September 23, 2013

Anak Baru


Tidak terasa hari ini adalah hari pertama ku di tempat kerja. Ndak terbayangkan apa yang akan terjadi. Bagaimana menjadi bawahan, bagaimana nanti saya menghadapi atasan, apa tugasnya, apakah kita menjadi harus melayani atasan saja, atasan dan rekan sepekerja, apakah juga kepada rekan-rekan pendukung?
Indahnya suasana baru adalah kita ndak mengetahui apa yang akan dihadapi, apa feedback-nya pada kita. 

Dan semakin menarik sebab sudah 20 tahun lalu saya menjadi karyawan baru. Ditambah lagi suasana karyawanpun masih dalam kondisi probation, atau melalui masa percobaan. Jadi dalam masa tertentu misalnya 3 bulan atau 6 bulan, maka salah satu pihak diperkenankan memutuskan untuk meninggalkan hubungan kerja ini. Dan lucunya (sebab baru sekarang saya hadapi- lagi...) bahwa kita di sisi karyawan yang seolah-olah (juga kenyataannya) takut untuk diputuskan menjadi penganggur atau dikeluarkan dari pekerjaan. PHK.

PeHaKa? Pemutusan Hubungan Kerja, adalah kata yang sakral, sebab menjadi cap yang begitu ditakuti oleh calon karyawan ini. Dan semakin menarik sebab saya hadapi hal ini lagi, sekarang.

Setelah flashback dari saat tahun 1993, di awal kerja dulu. Maka indah rasanya saat ini bisa mengalami lagi.  Saat ini, hari ini, di sini di tempat kerja baru, gedung baru, suasana baru dengan rekan-rekan kerja yang lama dan sudah (pernah) bersahabat.  

Teringat buku Susan Jeffers, Face the Fear, Do It Anyway, yang mengatakan bahwa rasa takut itu indah, sebab kita takut pada hal yang secara psikologis ndak kita ketahui, tapi kita sudah begitu takut menghadapinya. Mirip dengan tentara yang kalah perang sebelum pergi berperang. Ternyata makin menarik saat kita bongkar dan kaji ulang. Lho kok kita sudah takut pada bayangan? Lha wong bayangan saja adalah kita yang buat. Kok kita takut pada bayangan?
Apa ini yang dimaksudkan dengan kita ndak "rela" meninggalkan comfort zone atau zona nyaman. Padahal kata nyaman ini belum tentu berarti nyaman karena enak, seger, sedap atau bahagia. Kadang kata "nyaman" ini juga diartikan bahwa keadaan yang sudah kita kenal, sudah biasa kita hadapi, juga cara yang sudah hapal dan secara reflek kita lakukan untuk menjawabnya atau bertindaknya.  Sering terjadi bahwa kondisi yang membuat kita menderitapun dapat menjadi comfort zone kita, karena kita sudah tau bagaimana menghadapinya. Apa yang perlu di-adjust, kita sudah tau dan paham. Aneh ya, wong susah, sulit, bikin ati kebit-kebit kok malah nyaman. Ya...ternyata memang beginilah kenyataannya.  

Ibu saya pernah mengatakan, dadi wong jowo sing njawani. Musti paham ono neng endi ngadhek'e. Yen pener yo pener, yen salah yo ojo ditiru. Kalo diterjemahkan secara bebas sebagai berikut: jadi manusia musti tetap sadar, utuh dan hadir. Bukannya fisiknya ada di tempat itu, pikiran dan atau hatinya di tempat lain. Dan sadar berdiri di mana, kalo melihat kondisi lingkungan benar, ya bertindaklah benar. (Meskipun, masyarakat kita lebih memilih yang baik dibandingkan dengan yang benar__untuk hal ini akan saya tuliskan dalam "celetukan" lain kali). Ndak perlu ikut-ikutan. Ikutilah kata hati, itulah penuntunmu yang benar dan jujur.

Sadar dan hadir, ternyata penting dan perlu untuk merendahkan hati. Waspada perlu dipasang, sebab kita ndak tahu apa yang akan dihadapi. Tetapi dengan dilandasi keyakinan akan perkenan Tuhan, Gusti Allah kita, maka Insya Allah, kita dapat melaluinya dengan baik.

Benar atau salah ndak ada yang bisa menilai saat terjadinya suatu event, sampai saat hal tersebut dievaluasi (biasanya dengan persepsi tertentu).

Ibarat mata uang, kita terima coin seribu rupiah, maka kita akan terima gambar dan sisi lainnya tulisan angka Rp 1000,-. Suatu kejadian atau keadaan, ada baik/buruk, ada indah/jelek-nya. Kerelaan, keikhlasan kita menerima keadaan tersebut membuat komplit dan utuh kehadiran kita.  Benar, bahwa ego sebagai manusia (cieeeeeeeee....) kadang menghambat ku untuk ikhlas dan rela menerima keadaan. Tetapi saat ku putuskan untuk ikhlas, maka semua hal menjadi open, terbuka, dan berkah.

Saat merasa diri dibuat "baru" dengan segala "kerapuhan"nya, apakah kita ikhlas? Jadi ingat pesan Paulus, pengikut Yesus, Anak Allah yang Hidup, yang militan, mengatakan,"di saat kita lemah, kita dikuatkanNya. Dan disaat kita rendah, kita ditinggikanNya. Demikian pula saat kita merasa kuat, maka Tuhan yang akan memperkenankan untuk dicobai, juga saat kita merasa diri (lebih) tinggi dari sesama kita, maka kita direndahkanNya."

Paradoks dalam hidup. Dualitas, yang menggoda kita untuk memisahkan dan memutuskan untuk memilih mau mengalami yang mana. Padahal kesediaan kita untuk mengalami hal tertentu dengan komplit, lengkap, maka kita "melampaui"nya. Puji Tuhan.

Monggo.....


Jakarta, 10:32, 23Sep2013

No comments:

Post a Comment