Ndak terasa dua minggu ku lalui hidup, tanpa kehadiran Ibu
ku yang saat ini memasuki tahun keduapuluh aku diperkenankan bertempat tinggal
bersama. Beliau adalah sahabat, ibu, juga kakakku untuk memperbincangkan
hal-hal keluarga dan spiritual bersama. Yang belakangan ini segala apa yang
kurasakan, sambil sport pagi dengan crosstraining, beliau pagi-pagi bangun,
berjemur, sambil sembahyang dan bercerita tentang keluarga, berkomentar dari
berita yang dibaca di koran atau bertukar pendapat mengenai banyak hal
spiritual, tentang Tuhan, tentang Yesus, tentang kematian, tentang sahabat,
tentang komunikasi dan banyak hal lainnya.
Sejak tahun terakhir dan memasuki usianya yang tujuh puluh
tahun lewat tersebut, beliau sudah ndak tertarik untuk perjalanan jauh. Bahkan
lebih memilih di rumah.
Ndak terbayang buatku, apakah ini, rasa sepi yang juga Ibu rasakan sampai pada kesempatan
ada mbak yang membantunya setiap hari menjadi nanny buat Ibu, menjadi teman,
menjadi pembantu, menjadi asisten dan seterusnya.
Menjadi terbuka buatku, mengapa Ibu sejak tahun ini menjadi
berkahku untuk bersama memperbincangkan hal-hal spiritual. Yang selama ini kuucapkan bahwa ini merupakan
berkah, tetapi masih ada dalam hati kecilku kesombongan bahwa ini merupakan
buah karyaku mencari, membongkar, membeli, mengalami dan mengejar apapun
sehingga rahasia alam dari Tuhan terbuka untukku, walau selalu kuucapkan aku
dibukakan oleh Tuhan.
Merinding kau dibuatnya, saat menuliskannya, ternyata aku
disentuh olehNya, dan diingatkan bahwa saat ini dimana Ibu sudah menghadap Sang
Khalik, dan saat pasanganku sedang mengantar anakku yang sekolah menengah atas selama dua minggu di tempat jauh yang
sinyal telponpun sulit diperoleh.
Ternyata rasa sepi ini menarik, sebab pertama kali
pikiranlah yang mulai mengantar bersandiwara, dan mereka-reka apa yang sedang
ku alami, lalu membayangkan hal-hal yang ekstrim bahkan sudah memancing amarah
karena self pity yang ditimbulkannya. Bahkan amarah ini semakin memuncak dan
bahkan kebanyakan energi yang selama ini bisa punah dan lenyap dengan berolah
raga selama 30 menit dengan kucuran keringat, tapi saat-saat ini justru
menimbulkan energi untuk bertanya, untuk mempertanyakan, juga untuk amarah yang
sedemikian meletup.
Kenapa aku dibiarkan dalam sepi, sendiri, ditinggalkan......
Benar kalo aku sementara ini tetap perlu menjalani hidup dan segala tanggung
jawab keluarga. Tetapi kok sejumput informasipun aku ndak dihubungi? Apakah
memang sudah sedemikian ndak pentingkah aku? Menanyakan keberadaanku pun sudah
ndak ada atau bahkan sudah ndak perlu? Ndak penting?
Bukan karena aku memang harus mengurus rumah, mengurus diri,
mengurus putri cantik kecilku, mobil yang perlu servis, tamu Om ku yang akan
mampir rumah. Dan seterusnya-dan seterusnya. Dan kau jawab ndak ada sinyal. Wow
benar-benar luar biasa meletup mau meledak rasanya.
Benar dan betul bila saat ini aku sedang dalam kondisi
terendahku. Kondisi ndak bisa basa-basi. Melihat orang lainpun saat ini rasanya
aku ingin menyemburkan apapun yang ada di kerongkonganku tanpa peduli apa yang
dirasakan mereka.
