Darah seni apa yang mengalir di dalamku? Seingatku dulu, ibu
suka menyanyi, bapak suka mendengarkan musik yang ok punya deh. Saking senangnya
dengan Koes Plus, pernah aku nonton konsernya di Gelora Sepuluh Nopember
Suroboyo.
Iya, aku pernah tinggal di sana. Seingatku, ini yang aku
sebut numpang lahir. Sebab besar di kota lain.
Menyambung kesenanganku dengan Yok Koeswoyo, kuingat pernah
nyanyi sambil bergaya main gitaran dengan gagang sapu, lenggak lenggok maju
munjur (inget gaya Soneta Grup nih).
Sampai suatu ketika, sukaku dengan musik terasah lagi saat
di kelas 4 SD, guruku memang suka menyanyi. Sehingga saat kelas sudah klar, selalu
ada pelajaran menyanyi. Murid lain ndak suka, tapi ndak demikian denganku.
Buatku ini menambah perbendaharaan lagu baru. Dia suka mengajarkan lagu daerah
dan lagu perjuangan.
Di kelas 5, diberitahu kalo nanti kelas 6 ada ujian
memainkan alat musik. Maka jadilah aku les gitar, karena kesengsem oleh Benny
sobatku yang belajar gitar les di YMI jalan Bumi, Mayestik. Sekarang sekolah
itu ndak ada lagi. Apalagi, saat itu sobat ku yang lain, Sandy putra dari Bp
Suwanto Suwandi, kakaknya juga les gitar di YMI dan sudah grade 6, jago banget
main gitarnya. Senang aku melihatnya. Dan mulai berkayal nanti kalo bisa main
gitar akan seperti Michael Gan (sekarang mungkin mirip dengan Om Jubing
Kristianto, malah lebih jago kaleeee).
Tapi aku juga belajar harmonika, pianika, recorder, sehingga
suatu waktu 3 minggu menjelang ujian di kelas 6, aku ditegor dimarahi oleh
guru, karena setiap minggu aku diminta tampil ke depan kelas (seperti murid
lainnya) untuk memainkan alat musik, lagunya selalu berubah-ubah. Dikatakan,
kamu mau ujian ato pamer?
Sejak itu aku persiapkan hanya 2 lagu, 1 wajib dan satunya
lagi lagu bebas. Kupilih yang ku suka saja. Nilai bagus dong....
Saat ke SMP, dimana kelas 1 masih les gitar, dan grade sudah
8, klasik mulai bosan. Sebab memainkan gitar musti baca not, dan sekaligus
aturan tanda dinamika dst dst. Jadi kalo aku pengin main gitar dengan kord-nya,
gagu dan kelu, bingung.
Sampai suatu ketika, bapak pulang kantor membeli kaset
Rolling Stone dan Deep Purple. Kata bapak, ini dari temen bapak,
katanya,"pasti anakmu seneng model anak muda ini..."
Dan benar, sejak saat itu aku putuskan main gitar listrik
dan tertarik dengan Keith Richard saat memainkan Lady Jane dan Brown Sugar. Nah
mulailah.....
Semua jenis musik, jenis aliran, jenis penyanyi, apa aja
deh.... Ndak ada batasan, ndak ada pantangan. Yang enak didengar, ada yang enak
dimainkan, ada yang enak dilihat (aksi panggungnya).
Maka mulailah main band di kelas 2 SMP, bareng sobatku Oong,
Rocky, Benny, Bayu . Juga Eddy Yanto, dan Bowo.
Malah saat kelas 3 SMP, main 2 aliran dalam 2 band, ditambah, Rudy dan
Hanung.
Malu? ya ndak lah... itu kan bagian dari perjalananku.
Selama SMA hanya kelas 3 aku main band, itu dengan Bayu, dan
beberapa teman dari kompleks SekNeg Cileduk. Jadi ini band di luar teman SMA.
Setelah itu kuliah,
aku pindah ke nyanyi. Ternyata bisa juga ya? Eh...ndak juga sih. Wong tujuan
masuk paduan suara itu dulu cari jodoh. he he he (mbuka rahasia nih). Bonusnya
bisa nyanyi sedikit-sedikit, malah sempat dijorokin kecebur organisasi juga
sih...
Yang paling berkah adalah aku dapet jodoh, wanita istimewa
dan sampai saat ini sudah 20 tahun menjalani hidup rumah tangga dengan 3 anak2
berkah Gusti Allah...
