Ternyata betapa baru kusadari kalo aku ini
sungguh beruntung. Hampir pasti dapat dikatakan bahwa aku memang bahagia
sebagaimana yang aku mau dan apa adanya.
Coba saja perhatikan, apa yang membuatku ndak
bahagia:
·
kalo orang bertanya apa kamu punya pekerjaan? Punya (tanpa tapi..). Sebab ukuran orang bila memiliki pekerjaan, maka
terjamin "dapur" bakal terus ngebul. Anak istri ndak kelaparan. Kalo
mengikuti "pikiran orang" yang maunya stabil dan tidak goyah...
Justru pengalamanku diberkahi Gusti Allah untuk boleh mengalami berbagai macam
pekerjaan, berbagai macam peran, kadang memimpin di depan, kadang diasingkan di
belakang gudang, kapan waktu didengar omongannya selayaknya sabdo pandito ratu,
kapan waktu apapun yang saya ucapkan dicerca habis-habisan, dianggap perongrong
perusahaan, ndak becus. Kapan waktu boleh membantu dan kontribusi, lain waktu
justru diminta untuk minggir. Menarik sekali, aneka ragam, dikenal, dicerca,
dicela, juga diperlukan. Wuih...kumplit. Menyesal? ya jelas ndak dong. Wong ini
yang membuatku tetap bersyukur, kalopun mendapat peran, itu semua berkah yang
kapan waktu diberikan, dipellihara, kapan waktu lagi diminta tanpa perlu
penjelasan. Justru saat ini adalah pengalaman baru dari suatu penugasan, dimana
masuk sebagai orang terhormat, tetapi saat ini dikucilkan. Bahkan semakin
menarik dan membuat saya bersyukur sebab tiap saat saya merasa bisa
"dieksekusi, ditembak mati" perannya sehingga terdorong keluar atau
justru (amit2) dikasuskan. Ada rasa ser-ser'an. Seru, asyik kan... Mau yang gimana
lagi? Mau apa lagi..?
·
Kalo gitu punya keluarga dong ya? Punya dong (juga
tanpa tapi...). Puji Tuhan alhamdulilah sehat semua. Tadi pagi kupandangi
istriku, betapa dulu aku mendapatkannya ndak gampang tuh. Bahkan saat kuingat
aku ingin jadi pacarnya, betapa dia rela melepaskan pacarnya untuk mau
menerimaku. Luar biasa berkah Gusti Allah lewat pasanganku ini, termasuk
anak-anak kami yang berkah kami bersama, juga keluarga besar yang saling
mendukung dan menyayangi. Saat anakku paling
gede kuliah di luar kota, betapa kusadari bahwa kemilik'anku pada anakku
ternyata juga sekaligus kerelaan keikhlasan pada melepas dia untuk lebih maju,
berkembang sekaligus mendoakan agar semakin merasa dekat dengan Gusti Allah,
yang memang selalu melindungi dan memberkatinya. Tidak terasa pula, anakku
kedua telah berangkat SMA, waduh sudah besar. Mandiri pula seperti kakaknya.
Tidak terasa air mata ini berlinang, saatku dan istriku melihat kakak beradik
bertiga dengan adiknya yang terkecil saling mendukung, mengajari, menjaga dan
bahkan saling mengayomi, sekaligus mengingat. Seperti anakku SMA saling
bertanya pelajaran pada yang kuliah, demikian pula anakku terbesar bertanya
gadget pada adiknya. Juga saat anakku yg besar mengajari adikknya yang kecil
untuk berenang, demikian pula adiknya yang kecil kalo membeli donat selalu tiga,
satu untuknya, satu untuk mas kedua, dan satu untuk mas yang besar. Juga anakku yang kedua juga
membacakan bacaan untuk ulangan adiknya yang kecil. Dan istriku yang belakangan
ini semakin mandiri, dan keluar warnanya. Seakan menutupku yang memang ndak mau
aktif di gereja dan lingkungan. Nah, mau apa lagi? Kurang apa lagi? Bukankah
banyak hal yang membuatku bahagia....
·
Sehatkah?
Sempat kemarin 3 hari sakit kampung menyerangku, diare, yang luar biasa banget
deh rasanya. Menarik lagi, ternyata istriku juga mengalami hal yang sama.
Lucunya adalah perkiraanku terjadi penyebabnya adalah makanan sejak pagi
setelah misa, tapi kok (amit2) anak-anak sehat? Cuma aku dan istri yang kena?
