Memasuki ruang kerja saat ini di gedung baru, membuat rasa
hati ini ser-ser'an. Memasuki gedung kantor yang megah, keluar dari mobil,
langsung ketemu security untuk periksa tas. Berjalan memasuki lobi yang luas,
kosong, sapaan pak satpam,"selamat pagi" memecahkan keheningan dan
keterburu-buruanku. Sambil membalas dan senyum, maka kuayunkan kaki menuju
lift, yang tentu saja melewati pagar pembatas yang hanya bisa dilewati bila
kartu magnetik ditempelkan ke permukaannya.
Kutekan tombol lift, menunggu, sambil mencari lift sebelah
mana yang akan terbuka dan mengantarku ke atas.
Ternyata lift ujung kanan yang terbuka. Masuklah aku ke
dalamnya dan menekan tombol lantai menuju kantorku. Sambil menunggu, terdengar
2 orang pegawai, yang kemungkinan besar dari kantor yang sama, melempar
salam,"wah saya ikut upacara nih." Teman satunya menyahut," ndak
seru ya, upacara kok ndak di bawah, kan ndak terasa." Temannya
menjawab,"iya sih, ndak terasa panasnya. Ha ha ha "
Lalu sampailah ku di lantai tujuan. Keluar lift, sepi.
Disapa oleh mbak cleaning service. Senyumku membalasnya. Absen di pintu,
kulakukan dengan menempelkan jari telunjuk kanan, sambil melihat jam. Tertulis
pukul 7.40. Waduh kepagian, kecepetan nih...
Kutarik pintu terbuka, ternyata sudah ada 3 teman dari bagian keuangan
sudah hadir. Sapaan selamat pagi bersahutan, sebagai salam pembuka hari yang
indah tentunya. Melangkah aku menuju
ruang kerja di pojok. Mulailah terbayang aku membandingkan rekaman beberapa
ruanganku selama pengalaman bekerja sejak lulus kuliah dulu......
Di awal kerja dulu, aku juga bekerja di gedung, megah,
hitam, keren dan kliatan angker... Sekitar dukuh atas. Zaman itu, merupakan
salah satu gedung impian banyak orang untuk bisa bekerja di sana. Lantai dua puluh enam. Sebagai anak baru, aku duduk di cubicle
dengan meja tanpa pembatas. Tidak ada laci khusus dan lemari pribadi yang
menyertai. Tetapi kebanggaan boleh bekerja, berkontribusi dan mencari sendiri
apa yang bisa dikerjakan, dengan pengawasan Managerku saat itu. Luar biasa
rasanya. Tersenyum aku dibuatnya, bila menilik kejadian saat itu. Kok iya
mau-maunya ya....he he he.
Bos langsungku, ndak banyak bicara, malah menurut rekan
sekerjaku, dia pendiam, orang pinter banget, lajang, ndak suka bergaul, tapi
kesayangan bos ku yang orang Jepang. Ndak ramah, memang. Tapi ndak juga arogan.
Dan senyum padaku sebagai bukti aku telah mengikuti sarannya dan berkontribusi
padanya dapat kulihat pada bulan kedua ku bekerja untuknya.
Ternyata saat itu ruang kerja tersebut, cubicle juga bukan,
ruangan juga privacy juga bukan. Tetapi kami merasa senang sebab kebersamaan
begitu terasa. Di ruangan besar, khas perusahaan jepang, masing-masing di meja
kayu yang ndak seragam. Tetapi di ruang tersebut, pernah kulihat ekspresi,
pengalaman, keluh kesah, juga seru kemenangan, juga tangis sedu sedan, bahkan
teriakan marah maupun teriakan penuh kemenangan ku dengar dengan jelas. Suatu
pengalaman luar biasa.
Dua tahun lebih kulalui di ruangan besar tersebut. Dan
sempat pindah untuk rotasi ke divisi lain, karena satu hal nyata. Aku dinilai
bisa berkembang, dan mengikuti pertumbuhan divisi tetapi karena BUKAN lulusan
luar negeri, apalagi lulusan Amrik, maka aku disalurkan ke divisi lain yang
bisa "menampung" aspirasi lokal people. He he he.
Biasaaaaaaaaa..............
Menarik, meja kerjaku, sekarang. aku duduk berhadapan dan
saling menempelkan meja berlima, dengan meja ujung menghadap kami adalah bos
kepala divisi kami.
