menganalisa pura-pura menjadi orang cerdik pandai di negeri tercinta ini. Dengan cara berpikir lingkaran.

1. Dari sisi Pengusaha

Begini: tentu perlu bahan mentah untuk produk yang akan ditawarkan pada masyarakat. Bila harga transpor bahan mentahnya naik, maka produknya musti naik harganya. Tapi bingung, lantaran pembelinya (yang notabene masyarakat) mengurangi pembeliannya karena naiknya harga. Kalo kita bedah potongan kalimat di atas, berarti kan pembeli punya pilihan untuk membeli barang "sejenis" dengan harga lebih murah dong. Hayo ngaku... Ato maunya beli barang yang sama tapi dengan harga "kemarin"? Lho kok jadi sak enak'e gini? Kalo maunya barang yang sama tapi dengan harga "kemarin" (yang tentunya sebelum naik) kan berarti yang dijual stok lama? Apa pembelinya mau? Kalo yang jual sih kalo masih ada stok lama, ya tentu ngakunya barang sama, harga baru, tapi di diskon, sehingga (in favour on pembeli) bilangnya karena pelanggan lama, maka special price. Padahal harga kemarin. Nah, kayaknya kalo pembeli kita (masyarakat kita, tentu termasuk saya) maunya diservis gini dong..... Hayo ngaku....
Kalo gini, apa tetap namanya daya beli? Bukannya ini gaya beli? Jadi beli kalo dengan gaya karena diservis maka tetap nyaman.

he he he

Monggo kerso.....


Jakarta, 14Aug2013, 08:28

No comments:

Post a Comment