Ya itu tadi, wong jowo itu untung terus. Untung cuma tiga hari, untung cuma aku
dan istri, untung sekarang sudah sembuh (berangsur pulih). Kalo ditelusur,
kayaknya badan fana ku ini self healing. Jadi
kemrungsung hatiku ini yang sudah berlangsung beberapa lama ini, terkubur di
alam bawah sadar, muncul dan diingatkan berbentuk sakit perut. Yang ternyata
aku butuh sabar, butuh orang lain, yakni istriku dan dokter (ahlinya), juga
beruntung adanya anak-anak yang sehat. Kurang apa lagi? Bukankah sudah buanyak
sekali alasan untuk merasa bahagia kan?
·
Punya tempat
tinggal? Punya, menariknya kami masih diperkenankan tinggal bersama dengan
mertua. Bukankah ini berkah. Mana ditambah lagi anak-anak kami
benar-benar-benar dianggapnya cucu sendiri. Kalo mau dikatakan taken
for granted, ya inilah aku. Mana terpikir kami menikah dan boleh
tinggal bareng berkeluarga? Sempat suatu waktu istri ingin ikut menata rumah
dan merombak beberapa bagian, dan akhirnya rumah kami yang di luar kota kami
putuskan untuk renovasi. Jadi, minta apalagi, kurang apa?
·
Kendaraan?
Wah ini mah apalagi namanya kalo bukan berkah. Cita-cita zaman kecil pengin
punya motor harleh sudah terwujud, pingin yg antikpun sudah terwujud. Ditambah
lagi anak-anakku justru sekarang ketularan memelihara baik vespa maupun si
harleh tersebut. Mau ditambah lagi, saat ini untuk keperluan sehari-hari, ada
mobil kantor, untuk keluarga juga sudah ada. Bahkan ada kendaraan kedua bila
ingin lebih luas. Bis lah yaau.... Masih
kurang, saat ini sedang membangun mobil kuno yang memang kutunggu dan ditunggu
pula oleh kedua anakku. Mesin menggelegar, langka, sudah repaint, pokoknya seru
deh. Mau apa lagi? Kurang apa? Jelaskan, kenapa kusebut ini bahagia.
·
Hobi
lain, menyenangi musik, maka kupunya alat-alat musik mulai dari piano istriku,
gitar bolong, gitar listrik ada, lengkap dengan efek gitarnya, ada flute juga,
ada klarinet serius, saxophone ini yang terakhir aku mainkan, jenis alto, jenis
tenor dan terakhir baritone yang jarang dan aneh buat dimainkan. Dulu sempat
belajar trumpet, beruntung saat ini diteruskan anakku yang kedua, dan sudah
menjalaninya hampir empat tahun dan sudah mengikuti pertunjukkan sampai ke
mancanegara. Alat lain seperti cajon,
bongo, keyboard yang bisa bersuara organ.
Dan yang terakhir ini buat latihan anakku untuk jadi organis di
gereja. Hobiku yang lain adalah foto,
yang juga diteruskan oleh kedua anakku yang besar. Untuk olah raga, diteruskan
oleh anakku yang pertama, dengan menjadi atlit baseball dan softball, dan sudah
mewakili Jakarta junior serta mewakili klub sampai ke Filipina dan Manado,
sementara untukku belum pernah singgah sekalipun ke kedua tempat tersebut. Hayo kurang apa, opo ndak dikatakan berlebih
berkelimpahan berkahNya sang Gusti...
Melihat dan menelaah hal-hal juga kejadian
serta pengalaman tersebut di atas, maka kalo ku memutuskan untuk bahagia kalo
ini atau itu yang belum tercapai, maka hal tersebut adalah suatu penghindaran, suatu pengejaran juga
suatu kenistaan sekaligus kesia-siaan.
Betul bahwa dalam perkataan orang saleh,
penting dan bijak menyebutkan bahwa You
are happy, as is. Perhatikan, bukannya
you were happy atau you will be happy. Ndak perlu
syarat-syarat apa-apa lainnya. Apa
adanya.....
Monggo
sahabat, telusur hidupmu apa yang sudah ada disekitarmu. Bukan apa
yang seharusnya disekitarmu. Atau apa yang belum ada disekitarmu.
Jakarta 12:37, 7Nop2013
No comments:
Post a Comment