Seringkali ku mulai tindakan dengan berpikir, wah nanti ada
apa-apa. Wah nanti ditolak, wah nanti begini, wah nanti begitu dan seterusnya. Belum-belum
sudah banyak skenario sandiwara dalam pikiran ini.
Lucunya kemarin aku ndak
berpikir, langsung tanya pada anakku yang besar;” mas, siang ini kamu mau
kemana? Apa mau jalan sama bapak?
”
Tampaknyapun aku ndak perlu menunggu jawabannya, dalam arti
apapun jawabnya aku siap menerima, ditolak, diterima atau diterima dengan
syarat tertentu misalnya dia maunya jam setelah ini, atau nanti kalau sudah
melakukan ini atau itu.
Dan ternyata jawab anakku adalah,” aku ndak kemana-mana tapi
ndak mau jalan pak.”
Nah…..
Biasanya kalau aku
ngajak, berarti aku maunya (dalam pikiran dan perasaanku) ya musti harus dan
wajib jalan. Kalau ditolak berarti menolak bapak. Menolak ajakan bapak. Sang
bapak dalam diriku ini merasa ditolak, merasa tidak dianggap. Bahkan biasanya,
aku langsung emosi, walaupun tidak mesti meluap-luap. Tapi minimal hatiku dan
perasaan serta emosi ku hari itu langsung bad mood, ndak enak ngapa-ngapain.
Lucu, sekali lagi lucu sekali apa yang kualami pagi kemarin,
justru aku ndak merasa apa-apa. Ndak merasa ada yang hilang, ndak merasa
ditolak. Biasa aja. Cool aja. Woles kata anak sekarang.
Apa yang terjadi ya?
Setelah kejadian itu justru aku merasa, kok bisa ya. Betapa
anugerah Gusti….
Bagaimana dengan mu sahabat? Pernahkah merasakan hal kecil
yang ternyata “cukup besar”?
Monggo…..
Jakarta, 16:59; 24Jan2016
No comments:
Post a Comment