Menariknya hidup ternyata membuat kita lebih kaya dengan
pengalaman. Awalnya dialami dengan ego yang meluap-luap, menggelora, tetapi
setelah diendapkan, akan menjadi indah begitu kejadiannya sudah berhasil kita
lewati. Bahkan, mpok Ipeh, penjual warteg di tempat sekolah dulu pernah mengatakan," eh bang, rasa manis tuh, baru dirasa, kalo kita abis makan nyang
pahit-pahit, kayak pare ato daun singkong."
Bener juga sih, pengalaman pahit, setelah kita lewati akan
manis juga untuk dikenang. Malah makin bersyukur setelah kita benar-benar bisa
melewatinya. Bahkan suatu kejadian manispun ndak terasa manis bila kita belum (pernah)
mengalami pengalaman pahit.
Pantas saja ibu almarhumah, dulu pernah menyampaikan,"pahit manisnya hidup ini membuat gambar yang
kamu torehkan dalam begitu indah. Coba kalo misalnya kamu suka warna merah, dan
kamu torehkan hanya merah, maka gambarnya akan hanya senada, satu warna."
Siapa pernah mengira bahwa di suatu saat kita yang merekrut rekan
ini dan merekomendasikannya pada atasan. Lalu kita berjalan seiring dalam suka duka
membangun kelompok kita untuk bisa bicara dikancah bisnis. Ternyata karena suatu
hal, maka justru kita yang tersisih, tersingkir, lalu terdepak keluar dari arena,
ibarat atlet Sumo yang terdorong keluar karena kekuatannya sendiri dimanfaatkan
oleh lawannya. Dan kita melongo, bengong, bingung, sambil bertanya,"lho kok
bisa terjadi?" Hua ha ha ha ....
Indah bukan? Justru ini, yang menunjukkan bahwa hidup ini beserta
kejadiannya hanya titipan Gusti
Allah saja. Jabatan, materi, status, bahkan badan yang kita "tumpangi"
ini saja merupakan titipan dan pinjaman
Gusti Allah, yang "mustinya" dengan mudah kita gunakan dengan penuh tanggung
jawab, tetapi saat diminta (oleh siapapun) untuk ditinggalkan ya musti ikhlas.
Lho kok kayaknya ndak fight
? ndak berjuang, mempertahankan? kok ndak bertanggung jawab bertahan?
Hayuuuuk ah.
Jakarta, 11:55, 23Sep2013
No comments:
Post a Comment