April 09, 2013

PemBiar'an


Kata Pembiaran. Asal kata biar, dibiarkan, didiamkan saja, tidak ada yang mau bertanggung jawab, tidak ada yang mau mengambil keputusan atas hal/pihak tersebut.

Jadi Pembiaran terjadi bila ada hal yang terjadi tetapi tidak dikawal, dan tidak ada yang mau memperhatikan, apalagi mau bertanggung jawab atasnya.

Ilustrasinya adalah: di tempat parkir yang ada di halaman kita ada sedikit rumput yang tumbuh di sela-sela con-block di pelatarannya. Awalnya hanya beberapa batang rumput, tetapi karena tidak ada yang mencabut, membersihkan bahkan menyempatkan menyapu, maka sang rumput tadi tidak hanya beberapa batang tetapi bisa tumbuh di beberapa tempat, dan tidak hanya setinggi mata kaki melainkan bisa sebatas tinggi lutut.

Waduh… apa iya kita baru mulai “notice” bila sudah mulai rumpur di garasi mulai gondrong?

Ilustrasi kedua: bila depan rumah kita adalah jalan raya walau tidak besar, tetapi ramai dilalui kendaraan mulai dari gerobak, pejalan kaki, sepeda, motor, mobil bahkan sesekali metromini ikutan melaluinya karena merupakan jalan short-cut yang bisa memotong jalan. Lebih meriah lagi karena 100m dari rumah ada sekolah. Cocok deh. Saat keramaian tersebut, mulanya ada beberapa motor parkir dan gerobak penjual mie-ayam yang mangkal, kita tidak “notice” bahwa ini merupakan awal dari keruwetan jalan depan rumah.

Akhirnya karena tidak ditegur dan diminta pindah, maka depan rumah sampai tertutup parkir motor dan gerobak mie-ayam, ditambah penjual teh botol. Mantap deh…. Sampai pernah kita mau parkir masuk ke rumah, justru kita yang musti “begging” minta jalan…. Cocok deh…..

Coba dari kedua ilustrasi di atas, awalnya hanya kejadian biasa, dibiarkan saja, saat membesar akan sulit dirapihkan, apalagi diminta pindah. Bagus kalo rumput di halaman, bagaimana kalo pelataran garasi tersebut tidak hanya rumput, tapi juga tetesan oli mesin dan bensin yang tidak pernah dibersihkan.

Lebih baik merapihkan benda (diluar manusia), sehingga bisa kita rapihkan dan bereskan lalu ok kembali. Lha kalau manusia yang sudah “mencari rezeki” mulai dari tukang parkir motor, pedagang kaki lima, ditambah anak2 semir sepatu. Waduh makin seru kan. Bisa-bisa kita dicap tidak punya rasa kemanusiaan, melanggar HAM, apalagi tidak punya rasa sosial…..ha ha ha ha

Nah bagaimana kalo ini merupakan kebiasaan saya yang tadinya kecil, lalu mulai mengganggu saat sudah menjadi rutin dan menjadi karakter kita.

Contoh: sulit bangun pagi. Sehingga ritual olah raga, membaca buku, membersihkan sepatu, lalu membaca koran, serta membalas email baru ke kantor… tentu mulai terganggu saat kita pindah kantor dan ternyata masuk jam 7 pagi. Nah lho….

Jadi kesimpulannya? Monggo …….

Jakarta 9 April 2013

April 08, 2013

Jabatan

Apa yang dirasakan kalau kuasa hilang?

Kuasa adalah kumpulan antara tanggung jawab, wewenang, keputusan serta konsekuensi yang menyatu dalam atribut jabatan.

Jadi kalau jabatan dicabut, diminta, atau dihilangkan, maka yang ada adalah person tanpa jabatan. Hal ini tentunya akan menimbulkan pertanyaan, apakah orang tanpa jabatan akan hilang bersama dengan jabatan tersebut atau mati?

Bila person hadir, exist dan disamakan atau diejawantahkan dengan jabatan yang diembannya, maka bila jabatan tersebut diminta, diganti atau ditiadakan, maka person tersebut tentu akan “hilang” atau tidak hadir dan tidak exist lagi.

