July 17, 2014

Cermin


Dalam diskusi kemarin siang dengan sobatku, ternyata ada yang sampai hari ini masih tergiang di benakku. Bahkan dalam mimpi malam tadi sempat masuk dalam bawah sadarku dan terus menggangguku.

Cermin.  Itulah kata-kata yang tadi pagi begitu bangun langsung ku temukan.  Ya, cermin adalah suatu metafora sederhana kurasakan cukup mewakili gambaran ini. 

Betapa ternyata bincang dengan sobatku tersebut langsung kutemui bahwa rasa, sikap, tindakan, pemikiran ataupun pandangan dan komentar serta sanggahan yang disampaikan adalah cermin dari yang juga selama ini kulakukan, kutemui serta kurasakan sendiri.  Yang membedakan adalah waktu dan kadar saja. 

Jelas dong, lha wong jalanan yang sama saja, setiap hari dilalui oleh angin, debu serta kendaraan yang berbeda-beda. Lho kok beda? Kan tiap hari jalan itu kulalui? Mosok ndak memperhatikan, bahwa sekitar kita ini juga sudah berbeda kondisinya dalam setiap sepersekian detik. Walau jam dan waktunya serta tempatnya sama persis. 

Monggo bicarakan makro vs mikro. Jangka panjang vs jangka pendek. Dst dst dst…

Kembali pada perbincangan di atas, cermin itu adalah media atau apapun yang menjadikan satu hal reminder yang lain. 

Jadi kalo ada saat kita temui, kok ada sih orang marah-marah pada orang lain, sementara dia antri untuk masuk jalan sempit. Melihat orang lain pake sepeda motor (dan kitapun berkendaraan, baik pake motor maupun mobil atau sepeda), dan sudah mengantri, ternyata orang lain main seenaknya nyelonong ndak ngantri. 
Jadi yang terlihat adalah langsung tindakannya.  Hasilnya membuat dongkol kita atau siapapun yang melihatnya.
Eh…ditambah, ternyata ada lho yang memberikan jalan pada dia (yang nyelonong tadi). Makin dongkollah kita.  Maka secara ndak sadar, kita sudah memaki (baik dalam hati maupun langsung buka mulut…), langsung pencet klakson, langsung ikut nyelonong dst dst dst….

Apalagi di bulan puasa ini, bagi kita yang ikut puasa, kan sebenarnya sudah membatalkan ibadah kita sendiri….

Kembali lagi pada tema kita, cermin…. Kenapa sih kita langsung marah, apa kita sebenarnya kita marah karena hal tersebut tidak kita lakukan? Atau sebenarnya kita juga mau (ndak tertib dan ndak ikut aturan tersebut), terserah orang lain. This is my life….

Atau kita mempertanyakan, lha katanya saja konsensus, mesti antri kalo mau lancar, lha kok masih ada yang nyelonong. Atau kita berpikiran lain, misalnya hal yang lebih besar, ternyata di jalan ya hanya berlaku bagi orang yang sadar dan sabar saja. 

Aku belajar dari sobatku yang lain, ternyata contoh nyelonong, nyalib di tikungan yang membahayakan orang lain dst dst, adalah ya ndak apa-apa.  Lho kok begitu? Katanya, kan sebenarnya orang lain mau sak enaknya sendiri itu urusan dia. Bukan urusan kita. Bener juga sih. Lha nanti kalo ada yang celaka gimana? Lha kan itu kalo ada yang celaka, kan faktanya ndak ada. Ya sudah. Titik.

Sebentar-sebentar… lho kok enteng banget nih…

Dia jawab, lha bukannya hidup ini memang enteng aja. Kan kamu sendiri aja yang mbayangin lain-lain. Nanti bahaya lah, nanti celaka lah, dst dst dst. Risiko kan ditanggung sendiri. Dan mustinya menyesal itu ndak relevan. Cuma orang yang mau belajar ke dalam (diri)lah yang melakukannya. Mengendapkan. 

Betul juga sih….

Kembali ke tema cermin di atas. Ternyata hidupku, hidupmu, hidup kita, ya urusan sendiri, sendiri. Tanggung jawab, kewenangan, dipilih orang, disukai orang, dibenci orang, dinilai baik atau buruk, dianggap sampah oleh segelintir orang atau bahkan dicap jahat, sebagaimana yang dilakukan tentara Israel. Lha itu kan hidup mereka. Pilihan mereka. Mosok kita mau menyeragamkan semua orang, menyeragamkan kebutuhan dan pandangan serta keyakinan orang. 

Bukankah  semua keberagaman, ketidaksempurnaan, yang membuat indah dunia ini. 
Bukankah aturan, regulasi hukum dan budaya adalah bentuk konsensus kesepakatan kita si-aku yang bersedia (diartikan: memilih) hidup bersama dengan masyarakat, kelompok penduduk, sesama umat.  

Coba bayangkan, ibarat sepak bola, ndak diatur jumlah orang yang boleh main, posisi gawang, jumlah bola yang digunakan, ada yang boleh menendang, tapi karena pilihannya ada yang milih pake tangan, ada yang pake sepatu ada yang nyeker, dst dst dst. Apa ndak bubar itu permainan? Apa masih enak tontonan World Cup tersebut?

Monggo……


Jakarta, 11:45; 17Jul2014

No comments:

Post a Comment