Hanya karena peraturan maka tidak akan digunakan dengan cara
yang brutal, sehingga todongan atau spotlight tidak langsung membuat kulit saya
merah, luka bakar, atau juga gosong.
Todongan yang paling elegan adalah dengan cara meminjam
tangan orang lain atas nama peraturan. Sehingga target akan “mati” karena sudah
diperingatkan. Di mana seorang berwajib akan sesuai dengan aturan bahwa
kalaupun akan menembak sasaran targetnya dengan memulai dengan peringatan
berupa teriakan, kedua peringatan berupa tembakan ke angkasa, baru kemudian
tembak ke sasaran tembaknya.
Sebagai orang yang menjadi sasaran tembak, apakah masih
punya pilihan? Mau pilih pasif atau masih pilih aktif, pilih sembunyi atau
justru pilih terlihat di publik. Pilih secara sukarela atau melawan,
Apakah masih ada pilihan lain? Penilaian menjadi basic,
yakni, hadir, tanpa kontribusi, dan saya memilih belajar lagi, baca buku lagi,
summary lagi, sehingga setiap saatnya saya siap untuk tugas (baik diri sendiri
atau untuk orang lain).
Apakah sebagai target sasaran tembak, saya perlu takut?
Perlu untuk khawatir? Bukankah setiap hari kita sudah isi dengan
ketidakpastian? Sebab kalau kepastian, kan menjadi statis. Jadi kok ya apa saya
musti grogi?
Bukankah yang grogi adalah pencatat kehadiran dan pemantau
serta pengambilkeputusannya tersebut.
Apa saja yang dapat dinikmati, dipikirkan, dilakukan oleh
seorang yang merasa dirinya menjadi sasaran tembak?
Apakah perlu mengubah pola hidup? Apakah perlu mengubah
kebiasaan?
Menarik…..
Dapat dilakukan kedua alternatif tersebut. Pertama tidak
perlu mengubah apapun. Just enjoy it. Kedua adalah mengubah sama sekali yang
baru, lain dari sebelumnya dan kalo bisa pola yang belum pernah saya terapkan.
Usul adalah hadir dalam pemantauan, tanpa perlu siar2, tapi
tetap bekerja dan belajar untuk mempersiapkan diri guna tugas berikutnya. Baik
itu tugas untuk orang lain maupun untuk diri sendiri.
Berikutnya adalah: timbul pertanyaan, apakah saya akan
menyalahkan dan marah dendam benci pada orang yang menembak dan akan terus
menembak saya?
Jawabnya adalah apa perlu? Apa penting untuk merasa
demikian?
Apakah dengan marah kita akan menjadi lebih baik? Apakah
dengan dengan rela, ikhlas, dan legowo. Puji Tuhan, ternyata cara atau pilihan
yang legowo jauh lebih enteng.
Sebagai pengguna casing manusia, tentunya rencana,
pelaksanaan dilaksanakan dengan sebaiknya, tapi fakta dan hasil di lapangan
tentu bisa berbeda. Apakah saya juga akan rela dan besar hati untuk
menerimanya?
Kok sulit ya menjawabnya. Penginnya menjawab ikhlas dan rela. Tidak mudah tetapi dapat dilakukan dan dirasa roso demikian….
Kok sulit ya menjawabnya. Penginnya menjawab ikhlas dan rela. Tidak mudah tetapi dapat dilakukan dan dirasa roso demikian….
Monggo dicoba.
Jakarta 3 April 2013
No comments:
Post a Comment