Mendengar kejadian di warung kopi tadi malam, sambil nunggu
kemacetan, ndak sengaja kudengar obrolan beberapa orang di sekitarku. Ada yang mengeluhkan tidak adanya penghargaan
di kantornya, ada yang mengeluhkan kondisi jalanan yang seakan dibiarkan atau menunggu
rusaknya jalan baru diperbaiki saat musim hujan tiba, ada yang mengeluhkan
anaknya yang mulai beranjak remaja dan ndak nurut orang tuanya, satunya yang
dipojok menceritakan istrinya yang mulai berubah sikapnya saat dia pindah
kantor.
Menarik sekali nguping sambil ngopi ini. Sampai-sampai, ndak
terasa cuaca dingin, lembab dan mulai agak panas karena di tenda mulai disesaki
orang yang masing-masing memberikan energinya saat bercerita. Juga kuperhatikan, ternyata mereka memang
butuh bercerita tetapi ndak butuh penyelesaian solusi. Jadi intinya ya cuma
butuh kuping orang lain aja dijadikan tempat sampah keluhan mereka. Hua ha ha ha, sadis sekaligus manusiawi yak?
Asyik deh pokoknya. Lha wong modal kuping dan konsentrasi
aja sudah bisa senyam-senyum. Macem
mendengarkan komikus stand-up comedy
tapi isinya getir….
Yang kalo ditelusuri kira-kira, masing-masing telah
kehilangan kebanggaan diri karena merasa tidak dihargai oleh pihak lain yang
menurutnya “mustinya” melakukannya
untuk”nya”.
Lho kok bisa-bisanya penghargaan musti didapatkan? Bukankah
penghargaan itu berarti rasa hormat, salut dan terima kasih pada pihak lain.
Ataukah ini musti didapatkan? Apa iya kita pelakunya melakukannya untuk orang
lain? Apa ndak tindakan yang katanya pengorbanan itu dilakukan untuk ego
dirinya sendiri? Sebab kalo sudah bertindak (berkorban) kan mustinya dihargai, disembah
terima kasih, atau malah diarak keliling jalan protocol.
Rasanya benar kata Paulo
Coelho dalam bukunya Pilgrimmate
(Ziarah), yang menyampaikan, bahwa tindakan
yang tulus untuk apapun, untuk siapapun, apapun alasannya, sungguh indah bila “ditolak” orang lain, tetapi
kita justru mengikhlaskan apapun yang energi kita sudah lepaskan dan apapun
hasilnya, dan ini yang membuat semakin menarik, yakni mendoakan semoga usaha
tindakan kita memberikan manfaat bagi orang/mahluk atau apapun yang “pas”
membutuhkannya.
Agape, katanya. Yakni energi yang dilepaskan, didoakan, dan
mengalir pada mahluk yang “juga” ikhlas akan menerimanya. Sehingga energi
baliknya memberikan “roso” yang membuat kita “merasa” kecil dihadapan Gusti Allah Sang Maha Ada tersebut.
Monggo….
Jakarta, 10:07; 30Jan2014
ilmu paling susah yang belajar nya seumur hidup ya, pak..
ReplyDeleteIlmu Ikhlas.
saya sedang belajar cinta Agape, cinta calon ibu buat anaknya, katanya ikhlas tidak berbalas, tapi kok kadang-kadang masih gak tahan suka ngeluh. hahaha berarti belum lulus..
terimakasih postingannya pak, mencerahkan sekali.
Matur nuwun sanget sudah mampir dan komentar ibu Nad... Berkah Gusti selalu bersama ibu
ReplyDelete