Jadi ingat sahabatku, saat ditinggal oleh pasangannya merantau
di negeri seberang, selama dua setengah tahun. Berita hanya melalui pesan
singkat sms, tanpa mendengar suara untuk komunikasi selama dua setengah tahun.
Betapa luar biasa rasanya. Pantas yang diterima pasangannya adalah nah, sekarang
gantian, semua kamu yang musti kerja dan melakukannya untuk aku dan
anak-anakmu yang selama ini aku yang lakukan sendirian. Tanpa perlu malu, tanpa
perlu gengsi dan ego, semua untuk menyambung hidup.
Boro-boro untuk berpikir mengisi hidup, saat itu mungkin
yang terasa adalah menyambung hidup.
Kepalaku sakit, sebelah kiri, sebelah kanan dan mataku
kunang-kunang. Menahan.
Hening, berhenti aku menulis- - - - - - - - - - . . . . .
................................
Mengingat sms dari pasanganku barusan, kok bisa-bisanya dia
yang kusembur karena rasa kangenku yang membuncah? Ternyata rasa kangen bila
ndak dipenuhi akan menimbulkan amarah yang demikiat hebat. Ya Tuhan, aku telah
melukainya. Kok tega ya?
Oh ya tega dong, wong aku sampaikan tadi (semburanku ini)
dengan maksud agar dia sadar dan tau kalo aku kangen. Kok egois ya? Apa iya
kalo dia juga ndak kangen? Penginnya disambut mesra tapi malah disembur
disemprot dengan kalimat keras dan kasar.
Biarin deh... sebentar aku menenangkan diri. Kalo sudah
tenang nanti juga bisa mikir normal.
Sebentar, sebentar, lho kok aku yang kangen lalu jadi marah? Wah
ternyata rasa kangen ini cuma bisa dipenuhi kalo dia hadir, datang, hanya
untukku. Ternyata pelajarannya adalah untuk memenuhi (kangen)ku hanya dengan
dia. Aku ndak peduli dia. Menurut Sujiwo Tejo, ini dagang, ini trading, ini
pamrih.
Ini jelas bukan cinta. Ini hukum timbal balik. Aku ndak
menerapkan unconditional love. Menerima paketnya. Dengan menerima
berarti siap ditinggal.
Sebentar, sebentar, lho kok sampai-sampainya cinta itu musti
siap terima ya siap ditinggal. Bukannya cinta itu merupakan timbal balik dua
pihak atau lebih? Kalo bukan dua pihak yang secara aktif bercinta apa ya
namanya cinta? Bukannya nanti jadi bertepuk sebelah tangan? Lho kok repot ya?
Hening, sepi, kok jadi speechless ya?
Kalo gitu apa aku masih mencintainya? kalo aku menerima tapi
rela melepasnya? Wah kok susah amat ya, untuk mengunyahnya? Lho kok? wong cinta
itu diperjuangkan, tapi kok rela kalo dia mau lepas? Wag ndak masuk akal nih.
Jadi ingat saat mulai punya anak, sejak bayi, ditimang,
disayang, dijagain, dibimbing. Lalu begitu besar, seperti anakku yang masuk
kuliah memilih sendiri jurusan, fakultas dan universitasnya. Dia kos karena
yang dipilih adalah di kota lain. Tetap disayang di hati di pikiran, tapi juga
ikhlas karena dia ingin maju dan mandiri.
Lha mosok pasangan juga direlakan kalo ingin mandiri? Opo
mau pasangan ini lepas, secara fisik, pikiran dan hati? Ah.....makin bingung
nih Gusti.
Unconditional love
Melepaskan kelekatan
Meniadakan aku di diri
Wah malah makin bingung, makin ndak berbentuk nih......
Apa memang ada, menghadapi hidup tetap waras, tetap positif,
tetap optimis tapi dengan keikhlasan pada Gusti Allah bahwa yang dihadapi
adalah berkatNya.
Luar biasa
Jakarta 11:32; 1 Okt 2013
No comments:
Post a Comment