Banyak pengalaman kami tertuang bersama, di dalam kota
maupun di luar kota. Menarik sebab kombinasi kami adalah dua orang lulusan
dalam negeri, dua lainnya lulusan Amrik.
Sedang bos kami adalah figur yang berpengalaman di industri ini.
Masuk tahun ketiga di perusahaan tersebut, kuputuskan untuk
pindah ke perusahaan sejenis. Dimana saat itu ku dengar sebuah perbankan besar
akan mendirikan perusahaan sejenis. Dan aku dihubungi oleh rekanku yang telah
masuk terlebih dulu. Alhamdulilah,
kantor tersebut hanya menyeberang dari gedungku saat itu.
Memandang gedungnya saja sudah membuat merinding. Itu kan
salah satu gedung baru perusahaan BUMN yang saat itupun sedang membangun gedung
tertinggi di Jakarta.
Memasuki gedung tersebut, memilih gedung sebelah kiri, lalu
pencet lantai delapan belas. Di ruang tersebut aku bertemu dengan pejabat
senior bank tersebut yang bertugas sebagai PIC perusahaan barunya. Terlihat ruang kantor tersebut baru jadi.
Singkat cerita aku diterima bekerja di sana.
Maka aku menempati cublicle, ada meja, komputer desktop, dan laci untuk
menyimpan dokumen pribadi dan kantor. Hore....akhirnya aku memiliki sejumput
ruang kerja dengan pembatas di depan dan kiri kanan. Ternyata privacy walau
tidak sepenuhnya perlu, tapi penting untuk dimiliki. Wuih.....pengalaman baru
nih.
Dalam pengalaman bekerja di perusahaan tersebut sempat pula
aku pindah lantai ke lantai dua puluh tujuh karena adanya pengembangan
usaha. Dan di sanapun aku memperoleh
cubicle dengan punggung menhadap tembok. Lumayan.... sehingga aku bisa
memperoleh tambahan privacy, dengan tidak mudah orang membaca dan melihat
langsung apa yang aku kerjakan dan tulis, dari cara mengintip dan menyelinap
tanpa sepengetahuanku.
Setelah bekerja selama tiga setengah tahun lebih. Dan
situasi kerja kurang optimal, tiba-tiba ada teman yang menawarkan bekerja di
tempatnya. Pertama saat kudatangi, di sekitar slipi, eh ternyata yang kutemui
adalah dulu seniorku di salemba empat. Ya udah, jadinya ngobrol-ngobrol aja.
Dua kali aku bertemu dan dia sangat mengharapkan aku dapat bergabung. Di saat
lain, yang hampir bersamaan, aku ditelpon sobatku yang juga seniorku yang lain
di salemba, untuk menggantikannya karena dia mau keluar dari perusahaan
tersebut, yang menurutnya saat ini sedang berkembang pesat. Menarik tapi juga sekaligus mencurigakan,
sebab kalo perusahaan berkembang kok justru malah ditinggalkan? Pasti tawaran
yang diterimanya sangat menarik dan sulit ditolak. Dia jawab ya bro, sebab aku
ditawarin jadi direktur perusahaan.
Lucunya saat aku bertemu dengan pemilik perusahaan yang akan
ditinggalkan sobatku itu, merupakan pertemuan yang ndak terlupakan karena ku
bertemu dengan sobatku di SMU, adik kelas, yang ternyata punya usaha bareng dan
saat itu sedang berkembang. Dan diceritakan, dengan pengalamanku, dia ingin
membentuk usaha seperti perusahaan dengan sektor usaha seperti yang aku bekerja
saat itu.
Tanpa panjang lebar, dia langsung menanyakan kapan bisa
gabung?
Ku jawab, biasa, kan one month notice. Ok, lebih cepat lebih
baik ya.
Dan sejak itu, aku bergabung bekerja dengan meja, menghadap
tembok, karena jumlah pekerjanya saat itupun ndak lebih dari tujuh belas orang
termasuk tim support driver dan office boy.
Di kantor itu, ndak terasa aku bekerja selama sepuluh tahun
lebih, mengalami berbagai kejadian baik yang membahagiakan, menyenangkan,
mengejutkan, menyedihkan, membuat kecut, membuat bangga, bahkan sempat membuat
hati dan pikiranku bertanya apa sih yang membuatku tetap bekerja di sana?