Di tahun 2009, saat di kantor menunggu penugasan baru,
berjalan bulan ke-4, mulailah aku disarankan oleh sobat kentalku, kalo ini
mungkin mulai masuk puber kedua. Jadi musti disikapi dengan bijak. Dia
menyarankan coba mencari kegiatan alternatif, syukur-syukur akan membuka
wawasan dan kebijakan. Disarankan untuk memilih minimal 1 dari 3; yakni,
belajar bahasa (sama sekali yang baru, bukan bahasa jawa, apalagi Inggris);
belajar agama (ini ada bahayanya, sebab bisa makin dalam, bisa terpanggil
dengan benar ato jadi gila beneran) atau belajar alat musik sama sekali baru
(bukan gitar, recorder, harmonika, pianika). Ternyata aku pilih yang ketiga.
Mulailah aku mampir ke Wijaya Musik PangPol, cari-cari alat
musik apa nih untuk belajar baru. Ketemu dengan mbak Ika dan Mbak Narsih di
situ, disarankan, flute aja atau trumpet aja, atau malah saxophone?
Setelah menimbang suka ku dengan musik latin, seperti Dave
Valentin dan Herbie Mann, juga Arturo Sandoval, maka aku pilih pengin belajar 2
alat sekaligus. Flute dan Trumpet. Disarankan beberapa guru dari situ,
ketemulah aku dengan guru-guruku yang ok, funky dan luar biasa (sabarnya).
Untuk sabar ini kuketahui belakangan, setelah 3 bulan ikut
les. Disebut, bahwa biasanya guru itu menolak murid yang sudah umur (diatas 20
tahun) sebab katanya itu jenis murid yang gampang patah arang, kapok, cuma
modal bisa beli, dan juga ndak sabar dalam belajar, banyak bicara, juga
sekaligus ndak nurut kalo diminta latihan.
Makanya baru ku sadar, sebab sarannya sama di kedua guru tersebut,
yakni,"yang penting pak Didik senang aja dulu, suka, jatuh cinta dengan
alatnya, nanti akan pengin tahu dan belajar lebih banyak. Juga sejak awal aku diberitahu bahwa latihan
mulut (embouchure) trumpet dan flute berbeda bahkan saling melemahkan. Tapi
karena penasaran, ya kujalani keduanya. Emang nekad ya...
Bisa menyanyikan dengan alat musik baru, wuih senengnya....
mulailah pencarian sound yang enak, yang bulet, yang mellow tapi ok dah
pokoknya...
Masuk tahun 2010 sampai Maret 2013 lalu, alat musik ndak
pernah kusentuh lagi. Eh siklus "menunggu penugasan" muncul lagi....
Maka bulan kedua masa tunggu ini ku lirik lagi lah alat musik ku. Bahkan
kuhubungi lagi guru flute ku, Mas Harry, dengan lembut, dia tolak, katanya,"
sudah pak Didik main aja dulu, suka dulu, jatuh lagi dulu aja... nanti kan
ketemu.."
Ya sudah, wong kadhung jatuh cinta, ya aku peganglah sang
flute tadi tiap hari minimal 15 menit. Bahkan biasanya jadi 40 menitan.
Belakangan, setelah mulai bisa cari lagu dengan not dari
flute, karena diajarin anakku, Krisna untuk main kromatik, maka makin besar lah
pencarian sound tadi.
Awalnya kupikir sound itu "dull" tapi ternyata
nada rendah, mellow, bisa nada tinggi juga tapi tetap merdu merayu. Seperti
penari tango Argentina atau penari samba Brazil.
Kupikir bahwa aku akan dapatkan dengan flute dari kayu, atau
dari bambu DiZi, atau Xiau, atau suling Sunda, atau Saluang dari Batak, atau
Shakuhachi Jepang, ternyata belum juga ok...
Sampai suatu ketika kau dikenalkan oleh mas Nino (aku dapet
flute bagus darinya), untuk coba clarinet aja. Itu kan dari suara kayu, atau
ebonit (untuk student). Dan aku
menyukainya.
Sampai tadi malam, dari penulusuranku mencari sound tadi,
aku ketemu di website membincangkan tuning untuk alat musik, bahwa Giuseppe
Verdi menyarankan pindah dari A=440hz ke 432hz. Situs itu menyatakan bahwa itulah
vibrasi atau suara alam semesta ini dibuat. Sehingga pada frekuensi yang tepat
akan membuka healing, cakra dan seterusnya. Wuih...makin seru nih.
Bahkan di situs lain, Schiller Institute, dan La Rouce,
membongkar hal lain yang menyatakan bahwa Ilmuwan Keppler menghubungkan
penemuannya tentang Astronomi dengan Phitagoras, tuning alat musik ini, juga dengan
letak planet lain terhadap bumi dan matahari serta bilangan indah Fibonacci.
Nah lho......
Sementara ini dulu deh, nanti disambung lagi.
Jakarta, 13Aug2013, 12:21
No comments:
Post a Comment