Apakah person hanyalah “orang” yang hadir secara fisik? Bagaimana dengan roso rasa serta energy yang ada? Apakah juga turut hilang bersama dengan jabatan yang hilang yang membuat orang tersebut seolah kehilangan kehadirannya? Kehilangan energy-nya?

Bukankah orang, dengan body-mind-soul yang ada, lebih besar dari jabatan tersebut, jadi bila jabatan adalah “baju”, atribut yang membuat orang “punya kuasa”, maka saya akan terkungkung dalam bentuk, aura, energy, environment sesuai baju tersebut. Sehingga kalo saya ikut hilang bersama dengan jabatan tersebut, maka saya mengecilkan diri saya (body-mind-soul) sesuai dengan atribut pakaian saya tadi.

Bukankah bila atribut, baju, pakaian, kuasa yang “sempit” tadi diminta, diganti, dihilangkan, membuat saya lebih lapang, lebih bebas, lebih loose, lebih longgar, lebih luas dalam berekspresi?

Pertanyaannya menjadi: kok saya senang/bahagia/happy dengan pakaian yang kesempitan tersebut, yang sebenarnya membatasi gerak badan-pikiran-jiwa saya? Bukankah saya justru selama ini minta-minta untuk dibebaskan dan diberi ruang tanpa batas untuk berkreasi?

Lho jadi bingung ya?

Monggo…..

Jakarta 5 April 2013

Todongan

Baru saja saya mengatakan bahwa semua yang saya alami dan miliki adalah titipan. Kapan saja dapat diberi juga dapat diambil.

Hanya karena peraturan maka tidak akan digunakan dengan cara yang brutal, sehingga todongan atau spotlight tidak langsung membuat kulit saya merah, luka bakar, atau juga gosong.

Todongan yang paling elegan adalah dengan cara meminjam tangan orang lain atas nama peraturan. Sehingga target akan “mati” karena sudah diperingatkan. Di mana seorang berwajib akan sesuai dengan aturan bahwa kalaupun akan menembak sasaran targetnya dengan memulai dengan peringatan berupa teriakan, kedua peringatan berupa tembakan ke angkasa, baru kemudian tembak ke sasaran tembaknya.

Sebagai orang yang menjadi sasaran tembak, apakah masih punya pilihan? Mau pilih pasif atau masih pilih aktif, pilih sembunyi atau justru pilih terlihat di publik. Pilih secara sukarela atau melawan,

Apakah masih ada pilihan lain? Penilaian menjadi basic, yakni, hadir, tanpa kontribusi, dan saya memilih belajar lagi, baca buku lagi, summary lagi, sehingga setiap saatnya saya siap untuk tugas (baik diri sendiri atau untuk orang lain).

Apakah sebagai target sasaran tembak, saya perlu takut? Perlu untuk khawatir? Bukankah setiap hari kita sudah isi dengan ketidakpastian? Sebab kalau kepastian, kan menjadi statis. Jadi kok ya apa saya musti grogi?

Bukankah yang grogi adalah pencatat kehadiran dan pemantau serta pengambilkeputusannya tersebut.
Apa saja yang dapat dinikmati, dipikirkan, dilakukan oleh seorang yang merasa dirinya menjadi sasaran tembak?

Apakah perlu mengubah pola hidup? Apakah perlu mengubah kebiasaan?

Menarik…..

Dapat dilakukan kedua alternatif tersebut. Pertama tidak perlu mengubah apapun. Just enjoy it. Kedua adalah mengubah sama sekali yang baru, lain dari sebelumnya dan kalo bisa pola yang belum pernah saya terapkan.

Usul adalah hadir dalam pemantauan, tanpa perlu siar2, tapi tetap bekerja dan belajar untuk mempersiapkan diri guna tugas berikutnya. Baik itu tugas untuk orang lain maupun untuk diri sendiri.

Berikutnya adalah: timbul pertanyaan, apakah saya akan menyalahkan dan marah dendam benci pada orang yang menembak dan akan terus menembak saya?

Jawabnya adalah apa perlu? Apa penting untuk merasa demikian?

Apakah dengan marah kita akan menjadi lebih baik? Apakah dengan dengan rela, ikhlas, dan legowo. Puji Tuhan, ternyata cara atau pilihan yang legowo jauh lebih enteng.