Pindah dari cubicle di kantor lama ke kantor ini yang
berbentuk meja kayu, awalnya aku merasa ini kemunduran, tetapi suasana,
pengalaman, kebersamaan dan satu tujuan membuatku tetap di sana. Bahkan saat
kantor pertaman kali berkembang, dan ekspansi, aku sempat (ge er nih) ditawarin
untuk posisi dan lokasi duluan, walau bukan di ruangan. Tetapi cubicle yang lebih privacy dengan
pembatas yang melampaui tinggi kepala membuat privacy sangat terasa. I have my own space. Dan ini membuatku merasa
beda, bangga dan diperhatikan.
Sampai suatu peristiwa yang mengejutkan itu datang, yakni di
tahun ketigaku bekerja di sana, atasanku yang juga sobat kentalku, juga
kuanggap sebagai kakak/mas ku, keluar dari kantor. Dan bos ku menawarkan posisi
itu padaku. Luar biasa rasa ini, ndak
terbayang sebelumnya, ndak pernah ge er ku dibuatnya, lha wong mimpi aja ndak
pernah. Opo mau jadi kere munggah bale?
Sejak itu aku diberi kesempatan bekerja di ruangan, dengan
meja dan 2 kursi untuk tamu ku. Dan lemari dengan 4 laci untuk menyimpan dokumen
penting perusahaan. Oh ya perlu kusampaikan di sini, mejaku juga memiliki laci
untuk menyimpan barang pribadiku.
Pengalaman demi pengalaman, kulalui, bahkan kali ini
kuhadapi pertama kali pengalaman berhadapan dengan penegak hukum. Wow....luar
biasa. Ndak terasa (setelah melaluinya) bahwa tiga setengah tahun serasa dalam
neraka. Eh apa aku pernah ke sana ya? Lha wong mati saja belum. Dalam suasana
tersebut mejaku dan beberapa sobat sahabat yang tetap percaya dan berkenan
mendampingi melalui pengalaman tersebutlah betul-betul sahabat.
Setelah itu, sempat mengalami zaman nyamannya duduk dan
memimpin kelompok bekerja dari meja ruang kerja ku. Sampai pada suatu ketika,
bos di kantor katakan, bahwa akan membangun gedung sendiri. Dan seperti biasa
aku diperkenankan memilih tempat juga. Maka kupilihlah tempat di pojok gedung,
menghadap dua sisi, pinggir jendela, sehingga bisa melihat dari dua sisi
gedung.
Ruanganku lumayan besar, ada meja cukup mewah, minimalis,
dengan tempat duduk nyaman, dengan dua kursi tamu menghadap, dan ada sofa untuk
tamu. Cukup mewah, luas dan bersofa. Satu setengah tahun ku duduk di meja ruang
kerja tersebut. Sampai pada peristiwa aku mengalami terusir dari ruang meja dan
lingkungan kerjaku. Fitnah membuatku dipindah, tapi ndak ada tempat duduk,
cubicle atau bahkan sejumput meja apalagi kursi yang boleh aku duduki. Lha wong
saat itu benar-benar aku terusir karena fitnah, yang dilakukan sahabatku
sendiri. Dan sampai sekarang ku tidak pernah memperoleh jawaban nya kenapa?
Menarik kuperhatikan, ternyata meja kerja, cubicle kerja,
ruang kerja dengan meja, kursi tamu, kursi makan, bahkan sofa dan lemari adalah
merupakan fasilitas karena kita merupakan bagian dari perusahaan atau kantor.
Tetapi saat ku terusir, ndak dikehendaki berada di antaranya, maka sulitlah memperoleh
meja kerja atau ruang kerja tempat untuk berkarya, walau hanya untuk numpang
duduk sebentaran. Mata, gesture, gerak tubuh, serta sas sus di sekitar membuat
kita ditolak keberadaannya.
Akhirnya bos sempat memberikan ruang kosong walau sempat
kukatakan bahwa aku ikhlas bekerja dari rumah, dan akan ke kantor kalo nanti
ada meeting atau dipanggil.
Sekali lagi, yang membuatku bertahan adalah dukungan
keluarga, istriku tercinta dan anak-anakku yang luar biasa. Juga
sahabat-sahabatku yang ternyata ada dan selalu ada di suasana apapun. Walau ku
tahu pada awalnya merekapun jengah dengan kondisiku, sebab kupaham, merekapun
takut nanti kena tulah, karena dekat dengan ku. Buatku, inilah bukti Gusti
Allah memang selalu mendampingi ku dan keluarga juga kantor tempatku bekerja
sehingga tetap memberikan berkahNya.
