Ditemui sahabatku yang baru masuk kantor selepas masa tiga
bulan setelah melahirkan, bersalaman, berbincang, saling menanyakan kabar?
Indahnya. Lucunya adalah bahwa kondisi ini langsung mengingatkan beliau untuk
kok beda dengan tiga bulan lalu sebelum saya melahirkan ya pak?
Apanya yang beda? Ya jelas beda dong, kan tiga bulan lalu
kamu baru mau melahirkan, perutmu sudah demikian besar, si jabang bayi sudah
mau keluar, bahkan saat itu kamu sedang menunggu waktu yang tepat untuk ambil
cuti melahirkan, juga sibuk untuk mencari pengganti; lha sekarang, organisasi
sudah berubah, ndak tau apakah kamu masih di divisi lama atau divisimu justru
sudah dilebur atau malah justru dipecah menjadi beberapa divisi pelaksana?
Sementara aku masih di sini, posisi ini, hanya Berkah Gusti
lah yang membuatku ada, masih cengengesan dan celingukan, dan kalo dulu masih
beda gedung, sekarangkan satu gedung, dulu masih ada teman-teman seperjoangan,
sekarang ya sendirian...eh ndak dong, kan aku bersama terus dengan Gusti Allah.
Jelas ndak sendirian. Lho malah ini ketemu yang menarik ya? Makin ku sendirian,
justru makin ku merasa bersamaNya. Makin dekat, makin terasa tanganNya
menggandengku, kadang justru menggendongku.
Jadi ingat sepotong cerita tentang jejak kaki di pasir pantai.... Suatu saat ku bertanya pada
Gusti.... Duh Gusti, dunia yang kuhadapi kok begitu berat? daripada diam di
tempat, maka ku tetap berjalan. Yang tadiku berjalan berdua, sebab ada empat
kaki di pasir, tetapi kok saat ini justru jejak tersebut hanya ada dua kaki?
Duh Gusti..... jangan tinggalkan aku.... Tidak terasa sambil berjalanku,
tetes-tetes air mata membasahi pipiku, cengeng! biarin..... malu? ndak!! Ku
putuskan tetap berjalan sendiri....please Gusti, janganlah Engkau tinggalkan ku
sendiri dalam perjalanan ini.... Tiba-tiba ditendangnya aku, eh....kamu orang
yang ndak tau diri. Apa kamu ndak merasa kalo jejak kaki dua itu adalah KakiKu,
bukan kakimu. Sebab engkau justru yang AKU panggul, aku gendong. Sebab melihat
dan merasakan dirimu saja sudah ndak kuat. Masihkah engkau merasa sendirian?
Wahai..... Ampun Gusti, mohon ampun beribu ampun, sebab Engkaulah itu. Matur
nuwun sanget Gusti mengingatkanku tetap bersamaku.... Berkah dhalem. Lalu
bersimpuhlah aku, mohon ampun.....
Kemarin siang, aku bertemu dengan rekan lama, yang saat ini
sekantor. Melihat dan menimbang begitu bedanya status dan situasi kelompok
kami, maka awalnya perbincangan ini begitu kaku, aneh, rigid, dan kikuk.
Mulai dari saling bertanya kabar? saling menyampaikan
kondisi fisik yang sehat. Padahal ndak tau apakah kondisi yang sama di dalam
mental dan spiritualnya. Lalu saya
lontarkan doa agar apapun yang direncanakan bisa berjalan dengan baik dan
berhasil. Maka lancarlah pembicaraan selanjutnya, curcol, curhat, cerita dan
saling saran, terlontar...seru sekali.
Yang menarik adalah dilontarkannya sepotong kalimat buat
ku,"enak bapak bisa ngatur diri, bisa ngalir, bisa menyatu dan membaur
dengan kita."
Ndak terasa, terdiamku dibuatnya. Kalo bisa menetes, tentu
air mata ini akan melelehi pipi. Dan seketika itu juga kering rasa di
kerongkonganku. Tercekat. Ya ampun, Gusti. Inikah pandangan orang lain, liyan
di luar diriku?
Betapa Mulia Engkau
Gusti junjunganku. Maha Besar, Pelindungku. Yesus, Anak Manusia yang Hidup
telah memberikan contoh dengan Hasrat Passion menyerahkah DiriNya untuk kita
semua.......
Kalo ku masih dalam kondisi empat tahun lalu, mungkin akan
kutampar dia, kumaki dia dengan semena-mena. Kondisiku saat ini berbeda. Dan
ini karena BerkahNya membuatku lebih sabar, lebih mau menguliti diriku sehingga
bukan casing manusia yang menyetir aku. Sekali lagi HANYA BERKAH GUSTI YANG MEMBUATku begini. Mana sanggup aku
sendirian berbuat ini.
Bara dalam hati ini masih merah biru, membakar, terbakar,
Gusti berkenan membungkusnya dalam kain lampin biru, indah, dingin juga sejuk.
Sehingga batin ini cepat kembali ke tengah ayunan pendulumnya. Luar biasa Gusti.
Sedikit kutambahi, betapa orang lain ternyata kagum
sekaligus kasihan, tetapi yang terungkap adalah ingin melihat, ingin mendorong,
ingin menjerumuskan orang lain dalam jurang luka terdalam, yang tidak
tersembuhkan. Sekaligus, tidak ingin menyentuh apalagi mengalami. Biar orang lain saja yang melakukan dan
mengalaminya. Kalo bisa "aku dan keluargaku" ndak mengalami.
EGOIS......JAHAT, KEJAM. Yak.......
Apa dengan begini kita
masih mau mengikuti saran, petunjuk, ato perintah (baca: PERINTAH) dan
peraturan orang lain? Yang jelas-jelas-jelas ndak peduli pada kita. Jelaslah
kalo Gusti Allah Yesus mencontohkan bukan memberi saran, aturan, perintah
apalagi ancaman. MEMBERIKAN CONTOH. Walk
the Talk.
Amin. monggo.....
No comments:
Post a Comment