Sejak diberi kesempatan untuk menjadi pembicara sharing
dalam acara membagi pengalaman untuk mengatur keuangan dalam keluarga untuk
besok, maka sejak seminggu lalu, saya menjadi pemerhati diri sendiri, istri,
anak, juga beberapa kecenderungan rekan kerja dalam hal keuangan.
Apakah keuangan dianggap sama dengan pengeluaran? Apakah
keuangan malah sama dengan dengan penghasilan? Atau justru pengeluaran kita
tetap aja karena pemenuhan “ego” diri dan keinginan (wants) untuk dilihat,
dikomentarin juga dipuji atau justru dicela oleh orang lain (pihak diluar diri)
yang menjadi dorongan kita? Sebab hal yang belakangan ini justru dapat membuat
jebol keuangan, yang disadari maupun tidak disadari pada “saat”nya akan membuat
sengsara diri ini.
Padahal semua ini bermula dari konsep diri tentang berkah.
Tentang diri, juga tentang diri yang bahagia. Yang pada gilirannya akan
menggelontorkan gengsi dalam perilaku kita karena mengejar nafsu diri untuk
dipuji disenangi atau justru untuk memenuhi harapan orang lain. Yang sebenarnya
adalah wujud diri karena ingin dihargai lebih dari orang lain. Egois banget
kan?
Sebab pada tingkatan tertentu, terlihat baik, elegan,
anggun, terlihat menjadi panutan karena ok sekali dalam tindakan dan
pikirannya. Tetapi bila digali lebih jauh, apakah pemikiran, intensi, juga
tindakannya ini karena dorongan diri untuk baik atau justru ingin dilihat baik?
Nah lho…… Apa bedanya sih?
Pertama, baik karena memang semata-mata mau berpikir baik
karena kita sudah memperoleh berkah cinta Tuhan. Sehingga “mau aja” bertindak
baik. Tanpa alasan lain apapun. Dan tanpa ingin dikomentari apapun. Just as is.
Do it.
Yang kedua, nah ini yang menarik. Dimana dalam beberapa hal
pun penulis, gue nih…masih sering juga terserang hal ini. Misalnya, mau
melakukan tindakan baik karena sudah pernah dibantu oleh si anu, atau inginnya
melakukannya supaya mbesok (kapan-kapan, lain waktu) dia atau keluarga, atau
siapapun dapat membalas membantu kita.
Nah kan, jelas bedanya. Ini yang disebut dagang, trading, pamrih.
Ingat kan, kalo kita merasa Tuhan, Gusti Allah kita mustinya
(baca sekali lagi, mustinya) memberikan berkahnya ke kita karena kita sudah
berbuat baik, sudah berdoa minta mohon ampun, sudah berdoa bersyukur dst dst
dst. Lha wong Gusti Allah Maha Pencipta kita kok malah diatur-atur. Lha kan
ndak cocok. BerkahNya pun kan gift, ndak bisa diatur-atur, terserah yang
ngasih.
Lalu apa hubungannya dengan kita, karena sudah bekerja, maka
kita menuntur gaji kita sesuai UMR, menuntut atasan bos kita memberikan bonus,
karena sudah bekerja lebih dari yang diminta. Dst dst dst.
Bukankah semua pikiran, tindakan, dan semua kejadian ini
sudah ada jalannya. Kalo sudah mengerti ya berarti sudah meninggal. Justru
indahnya kan karena belum tau.
Ndak perlu juga ndak penting menyesali tindakan
kemarin, barusan, yang baru lewat. Juga
ndak penting memiliki kekhawatiran nanti, sebentar lagi juga besok atau tahun
depan tentang kita. Kalo mau menyisihkan, lakukan. Ndak cukup, ya upayakan.
Masih kurang, ya stretching. Masih kurang juga? Mosok mau korupsi, mengambil
yang bukan “bagiannya”?
Pantes kan kalo korupsi, atau mengambil yang bukan bagiannya
dicela orang banyak. Tetapi bagian yang mencela tersebut apa iya itu pantes
juga buat dia? Hayo…. Apa iya pantes? Apa juga ndak bersyukur sudah dikasih
berkatNya.
Lha kalo masih ngurusin rezeki orang lain atau menghalangi
orang lain memperoleh rezekinya itu namanya “jahat”. Saya ingat diberi nasihat
oleh Pak Sofjan Jalil mantan Menteri BUMN, saat beliau menjadi Komisaris kami,
mengatakan,”…kalo ndak bisa membantu orang lain, kan setidaknya tidak
menghalangi jalannya orang tersebut.”
Monggo……
Jakarta, 10:31; 14Feb2014
No comments:
Post a Comment