Sebagai pengguna casing manusia, tentunya rencana, pelaksanaan dilaksanakan dengan sebaiknya, tapi fakta dan hasil di lapangan tentu bisa berbeda. Apakah saya juga akan rela dan besar hati untuk menerimanya?

Kok sulit ya menjawabnya. Penginnya menjawab ikhlas dan rela. Tidak mudah tetapi dapat dilakukan dan dirasa roso demikian….

Monggo dicoba.

Jakarta 3 April 2013

Hilang

Setelah kejadian kemarin, dan diputuskan untuk tidak memegang jabatan, terasa ada yang tidak biasa. Mengenang kejadian 4 tahun lalu, tepatnya April 2009, dimana juga diputuskan untuk tidak menjabat lagi, bahkan saat itu juga tidak memperoleh meja bekerja, ada beberapa perbedaan yang saya alami.

Pertama, rasa kehilangan terjadi saat tahun 2009 lalu, dimana secara sepihak dan tidak diperkenankan untuk melakukan appeal, saya dicopot dari jabatan dan dijadikan pesakitan, serta dituding melakukan penggelapan dana perusahaan serta diaudit. Walaupun hasilnya justru diluar perkiraan dan bahkan selama menjabat membuahkan hasil pada perusahaan, nama saya tidak direhabilitasi, juga tidak dilakukan apapun untuk menyebutkan hasilnya. Yang terjadi saat itu adalah terjadi 3 tahap, pertama, adalah tahap berjuang, denial, marah dan bahkan defensif. Bila dirunut kembali, tahap itu adalah pengakuan adanya tahap kehilangan. Dari tadinya diberi kewenangan, lalu dicabut , diganti, digulingkan, apapun namanya. Tahap kedua terjadi saat mulai dapat mengalihkan, dengan kegiatan yang dirasakan dapat menggantikan “rasa kehilangan” tersebut.  

Saat itu mungkin memang sudah dirancang oleh Tuhan dimana saya disibukkan dengan membantu perusahaan daerah dan mengambil kegiatan ekstra kurikuler belajar flute dan trumpet. Puji Tuhan ternyata perusahaan tersebut semakin berkibar, juga ternyata trumpet dilanjutkan oleh anak kedua. Tahap ketiga adalah tahap reda dan bahkan tahap bersyukur, dimana sejak dapat berserah, memperoleh manfaat, dan sudah tidak defensif bahkan tidak menuntut adanya rehabilitasi (it didn’t matter anymore-bukan mutung lho…), maka anugerah Gusti Allah nyata buah dan bunganya. Bahkan saat saya sudah memutuskan “what will be will be”, tanpa perlu direncanakan dan terkesan sebagai hadiah (sebenarnya saat ini saya liat sebagai ujian dan cobaan naik tingkat lagi) adalah tawaran menjadi dirut di perusahaan di sektor riil. Betapa luar biasanya. 

Saat dibandingkan dengan kejadian dan pengalaman tahun 2009 lalu, pada saat kemarin bertemu dengan bapak dirut, dan saat mendengar keputusan untuk penugasan saya berikutnya (yang kalo dijabarkan adalah “tidak ada tugas”nya) masuk dalam jajaran asistennya beliau dan pengurus perusahaan, dengan tugas nanti akan dipikirkan dan disampaikan (kalo ada); yakni saya tidak merasa kehilangan.

Bagaimana dapat merasakan kehilangan, lha wong saya tidak memiliki? Bagaimana dapat kemrungsung, wong tidak ada pada saya. Semua ini pinjaman, semua ini titipan, sehingga kapan waktu dipinjamkan dan dititipkan, kapan waktu diminta kembali. Kecewa? Kok ndak terasa begitu ya? Tidak terima kalo diminta, ya ndak begitu wong Gusti kalo menyerahkan dapat melalui orang lain, tetapi memintanya kembali dari orang lain.

Jadi kalo tidak memiliki, selama ini saya melakukan apa? Buat siapa? Mengapa mau? Apa untungnya? Bagaimana melakukannya? Waduh kok makin banyak pertanyaannya?

Lucunya kok ndak perlu dijawab ya? Lho kok ndak fight? Ndak melawan? Ndak kliatan jago bahkan kok ndak kliatan berjuang? Apa ini wujud manusia yang pasrah? Berserah? Wis pun terserah Gusti mawon.

