Tadi malam, aku bermimpin mewakili negeri tercintaku dalam
forum internasional, diisi oleh para pemimpin negara besar, yang cenderung
sombong, norak sekaligus pro status quo.
Diisi oleh meja melingkar dari suatu ruangan yang sangat besar, serba
putih, juga sangat senyap. Semua menunggu giliran untuk bicara. Tapi lucunya
yang dibicarakan adalah ketahanan pangan, ketahanan energi serta ketahanan
lainnya yang mendukung kemampuan bumi tempat perpijak ini untuk lebih mengarah
pada kesejahteraan dengan dasar pertukaran antar negara sehingga masing-masing
lebih berdaulat.
Ngeri lihat judulnya. Tetapi saat dimulai jam sembilan waktu
setempat, ternyata pembicaraan hanyalah melulu kemauan negeri kaya raya untuk
lebih bisa mengeduk sumber daya alam dan kemampuan negeri lainnya yang
dilihatnya lebih rendah dan kurang berdaulat, serta dianggap lebih rendah
kemampuan tawarnya. Terlihat dari cara
bapak-bapak terhormat tersebut mengemuka pendapatnya, hanya dinyatakan satu
arah dan gerak pola badan atau sering disebut gesture tidak mensyiratkan
inginnya jawaban atau bahkan sanggahan.
Wakil negeri Amerika Serikat, negeri-negeri dongeng Eropah
dan Kerajaan Inggris serta negeri bawah yang mengaku dirinya bermartabat
Australia menunjuk-nunjukkan jarinya pada negeri yang ber-indah dan bersumber
daya alam melimpah, seperti negeri ku Indonesia, sang zambrud khatulistiwa,
negeri-negeri indah di Amerika Selatan, juga negeri-negeri beralam luar biasa
dan budayanya yang luar biasa seperti China, Mongolia, Vietnam, dan Jepang
serta Korea.
Dalam mimpiku, arah pembicaraan yang mulai tidak seimbang
tersebut, memakan waktu lebih dari tiga hari tiga malam, dan pada gilirannya
setelah negeri yang merasa diri kaya tersebut tidak ada bahan untuk mencela
serta menunjukkan gigi nya, maka diberinyalah kami kesempatan untuk bicara.
Saat menunjuk pada Indonesia, kebetulan aku sebagai anak
bawang, sebab dibanding mereka, bapak-bapak itu sudah berumur dan maaf mulai
bau tanah, tapi masih mengagungkan tata nilai Barat yang sebenarnya mulai
luntur, luluh serta menguap.
Mulailah kusampaikan pandanganku, dengan sura lirih, pelan,
sopan, tanpa banyak basa-basi, serta tetap mengemukakan pandangan keutuhan bumi
dan hubungan saling mendukung kedaulatan demi kesejahteraan masyarakatnya. Ku
sampaikan ide tentang bagaimana saling respect, dan memberi, yang didasari
kasih yang tidak berperhitungan.
Ide tersebut antara lain:
- · terbuka yang bukan telanjang
- · mendengar untuk memberi
- · barter karena kebutuhan
- · nilai tukar adalah kasih
Belum selesai ku sampaikan, baru mau masuk pada penjelasan,
walaupun sudah kusampaikan bahwa tidak akan memakan waktu lebih dari sepuluh
menit, bapak-bapak terhormat itu sudah memotong pembicaraan dan ingin diganti
oleh pembicara berikutnya.....
Bahkan disampaikannya,"apa yang kamu tau anak muda yang
masih bau kencur ini? Menulis saja baru bisa kemarin sore, sudah ingin
meng-kuliahi kita. Berapa banyak yang bisa negerimu hasilkan, usahakan dengan
dana sendiri, tanpa perlu mengganggu kami. Anak muda yang sombong, pongah dan
tak membaca sejarah, Ganti.....!!!!"
Hanya diam dan senyaplah balasanku. Tidak ada senyum tidak
ada dendam dan kesal. Hanya rasa kasihan yang ada padaku karena mereka tidak
tahu apa yang mereka pikir, perbuat apalagi katakan.
Monggo.........
Jakarta, 09:05, 4 Nop2013
No comments:
Post a Comment