Sampai suatu ketika aku ditugaskan untuk duduk di anak
perusahaan. Dengan medan yang belum ketahuan.
Tetapi ku boleh peroleh ruangan
luas dengan meja kerja, lemari, dan meja pertemuan di dalam. Wow mewah
betul.... Dan inipun kulalui tujuh bulan. Dan berikutnya ku terusir pindah lagi
dan ditampung oleh rekan sobatku di ruang kerja, bersatu dengannya dalam satu
ruangan. Kursi, menghadap meja, kembali
tanpa kursi untuk tamu. Lumayanlah, meja dengan laci, dan credensa di samping.
Dan kesempatan bekerja dan berkelakar dalam satu ruang.
Sampai pada kesempatan, di tahun tersebut, kita pindah
gedung, bergabung dengan kelompok usaha, dan kita menempati lantai lain yang
sudah di fitting. Sobatku satu ruangan,
memperoleh ruang pojok sepertiku dua tahun lalu, sementara aku juga di pojok
akhirnya memperoleh ruang, lemari dan meja dengan dua kursi tamu. Kembali memiliki
privacy. Dan di tahun kedua setelah pindah gedung, aku menempati ruang juga di
pojok tetapi nyempil, karena pindah tugas kembali. Tersingkir, tetapi tetap
boleh berkontribusi. Dan di penghujung
tahun ketiga, aku kembali diperkenankan memperoleh tanggung jawab dan
kewenangan divisi baru. Ruang tetap, di pojok nyempil. Masuk tahun keempat di kantor ini, masuklah
pengalaman luar biasa lain, bahwa aku merupakan salah satu yang diisolasi
karena perusahaan kami dibeli oleh investor lain, sementara kami dari pemegang
saham lalu yang masih tertinggal. Maka
di bulan ketiga masa isolasi, kami pindah ke ruang dengan meja kerja dan
lemari, tetapi rekan-rekan kami sudah pindah ke lain gedung kembali, masuk
kawasan impian para pekerja yakni di kawasan segitiga emas. Dan pada bulan ke
enam masa isolasi kami, akhirnya kami diberitau akan memperoleh ruangan dengan
meja kerja dan kursi untuk tamu dan almari.
Menarik di sini, babak baru kami akan pindah gedung, bersatu
dengan rekan yang lain. Pada suatu akhir
minggu menjelang kepindahan, dimana barang dokumen dan hal penting sudah masuk
packing, dan siap dikirim mover, rekan terhormat dari HR division mendatangi ku
dan menyampaikan bahwa kami nantinya akan dikumpulkan di satu tempat dalam satu
ruangan, tanpa pembatas, tetapi tetap memiliki meja, kursi, tanpa almari. Tentu
saja ada laci untuk menyimpan dokumen atau barang baik kantor maupun pribadi.
Nah sampailah ku di sini. Sejak minggu lalu. Dan ini hari ke
tujuh hari kerja boleh berkantor bersamai dengan rekan-rekan, tetapi tugasnya
yang tidak ada. Kami berkantor, hadir di
kantor, tetapi tidak diperkenankan berkontribusi. Atau malah kontribusi kami
adalah hadir dan ndak ada tugasnya.
Betul sekali, teman kami adalah rekan satu ruangan, tanpa pembatas
privacy, juga sobat kantor kami yang berkenan mampir dan bercengkerama walau
sebentar di ruang ini.
Suatu pengalaman luar biasa, ternyata, kerelaan, keikhlasan,
menghadapi dan berkantor dengan apapun bentuk bukanlah apa-apa. Ndak
menunjukkan apa-apa, juga bukan merupakan fasilitas yang wajib dipenuhi
perusahaan.
Sebentar memperoleh kemewahan fasilitas, sebentar menikmati
meja dan kursi untuk meletakkan badan dan menulis apapun yang hati dan pikiran
rasakan.
Akankah ku merasa bangga, merasa senang, merasa sedih,
merasa "I am the man", atau justru merasa tersisih?
Apa sih arti meja kerja atau ruang kerja buatmu? Mau
menunjukkan privacy? Lalu buat apa?
Jakarta 1 Okt 2013, 10:39
No comments:
Post a Comment