Makin menarik saat saya semakin merasa bahwa menjadi asisten pengurus itu adalah saatnya belajar/introspeksi, tempat kawah candradimuka, mau belajar lagi, untuk tugas yang lain. Apa itu penting?

Apa perlu?

Lha akan dijawab apa yang penting dan perlu tadi juga wajib dijawab?

Ampun Gusti, saya ikut, nunut, manut dan nurut mawon. 

Jakarta, 2 April 2013

Pengganti ato Pengalih?

Rasa kehilangan adalah rasa yang timbul karena saya mengangap memiliki sesuatu, misalnya memiliki harta, tahta, wanita. Itu istilah yang selalu diingatkan. Monggo ditelaah pelan-pelan.

Saat saya memiliki, maka saya akan memperjuangkan untuk tetap menjadi milik saya. Walau tau kalo di dunia ini tidak ada yang abadi. Lha wong yang tetap ada di dunia adalah perubahan dan kematian. Jadi apa iya kita perlu mempertahankan yang saya miliki?

Kalo begitu apa saya ndak perlu memperjuangkan untuk memiliki, mengalami atau menemui hal tersebut? Lho kok menjadi apatis dan pasrah bongkok’an?

Lha ndak begitu, wong yang ada di dunia adalah hanya berkah dan perkenaanNya. Jadi ikhtiar dan doa; ora et labora; adalah hal yang selalu bersanding selalu.

Harta, jelas, materi; kebendaan, sangat sulit dilepaskan. Misalnya wong saya bekerja untuk memberikan fasilitas bagi saya dan keluarga. Kok dilepaskan? Apa ndak dapat dilepaskan? Menarik di sini bila saya katakan bahwa melepaskan bukan menjual, lalu tidak merawat lalu melalaikan. Hal tersebut berbeda sama sekali. Monggo dilanjutkan dengan bersyukur. Kalau saya memiliki materi disyukuri kan komplit. Bagaimana dengan tidak memiliki materi? Ya tetap disyukuri. Kok lanjutannya tidak memiliki materi?

Materi ini untuk apa sih? Kenapa penting? Kenapa perlu? Monggo….

Ndak usah pake orang lain, saya pengin punya mobil untuk kliatan mapan, sukses dan enak; saya pengin punya rumah dengan halaman luas untuk kliatan mampu, kaya, dan sukses. Jadi kalo ndak kesampean namanya ndak sukses, ndak kaya, ndak enak. Lho kok segitu aja? Apa kita menikmati kesuksesan? Apa hal itu berguna? Apa ada manfaatnya buat saya? Apa ada manfaatnya buat keluarga, istri, anak-anak saya? Hi hi hi hi

Kalo yang ada sekarang disyukuri? Apa ndak bisa? Ya jelas bisa wong semua ada, mobil, rumah, fasilitas dan seterusnya… Lalu mau cari apa lagi? Kok jadinya ngejar terus…. Nguber terus…. Lalu setelah didapatkan kok ndak puas juga? Ndak enak juga? Ndak bersyukur juga? Malah tetap cari lebih lagi lebih lagi….. Sampai batas mana?

Ngeri juga ya….?

Tahta, jabatan, wewenang, kekuasaan, penguasaan, pengendalian. Kenapa penting? Buat apa? Untungnya apa? Manfaat basic-nya apa? Tujuannya buat apa? Kemana? Menarik. Teringat salah satu godaan Tuhan Yesus saat dibubungan Bait Allah setelah berpuasa 40 hari, adalah jatuhkan diriMu, pasti malaikatmu tidak akan membiarkan dirimu terantuk batu. Juga ubahlah batu menjadi roti. Kekuasaan ternyata menyilaukan mata kita, baik mata panca indera maupun mata hati. Saya tergoda untuk mengambil keputusan, sebab akan merasa saya mempunyai kendali atas diri saya dan orang lain, dan perusahaan, dan mitra kerja, dan masyarakat dan seterusnya. Apa yang menyenangkan (menyilaukan) sebab seolah saya “playing God”.

Waduh bahaya banget. Merasa berkuasa atas orang lain dan seterusnya. Godaan ini makin tidak terlihat. Hanya kliatan hasilnya. Muncul hanya pada intensi, semakin halus, semakin terasa hanya energinya.

Pengaruhnya….

Apakah saya bisa melepaskannya? Tentu bisa. Wong kuasa, wewenang itu merupakan amanah. Sedangkan sumber dan wujud dari seserahan tersebut adalah titipan atas dasar trust, kepercayaan. Lha kalo yang dipercaya sudah memiliki intensi yang tidak sesuai trust tersebut ya bukan menjadi “orang kepercayaan lagi” dong… selanjutnya ya bisa diambil amanahnya. Pindah pada orang yang mampu dan mau diserahi amanah tersebut.  Apa iya saya menjadi mentang-mentang kalo diberi wewenang? Ya bisa saja, awal dulu, sewaktu diserahi jabatan, saya kaget, memutuskan, berinisiatif, lalu ada hasilnya, ada konsekuensinya, ada tanggung jawabnya. Eh juga ada kompensasinya. Orang lain yang teman iri, dengki, fitnah dan cemburu. Berpikir dapat mengambil amanah dan memindahkan. Tentu saja bisa memindahkannya, tetapi apakah teman yang diserahi amanah tersebut tau kalo diserahi adalah tanggung jawab besar dan bukan mentang-mentang?

Monggo dijalani mawon. Kalo belum merasakan juga hanya melihat kompensasinya sering menyilaukan mata, mirip saya alami di awal karir tersebut. Kok di awal karir? Apa sekarang sudah berubah? Ndak kok baru mulai sadar dan belajar mingkrik-mingkrik, pelan-pelan.

Kuasa ternyata hanya membuat saya merasa puas sebab kliatan atau ada power dalam setiap tindakan.

Manfaat lain? Ya ndak ada.

Wanita, ini diindentikkan dengan keindahan, keagungan, kebesaran, kecepatan, ada rasa ser yang tidak akan terdefinisikan. 

Merelakan keindahan menghinggapi saya, awalnya sukar, sebab yang diinginkan adalah sesuatu yang obvious, malah penginnya keindahan itu meningkat terus dari waktu ke waktu, dari keindahan yang satu ke keindahan berikutnya. Ndak pernah puas, dan merasa harus tercapai. Ujungnya lelah kecapean.

Getir?

Lho bagaimana sih? Apa iya selama ini saya hanya memiliki kejelekan? Sehingga butuh keindahan. Bukankah semua yang ada selama ini baik ketidaksempurnaan, kesakitan, kebaikan, keindahan, keharmonisan, kesusahan, kekecewaan, juga merupakan keindahan dan kesempurnaan itu sendiri.

Ibu dan bapak, almarhum, juga Mbah pernah menyampaikan, “Le…(sebutan anak cucu yang disayangi—kepanjangan dari Tole..) urip itu mung mampir ngombe…”

Disambung, biso ngerasakne sehat, setelah ngerasakne loro (sakit), biso ngerasakne seneng, setelah ngerasakne sedih. Bukankah ini dinamika hidup.

Lha kok, si aku iki minta kepastian? Minta enak terus, minta ini minta itu… wong urip iku titipan.

Monggo…..

Jakarta 2 April 2013

February 11, 2013

Kepastian dan Kebebasan



Seringkali saya terjebak dalam perjoangan dan pencarian serta pengorbanan untuk mencari kepastian. Pertanyaan dilayangkan, pertemuan dilaksanakan, perjalanan direncanakan. Tapi adakah kepastian? Seringkali justru hutan gelaplah yang ditemui. Semua orang melengos, alampun diam membisu. Terang surya menyinari, guyuran hujan melebat, membuat orang termasuk saya mengira bahwa itu tanda dari Tuhan, Gusti Allah kita
.
Semua diam, tidak memberi jawab, bahkan untuk sekedar kehangatan dan sekedar pelepas dahaga dari pencarian yang panjang...

Apa masih tetap perlu dan penting untuk mencari dan memperjoangkan kepastian di hidup yang memang tidak pasti. Bukankah sering kita temui bahwa yang pasti justru ketidakpastian?
Apa ya tetap ada kepastian naik pangkat, kepastian sejahtera, kepastian hidup akan membaik? Sementara hidup dengan segala gejolak, dinamika serta perubahannya justru membuat kita hidup? 

Lho......?   Jadi sebaiknya bagaimana?

Apa masih perlu dan penting untuk mencari kepastian? Monggo diputuskan.....

Sementara saat hidup kita terhimpit banyak hal masalah, beda kenyataan dari harapan, serta tekanan dari pekerjaan, keluarga serta perjoangan mencari kepastian tadi, kita menginginkan bahkan “mencari” dan mendambakan (seolah-olah tidak ada di tempat dan waktu kita saat ini dan di sini) untuk mencari kebebasan. Bebas untuk apa sih? Kelegaan untuk berbuat apa? Buat apa? Melepaskan dari siapa? Dari apa? Mengapa penting untuk diperjoangkan? Bukankah kita yang mencari kepastian, memperjoangkannya, lalu dalam perjalanannya, justru mencari kebebasan untuk berbuat apa saja, buat siapa saja? 

Pertanyaannya adalah: apa kita merasa tidak bebas? Dari siapa? Untuk melakukan apa?
Kalo dikatakan nanti kan berarti kita melanggar hukum? Aturan? Kesepakatan? 

Kembali pada pertanyaan, apa kita tetap tidak punya pilihan? untuk mengambil keputusan? 

Kok malah membingungkan ya.....????

Jadi sebenarnya yang dicari kepastian atau kebebasankah? Apa kita punya pilihan untuk mengambil keputusan? Mengapa kita takut? Takut pada apa? Siapa? Kenapa? 

Mosok pejoang, takut konsekuensi? Lha kalo gitu ngapain kita berjoang?

Monggo......

Tanjung Redep, 9:00, 11Feb2013

February 09, 2013

Mendengarkan vs mendengar

Berikut ini bukan dari saya sendiri tetapi saya cuplik dari "Awareness" karangan Anthony de Mello yang luar biasa.....monggo..

Beberapa dari kita "bangun" karena pengalaman yang tidak menyenangkan. Karena pengalaman itu, membuat kita "bangun". Tetapi (ada) orang-orang yang terus-menerus terbentur dalam hidupnya . Mereka terus-menerus berjalan sambil tidur. Mereka tidak pernah (memutuskan untuk) "bangun". Lebih tragis lagi, mereka tidak pernah menyadari bahwa ada jalan lain untuk membuat mereka "bangun".  
Cara lain tersebut yang membuat Anda "bangun" yaitu "mendengarkan" (bedakan dengan mendengar). 

Yang luar biasa disini adalah selalu de Mello menyelipkan sepenggal kalimat, bahwa Anda tidak harus dan tidak perlu untuk setuju dan sependapat dengannya. Artinya beliau mempersilakan pembacanya untuk memutuskan sendiri apakah mau "bangun" atau tidak atau belum (mau)..

Dilanjutkan.. Yesus menyampaikan kabar baik, Nabi Muhammad menyampaikan kabar baik, Sang Budha menyampaikan kabar baik untuk kita manusia, tetapi Dia ditolak.  Dia ditolak bukan kabar baiknya, TETAPI karena kabar yang disampaikan adalah kabar baru. Kita semua benci segala sesuatu yang baru! Makin  cepat kita menghadapi kenyataan semakin baik...

Kita tidak menginginkan hal, barang atau berita baru, khususnya bila hal tersebut membuat kita terganggu, terusik, dan membuat kita harus berubah. Apalagi bila ternyata hal baru tersebut membuat kita harus mengatakan,"selama ini saya salah...."    Waduh, gubraaaakkkk!!

Padahal bila kita "mau" mendengarkan, dan sampai dengan keputusan dengan mengatakan,"anda mengatakan sesuatu yang membuat saya terbuka, dan selama ini saya telah salah." Itulah iman.  Bukan keyakinan, tetapi iman. Keyakinan memberi anda perasaan aman, tetapi iman anda perasaan tidak aman. Anda tidak mengetahui dengan pasti, anda bersedia mengikuti. Ada membukakan diri sehingga anda terbuka luas...  Membukakan diri tidak berarti anda mudah menerima dan menelan apapun yang disampaikan pembicara. Justru anda harus mempertanyakan, memunculkan tantangan atas segala sesuatu yang disampaikan. Tetapi pertanyakanlah, tantanglah dengan sikap terbuka, bukan membandel.

Jika melakukan demikian, artinya anda mendengarkan. Anda telah melangkah maju satu lagkah untuk "bangun" 

Monggo...

Tanjung Redep, 11:25, 9Feb2013